Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Media Indonesia, 10 Juni 2013)
Manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak rencana
kenaikan harga BBM kembali menghadirkan polemik seputar efektivitas
koalisi pemerintahan yang dinahkodai SBY. Untuk kesekian kalinya, publik
memaknai SBY “tersandera” oleh koalisi semu yang selalu dipertahankan
olehnya atas nama politik harmoni dan perimbangan peta kekuatan nyata di
DPR. Indikatornya, mitra koalisi yang jelas-jelas bersebrangan dengan
SBY dan kebijakan strategis pemerintahannya pun dibiarkan melenggang
menjalankan modus permainan politik mereka. Menarik mencermati apa
sesungguhnya masalah mendasar dalam pola koalisi penyokong kekuasaan SBY
tersebut.
Manuver PKS
Banjir spanduk di jalanan serta komentar elite PKS di berbagai media menunjukkan adanya keberanian dan kenekatan PKS untuk vis-a-vis
dengan mitra utamanya yakni SBY dan Partai Demokrat. Benarkah PKS
konsisten menolak kenaikan BBM ataukah mereka sedang melakukan simulasi
realitas sekaligus manipulasi psikologis khalayak dalam konteks
manajemen isu dan manajemen konflik? Dalam waktu dekat, publik akan
mengetahui sikap resmi PKS atas rencana kenaikan BBM tersebut. Sehingga,
kita bisa mengevaluasi konsisten tidaknya PKS atas pilihan dan sikap
politik mereka.
Posisi
PKS memang sangat dilematis bagi SBY. Jika PKS dikeluarkan berpotensi
menjadi masalah baru, tetapi jika pun dibiarkan akan menjadi preseden
buruk bagi kohesivitas mitra koalisi. Segala kemungkinan masih bisa
terjadi dan sangat bergantung pada berbagai kalkulasi politik SBY di
fase akhir kekuasaannya. SBY punya obsesi melakukan soft-landing di 2014. Dia tak ingin adanya turbulensi yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangunnya selama ini.
PKS
menyadari benar, bahwa mereka memiliki posisi penting dalam skema
perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama dalam
kekuasaan, tetapi keduanya kerakali memiliki agenda politik sendiri-sendiri. SBY sadar benar, modal
423 kursi atau 75,54 persen kekuatan mitra koalisi di DPR itu hanyalah
bersifat semu, dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106
kursi (18,93 persen) dan PKS 57 kursi (10,18 persen) merupakan
kursi-kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya.
Sehingga, tarik ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting bagi SBY.
Jika
dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain
saat bisa saja Golkar bersebrangan sehingga posisi PKS menjadi strategis
untuk perimbangan kekuatan, mirip sais kuda yang bisa ditarik dan
diulur sesuai kebutuhan kusirnya. Mitra loyalis seperti
PAN yang memiliki 46 kursi (8,21 persen), PPP 38 kursi (6,79 persen) dan
PKB 28 kursi (5 persen), tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi
Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan
opsi C di paripurna DPR. Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan
Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY.
Jika
PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan
sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menginisiasi permainan
yang diinginkannya. Kenaikan BBM belum menjadi “lembar penutup” dari
eksistensi pemerintahan SBY. Masih ada kasus Century, Hambalang,
dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang membutuhkan
dukungan DPR di fase akhir kepemimpinan SBY. Dia tentu saja tak ingin
memiliki ketergantungan kuat pada Golkar, sehingga
dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS,
meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.
Hal
lain yang dikalkulasi SBY adalah kapitalisasi isu jika PKS ditendang
dari koalisi. PKS menyadari, jika dikeluarkan maka mereka bisa membangun
pencitraan sebagai pihak yang didolimi karena perjuangan mereka menolak
kenaikan BBM. Artinya, PKS pasti akan mengidentifikasi
diri mereka sebagai simbol perlawanan terhadap rezim SBY. Dengan
demikian, PKS kemungkinannya akan tetap bertahan di koalisi hingga
diturunkannya “talak tiga” oleh SBY. Jika PKS secara sukarela keluar
dari koalisi, tentu opini akan landai dan mereka tak bisa mengail
publisitas politik di tengah isu strategis tersebut.
