Sabtu, 03 Agustus 2013

Sandera Politik Koalisi Semu

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Media Indonesia, 10 Juni 2013)

Manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak rencana kenaikan harga BBM kembali menghadirkan polemik seputar efektivitas koalisi pemerintahan yang dinahkodai SBY. Untuk kesekian kalinya, publik memaknai SBY “tersandera” oleh koalisi semu yang selalu dipertahankan olehnya atas nama politik harmoni dan perimbangan peta kekuatan nyata di DPR. Indikatornya, mitra koalisi yang jelas-jelas bersebrangan dengan SBY dan kebijakan strategis pemerintahannya pun dibiarkan melenggang menjalankan modus permainan politik mereka. Menarik mencermati apa sesungguhnya masalah mendasar dalam pola koalisi penyokong kekuasaan SBY tersebut.

Manuver PKS

Banjir spanduk di jalanan serta komentar elite PKS di berbagai media menunjukkan adanya keberanian dan kenekatan PKS untuk vis-a-vis dengan mitra utamanya yakni SBY dan Partai Demokrat. Benarkah PKS konsisten menolak kenaikan BBM ataukah mereka sedang melakukan simulasi realitas sekaligus manipulasi psikologis khalayak dalam konteks manajemen isu dan manajemen konflik? Dalam waktu dekat, publik akan mengetahui sikap resmi PKS atas rencana kenaikan BBM tersebut. Sehingga, kita bisa mengevaluasi konsisten tidaknya PKS atas pilihan dan sikap politik mereka.

Posisi PKS memang sangat dilematis bagi SBY. Jika PKS dikeluarkan berpotensi menjadi masalah baru, tetapi jika pun dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi kohesivitas mitra koalisi. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dan sangat bergantung pada berbagai kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. SBY punya obsesi melakukan soft-landing di 2014. Dia tak ingin adanya turbulensi  yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangunnya selama ini. 

PKS menyadari benar, bahwa mereka memiliki posisi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama dalam kekuasaan, tetapi keduanya  kerakali memiliki agenda politik sendiri-sendiri. SBY sadar benar,  modal 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan mitra koalisi di DPR itu hanyalah bersifat semu, dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi (18,93 persen) dan PKS 57 kursi (10,18 persen) merupakan kursi-kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya. Sehingga,  tarik ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting bagi SBY.  


Jika dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain saat bisa saja Golkar bersebrangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk perimbangan kekuatan, mirip sais kuda yang bisa ditarik dan diulur sesuai kebutuhan kusirnya.  Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi (8,21 persen), PPP 38 kursi (6,79 persen) dan PKB 28 kursi (5 persen), tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opsi C di paripurna DPR. Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY.

Jika PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menginisiasi permainan yang diinginkannya. Kenaikan BBM belum menjadi “lembar penutup” dari eksistensi pemerintahan SBY. Masih ada kasus Century,  Hambalang, dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang membutuhkan dukungan DPR di fase akhir kepemimpinan SBY. Dia tentu saja tak ingin memiliki  ketergantungan kuat pada Golkar, sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS, meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.

Hal lain yang dikalkulasi SBY adalah kapitalisasi isu jika PKS ditendang dari koalisi. PKS menyadari, jika dikeluarkan maka mereka bisa membangun pencitraan sebagai pihak yang didolimi karena perjuangan mereka menolak kenaikan BBM. Artinya,  PKS pasti akan mengidentifikasi diri mereka sebagai simbol perlawanan terhadap rezim SBY. Dengan demikian, PKS kemungkinannya akan tetap bertahan di koalisi hingga diturunkannya “talak tiga” oleh SBY. Jika PKS secara sukarela keluar dari koalisi, tentu opini akan landai dan mereka tak bisa mengail publisitas politik di tengah isu strategis tersebut.

Kekeliruan Mendasar

Sedari awal,  kekuasaan SBY memang dibangun dengan modal investasi politik dari sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi 60,85 persen suara pemilih,  SBY tetaplah presiden yang tersandera politik representasi. Meski hak prerogatif berada dalam genggaman SBY, susungguhnya kekuasaan dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai. Sejumlah kasus hukum dan pengambilan kebijakan menjadi penanda nyata, bahwa masing-masing pihak yang menjadi investor politik dalam kekuasaan KIB II bukan fokus pada optimalisasi peran menyukseskan pemerintahan, melainkan pada tawar-menawar posisi dalam kekuasaan.

Sejak KIB II bergulir 22 Oktober 2009, sudah diprediksi laju pemerintahan SBY tak akan lebih baik dari periode pertamanya. Bukan karena kurangnya modal politik SBY, tetapi lebih pada distribusi dan alokasi kekuasaan yang tak mendukung efektivitas kinerja. Mitra koalisi setengah hati yang merasa berjasa dan menjadi investor politik justru menjadi pangkal utama persoalan. Relasi kuasa SBY dengan para mitra koalisi berjalan liar, keras, menyandera performa sekaligus menggerus produktivitas pemerintahan.

Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat ini. Pertama, adalah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem presidensialisme. Dinamika multipartai ekstrim di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme. Idealnya, dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari perlemen. Presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif. Namun  praktiknya berbeda 180 derajat. 

Siapapun presiden di Indonesia akan mengalami situasi pelik,  mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa berada dalam labirin kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan adalah  membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan idealitas pembentukan zaken kabinet karena dianggap utopia. Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan pun kerap mendapatkan fakta berbeda, karena justru koalisi menjadi beban bahkan sandra politik yang efektif.  

Masalah kedua adalah leadership SBY. Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa mengedepankan soft-strategy, politik harmoni dan meminimalisir ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (unxiety). Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Presiden kerap tersandera untuk menyelaraskan basis dukungan para mitra. Terlebih, jika mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bergaining position atas celah-celah kelemahan masing-masing. Mitra koalisi disibukkan dengan beragam strategi saling mengunci masing-masing pihak agar kepentingan politik mereka aman dan tidak disentuh. Jika pun tetap disentuh akan dibarter dengan kasus atau momentum tekanan lain.

Jika melihat benang merah sikap SBY, rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan adanya kohesivitas politik. Hal ini, menyebabkan kuatnya batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998) batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil resiko. Keengganan mengambil resiko ini, menyebabkan SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali memilih jalan tak beresiko, maka kemungkinan posisi PKS akan aman tetap berada dalam kekuasaan.

Demokrasi Kolusif

Pola koalisi seperti yang dipraktikkan sekarang sesungguhnya hanya akan meneguhkan praktik demokrasi kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporannya yang berjudul "SBY's Feet of Clay" mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation telah mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.

Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif  nampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini memiliki residu yakni aliansi politik yang tidak pernah mapan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kita kerap mendapatkan prilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Koalisi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya, pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan dengan berbagai pilihan strategi  kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Terlepas dari substansi tepat tidanya kenaikan BBM, publik saat ini sedang mengamati konsistensi sikap para elite politik di partai maupun di birokrasi pemerintahan. Jika SBY dan PKS sudah tak lagi nyaman dalam perahu yang sama seharusnya ada ketegasan dari kedua belah  pihak untuk berpisah secara baik-baik. Selain itu, koalisi ke depan juga harusnya dipolakan sebagai koalisi substantif berdasarkan kesamaan garis perjuangan partai bukan mekanisme abal-abal yang saling menyandera dan merugikan rakyat banyak! ***

Tidak ada komentar: