Minggu, 28 Desember 2008

PARADOKS LIPUTAN INFOTAINMENT




Oleh : Gun Gun Heryanto


Akhir tahun 2008 ini, ditutup dengan petaka bagi pencitraan para pesohor yang sedang “dikemas” oleh para pekerja infotainment. Di antara pesohor yang sedang diburu dari segala “penjuru mata angin” di penghujung tahun ini, adalah Marcella Zaliyanti, Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto. Nyaris tak ada yang kelewat, seluruh rincian fakta diramu dengan sejumlah asumsi dan berbagai framing yang kian memperkuat unsur dramatis realitas perilaku kekerasan yang ditudingkan kepada mereka. Sehingga, mereka terjerembab di titik nadir dari asumsi positif khalayak. Tentu, sepanjang tahun ini, tak hanya mereka yang menjadi sasaran bidik, deretan nama lain pun menjadi sumber “asupan” bagi bertahannya eksistensi tayangan infotainment di industri televisi maupun media cetak.

Jurnalisme Infotainment ?
Amati sejumlah judul yang dalam sekejap bisa meluluhlantakkan jejak rekam para pesohor tadi. Judul-judul dengan tulisan mencolok seperti “Ananda Jadi Debt Colector”, “Dari Bapalan Menjadi Preman”, “Artis Manis Berprilaku Bengis” merupakan sedikit contoh dari penanda dahsyatnya kemasan kata. Yang terjadi di liputan televisi lebih heboh lagi, tak hanya narasi yang menggiring, visualisasinya juga sudah menjadi vonis tersendiri sebelum hukuman pengadilan dijatuhkan. Terlepas dari apakah memang Marcella dan Ananda melakukan tindak premanisme, kepatutan untuk mengembangkan prinsip imparsialitas dan asas praduga tak bersalah sudah selayaknya menjadi pedoman para jurnalis. Itu pun jika para pekerja infotainment konsekuen dengan klaim bahwa mereka mengidentifikasi diri sebagai jurnalis.
Istilah para pekerja infotainment sengaja digunakan dalam konteks tulisan ini, mengingat masih menjadi suatu perdebatan, apakah peliput jagat hiburan dan para pesohor di ruang publik ini sebagai jurnalis ? Sehingga, muatan kerja mereka dapat kita kategorikan sebagai jurnalisme infotainment, atau mereka semata-mata pekerja hiburan yang sedang meminjam ranah peran para wartawan untuk legitimasi profesi di masyarakat.
Konsep infotainment mulanya dipopulerkan oleh para penggiat di Jhon Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Mereka bukan orang-orang yang bekerja untuk media, melainkan dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi mereka didukung oleh Center of Communication Program (CCP) yang bertugas mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah prilaku kesehatan masyarakat. Para pakar komunikasi di CCP termasuk Everet M Roger, merumuskan formula jitu metode penyampaian pesan, maka lahirlah konsep infotainment. Ini merupakan neologisme yang menggabungkan information dan entertainment. Basis utamanya adalah informasi, adapun hiburan disisipkan sebagai pancingan untuk memalingkan perhatian khalayak. Dengan demikian porsi terbesarnya tentu saja adalah informasi itu sendiri bukan hiburannya.
Saat infotainment diadopsi dalam kerja media massa, terjadi salah kaprah. Dimana infotainment dimaknai sebagai informasi tentang hiburan. Sehingga, hiburan menjadi fokus dan kerapkali makna substantif dari sebuah informasi direduksi. Misalnya dengan dramatisasi fakta, dugaan berlebihan, penggiringan opini, liputan yang sepihak serta sejumlah standar etika lainnya yang telah diabaikan secara sadar.
Faktanya, hingga saat ini kecendrungan tayangan infotainment makin meningkat. Bahkan, bagi stasiun-stasiun televisi seolah menjadi bagian utuh dari the logic of accumulation and ecxlusion . Ini merupakan tesis pemikiran Douglas Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan siaran televisi lebih banyak diatur “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan hak akumulasi modal sebebas-bebasnya.
Dalam penelitian Agus Maladi (2007), tercatat jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode. Sementara menurut data yang dimiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari), dan tahun 2007 menjadi 15 jam sehari atau lebih dari 210 episode dalam seminggu. Tahun 2008, tayangan jenis ini bukannya menyurut melainkan kian menjadi-jadi. Acara semacam Was-was, Check and Recheck, Go Spot, Insert, Hallo Selebriti, Kasak-Kusuk dan sejumlah nama tayangan sejenis mengepung ruang keluarga dengan menu gosip hangat seputar kehidupan para pesohor. Melihat kecendurungan kerja liputan infotainment di berbagai stasiun televisi kita, berat rasanya mengakategorikan infotainment sebagai bagian dari kerja jurnalistik. Terjadi paradoks antara kerja jurnalistik yang seharusnya berdasarkan fakta dan independensi, dengan infotainment yang mengusung semangat bergosip.

Common Storyteller
Tak dapat disangkal bahwa televisi menjadi penyampai dari sekian ragam informasi publik yang menghubungkan satu generasi ke genarasi. Kekuatan audio visualnya, di level tertentu mampu menghadirkan suatu ”dunia” yang tadinya di luar khalayak menjadi tergambar dalam pikiran mereka. Peran sebagai common storyteller mampu menghadirkan realitas, meski hanya realitas absurd sekali pun.
Peran penting dalam konteks ini terkait dengan pembentukan opini publik. Media massa membingkai ”realitas ada” menjadi menonjol dalam perhatian publik, sehingga merangsang khalayak untuk melakukan respon aktif. Opini publik sejak diteliti secara serius oleh Walter Lipman pada Perang Dunia I hingga sekarang, senantiasa memiliki empat karakter, yakni merupakan respon aktif masyarakat, dikonstruksi, menyumbang citra dan yang terpenting terkait dengan isu–isu yang memiliki dampak luas bagi khalayak. Ketika berbicara kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, korupsi di sebuah instansi dan contoh-contoh lain yang sejenis, tentu saja hal-hal tersebut dapat kita simak hubungannya dengan hajat hidup orang banyak yang mengaksesnya. Berbeda dengan saat media menginformasikan pacar, selingkuhan serta prosesi kawin-cerai para selebritis tidak memiliki dampak apa pun, kecuali hiburan semata-mata. Infotainment tak akan hilang, oleh karenanya khalayak mesti memiliki pilihan selektif dan mulai berpikir untuk tidak kecanduan infotainment.

Selasa, 23 Desember 2008

KONTESTASI CITRA KAUM IBU


Oleh : Gun Gun Heryanto


Kota Bandung, memiliki kenangan sejarah yang lekat dengan momentum peringatan Hari Ibu. 70 tahun lalu, tepatnya 22 Desember 1938, dalam Konggres Wanita Indonesia (Kowani) ke-3 di Bandung, menyepakati tanggal tersebut sebagai Hari Ibu. Tujuannya tentu saja mulia, yakni menjaga semangat kebangkitan kaum ibu Indonesia secara terorganisir hingga bisa bergerak di ruang publik sejajar dengan kaum laki-laki. Inilah langkah simbolik kaum ibu meretas jalan panjang kesejarahan dalam peringatan yang diformalkan. Sejarah Hari Ibu, dapat ditelusuri dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan konggres pada tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda yakni 1928 di Yogyakarta.

Perjuangan Identitas

Organisasi perempuan sebenarnya sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Namun, baru pada 22-25 Desember 1928 itulah, para aktivis kaum ibu berkonggres di Yogyakarta yang di kemudian hari kita mengenalnya sebagai Konggres Wanita Indonesia (Kowani) pertama. Hadir kurang lebih 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra yang telah menjadi partisipan. Mereka berkumpul dan mempersatukan organisasi-organisasi wanita tersebut ke dalam sebuah wadah perjuangan guna menunjukkan identitas dan spirit berjuang untuk sejajar dengan kaum laki-laki. Melihat potensi kaum ibu yang luar biasa inilah, Presiden Soekarno, sempat mengeluarkan Dekrit No. 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan Hari Ibu sebagai Hari Nasional meski pun tidak termasuk ke dalam kalender hari libur nasional.
Jika kita amati dari berbagai catatan sejarah, dapat kita katakan Hari Ibu ini merupakan simbol dari perjuangan identitas. Yakni, identitas kaum ibu sebagai bagian utuh warga negara yang sama halnya dengan kaum pria, bisa memberikan kontribusi bagi perjuangan negeri ini. Sebelum kemerdekaan Kowani ikut terlibat dalam pergerakan internasional guna memalingkan perhatian warga dunia akan keberadaan Indonesia dan terlibat juga dalam perjuangan kemerdekaan. Begitu pun setelah kemerdekaan digapai, upaya tersebut terus berlanjut. Misalnya saja, tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW) sebuah dewan konsultatif yang menjadi salah satu dewan berpengaruh di Perserikatan Bangsa-bangsa. Jika Hari Kartini dicatat sebagai perjuangan identitas RA Kartini sebagai individu, maka Hari Ibu merupakan perjuangan identitas dari gerakan emansipasi yang lebih luas yakni kaum ibu nusantara.

Kontestasi Citra

Dalam realitas sosial saat ini, ada sejumlah fakta yang menunjukkan masih perlunya gerakan kaum ibu untuk memberdayakan perannnya di masyarakat. Ambil saja beberapa contoh fakta sebagai bahan refleksi. Misalnya, fakta yang disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Aksara Internasional ke-43, di Denpasar, Bali, Senin (8/9/2008). Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara pada akhir Agustus 2008 sebanyak 10,16 juta atau (6,62 persen). Dari jumlah itu, sebanyak 65 persen atau 6,6 juta di antaranya adalah kaum perempuan. Begitu pun kondisi yang terjadi di dunia, berdasarkan data dari Global Monitoring Report (2006), terdapat 771 juta orang buta aksara di seluruh dunia, sebanyak 72,7 persennya adalah perempuan. Fakta lain, meski berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816, atau 51 persen dari jumlah penduduk, namun ternyata jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2004, hanya 9 persen dari 550 kursi. Wajar jika 101 juta lebih perempuan Indonesia terabaikan oleh kebijakan DPR yang tidak sensitif terhadap isu perempuan. Bentuk diskriminasi itu bisa dilihat dari sedikitnya produk perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan.
Memang Hari Ibu tak cukup hanya menjadi rutinitas peringatan simbolik, melainkan harus mengartikulasikan secara lebih substantif dan strategis dari gerakan kaum ibu di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, hingga saat ini terjadi kontestasi citra kaum ibu di mata khalayak luas. Sebuah pertarungan identitas yang akan menunjukkan wajah positif atau negatif kaum ibu kita. Kontestasi itu paling tidak masih tergambar jelas di tiga bidang.
Pertama, gerakan emansipasi kerap mendapat kendala besar dari pola budaya patriarki. Posisi perempuan yang selalu dianggap wajar dan seharusnya berada dalam subordinasi dan superioritas kaum laki-laki. Tradisi budaya feodal dan pelembagaan ”keakuan” kaum laki-laki dalam cara pandang yang salah tentang budaya ketimuran, telah memosisikan kaum ibu dalam wilayah veriperal. Kedua, kesadaran kaum ibu untuk berdaya juga harus berkontestasi dengan cara pandang dan interpretasi masyarakat terhadap ajaran agama yang mereka yakini. Banyak kasus, upaya menafsirkan kitab suci, tidak diimbangi sensitivitas gender. Sehingga, kebenaran mutlak dari prilaku skripturalisme yang ekslusif dan tidak membuka ruang dialog menempatkan kaum ibu kian terpojok. Ketiga, kontestasi juga terjadi di realitas simbolik media. Kampanye untuk menjadikan kaum ibu memiliki citra mandiri, sejajar dengan kaum pria dan mampu, kerap direduksi oleh media massa. Kita bisa mengamati banyak acara televisi atau tulisan di media cetak yang menempatkan perempuan sebagai objek atau korban dari prilaku diskriminatif. Misalnya saja di berbagai sinetron, kebanyakan sinetron yang kejar tayang di televisi kita mempertontonkan perempuan sebagi biang gosip, lemah, cengeng, bergantung pada laki-laki, nerimo, hedonistik, dan konsumtif atau gaya glamour khas metropolitan. Tidak hanya sinetron tapi juga dalam reality show, news, atau talkshow yang memosisikan perempuan dalam lakon marginal. Tentu, jika kita menginginkan perempuan yang kian berdaya dalam peran-peran sosial mereka, maka ketiga ranah kontestasi tadi harus lebih memberi tempat pada peran substantif gerakan emansipasi sehingga pencitraan kaum ibu kian positif. Hari Ibu hanya akan menjadi sebuah seremonial yang tak bermakna jika kontestasi selalu memosisikan kaum ibu dalam ketidakberdayaan.

Jumat, 12 Desember 2008

PERANG CITRA DAN LITERASI POLITIK


Oleh : Gun Gun Heryanto


(Telah Dimuat di Harian SINDO, Jum'at 12 Desember 2008)


Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini, segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009. Berbagai manuver, intrik, managemen konflik serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan memanas. Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye, menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004, memberi kesempatan para kandidat baik capres, caleg maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tuna kuasa tanpa literasi politik yang memadai.

Puncak Perang Citra


Kampanye politik di tahun 2008 memang masih relatif adem-ayem. Para penampil yang akan berebut kekuasaan seolah sadar, bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Dana dan energi disiapkan untuk menggarap massa di waktu yang nantinya berdekatan dengan perhelatan pesta demokrasi. Lima target bidikan waktu selama 2009 tentu telah dihitung dan dianalisis secara seksama. Pada 9 April, akan ada pemungutan suara untuk Pemilu legislatif baik di level DPR, DPRD dan DPD. Perebutan RI-1 dan RI-2 putaran pertama dijadwalkan 6 Juli, sementara putaran kedua jika diperlukan akan digelar pada 21 September. Mereka yang menjadi pemenang dalam pemilu, akan dilantik pada 1 Oktober untuk para anggota legislatif sementara RI-1 dan wakilnya akan ditahbiskan pada 20 Oktober 2009.
Selain target bidikan waktu tadi, jumlah kursi yang tersedia pun menjadi bahan berhitung dalam konstelasi politik yang berkembang. Perang terbuka diprediksi akan berjalan sengit, karena Pemilu langsung menyediakan jumlah kursi yang terbatas. 18.442 kursi akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk di list calon tetap. 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR dan 132 kursi DPD. Begitu pun menyangkut nahkoda negeri ini, hanya sepasang saja yang nantinya dipilih. Wilayah perebutan kekuasaan tadi, mendorong seluruh kandidat untuk all out menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai amunisi perang citra.
Dalam Konggres XIV Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) baru-baru ini di Bandung, terdapat prediksi bahwa Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif membuat potensi iklan politik di seluruh media berkisar antara 8 hingga 10 triliun. Jika mengacu pada peredaran uang di industri periklanan nasional selama tahun 2008 yang berkisar di angka 20 triliun bersih, berarti ada potensi peningkatan yang signifikan.
Sebuah prosesi perang citra tentu saja tidak murah. Pertama, industri pencitraan telah mengakomodasi kandidat sama halnya dengan produk komersial lainnya. Potensi “jualan” yang akan mengenalkan atau meneguhkan brand, berada dalam arus putaran M-C-M (money-commodity-more money). Kedua, di antara saluran-saluran dalam komunikasi politik, media massa menjadi sarana kampanye yang ampuh menjadi peneguh dalam konteks bauran promosi (promotions mix) yang menggunakan pendekatan bidirectional campaign. Pendekatan ini memanfaatkan secara sinergis exposure media massa dengan segala variannya sekaligus juga saluran-saluran konvensional yang sudah mapan berada di masyarakat. Saluran komunikasi politik lain yang dimaksud yakni, saluran face-to-face informal yang menekankan pada loby dan negosiasi, struktur sosial tradisional yang menekankan pada posisi orang dalam suatu hirarki pengaruh, saluran input yang mengoptimalkan hubungan dengan kelompok-kelompok infrastruktur politik yang biasanya memberikan masukan ide, gagasan, tuntutan serta dukungan kepada suprastruktur politik. Terkahir, adalah saluran out put, biasanya dilakukan dengan mengawal perjalanan lahirnya berbagai perundang-undangan dan implementasinya. Dengan demikian perang ini dilakukan di saluran legislatif dan birokrasi.

Kebutuhan Literasi Politik


Pemilu 1999 dan 2004, menunjukkan perang citra melalui media massa telah menjadi trend positif dalam sistem politik nasional. Ini merupakan salah satu hasil dari proses reformasi. Setiap warga negara berhak mengekspresikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politiknya, tanpa harus takut berbenturan dengan politik korportif negara. Sayang, kedua Pemilu tersebut, masih sangat didominasi oleh motif tradisional dan motif rasional-bertujuan. Motif tradisional banyak dipengaruhi lingkungan keluarga, suku, ras atau etnis. Sementara motif rasional-bertujuan, berbasis kepentingan pragmatis individu untuk memperoleh kekuasaan, meski dengan cara apa pun. Baik motif tradisional yang berada di dimensi historisitas berjenjang maupun motif rasional-bertujuan yang berbasis pragmatisme, sama-sama memfasilitasi politik dalam arus yang linear. Yakni, mengalir dari the leadership public atau elit opini ke publik berperhatian (the attentive public) lalu ke masyarakat awam (general public). Jika alur seperti ini juga terjadi di Pemilu 2009, maka dapat diprediksi kalau Pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang transformasional.
Solusi paling tepat dalam membentuk pemilih rasional di Indonesia adalah gerakan literasi politik. Gerakan ini semestinya massif dilakukan oleh pemerintah, partai politik, interest and pressure group serta media massa. Awalnya term literasi ini, populer digunakan di bidang studi dokumen (perpustakaan) dan informasi. Information Literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, President of The Internationl Industry Association. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai orang-orang yang terdidik di dalam mengaflikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. Senada dengan itu, The American Library Association (1996) juga mendefinisikan information literacy sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah.
Literasi kemudian tidak dimaknai secara sempit dalam perspektif studi teks tetapi juga dalam kognisi sosial dan konteks sosial, yakni tumbuhnya masyarakat rasional dan terdidik (educated society). Literasi politik dalam konteks Pemilu dipahami sebagai kemampuan warga masyarakat untuk mendifiniskan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal Pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya. Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan, mensintesakan serta membuat jejaring (network) pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka. Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan literasi politik. Dengan demikian, semestinya kampanye tidak semata-mata mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan untuk menjadi rasional voter.

Rabu, 10 Desember 2008

PESAN PROFETIK KURBAN


Oleh : Gun Gun Heryanto

Prosesi kurban dalam penggalan sejarah yang dialami Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail tak semata persitiwa masa lalu yang kehilangan konteks kekinian. Realitas kenabian (prophetic reality) tentang kurban, seolah menjadi tiang pancang dari proses pencerahan umat manusia akan arti sebuah pengorbanan dalam realitas yang kerap berwajah paradoks. Realitas ibarat sebuah panggung pentas drama yang manyajikan lakon kebaikan dan keburukan, kepatuhan dan pengingkaran, kepedulian dan keangkuhan. Saat akal merasionalisasikan segala hal, ternyata fenomena paradoks di titik tertentu sampai pada titik kebuntuan dan mengharuskan kita secara sadar melakukan pencerahan (iluminasi) melalui titik ketuhanan (God’s spot). Kurban di satu sisi merupakan representasi dari prilaku kepasrahan untuk taat dalam kebulatan tauhid, di sisi lain merupakan manifestasi dari kesalehan sosial untuk peduli pada sesama.

Titik Ketuhanan
Peristiwa kurban yang digambarkan dalam al-Qur’an surat Ash-Shafaat ayat 100-111, memberikan beberapa hikmah pembelajaran, yang tidak semata teologis tapi juga mengandung muatan sosiologis. Pertama, pembelajaran dari Nabi Ibrahim dan Ismail tentang makna sebuah pengorbanan dan ketaatan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun, beliau sangat menghendaki seorang putra. Dengan sungguh-sungguh Ibrahim berdo’a “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh" (QS, 37:100).
Saat Ibrahim dikarunia putra bernama Ismail dari istri keduanya Siti Hajar yang berasal dari Mesir, Ibrahim diuji untuk kehilangan orang yang dicintainya karena perintah Allah SWT. Dalam suatu riwayat, saat itu Ismail kira-kira berusia 6-7 tahun. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ash Shaffaat ayat 102 : "Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu " Ia menjawab: "hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Proses dialog antara bapak dan anak tersebut, menunjukkan bahwa mereka berdua sanggup menafikan ego alami manusia untuk luruh dalam titik ketuhanan. Mimpi berulang-ulang yang diyakini sebagai ru’yal haq menghantarkan laku spiritualitas Ibrahim dan Ismail di level teologis tertinggi yakni kebulatan tauhid. Meskipun, saat mereka mampu melampaui ujian itu, Allah telah menggantikan posisi Ismail dengan binatang kurban.
Kedua, pembelajaran juga dapat kita petik dari keteguhan jiwa Siti Hajar. Saat itu Nabi Ibrahim diberi ujian oleh Allah, agar meninggalkan istrinya, Siti Hajar, di tengah padang pasir dan diperintahkan menemui istri pertamanya, Siti Sarah, yang tinggal di Yerussalem. Siti Hajar dan Ismail hanya dibekali beberapa potong roti dan sebuah guci berisi air. Pada saat mereka kehabisan makanan dan air, Siti Hajar melihat di Bukit Sofa dan Marwah ada air yang ternyata hanyalah fatamorgana. Prosesi berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah hingga berulang tujuh kali, menunjukkan pengorbanan Siti Hajar untuk menjaga Ismail yang diamanatkan kepadanya. Pengorbanan itu pun, telah Allah jawab dengan menunjukkan kemukjizatan berupa keluarnya air yang dikemudian hari dikenal sebagai air zam-zam.
Prophetic Reality
Prosesi sejarah kurban yang diceritakan dalam al-Qur’an tersebut, bisa kita sebut sebagai pesan profetik (prophetic message). Yakni sebuah pesan yang melampaui teologi (beyond teological) dan bernuansa transformatif dalam sebuah ranah realitas sosial yang objektif. Kurban tidak saja bermakna sebuah ritual ibadah tapi juga solusi masalah sosial yang kongkrit. Term profetik dikenalkan oleh Ilmuan sekaligus Budayawan Kuntowijoyo lewat gagasannya “Ilmu Sosial Profetik” yang dilontarkannya dalam buku Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Sebenarnya kalau dirunut, gagasan Kuntowijoyo terinspirasi oleh pemikiran Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Substansi dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia.
Ide penting Iqbal adalah tentang “kesadaran kreatif” (creative consciousness), artinya, realitas “perjuangan” para nabi yang membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. Sementara ide penting Roger Geraudy yakni seputar “filsafat kenabian” (filsafat profetika) sebuah pemikiran yang melihat bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu, telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif.
Sebuah pesan profetik, tentunya mampu mentransformasikan ajaran wahyu menjadi sarana liberasi (pembebasan), emansipasi (penguatan peran), dan transendensi (keimanan). Pertama, kurban mengandung pesan pembebasan, dalam konteks bagaimana umat manusia mampu berkurban dengan segala kemampuan dirinya untuk berbuat baik serta membebaskan orang-orang di sekelilingnya dari berbagai situasi tuna kuasa. Relasi kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kerap menimbulkan situasi subordinatif bagi orang lemah, miskin, dan tak memiliki sumberdaya. Kedua, bagaimana kurban menjadi sarana emansipasi. Artinya, kurban menjadi katalisator produktivitas dan fungsionalisasi peran. Berkurban tidak dalam dimensi berserah diri yang fatalisme, malainkan menumbuhkan solidaritas sosial yang memecahkan masalah (problem solving). Seperti kokohnya jiwa Siti Hajar saat mati-mati berkorban bolak-balik berlari antara bukit sofa dan Marwah. Solidaritas sosial yang menjadi inti pesan kurban, seyogyanya mengarahkan pada peran-peran individu di masyarakat berbasis semangat komunitarian atau semangat ke-kita-an. Ketiga, pesan transendensi. Dalam hal ini, kurban memfasilitasi peneguhan kepercayaan akan pentingnya membangun komunikasi dengan Allah dalam kesadaran irfani. Dalam konteks ini, kesadaran irfani dimaknai sebagai pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan, sebagai bagian esoteris (batin) manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT. Seperti digambarkan dalam kebulatan tauhid Nabi Ibrahim saat diperintahkan untuk mengorbankan Ismail.

Selasa, 25 November 2008

MENYELEKSI TAYANGAN LAYAR KACA


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Koran Jakarta, Sabtu 22 November 2008)

Di banyak diskusi terbatas tentang isi media, sudah jauh-jauh hari program andalan Trans7 “Empat Mata”, yang menghadirkan komedian Tukul Arwana sebagai host diprediksi akan dihentikan tayangannya. Ternyata terbukti, sejak Selasa (4/11/08) malam, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghentikan penayangan program tersebut. Puncak dari pelanggaran “Empat Mata” yang dalam versi KPI tak lagi bisa ditolerir adalah episode 29 Oktober 2008, saat “Empat Mata” menghadirkan Sumanto dan seorang tamu lain yang mempraktikkan bagaimana ia makan kodok hidup-hidup. Dialog dan juga berbagai adegan selama episode tersebut, dianggap sebagai “tayangan yang tidak pantas untuk ditampilkan”.
Aturan Penyiaran
Sebenarnya, sebelum program yang menonjolakan lawakan bercitarasa tukul ini dihentikan, KPI telah memberikan teguran sebanyak tiga kali terhadap tayangan tersebut. Teguran dilayangkan pada 5 Mei 2007, 27 September 2007 serta 25 Agustus 2008 terkait banyak dialog dan adegan yang tidak layak menurut Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Memang, program ini digemari banyak penonton, sehingga begitu kuat percaya diri yang dimiliki oleh pengelola program untuk membiarkan Tukul Sang Komedian mengekplorasi tingkah-polahnya meski kerap menyerempet aturan main dunia penyiaran yang telah disepakati.
Dialog dan adegan Tukul beserta pendukungnya kerapkali tak teredit, terutama di episode-episode yang live. Dialog eksplisit kasar, terkadang menghina fisik secara ekspresif, beberapa kali juga merendahkan martabat manusia seperti memperlakukan diri Tukul atau yang lain sebagai binatang, dan menstimulasi kekerasan verbal seperti kata “tak sobek-sobek!”. Meski semua itu dalam konteks banyolan khas katro-nya tukul, tapi di masyarakat berkembang seperti Indonesia, justru hal-hal tersebut biasanya akan sangat kuat pengaruhnya untuk ditiru sehingga menjadikan hal yang tak pantas tersebut sebagai sesuatu yang lumrah.
Pasal 48 UU no.32 tahun 2002 telah mengamanatkan adanya Pedoman Perilaku Penyiaran, yang diantaranya harus mengatur standar kesopanan dan kesusilaan, pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme. Sehingga, sudah tepat jika KPI dalam pleno mereka untuk memutuskan mengapa “Empat Mata” melanggar, merujuk pada P3-SPS.
Dalam P3-SPS Pasal 28 ayat 3 berbunyi, “lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis”. Sementara di ayat 4 pasal yang sama berbunyi, "Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari".
Dengan demikian, melumrahkan segala bentuk kekerasan melalui ranah siaran media televisi jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran. Tidak hanya kekerasan dalam prilaku tetapi juga ucapan-ucapan verbal yang menstimulasi khalayak membiasakan kekerasan verbalistik. Sebenarnya tidak hanya acara “Empat Mata” apa pun programnya jika melanggar aturan penyiaran harus dihentikan penayangannya. Hal ini bukan berarti pemberangusan media, melainkan melindungi khalayak dari isi media massa yang tak berkualitas.
Kita sudah memiliki regulasi penyiaran yang lumayan memadai, hanya implementasinya hingga kini terkesan masih kurang tegas. Padahal sesungguhnya regulasi itu penting untuk memaksimalkan peran dunia penyiaran di tengah masyarakat. Mike Feintuck dalam bukunya Media Regulation, Public Interest and The Law (1998) menulis, dewasa ini regulasi penyiaran perlu mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku dan isi. Regulasi struktur mengatur pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi berkaitan dengan batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Etika Media
Sebelum “Empat Mata” kita juga ingat KPI pernah menghentikan tayangan smack down di stasiun Lativi pada 29 November 2006. Sederet program sejenis smack down seperti After burn, Raw, Bottomline, Heat, Experience, Extreme Championship Wrestling yang merupakan produksi World Wrestling Entertainment (WWE) dulu melenggang bebas menghampiri publik. Setelah kasus pelarangan smack down di Lativi ini, acara-acara sejenis menghilang dari peredaran. Namun, akhir-akhir ini, gejalanya ada upaya dari pengelola stasiun televisi untuk menghidupkan kembali demam gulat-gulatan atau banting-bantingan, misalnya tayangan ala Gladiator yang siap disuguhkan ke khalayak, mungkin sambil mengetes ingatan khalayak yang biasanya cepat lupa bahwa acara-acara sejenis itu pernah dilarang.
Program di televisi entah itu reality show, news, talk show atau lain-lain harus disadari dapat berpotensi menimbulkan efek peniruan atau imitasi. Oleh karenanya, media massa jangan sampai menstimulasi atau menjadi katalisator lahirnya efek negatif terutama menyangkut kejahatan yang bertolak dari potensi alamiah manusia untuk meniru apa-apa yang disaksikan atau diperolehnya dari media massa.
Gabrial Tarde (1903) seorang sosiolog memiliki pandangan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menyamai atau melebihi tindakan orang di sekitarnya. Bukti kongkritnya adalah kejatahan mutilasi yang di lakukan oleh seorang istri terhadap suaminya yang bernam Hendra belakangan ini. Ternyata, inspirasi untuk memutilasi muncul dari prosesi pembantaian yang dilakukan oleh Ryan melalui tayangan televisi yang ditontonnya. Realitas simbolik kekerasaan tentang Ryan yang ditampilkan media massa, telah jauh melewati makna sebuah berita sebagai sumber informasi yang positif, melainkan telah menjadi medium yang mewartakan simulasi kekerasan secara detail untuk ditiru.
Media massa seyogyanya kembali memikirkan etika. Terutama senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan “Seven Deadly Sins”. Ketujuh dosa mematikan bagi meda massa itu adalah eksploitasi kekerasan, eksploitasi anak di bawah umur, menstimulasi pencabulan, dramatisasi fakta palsu, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), melakukan penghakiman oleh pers (trial by the press), serta menghembus-hembuskan konflik SARA. Tingkat information literacy yang ada di masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga media mesti benar-benar melindungi hak-hak publik untuk mendapatkan isi media yang berkualitas.

METAMORFOSIS GERAKAN RADIKAL




Oleh : Gun Gun Heryanto

Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra pelaku bom Bali yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, telah dieksekusi mati Minggu dini hari (9/11) pukul 00.15 WIB di Nusakambangan setelah permohonan PK mereka di tolak. Ini merupakan babak akhir drama kehidupan dunia, bagi ketiga orang anak bangsa yang memiliki interpretasi ajaran agama secara berbeda dari arus utama warga di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Jenazah Imam Samudra telah bersemayam di tanah kampung halamannya, Lopang Gede, Serang Banten. Sementara Amrozi dan Mukhlas alias Ali Ghufron telah beristirahat abadi di tanah Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Eksekusi dengan cara ditembak, menjadi penanda mahalnya sebuah cita-cita yang mereka perjuangkan. Lantas akan matikah gerakan radikal pasca eksekusi mereka ? tentu tidak, karena sosok Amrozi Cs, bisa jadi akan bermetamorfosis dalam diri pewaris pemikirannya. Bisa dari anak atau kerabat yang memiliki pola pikir serupa atau kader dan temen seperjuangan yang senantiasa mecintai ketiga orang itu sebagai syuhada.

Transformasi Gerakan

Kasat mata terlihat di berbagai media massa, begitu banyak kerabat, kolega dan teman Imam Samudra yang mencoba menggelorakan semangat perjuangan yang telah ditunjukkan Amrozi Cs. Bahkan, di bebarapa tempat photo dan spanduk berhias wajah mereka ditulisi “pejuang”, “syuhada”, “penerus nabi” dll. Ini bukti bahwa, meski hukum formal negara telah merenggut jiwa dari raga mereka, namun transformasi spirit gerakan radikal sepertinya akan terus mengalir.
Transformasi gerakan radikal paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama lingkungan makro antaralain sistem politik global, sistem kenegaraan, market struktur, sistem budaya dll. Misalnya saja relasi antagonisitik yang dibangun Amerika di bawah komando “Koboy Texas” George Bush dengan kebijakan unilateralismenya, telah menyebabkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris” “ekstrimis” “pasukan setan” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pula yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak, Iran, Lybia, termasuk juga di Indonesia. Sentimen anti Barat mengemuka termasuk saat terjadinya Bom Bali.
Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan keasadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Sangat wajar jika suatu pesantren atau sekolah yang terus-menerus, sistemis dan terorganisir menghidupkan cara pandang ekstrim tentang agama, maka akan banyak lahir kader militan yang siap mati karena memperjuangkan apa yang mereka yakini. Sekali pun dengan cara kekerasan, karena hal tersebut masuk dalam kategori “investasi syurga”. Keluarga pun bisa menjadi katalisator. Misalnya, dengan wasiat untuk meneruskan jejak langkah orangtuanya berjuang bak “pahlawan di Perang Badar” , bisa jadi seorang anak suatu saat mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli perakit bom atau ahli teror.
Ketiga, orientasi kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Bentuknya adalah kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi yang diikuti, eksternalisasi diri agar tampil ke publik menebar teror dan ancaman ketakutan sehingga memperoleh liputan media massa, dan pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-orientasi kepribadian ini perlahan tapi pasti dapat menstimulasi semangat radikalisme dengan wajah kekerasan.

Motif Radikalisme

Sosiolog Max Weber membagi motif prilaku politik menjadi : motif rasional-bernilai, motif afektif-emosional, motif tradisional dan motif rasional bertujuan. Jika menggunakan kategori motif tadi, nampak bahwa penganut radikalisme Islam atau agama apapun, mencoba membangkitkan motif rasional-bernilai. Sebuah motif yang didorong oleh semangat untuk mengimplementasikan norma-norma tertentu yang dipahamai sebagai kebenaran. Dengan nalarnya, seseorang mencoba untuk menelaah konsep normatif tersebut ke dalam sebuah gagasan operasional untuk diperjuangkan. Dengan kata lain, motif ini adalah rasionalisasi dari apa yang seharusnya atau apa yang ideal. Hanya saja, rasionalitas dalam konteks ini, kerap tunduk pada gagasan akan kebenaran yang telah diyakininya. Sehingga muncul ekslusifisme. Gerakan menjadi tertutup, sistem sel, dan monolayalitas pada komando dari imam yang yakini telah diamanati oleh Tuhan sebagai pemimpinnya.
Tentu saja, dalam praktiknnya motif ini akan menjadi daya dorong yang kuat bagi munculnya gerakan radikal terlebih jika bertemu dengan momentum ketidakadilan, ketidaksejahteraan dan instabilitas politik di masyarakat.

Jumat, 14 November 2008

KEBIJAKAN 'SOFT POWER' OBAMA


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Merdeka, Jum'at 14 November 2008)

Kemenangan Obama pada Pemilu Amerika 4 November lalu tak hanya menyihir warga Amerika tapi juga warga dunia. Mantra “Yes we can!” yang selalu diteriakan Obama selama kampanye menuju Amerika-1, tak hanya sakti membangkitkan optimisme yang melimpah di Amerika, tetapi juga menjadi inspirasi sangat kuat bagi penduduk dunia. Di berbagai belahan penjuru dunia baik Barat maupun pun Timur, di negara-negara muslim, komunis atau liberal-sekuler muncul gejala obamamania, obama effect atau obamanomic. Gejala yang melawati batas-batas teritorial sebuah negara-bangsa ini, tidak serta merta ada dan menasbihkan Obama sebagai icon global tanpa pribadi inspiratif yang memancar dari aura kepribadian “The Hotest Global Idol” ini. Kini Obama sedang sibuk menyiapkan sebuah tim bernama “Proyek Transisi Obama-Biden” guna menyiapkan diri untuk mengendalikan Gedung Putih. Selain juga menyiapkan prosesi hari pelantikan 20 Januari 2009 yang diberi tema sarat nilai filosofis “A New Birth of Freedom”.

Kemenangan Multikultural

Mengapa kemenangan Obama disebut-sebut sebagai fenomena sejarah luar biasa dan inspiratif dalam politik Amerika dan juga dunia? Salah satu jawabannya tentu saja adalah Obama menandai sebuah babak baru politik Amerika berwajah multikultural. “Change we need” slogan kampanye Obama seolah menjadi penegas bahwa Amerika butuh perubahan. Sebuah perubahan dari Amerika yang arogan, bergaya cowboy ala George W Bush menjadi Amerika yang santun, menekankan pada keutuhan dan harmoni tidak saja di dalam negeri Amerika yang sedang mengalami sunami ekonomi, melainkan juga dengan negara-negara lain.
Mimpi Amerika untuk menghargai keberbedaan (unity in diversity) terpatri dalam prosesi kemanangan Obama. Informasi terkahir menunjukkan, warga kulit putih yang berjumlah 74 persen dari total pemilih, 43 persen diantaranya mendukung Obama. Warga kulit hitam yang berjumlah 13 persen dari pemilih, 95 persen mendukung Obama. Warga Hispanik yang berjumlah 9 persen dari pemilih, 67 persen mendukung Obama. Begitu pun dengan warga Amerika keturunan Asia yang mencapai 3 persen dari total pemilih, 62 persen dari mereka mendukung Obama.
Obama didukung oleh kurang lebih 56 persen perempuan AS sementara McCain 43 persen. Dukungan pemilih di bawah usia 30 tahun, 66 persen mendukung Obama 32 persen dukung McCain, dan 68 persen pemilih pemula memilih Obama sementara McCain hanya 31 persen. Informasi terakhir dari The Associated Press dan Edison Media Research, Rabu (5/11), Obama telah malampaui ketentuan minimum suara electoral college yang ditentukan yakni 270 suara, dengan mengumpulkan 349 suara dan kemungkinan masih bisa bertambah dari suara di Missouri dan North Carolina.
Dengan demikian pemilih kulit hitam, putih maupun kuning; warga pribumi maupun pendatang atau imigran, pemilih tua maupun muda dimenangi obama secara telak. Sebuah kemenangan yang menjadi pesan kuat bahwa Amerika telah memandatkan harapan akan perubahan meski sosok yang diberi mandat secara ras, etnis, warna kulit maupun usia jelas-jelas berbeda.

Soft Power Vs Warmongering

Babak pencitraan tentu saja akan segera berlalu dan akan berganti babak realitas politik yang sarat dengan masalah terutama berbagai krisis yang diwariskan dari dua periode pemerintahan Bush.
Satu diantara harapan besar yang digantungkan pada Obama adalah kebijakan menyangkut posisi Amerika di tengah bangsa lain di dunia. Sejumlah investasi masalah terutama menyangkut kebijakan unilateralisme Bush telah membuat citra Amerika terpuruk. Amerika di bawah kendali Bush sangat diwarnai semangat warmongering. Dalam komunikasi politik, istilah ini memiliki makna teror berbentuk propaganda yang menghembus-hembuskan perang. Ciri dominan yang dilakukan dalam propaganda ini, Bush sebagai propagandis kerapkali menggunakan sebutan-sebutan buruk pada lawan yang dituju untuk tujuan menjatuhkan. Kosakata “teroris” “evil” “penjahat demokrasi” mengalir deras dari berbagai kalimat Bush terutama setelah peristiwa WTC.
Disadari atau tidak Bush telah membangun relasi antagonistik antara Amerika dan kelompok-kelompok radikal seperti radikal Islam. Bush mengumandangkan semangat “suci” perang melawan terorisme dengan menegaskan Amerika sebagai kelompok putih penganut demokrasi, sementara kelompok radikal yang membencinya sebagai kelompok hitam, penganut anti demokrasi yang tidak perlu ditoleransi.
Warmongering ini dalam praktik Bush memang didominasi oleh teknik name calling. Yakni propaganda dengan memberikan ide atau label buruk. Tujuannya agar masyarakat internasional menolak atau meragukan kelompok dan negara yang diberi label tersebut. Bush misalnya melabeli Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “poros kejahatan”. Tentu tujuannya untuk membatasi sekaligus menjatuhkan kredibilitas ketiga negara yang terkenal sebagai pembangkang kebijakan Bush.
Perang terhadap terorisme telah menempatkan Bush sebagai Cowboy dunia. Menyerang Irak, menguasai Afghanistan, memenjarakan orang-orang yang dianggapnya berbahaya di penjaran-penjara “siluman” serta merongrong dan menekan habis-habisan Iran. Pemerintahan Bush pernah mempopulerkan kebijakan carrot and stick. Memberi bantuan negara-negara yang mendukung Amerika, sekaligus memukul negara-negara yang tidak taat. Banyak negara yang dibuat ketakutan untuk ikut serta dalam proyek perang terhadap terorisme ala Bush ini. Sehingga, selama tongkat komando di pegang cowboy texas ini, angin perang berhembus kencang dan menciptakan kegelisahan warga dunia.
Kini, Obama menggenggam kekuasaan yang sah (legitimate power) hasil dari pemandatan yang dramatis. Saatnya obama membuktikan janji pendekatan Soft power yang selama ini membuat warga dunia memalingkan perhatian dan takzub kepadanya. Pendekatan soft power merupakan cara mendahulukan dialog, duduk bersama atau diplomasi untuk mengurai berbagai relasi antagonistik dengan pendekatan-pendekatan damai. Mengurangi cara-cara peragaan kekuasaan dan ancaman (coercion) serta menghindari penggunaan tekanan fisik (force).
Saat kampanye, Obama berjanji akan mengakhiri konflik di Irak dan Afghanistan, dengan cara menarik secara bertahap pasukan Amerika dari kedua negara tersebut. Janji lain, Obama akan mengembangkan dialog dengan Iran khususnya dan negara-negara Timur Tengah lainnya untuk mencari solusi dari berbagai persoalan yang mencuat di kawasan tersebut.
Pendekatan soft power yang nampak kuat tercermin dalam sosok dan pemikiran Obama telah menghantarkan Obama menjadi Idola baru dunia. Terlebih, jika Obama mampu mengimplementasikan kebijakan soft power-nya itu, maka tidak mustahil dia akan selalu dikenang sebagai sosok pahlawan multikultural, simbol pemersatu dunia sepanjang masa.

Selasa, 11 November 2008

HISTORISITAS BERJENJANG


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, Senin 10 November 2008)

Satu lagi putra terbaik dari Jawa Barat ditasbihkan sebagai Pahlawan Nasional dan dianugrahi Bintang Mahaputera Adhipradana oleh Presiden SBY, Jum’at (7/11). Sosok tersebut tak lain adalah KH. Abdul Halim (alm.) yang bersama-sama tokoh bangsa lainnya yakni Muhammad Natsir dan Soetomo (Bung Tomo) dimulyakan nama dan karyanya sebagai sosok yang sangat layak terpatri dalam sejarah sebagai pahlawan nasional. Meski, sebelum mereka dianugrahi gelar tersebut pun, di lubuk hati masyarakat yang terdalam, mereka telah menjadi bagian utuh dari cerita dan simbol kepahlawanan bangsa ini. Tentunya, simbol pahlawan yang disematkan dalam jiwa dan pengorbanan mereka, tak lahir secara instan apalagi melalui kekuatan represif sebuah rezim yang berkuasa, melainkan melalui historisitas yang berjenjang.

Proses Simbolik
Banyak pihak yang mengatakan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional bagi ketiga tokoh tadi terlambat. Namun jika dibaca dari sudut pandang berbeda, siapa pun orangnya, tatlaka dia mendedikasikan diri seutuhnya bagi negara dan bangsa tanpa pamrih, maka dia akan dicatat dengan tinta emas sebagai sosok pahlawan. Cepat atau lambat masyarakat sendiri yang akan menyadari bahwa dia adalah simbol pahlawan sejati.
Kekuatan rezim manapun tak akan sanggup menghapus ingatan masyarakat, penjara mana pun tak akan mampu membendung semangat kepahlawanan yang memancar dari diri mereka. Misalnya saja, Orde Baru menganggap Natsir sebagai tokoh yang tidak Pancasilais sekaligus pemberontak melalui Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tokoh Masyumi ini, dianggap berbahaya karena bermaksud mendirikan negara Islam. Padahal yang dicita-citakan Natsir sesungguhnya adalah negara atas dasar Syariah Islam, itu pun dengan catatan jika dikehendaki secara mayoritas. Begitu pun Bung Tomo, tokoh pertempuran 10 November 1945 ini, selama Orde Baru tidak dikehendaki sebagai pahlawan. Bahkan setelah masa reformasi pun, upaya menjadikan Bung Tomo sebagai pahlawan nyaris gagal. Tahun lalu kita masih ingat, upaya Gerakan Pemuda Anshor, DPRD Jawa Timur dan elemen masyarakat lainnya berujung kekecewaan karena Departemen Sosial ternyata tidak mengusulkan Bung Tomo mendapat gelar pahlawan. Saat itu, berbagai spanduk dijalanan seolah menjadi penanda paling nyata bahwa masyarakat benar-benar menghendaki Bung Tomo menjadi pahlawan mereka.
Kiprah KH. Abdul Halim tak diragukan dalam kontribusinya bagi bangsa dan negara. Tokoh yang lahir di Majalengka, Jawa Barat 26 Juni 1887 ini telah mendirikan Hayatul Qulub pada tahun 1912, yang dengan fokus membela para petani dan pedagang pribumi dari ketidakberdayaan. Mendirikan Persjarikatan Oelama (1917), menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertanggungjawab menyiapkan berbagai hal terkait dengan pembentukan negara. Jasa yang diapresiasi oleh pemerintah dalam penganugrahan gelar kepadanya pekan lalu adalah sebagai anggota Panitia Pembelaan Tanah Air.

Kiprah seorang pahlawan bisa saja dimanipulasi lewat versi sejarah yang bias, atau direduksi melalui berbagai media, tapi kenyataan sejatinya tak akan mampu menghapus proses simbolik yang ada dimasyarakat. Contoh lain, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Franklin Delano Roosevelt, merupakan bukti bahwa keikhlasan tak bisa mati karena dipenjarakan, disakiti atau pun disudutkan dalam rentang waktu yang panjang.
Simbol pahlwan ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbolisme menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Karya, perjuangan, pengorbanan yang terus menerus bagi bangsa dan negara merupakan prasyarat simbolisme pahlawan melekat pada diri seseorang. Menurut Deddy Mulyana (2000), simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Dengan demikian kata kunci menjadi pahlawan adalah historisitas berjenjang atau prosesi mendedikasikan setiap penggal perjalanan hidupanya secara konsisten untuk bangsa dan negara. Sehingga, masyarakat di negara itu akan bersepakat untuk mentasbihkan diri seseorang sebagai Pahlawan.

Pahlawan Kontemporer
Sejarah belum berkahir, lembaran kehidupan terus bergulir seiiring dengan dinamisasi waktu dan persoalan. Kini kian banyak orang yang mencitrakan dirinya seolah menjadi pahlawan. Ada yang tanpa ragu-ragu menyebut dirinya pemimpin para petani dan pedagang kecil meski pun dia tidak pernah merasakan sakitnya menjadi petani dan pedagang kecil yang terpinggirkan. Ada juga yang mengaku bagian dari “wong cilik” meski saat diberi kesempatan memimpin ternyata menyengsarakan mereka. Melalui berbagai instrumen industri pencitraan, banyak tokoh nasional kita yang harus membayar mahal untuk menjadi pemimpin. Membeli slot iklan di media massa, menyewa konsultan politik, melakukan riset pemilih, menentukan segmentasi khalayak dan hal-hal lain sebagai bagian dari maketing politik.
Menurut pakar Komunikasi Politik, Dan Nimmo (1993), bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu.
Harapan masyarakat tentunya adalah kiprah tulus tanpa pamrih dari seorang pemimpin untuk berjuang secara konsisten dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia berjuang bukan karena menghadapi Pemilu, melainkan dalam rentang historisitas berjenjang perjalanan hidupnya. Tanpa harus memproklamirkan diri menjadi pahlawan pun, masyarakat akan dengan sukarela mamandatkan kepemimpinan di pundaknya. Sekali pun tidak merengkuh jabatan formal, maka dia akan hidup di hati sanubari khalayak luas. Sehingga, suatu hari nanti dia akan dikenang sebagai pahlawan, meski pahlawan tanpa anugrah tanda jasa sekali pun.

Rabu, 10 September 2008

RAMADHAN DAN INDUSTRI TELEVISI

Gun Gun Heryanto


Bulan Ramadan telah menghadirkan kembali suasana religius di tengah masyarakat. Semaraknya bulan puasa ini, tak semata-mata menghadirkan kesucian dalam konteks ibadah di level individu dan komunitas muslim, melainkan juga kian meneguhkan ‘ritus’ tahunan yang mapan terpola di industri media massa terutama televisi. Realitas simbolik Ramadan yang diusung televisi, menghadirkan suasana hingga ke ruang-ruang keluarga. Bagi industri televisi, hal ini tentu saja momentum penting yang sangat menguntungkan bagi proses kumulasi ekonomi. Dengan segmen dan kecenderungan berprilaku dari khalayak yang mudah diprediksi selama Ramadan, pelaku industri televisi sangat intens melakukan proses komodifikasi program. Meminjam terminologi Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communications (1996), komodifikasi merupakan upaya mengubah data dan fakta menjadi sistem makna yang dipasarkan.
Realitas Simbolik
Seluruh stasiun televisi baik nasional maupun lokal, terutama yang berkategori lembaga penyiaran komersial, berlomba-lomba mengemas reality show, sinetron, talk show, komedi, ceramah keagamaan dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak yang dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadan.
Sejumlah program komedi, tetap menjadi jualan paling ampuh berbagai stasiun televisi di Ramadan tahun ini. Sebut saja program Sambil Buka Yuk, Pas Ramadhan Dapat Berkah (Pasrah), Bajaj Bajuri, Cagur Naik Bajaj, dan ”Tawa Sutra XL” (di ANTV), Empat Mata Sahur Seru (Trans7), Saatnya Kita Sahur (TransTV). Program-program komedi sejenis juga hampir merata dimiliki oleh stasiun televisi lain. Program komedi yang biasanya dipasang menjelang buka puasa dan sahur ini, banyak yang isi lawakannya cenderung slapstick atau konyol. Jika pun ada ceramah dari ustadz atau kyai, hanya menjadi pelengkap penderita karena durasinya yanng sangat singkat.
Selain lawakan, realitas simbolik Ramadan di televisi juga didominasi oleh sinetron religi. SCTV misalnya menjual sederet sinetron anataralain Zahra, Annisa, Rinduku CintaMu, dan Kumpulan Cerita Ramadan, Para Pencari Tuhan-2. Seolah tak mau kalah, Indosiar juga membesut sederet sinetron seperti Tasbih Cinta, Jihan, Syarifah, dan Muslimah. Selain juga menjual acara variety show dan kuis. Dari sekian acara tersebut, yang cukup serius orientasi nilai-nilai edukatifnya sebut saja talk show Hikmah Ramadan, Tafsir Al Misbah, Ensiklopedi Islam, Sukses Syariah di MetroTV. Cerita yang cukup logis dengan pesan sarat nilai juga dapat kita temukan di Senitron-kuis Para Pencari Tuhan-2.
Posisi Media
Kiprah stasiun-stasiun televisi dalam menyemarakan Ramadan masih banyak menuai kritik. Kerapkali tuduhan keras terlontar, bahwa televisi hanya memanfaatkan Ramadan sebagai ladang bisnis tahunan, tanpa mengkaji lebih dalam substansi Ramadan itu sendiri. Ada beberapa catatan penting dalam menilai posisi media massa termasuk televisi dalam konteks Ramadan.
Pertama, harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh dan berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini, penulis setuju dengan pendapat Shoemaker dalam bukunya Mediating the Message (1991), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dengan demikian, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audiens bagi monopoli penjualan pengiklan. Selama bulan Ramadan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula rating program tersebut. Dengan demikian yang menjadi pertimbangan bukan baik atau buruknya isi siaran, melainkan rating penontonnya.
Kemasan Ramadan dalam konteks ini, tidak ada bedanya dengan masa Olimpiade di China belum lama ini, atau musim Liga Premier sepakbola Inggris. Bisa juga dipersamakan, dengan masa kampanye Pemilu 2009 yang saat ini sedang berlangsung. Sama-sama memiliki segmen khalayak yang jelas dan dipersatukan oleh ikatan ideologi atau nilai normatif tertentu. Olimpiade dipersatukan oleh semangat kebersamaan (unity in diversity), kampanye dipersatukan oleh ideologi politik, sementara Ramadan dipersatukan ideologi atau spirit agama. Momentum tersebut sama-sama membentuk basis massa dan segmen khalayak yang jelas menguntungkan bagi media.
Kedua, meskipun wajah industri tergambar nyata dalam gebyar paket Ramadan di televisi, tak bisa dinafikan bahwa televisi menjadi entitas sosial yang sangat berpengaruh. Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas Ramadan telah memungkinkan khalayak dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi serta memberi label. Sebagai institusi sosial, televisi memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan menjangkau khalayak luas, dengan demikian televisi tampil kian digandrungi khalayak, termasuk selama bulan puasa seperti sekarang ini.
Kualitas Program
Guna meningkatkan kualitas program-program Ramadan di televisi, ada beberapa catatan kritis yang seyogyanya menjadi bahan perhatian kita semua. Pertama, harus proporsionalnya perimbangan antara program yang bermuatan edukasi dengan yang entertainment. Dengan konsep dan inovasi kreatif serta didukung produksi yang baik, tentu bisa lebih menghadirkan kesemarakan Ramadan di layar TV, tanpa mendistorsi muatan nilai yang terkandung di dalamnya. Proporsionalitas termasuk juga menyangkut durasi waktu yang digunakan oleh sebuah program yang ditayangkan.
Kedua, kualitas bahasa dan tindakan simbolis yang digunakan untuk menyimbolkan keagungan bulan Ramadan seyogyanya terjaga. Jangan karena mengejar keuntungan tayangan, stasiun-stasiun TV terjebak pada model identifikasi mitis dan distansi alegoris. Identifikasi mitis artinya melebih-lebihkan kesatuan identitas Ramadan, antara tindakan simbolis dengan apa yang disimbolkannya. Sementara distansi alegoris, justru mengkonstruksi realitas Ramadan terlampau berbeda dengan substansinya, sehingga menyebabkan keterasingan Ramadan dari hakekat yang sesungguhnya. Ramadan cukup disimbolkan sebagai bulan evaluasi dan refleksi dalam peneguhan sosok manusia penyabar, peduli, memiliki komitmen sosial dan mampu mengendalikan dirinya. Sehingga khalayak dapat menyingkap simbol itu dan terpengaruh baik secara kognisi, afeksi maupun konasinya. Kerap kali kita perhatikan, produk media pada paket acara Ramadan bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan substansi Ramadan. Hal ini perlu perhatian dari para pekerja media televisi, karena bagaimana pun seluruh isi siaran harus bertanggungjawab terhadap terlindunginya hak publik untuk mengakses program yang berkualitas. Terlepas dari plus minusnya media dalam sistem industri, televisi tetap menjadi media massa yang dibutuhkan khalayak.

ARTIKULASI POLITIK CALEG ARTIS




Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, Sabtu 30 Agustus 2008)

Satu fenomena menonjol dalam komposisi caleg Pemilu 2009, yakni maraknya caleg dari panggung hiburan. Artis dari berbagai ranah entertainment, mulai ‘dilabeli’ partai menjadi bagian dari strategi pemasaran politik guna mendulang suara sebasar-besarnya dari kontestasi politik yang akan memuncak di tahun depan. Label politik sebagai caleg partai ‘A’ atau caleg partai ‘B’ tentu merupakan muara dari sekian proses negosiasi politik panjang sebelumnya. Hal ini tentu saja tidak sederhana karena melibatkan kepentingan politik, prestise, anasir kekuatan ekonomi dan yang tak kalah kompleknya adalah rancang bangun strategi politik partai untuk membawa partai bersangkutan ke pusaran utama kekuasaan mendatang.
Politisi Wakil
Pesta demokrasi akan menghadirkan ornamen kian gemerlap dengan hijrahnya “para penghibur” ke dunia politik. Sebuah hijrah dari panggung simbolik hiburan ke panggung politik yang kerapkali sama-sama membangun realitas mimpi bahkan hyper reality. Panggung hiburan dan panggung politik sama-sama menuntut citra, reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain di luar substansi peran dan tanggung jawab publik masing-masing.
Tak tanggung-tanggung, partai politik yang di masa sebelumnya lekat dengan caleg dari kaum intelektual seperti PAN, kini memboyong sejumlah artis dalam daftar calegnya. Deretan nama para pesohor seperti Wulan Gurtino, Marini Zumarnis, Eko Patrio, Ikang Fawzi, Derry Drajad, Adrian Maulana, Raslina Rasyidin, Tito Soemarsono, Maylaffayza, Mandra, Mara Karma, Cahyono, Krisna Mukti, Henidar Amroe, Eka Sapta, Lucky Artadipraja, Intan Sevilla, Poppy Maretha, Irene Librawati terpampang menjadi ‘jualan manis’ PAN.
Begitu pun dengan Partai Golkar, caleg artis yang diusungnya antara lain, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Jeremy Thomas dan Dharma Oratmangun. Caleg artis dari kubu PPP adalah Marissa Haque, Evie Tamala, Lyra Virna, Ferry Irawan, Okky Asokawati, Ratih Sanggarwati, Emilia Contessa, Denada, Mieke Wijaya, Rahman Yacob, dan Soultan Saladin. Sementara PDIP memasang Rieke Dyah Pitaloka, Edo Kondologit dan Dedy "Mi`ing" Gumelar. Fenomena ini pun terjadi di partai-partai peserta Pemilu 2009 lainnya.
Banyak dari para caleg artis tadi, tanpa harus berkecimpung dan berkeringat dalam mekanisme kepartaian bisa dengan nyaman tampil menjadi politisi dadakan. Ini yang dalam tulisan teoritisi komunikasi politik, Dan Nimmo (1989), disebut sebagai komunikator atau politisi wakil. Ada dua jenis politisi, pertama politisi wakil yakni politisi yang menjadi perwakilan artikulasi politik individu atau kelompok. Biasanya, mendapatkan keuntungan berupa hak istimewa untuk masuk ke jabatan publik baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa harus menguji militansi, loyalitas, dan intensitas dalam artikulasi politik mereka.
Kedua, politisi ideolog yakni politisi yang merepresentasikan nilai-nilai normatif dan loyalitas individu atas perjuangan politik kolektif yang diusung partai politik. Meskipun politisi wakil dan ideolog membawa label partai yang sama, substansi dan pembobotan aktivitasnya tentu saja sangat berbeda. Politisi wakil, bukan lahir dari suatu mekanisme kaderisasi yang panjang, melainkan karena ‘magnet popularitas’ yang dianggap memadai untuk menjadi duta artikulasi politik partai. Dalam konteks inilah, seringkali caleg instan atau caleg dadakan mendapatkan momentumnya.
Lantas salahkah jika sang penghibur ini terlibat dalam panggung politik? Tentu saja tidak, karena partisipasi politik merupakan hak setiap warga negara. Terlabih jika artis-artis itu sejak awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson dalam buku No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries, menyebutan fokus utama partisipasi politik adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).
Andai saja para penghibur ini memandang perlu artikulasi politik yang sistemik, untuk mempengaruhi atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang lebih baik, maka partisipasi politik mereka layak mendapatkan apresiasi. Begitu pun sebaliknya, jika partisipasi itu sekedar “panggung sandiwara” berbekal nama dan popularitas tanpa paham ranah permainannya, maka tentu saja mereka akan sekedar menjadi ornamen penghias suasana, atau paling bagus mereka menjadi mesin-mesin efektif pendulang suara (vote getter) di saat Pemilu.
Distribusi Power
Aktualnya minat berpolitik caleg artis tak lepas dari adanya distribusi power dalam komposisi penetapan caleg. Sebuah distribusi yang dalam tradisi politik di Indonesia memungkinkan laris-manisnya caleg elit atau caleg dadakan. Keempat jenis power tersebut antaralain :
Pertama Influence power, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan prilakunya secara sukarela. Kolaborasi fungsional antara si artis dengan media massa akan menyulap segala sisi kehidupan “si penghibur” ini menjadi urusan publik. Sihir dunia hiburan seringkali mensubordinasikan kesadaran khalayak di titik nadir. Fenomena fans club mewabah menjangkiti khalayak dalam arus utama budaya populer. Media massa turut memiliki andil dalam membangun interkoneksitas antara para penghibur dengan khalayak luas dalam dimensi persuasif.
Kedua, reference power yakni kekuatan yang melekat pada diri seseorang, bukan karena kekuatan dirinya melainkan karena kekuatan orang lain di luar dirinya. Tradisi politik kita pun mencatat, betapa banyak politisi yang menjadi “The Rising Star” karena dia merupakan anak biologis, kerabat atau sekedar anak didik dari politisi dan pejabat publik. Sederet tokoh politisi muda saat ini, sebut saja Puan Maharani (anak Megawati),Yenny Wahid (anak Gus Dur), Sutrisno Bachir (suksesor Amien Rais) dan lain-lain. Seiring perjalanannya mereka akan menjadi tokoh menentukan karena aliran reference power yang mereka miliki. Di dunia entertainment pun terjadi, para penghibur memiliki kekuatan dari ibu, bapak, kerabat dan lain-lain yang telah populer lebih dulu. Sebut saja pencalonan Denada oleh PPP, sangat mungkin karena ‘sentuhan’ Emilia Contessa di partai berlambang Ka’bah tersebut. Kekuatan seperti ini, dibanyak kasus memang menyediakan keterbatasan rasionalitas bahkan di level tertentu mereduksi nalar kritis, karena menyuburkan politik patron client.
Ketiga reward power, yakni kekuatan yang muncul karena kekuatan memberi. Inilah salah satu kekuatan para artis dari dunia hiburan. Banyak dari mereka telah memiliki kekuatan finansial memadai. Artis bisa menjadi salah satu lumbung partai selain juga dapat mendongkrak popularitas partai bersangkutan. Sangat wajar jika banyak partai politik meminang para artis guna meningkatkan pendapatan partai sekaligus dapat memanfaatkan free ride publicity dari sosok “si penghibur” tadi.
Keempat expert power, yakni kekuatan yang ada pada sosok si penghibur karena keahliannya. Kita tak menyangkal, bahwa ada juga artis yang menjadi caleg betul-betul karena dia memang memiliki kemampuan di ranah politik. Sebagai contoh, sebut saja misalnya nama Nurul Arifin (Caleg Partai Golkar) dan Rieke Dyah Pitaloka (Caleg PDIP). Selain mereka rajin mengasah pengetahuan politik di pendidikan formal dan LSM, mereka juga banyak terlibat secara serius di isu-isu yang terkait dengan perhatian mereka.
Sekali lagi perlu kita tegaskan, berbondong-bondongnya para artis hijrah dari panggung hiburan ke panggung politik, jangan sekedar menjadi ornamen glamournya partai yang mencalonkan, akan tetapi menjadi momentum artikulasi politik mereka di dunia nyata dan bukan di dunia peran.

Selasa, 19 Agustus 2008

KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PILKADA : PERSPEKTIF KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasi di Jurnal Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta, Edisi November 2008)

Abstrak :

Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Dalam proses penyelenggarannya, banyak konflik muncul tak hanya di level elit politik yang bertarung memperebutkan kursi, melainkan juga terjadi di level horizontal yakni antara sesama warga masyarakat. Sesungguhnya, substansi Pilkada jika kita lihat dari perspektif komunikasi politik dapat menjadi saluran institusional konflik politik. Dengan mekanisme yang disepakati, konflik politik bisa terwadahi dengan baik. Namun dalam praktiknya, berbagai kesepakatan dalam mekanism Pilkada kerapkali dilanggar sehingga konflik aktual di ruang publik yang tidak sistemis.

Kata Kunci :
Konflik, Pilkada, Political Performance, Komunikasi Politik

Pendahuluan
Tensi politik di wilayah yang menyelenggarakan Pilkada biasanya memanas seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam Pemilu. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang. Menurut Deliar Noer, Politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat (Deliar Noer, 1983 : 6)
Kegiatan politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik. Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. (Miriam Budiarjo, 1998 : 1-2).
Pendapat hampir serupa dikemukakan dalam buku McClosky yang memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. The term “Political Participation”Will ever to those Voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the Formation of public policy (Herbert McClosky, 1972 : 252).
Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson menggarisbawahi bahwa partisipasi adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak Efektif”. By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective (Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson 1977 : 3)
Penyelenggaraan Pilkada tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Seluruh partai memiliki kepentingan, begitu pun individu kandidat yang hendak bertarung. Mereka akan mengoptimalkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan dari para pendukungnya masing-masing. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik besar di daerah. Partsipasi politik warga masyarakat kerapkali juga tidak dalam domain kesadaran pemilih rasional (rasional voter) melainkan keasadaran palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.