Kekeliruan Mendasar
Sedari awal, kekuasaan SBY memang dibangun dengan modal investasi politik dari sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi 60,85 persen suara pemilih, SBY
tetaplah presiden yang tersandera politik representasi. Meski hak
prerogatif berada dalam genggaman SBY, susungguhnya kekuasaan
dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai.
Sejumlah kasus hukum dan pengambilan kebijakan menjadi penanda nyata,
bahwa masing-masing pihak yang menjadi investor politik dalam kekuasaan
KIB II bukan fokus pada optimalisasi peran menyukseskan pemerintahan,
melainkan pada tawar-menawar posisi dalam kekuasaan.
Sejak
KIB II bergulir 22 Oktober 2009, sudah diprediksi laju pemerintahan SBY
tak akan lebih baik dari periode pertamanya. Bukan karena kurangnya
modal politik SBY, tetapi lebih pada distribusi dan alokasi kekuasaan
yang tak mendukung efektivitas kinerja. Mitra koalisi setengah hati yang
merasa berjasa dan menjadi investor politik justru menjadi pangkal
utama persoalan. Relasi kuasa SBY dengan para mitra koalisi berjalan
liar, keras, menyandera performa sekaligus menggerus produktivitas
pemerintahan.
Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat ini. Pertama, adalah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem presidensialisme. Dinamika
multipartai ekstrim di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan
problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung
efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem
presidensialisme. Idealnya, dalam presidensialisme
basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari perlemen.
Presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai
konsekuensi presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif. Namun praktiknya berbeda 180 derajat.
Siapapun presiden di Indonesia akan mengalami situasi pelik, mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa berada dalam “labirin” kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan adalah membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan idealitas pembentukan zaken kabinet karena dianggap utopia.
Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan pun kerap mendapatkan fakta
berbeda, karena justru koalisi menjadi beban bahkan sandra politik yang
efektif.
Masalah kedua adalah leadership SBY. Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa mengedepankan soft-strategy, politik harmoni dan meminimalisir ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (unxiety). Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Presiden kerap tersandera untuk menyelaraskan basis dukungan para mitra. Terlebih, jika mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bergaining position
atas celah-celah kelemahan masing-masing. Mitra koalisi disibukkan
dengan beragam strategi saling mengunci masing-masing pihak agar
kepentingan politik mereka aman dan tidak disentuh. Jika pun tetap
disentuh akan dibarter dengan kasus atau momentum tekanan lain.
Jika melihat benang merah sikap SBY, rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan adanya kohesivitas politik. Hal ini, menyebabkan kuatnya batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins
(1998) batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri
daripada mengambil resiko. Keengganan mengambil resiko ini, menyebabkan
SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali
memilih jalan tak beresiko, maka kemungkinan posisi PKS akan aman tetap
berada dalam kekuasaan.
Demokrasi Kolusif
Pola koalisi seperti yang dipraktikkan sekarang sesungguhnya hanya akan meneguhkan praktik demokrasi kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporannya yang berjudul "SBY's Feet of Clay" mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation telah mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.
Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif nampak
dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan
keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang
efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini memiliki residu yakni aliansi politik yang tidak pernah mapan.
Parpol-parpol
yang tergabung dalam koalisi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kita
kerap mendapatkan prilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa
oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar
konsolidasi yang sangat rapuh. Koalisi dibangun semata-mata karena
pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap
mengingkari konstituen mereka. Hasilnya, pemerintah yang terbentuk tak
lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan dengan berbagai
pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi
dengan kekuatan-kekuatan lain. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah
persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan
saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.
Terlepas
dari substansi tepat tidanya kenaikan BBM, publik saat ini sedang
mengamati konsistensi sikap para elite politik di partai maupun di
birokrasi pemerintahan. Jika SBY dan PKS sudah tak lagi nyaman dalam
perahu yang sama seharusnya ada ketegasan dari kedua belah pihak
untuk berpisah secara baik-baik. Selain itu, koalisi ke depan juga
harusnya dipolakan sebagai koalisi substantif berdasarkan kesamaan garis
perjuangan partai bukan mekanisme abal-abal yang saling menyandera dan
merugikan rakyat banyak! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar