Rabu, 27 Mei 2009

HIPEREALITAS POLITIK CITRA


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, Selasa, 27 Mei 2009)


Proses politik menjelang Pilpres, bergulir kian cepat dan menghadirkan histeria massa untuk menjadi bagian utuh dari narasi besar yang sedang dikontruksi para elit melalui politik pencitraan mereka. Perang resmi telah dimulai sejak tiga pasangan calon capres dan cawapres yakni SBY-Boediono, JK-Wiranto dan Mega-Prabowo mendaftarkan diri di KPU. Konsolidasi menjadi tiga kekuatan utama tadi, tentu saja bukan hal yang mudah. Kalkulasi politiklah, yang memungkinkan mereka saling merapat dan menyatu untuk memproklamirkan diri menjadi tiga pasangan. Meskipun, paket diantara mereka kerap bersebrangan di masa lalu. Kini, ketiga pasangan itu harus memainkan peran bersama yakni mencitrakan diri sebagai pasangan ideal dalam kesadaran atau bahkan ketidaksadaran pemilih. Sebuah mekanisme yang menempatkan politik bukan di ranah realitas substantif melainkan hiperealitas.

Pemilahan Biner


Strategi politik yang dibangun oleh para kandidat capres dan cawapres sekarang ini kian mengukuhkan politik citra. Sebuah mekanisme simulasi yang melahirkan fenomena “seolah-olah”. Misalnya seolah-olah pro rakyat, seolah-olah bekerja demi bangsa, seolah-olah pemimpin yang bisa menghadirkan kesejahteraan, tanpa kekhawatiran jika peran “seolah-olah” itu dapat melahirkan kesadaran palsu (false consciousness) dan tidak memberdayakan pemilih.
Perang citra yang dominan dapat kita amati di media massa. Hampir seluruh stasiun televisi, radio dan berbagai varian media cetak mengemas Pemilu dalam dimensi politik citra para elit. Akomodasi media massa terhadap politik citra bisa dipahami dalam konteks hukum penawaran dan permintaan yang menjadi ciri logika dan regulasi pasar (market regulation). Saat politik menjadi komoditi, dan realitas pemilu dapat dikapitalisasi, maka media pun menganggap politik citra sebagai sesuatu yang sah dan apa adanya.
Satu penanda menonjol yang dikembangkan oleh elit dalam politik citra akhir-akhir ini, adalah pemilahan (oposisi) biner antar elit. Oposisi yang menekankan pada kemampuan bahasa dalam menghantarkan makna guna menstrukturkan realitas. Misalnya pemilahan baik-jahat, gelap-terang, rasional-irrasional. Dalam konteks Pemilu 2009, pemilahan label neolib yang diidentikkan dengan Boediono sengaja dihadap-hadapkan dengan ekonomi kerakyatan Mega-Pro. Slogan lebih cepat lebih baik JK, menjadi penegas keberbedaan dari sosok SBY yang dianggap peragu, serba hati-hati, dan lambat bertindak. Bahkan tempat deklarasi pun tak lepas dari oposisi biner ini. Kemegahan deklarasi capres dan cawapres Partai Demokrat di Bandung seakan ditantang oleh ornamen gunungan sampah di Bantar Gebang dalam deklarasi capres dan cawapres Golkar-Gerindra. Kampanye pro petani, nelayan dan pedagang kecil pun seolah menjadi antitesa dari kandidat lain yang dikesankan pro pengusaha atau pro kapitalis multinasional.
Semuanya itu, lebih merupakan mekanisme penciptaan kesan daripada substansi. Energi rakyat tersedot ke dalam diskursus dari pemilahan biner yang elitis tadi. Hingga gamang untuk mengevaluasi indikator-indikator program nyata apa saja yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan yang bertarung, guna meningkatkan kapasitas individual dan kolektif rakyat di masa depan.

Simulasi realitas


Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.
Para kandidat capres dan cawapres telah membentuk hiperealitas. Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Banyak mimpi indah dibangun dan membentuk kesan di masyarakat seolah-olah para kandidat itu pembela orang kecil, pemimpin santun, hati-hati dan bermoral, atau pemimpin yang lugas dan mampu bekerja cepat demi rakyat. Kenyataanya, mereka yang mengaku pembela kaum papa itu ternyata juga borjuis. Politisi yang mengaku bermoral, kian mekanistik dan sangat percaya diri karena merasa komando berada dalam kekuasaannya. Begitu pun politisi yang mengaku bekerja cepat, ternyata juga sangat sarat dengan kepentingan politik dan bisnis orang-orang di sekelilingnya. Kita mengalami kesulitan dalam memahami relevansi dunia kesan dengan realitas apa adanya.
Wajar jika hiperealitas dalam pandangan Baudrillard dimaknai sebagai “The simulation of something which never really existed." . Sementara Umberto Eco menyebutnya sebgai "The authentic fake" atau kepalsuan yang otentik.
Kedua, solisi imajiner yaitu proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan pemilih. Berbagai teknik komunikasi politik seperti iklan, publisitas di media massa, loby, negosiasi dan lain-lain telah menyebabkan rakyat sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, atau antara yang benar dan yang palsu. Hubungan antara citra diri kandidat dengan kenyataan hidup pemilihnya bisa jadi tidak saling terhubung. Namun karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduanya. Sehingga dunia kesan menjadi representasi pilihan dari para pemilih. Inilah yang ditulis Piliang (2006), manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan menjadi segala-galanya bagi pemilih. Sehingga, tanda menciptakan mitosnya sendiri serta mengambil alih makna secara atuh. Hayalan-hayalan semu sekali pun menjadi terlihat sangat nyata. Proses ini yang kerap dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu akan dianggap sebagai realitas itu sendiri.


Logosentrisme


Ada empat tahapan dalam pencitraan menurut Baudrillard. Pertama pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar. Kedua, ia menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Ketiga, menutupi ketidakhadiran realitas dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun. Pada tahap inilah muncul simulasi yang sempurna. Realitas dasar Pilpres sesungguhnya adalah prosesi memandatkan wewenang dari rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya. Dengan demikian, rakyatlah esensi pemilik kekuasaan. Namun demikian, realitas dasar itu kerap ditutupi, dikaburkan atau hanya dijadikan instrumen oleh para kandidat capres dan cawapres dengan menempatkan citra diri mereka melampaui kekuasaan rakyat.
Dalam konteks Pilpres kali ini, sebaiknya pemilih memiliki kritisisme atas politik citra yang melahirkan simulakra atau keadaan realitas kita yang telah diaduk-aduk oleh berbagai penanda yang dapat menyebabkan kita mengalami kesadaran semu. Citra para elit yang mempermainkan realitas kita sehingga kita menerima kenyataan bahwa hiperealitas itu adalah realitas kita sendiri. Solusinya: pertama, sebagai pemilih seyogyanya kita tidak terjebak pada makna tunggal dari para elit yang bertarung. Pemilih mesti sadar bahwa realitas kontestasi menyuguhkan makna yang poliinterpretable. Setiap narasi dari elit jangan langsung dipercayai dan amini sebagai sesuatu yang sahih dan apa adanya. Kedua, sebagai pemilih kita juga sudah sewajarnya tidak terjebak dalam logosentrisme. Menurut pemikir beraliran postmodernisme, Derrida, paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna demokrasi dalam Pemilu lebih dari sebuah kata. Tak cukup hanya membangun demokrasi melalui kata-kata dan citra, melainkan juga harus hadir dalam realitas yang sesungguhnya.

Senin, 11 Mei 2009

FANTASI PEMILU


Oleh : Gun Gun Heryanto


(Telah Dimuat di Surabaya Post, 6 April 2009)


Prosesi menuju Pemilu legislatif 9 April dan Pilpres bulan Juli mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elit. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan loby politik dengan mengembangakan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elit hingga menembus jauh ke simpul-simpul suara akar rumput. Kontestasi tak cukup hanya mengandalkan terpaan media (media exposure) yang dominan di saat kampanye seperti berlangsung intensif sekarang ini. Melainkan, juga menyamai berbagai tema fantasi di lingkup kelompok pemilih hingga mereka merasakan dan memegang erat semangat kekitaan dengan sang kandidat baik politisi maupun partai politik. Inilah momentum permainan peran yang berorientasi akhir pada pengakuan akan jati diri sang kandidat untuk menjadi bintang sekaligus pemenang.

Konsolidasi Kekuatan
Fenomena permainan peran di musim kampanye bergulir kian kencang sejak Jusuf Kalla (JK) dan Partai Golkar melakukan serangkaian manuver. Sebuah pola bermain drama yang mencoba memalingkan perhatian khalayak pada sosok JK dan Partai Beringin sebagai representasi “kekuatan penting” yang siap menggandeng atau digandeng oleh kekuatan politik mana pun. Kita masih ingat di Pemilu 1999, Golkar babak belur di serang habis-habisan oleh berbagai pihak. Tak lama berselang, Golkar pun kembali ke jalur kemenangan di Pemilu 2004 dan bisa jadi akan kian kokoh di Pemilu kali ini. Terutama, jika pola bermain “dari kaki ke kaki “yang diterapkan JK tak mampu dibaca dan dihentikan oleh kekuatan politik lain.
Sodokan JK menjadi magnet bagi pergerakan kekuatan lain yang akan bertarung. JK menyatakan kesiapannya menjadi RI-1 dan secara ekspresif melakukan safari politik ke berbagai simpul kekuatan potensial di Pemilu 2009 seperti PKS dan PDIP. Rangkaian proses yang cukup mengejutkan, karena sebelumnya terkesan JK cukup nyaman berduet dengan SBY. Praktis setelah manuver JK inilah, berbagai penjajagan koalisi mencuat ke hadapan publik. Perhatian kita terutama tertuju ke Partai Demokrat yang intesif menjajagi peruntungan koalisi dengan PAN, PBB dan sejumlah kekuatan politik lainnya. Inilah contoh menarik dan aktual dari sebuah peran di panggung depan (front stage) pentas drama politik kita. Sebuah ranah bermain peran yang menuntut aktor melakukan serangkaian tindakan yang telah diskenariokan. Artinya, tindakan yang telah diatur guna memalingkan perhatian khalayak akan peran yang sedang dipentaskan. Berbeda dengan back stage yang memungkinkan orang bebas dan semaunya berbuat, panggung depan menuntut konsistensi dan penghayatan yang terukur serta matang.
Apakah JK sedang menjajagi diri menjadi pemeran utama yang diskenariokan Golkar menuju RI-1? Jawabannya tentu dapat kita amati dari keseriusan JK dalam mengolah jejaring politik saat ini dan terutama pasca Pemilu legislatif. Namun langkah politik JK di front stage menjelang Pemilu legilatif ini bisa juga kita tafsirkan berbeda. Artinya, ada skenario lain yang secara sengaja dimunculkan menjelang Pemilu Legislatif yakni konsolidasi kekuatan partai dalam pemenangan awal yang akan menentukan proses Pilpres. Faktanya, partai besar seperti Golkar, kemarin-kemarin seolah kurang bergairah karena tak ada tema fantasi dari mereka yang bernaung di Partai Beringin untuk menyatu dalam perjuangan bersama memenangi Pemilu. Alasannya sudah tentu karena sang Ketua Umum mereka belum bersedia maju ke gelanggang pertarungan. Ritme kerja mesin partai terutama di daerah, tidak bergerak efektif karena tidak adanya simpul nasional yang mengikat akselarasi Partai Golkar. Efek domino dari kesiapan JK sudah mulai nampak. Konsolidasi Golkar di daerah kian bergairah karena tema retoris “JK For President” mulai menjadi simbol kekuatan kelompok yang sebelumnya cair.

Penyatuan Simbol
Pemilu adalah momentum. Siapa pun yang bisa mengambil dan memanfaatkan momentum dapat memperoleh keuntungan dari interaksi proses yang ada di dalamnya. Kita ingat, karena tak mampu memanfaatkan momentum agregasi politik melalui jejaring yang ada di Pemilu 2004, Megawati harus rela tumbang. Yang lebih menyakitkan lagi, Megawati dikalahkan SBY mantan anak buahnya yang berasal dari Partai Demokrat. Partai pendatang baru dengan perolehan suara tak terlampau signifikan.
Kemenangan SBY sekali lagi membuktikan betapa pentingnya jejaring politik dalam kontestasi. Sepertinya kini kubu Mega lebih siap untuk menjadi partai “gaul”. Berbagai penjajagan dirintis dan tidak serta merta diputuskan secara prematur. Loby demi loby dari satu pertemuan ke pertemuan lain dengan beragam tokoh nasional seolah masih dalam proses meracik hingga nanti menemukan formula yang tepat. Di Pemilu 2004, Mega dengan cepat dan sangat percaya diri meminang Hasyim Muzadi. Bisa jadi kalkulasi politik waktu itu, PDIP yang memosisikan diri sebagai representasi arus utama kekuatan nasionalis, menganggap cukup bergandengan tangan dengan kekuatan basis masa tradisional Islam.
Penyatuan simbolisnya dengan cara menggandeng Ketua Umum PBNU karena diharapkan dapat menjangkau jutaan warga NU dan komunitas muslim lainnya. Sebuah kalkulasi yang tidak tepat, karena ternyata proses konvergensi simboliknya tidak tuntas, terutama di internal kelompok masing-masing pendukung. Hasyim Muzadi tak secara utuh diakui sebagai simbol kekuatan orang-orang NU, karena harus berbagi pendukung dengan Salahudin Wahid dan pengikut Gus Dur yang tidak dalam posisi harmonis dengan Hasyim Muzadi. Sementara di kelompok nasionalis pun, Mega tak lagi utuh menjadi simbol wong cilik sebagai basis kekuatan nyata perjuangan politik kaum nasionalis. Berbagai kebijakan Mega saat memerintah, dianggap tak berpihak pada masyarakat lemah.

Politik Kekitaan
Dalam Prosesi Pemilu kelompok-kelompok politik mau tidak mau harus semakin intensif membangun tema-teman fantasi yang dapat mengingkat kekitaan dalam kelompok politik mereka. Saat kondisi masyarakat tak banyak berubah dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, dari satu Pemilu ke Pemilu yang lain, tentu akan banyak orang yang tak percaya lagi dengan mesin partai. Insting untuk bisa hidup sejahtera dan menikmati kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain secara baik menggerakan manusia untuk merengkuh keinginanannya itu. Jika tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mencoba menghindar dari ketidaberdayaannya itu dan menciptakan berbagai tema fantasi.
Menurut Ernest G Bormann dalam buku Communication and Organizations: an intepretive approach, konvergensi simbol akan muncul salah satunya melalui visi retorik dan tema fantasi. Visi retorik menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Jika partai atau kandidat mau menang, maka jawabanya tentu pada bagaimana mereka mampu meyakinkan adanya kebersamaan pandangan dengan kelompok-kelompok pemilih dan membangun mimpi bersama. Fantasi-fantasi itulah yang dalam praktikknya dapat memenangkan para politisi dan Partai Politik dalam rivalitas Pemilu. Koalisi secara substantif memang sebuah mekanisme politik kekitaan. Kata kunci retorika seperti tetangga dekat, kawan yang memiliki visi sejalan, sama-sama kekuatan utama dalam perubahan dan lain-lain merupakan simbol penyatuan. Namun harus diingat dalam Pemilu terbuka seperti yang kita jalani nanti, maka konvergensi simbolik dengan pemilihlah yang jauh lebih berpotensi besar memenangkan kandidat baik Partai Politik maupun Capres dan Cawapres. Bukan sebuah koalisi elitis yang dapat mereduksi

MEWASPADAI KONFLIK PEMILU


Oleh : Gun Gun Heryanto


(Telah Dimuat di Koran SINDO, 8 April 2009)


Pemilu Legislatif yang digelar pada 9 April, menjadi momentum petarungan nyata dalam serangkian proses Pemilu terjadwal yang menentukan masa depan Indonesia lima tahun ke depan. Setelah dibombardir oleh seribu satu janji kampanye sejak 12 Juli tahun lalu hingga April ini, saatnya Bangsa Indonesia memilih dan menentukan suara secara one man one vote. Partisipasi politik yang berhubungan dengan esensi sistem demokrasi yang kita sepakati. Pemilu idealnya adalah kegiatan sukarela, tanpa paksaan dan cermin dari kekuasaan utuh rakyat. Dalam konteks inilah, Herbert McClosky dalam bukunya Political Participation memaknai partisipasi politik itu sendiri sebagai kegiatan sukarela warga untuk ambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum.


Indikator Penampilan
Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk berdemokrasi melalui Pemilu yang bersifat langsung. Tentu saja, hal ini dapat menjadi indikator penampilan politik (political performance) pemerintahan dalam suatu mekanisme sistem demokrasi. Indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham (1982) ada lima, yakni : pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon guna menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasiah tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers.
Perang terbuka tentu akan berjalan sengit dan kompetitif, karena Pemilu legislatif besok hanya menyediakan jumlah kursi yang terbatas. Sebanyak 18.442 kursi akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk di Daftar Calon Tetap. Rinciannya, 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD Provinsi, 560 kursi DPR dan 132 kursi DPD.
Pemilu Legislatif tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Sebuah keniscyaan, jika seluruh partai politik dan individu-individu kandidat memiliki kepentingan untuk menang. Mereka akan mengoptimalkan seluruh sumberdaya politik termasuk kekuatan para pendukungnya. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik pasca Pemilu. Misalnya saja, mengalirkan konflik melalui berbagai ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan sejumlah faktor potensial lainnya.


Sumber Konflik
Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya, konflik Pemilu biasanya muncul dari hal-hal sebagai berikut : pertama, tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih tetap. Banyak masyarakat di suatu daerah yang merasa berhak menjadi pemilih, tapi kenyataannya tidak terdaftar. Sebaliknya, orang-orang yang tidak berhak antaralain belum cukup umur, sudah meninggal, sudah pindah alamat dan lain-lain justru mendapat kartu DPT. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadi determinan konflik. Problem ini sepertinya hingga sekarang masih belum terselsaikan secara baik oleh KPU, sehingga bisa menjadi bom waktu yang mengancam kredibilitas penyelenggaraan Pemilu.
Kedua, konflik sangat mungkin lahir sebagai ekses masa kampanye. Berbagai upaya pemasaran politik (marketing of politics) dilakukan untuk meraih simpati publik. Namun tak jarang, kampanye juga dibarengi dengan tindakan menyerang, mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan tekanan psikologis seperti rasa sakit hati dan dendam. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator konflik Pemilu yang cukup potensial. Terlebih, jika ada ketidakadilan dalam penanganan beragam pelanggaran masa kampanye Caleg atau partai politik oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan kepolisian.
Ketiga, tahapan penetapan hasil Pemilu. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara dan menuduh pihak lain berlaku curang sebagai sumber utama konflik. Terlebih dalam Pemilu legislatif kali ini, ada aturan Parliament Treshold dan tidak berlakunya nomor urut sebagai penanda kemenangan di internal partai, sehingga para Caleg akan berupaya keras berebut jatah kursi meski nanti harus berkonflik dengan teman sesama partai.
Keempat, di level informations roles konflik bisa muncul karena ketidak percayaan atas peran yang mainkan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini ketidakpercayaan terhadap KPU. Akan banyak kecurigaan bahwa KPU memihak pemenangan kandidat tertentu. Pola alur informasi yang berjalan antara KPU dengan para kandidat maupun KPUD di daerah-daerah kerap didera banyak masalah. Misalnya, ketidakjelasan alur informasi dalam hal distribusi logistik Pemilu, jadwal rekapitulasi data hasil pemilihan, pengawasan saat pencoblosan dan hal-hal teknis lainnya. Informasi menjadi vital karena luasnya bentang bumi nusantara dan rumitnya menghindari noise (gangguan) di setiap tahapan pelaporan.
Kelima, konflik Pilkada juga bisa muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure). Media massa bisa secara sadar atau tidak sadar menstimulasi konflik. Dengan berita yang bombastis, atau news framing tendesius dan menekankan pada relasi antagonisme, maka media dapat menjadi katalisator mencuatnya konflik. Untuk itu diperlukan kearifan dari media massa untuk tidak menjebakan diri pada kontroversi dengan alasan komersial melainkan pada tegaknya demokrasi dalam mekanisme Pemilu kali ini.
Faktor keenam yang biasanya menjadi sumber konflik adalah sifat agresi yang dominan dari elit politik. Meminjam pendekatan teoritik dari Dominic Ifanta yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (1996), salah satu sifat agresi yang dominan itu adalah keagresifan verbal. Biasanya sifat ini menyertakan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional yang menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, meyakiti perasaan dan reaksi negatif lainnya. Hal ini sangat mungkin terjadi antar Caleg atau elit partai sehingga menimbulkan luka dan mencuatkan konflik ke permukaan.


Solusi Antisipatif
Solusi antisipatif yang dapat menghindari munculnya konflik ke permukaan, harus dimulai dari institusi KPU. Institusi KPU harus independen, kredibel, professional dan beretika. Peranan ini sangat penting dimiliki oleh KPU guna menghindari lemahnya kredibilitas KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Misalnya saja, KPU mampu menyelsaikan kejelasan Daftar Pemilih Tetap (DPT), distribusi logistik, masa pencoblosan dan jadwal rekapitulasi hasil pemungutan suara. Paling tidak hal ini dapat mereduksi beberapa potensi konflik lain pasca Pemilu seperti saat penetapan hasil siapa saja yang menang dalam pertarungan.
Kuatnya institusi pengawas Pemilu, dalam hal ini terkait peran dan eksistensi Bawaslu. Jika terdapat pelenggaran selama masa kampanye atau pun selama pencoblosan, maka harus ada tindakan nyata dan jelas, adil serta transfaran. Media harus memberikan kontribusi dalam menciptakan Pemilu demokratis dengan mengusung jurnalisme damai. Mengingat pentingnya Pemilu dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi keuntungan. Melainkan juga mendedikasikan pertanggung jawaban sosialnya, sebagai institusi yang memiliki fungsi pengawasan sosial (social surveillance). Selain itu, setiap kandidat bersama-sama pemerintah dan KPU harus mampu mengupayakan penguatan kembali makna dari simbolisasi demokrasi melalui Pemilu, karena sesungguhnya demokrasi berada dalam mekanisme dari-oleh-untuk masyarakat. ***