Sumber Konflik dan Political Performance
Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk berdemokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah. Momentum ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) di pemerintahan pusat maupun daerah dalam suatu sistem demokrasi. Indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham ada lima, yakni :
Pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasiah tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers (Bingham Powel Jr, 1982 : 3)
Kenyataan di bebarapa Pilkada yang sudah terselenggara banyak yang tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai hasil yang syah, sehingga muncul gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yang kalah. Di banyak tempat, Pilkada juga tidak memiliki sistem pengorganisaian perundingan. Buktinya seperti di kasus Pilkada Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, saluran perundingan tidak tertata secara baik. Berbagai pihak otoritatif seperti KPU, DPRD juga Mentri Dalam Negeri tidak memiliki wibawa untuk membawa konflik pasca Pilkada secara lebih elegan. Faktor lain, masih banyaknya orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada. Hal ini indikatornya adalah tingginya golput, bahkan di beberapa provinsi dan kota utama di Indonesia golput ”memenangi” Pilkada. Jika golput memenangi Pilkada artinya begitu kuatnya ketidakpercayaan dari warga masyarakat kepada sistem penyelenggaran Pilkada akan melahirkan perbaikan nasib mereka ke depan. Faktor selanjutnya adalah masih adanya ketidakrahasiahan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak dasar warga negara. Kasus di beberapa Pilkada, warga memilih karena berada dalam tekanan baik dari organisasi massa, organisasi keagamaan, preman politik dan lain-lain. Berbagai tekanan yang dirasakan menyebabkan warga kehilangan kritisisme, kehilangan hak memilih sesuai nurani dan lain-lain. Jika semua itu terjadi, maka political performance di sebuah daerah dengan sendirinya akan buruk dan berpotensi melahirkan konflik pasca pilkada.
Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya, konflik Pilkada biasanya muncul dari hal-hal sebagai berikut : pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Hal ini bisa jadi karena adanya dualisme kepemimpinan parpol, ijzazah palsu atau tidak terpenuhinya syarat dukungan 15 persen parpol pendukung dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, munculnya multitafsir dan perdebatan di seputar keputusan MK yang membolehkan adanya calon independen membuat masalah kian komplek. Ketidaksiapan aturan main yang opersional untuk mengakomodir calon-calon independen ini kerapkali menjadi sumber konflik yang potensial. Kasus penolakan calon independen ini misalnya beberapa waktu lalu terjadi di Cilacap.
Kedua, sengketa Pilkada juga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Banyak masyarakat di suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada merasa berhak untuk menjadi pemilih, tapi kenyataannya tidak terdaftar. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadi determinan konflik. Kasus Pilkada Kalimantan Barat misalnya, diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Di proses Pilkada DKI pun hal ini sempat memicu ketegangan, PKS merasa banyak pemilih yang tidak terdaftar oleh KPUD.
Ketiga, konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Berbagai upaya melakukan untuk memasarkan politik (marketing of politics) untuk meraih simpati publik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakan menyerang, mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada.
Keempat, tahapan yang juga biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Selatan dan Maluku Utara yang berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan suara yang diduga banyak terjadi kecurangan dan ketidakjelasan.
Kelima, konflik juga bisa jadi muncul di proses penetapan pemenang. Kasus di beberapa daerah, DPRD tidak mau menetapkan hasil Pilkada. Terutama, di daerah yang mayoritas anggota DPRD-nya berasal dari kubu yang bersebrangan dengan kandidat yang tepilih. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005, DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Begitu pun yang dulu terjadi di kasus Pilkada Depok, Walikota Depok terpilih Nurmahmudi Ismail, berkonflik dengan DPRD yang umumnya mendukung Badrul Kamal.
Rentetan kasus dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung konflik bisa jadi memperlemah political performance. Terutama, jika konflik tak bisa dikelola secara baik oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Pilkada.

Ambiguitas Komunikasi Politik
Satu komponen penting yang mesti disadari oleh seluruh pihak dalam penyelenggaraan Pilkada tentunya adalah komunikasi politik. Pilkada pada dasarnya memang merupakan mekanisme politik. Wadah institusionalisasi konflik melalui mekanisme politik. Berbedaan aspirasi dan perbedaan politik, seharusnya diselesaikan melalui kontestasi politik dengan mekanisme yang santun dan demokratis. Tentu saja untuk mewujudkan itu dibutuhkan variabel komunikasi politik.
Gabriel Almond berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kata-kata Almod sendiri :
All of the funcions performed in the political system–political sosialization and recrutment, intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule application, and rule adjudication- are performed by means of communication. (Gabriel A, Almond, 1960 : 45)
Denton and Woodward memberi karakteristik komunikasi politik dalam term intentions (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik (the political environment). Faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah sumber sebuah pesan melainkan isi dan tujuannya (Woodward Denton, R.E, 1990 : 14).
Jika Denton menyebut faktor tersebut sebagai The Intentionality of political communication, maka secara sederhana Brian McNair menyebutnya sebagai purposeful communication about politics. Hal ini meliputi : pertama, segala bentuk komunikasi yang dilancarkan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk tujuan pencapaian tujuan-tujuan khusus. Kedua, komunikasi yang ditunjukkan kepada aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih (voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa. Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik lainnya di media massa. (Brian McNair, 2004 : 4).
Jika di lihat dari perspektif komunikasi politik, determinan konflik dalam Pilkada muncul karena faktor-faktor berikut ini : pertama, munculnya communication gap diantara elit partai dengan konstituennya misalnya dalam penentuan kandidat dari salah satu partai. Partai memutuskan untuk menunjuk kandidat yang sebenarnya tidak dikehendaki sehingga menimbulkan kekecewaan.
Kedua, di level informations roles munculnya ketidak percayaan atas peran yang mainkan oleh disseminator dalam hal ini ketidakpercayaan terhadap KPUD. Di beberapa daerah muncul banyak dugaan KPUD, pihak dalam pemenangan kandidat tertentu. Pola alur informasi yang berjalan antara KPUD dengan para kandidat dan massa pendukungnya seringkali mengalami hambatan. Misalnya, ketidakjelasan alur informasi dalam penetapan pemilih tetap, penetapan kandidat, penetapan jadwal kampanye dan lain-lain.
Ketiga, tidak relevannya equevocal Communication (lihat Janet Beavin Bavelas, 1990). Term ini memiliki pengertian pengamasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas. Hal ini bisa saja dalam kondisi tertentu, terutama jika berbicara pesan politik sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi jika equevocal communication itu terjadi dalam hal-hal yang sangat membutuhkan informasi yang jelas, maka akan dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya, dalam proses penyampaian aturan main dan tata kelola Pilkada. Sosialisasi aturan harus mengorientasikan pesan secara jelas, dan menimbulkan kepastian berbagain Pilkada dapat berjalan sesuai kesepakatan bersama.
Keempat, munculnya Pleonasme simbol. Pilkada sekali lagi merupakan mekanisme politik yang di dalamnya menjadi arena pertarungan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan. DPRD sebagai simbol wakil rakyat, pemerintah sebagai simbol pelayan masayarakat mengalami fungsi yang paradoks pada saat Pilkada. Sehinga dengan sendirinya menurunkan kredibilitas dari apa yang mereka simbolkan. Komunikasi politik semacam ini,meminjam istilah Novel Ali dalam bukunya Peradaban Komunikasi Politik (1999) bisa menimbulkan pleonasme atau kemubadziran baik bagi sumber (komunikator) maupun sasaran (komunikan). Pleonasme memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan antara sumber dan sasaran. Pleonasme juga bisa mendorong mencuatnya heteronomi komunikasi, dimana masyarakat bisa juga pemerintah kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik. Muncul kejenuhan bahkan sudah sampai pada keengganan berkomunikasi (Communication Apprehention). Communication Apprehention ini merupakan teori James McCroskey yang manyatakan bahwa ada saat-saat orang mengalami keengganan komunikasi yang disebabkan faktor keadaan tertentu. Ini yang McCrosky sebutkan sebagai person-group commuication apprehention (James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, 1998 : 102-103). Jika hal ini terjadi, maka akan sulit enempuh sharing dan penyelesaian masalah misalnya antara massa pendukung kandidat dengan DPRD, pemerintah atau pun KPUD
Kelima, konflik Pilkada juga bisa muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure). Media massa bisa secara sadar atau tidak sadar menstimulasi konflik. Dengan berita yang bombastis, atau political framing tendesius dan menekankan pada relasi antagonisme maka media dapat menjadi katalisator konflik. Untuk itu diperlukan kearifan dari media massa untuk tidak hanya terjebak pada kontroversi melainkan pada tegaknya demokrasi di daerah penyelenggara Pilkada.
Fenomena pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas kandidat sebenarnya telah mulai semarak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. Bahkan, bisa kita katakan kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden secara langsung Pemilu lalu, merupakan keberhasilan publisitas melalui media. Bangsa Indonesia seolah terbius dengan sosok SBY yang berhasil dikonstruksi secara apik melalui tampilan media. Tentunya, kesuksesan inilah yang mengilhami para kontestan di daerah untuk juga memanfaatkan media. Wajar jika perhelatan Pilkada pun memberi rezeki nomplok bagi para pengelola media. Tim sukses ramai memasang iklan besar-besaran dengan kontrak tayang relatif intensif. Tak ketinggalan, banyak media yang secara sengaja menjual sebagian besar kolom, rubrik ataupun program kepada para calon. Artinya, Pilkada turut menjadi momentum akumulasi keuntungan bagi media.
Media di manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita” (Tuchman, 1980). Wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa munguasai media maka akan menguasai dunia”. Dalam konteks Pilkada tentu saja, siapa yang mengusai opini publik melalui media massa maka biasanya berpotensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang.
Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content), dikategorikan sebagai simbolic reality.
Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu (subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat .
Koran, majalah, tabloid, radio dan TV terutama di wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada, habis-habisan menjadi “ranah pertarungan” berbagai kekuatan ekonomi dan politik. Tak jarang, di beberapa daerah muncul kecenderungan media massa lokal yang sebelum Pilkada menampilkan diri sebagai media independen, tapi saat Pilkada berlangsung menjadi sangat bias, memihak dan tak mengindahkan etika jurnalistik. Tak pelak lagi, jika media massa dalam proses mengemas Pilkada dengan cara-cara mengkonsruksi kekerasan atau menghembus-hembuskan kabar kebencian antar sesama pendukung kandidat, maka sudah dapat ditebak konflik Pilkada akan kian eskalatif.
Faktor keenam yang biasanya menjadi sumber konflik adalah sifat agresi yang dominan dari elit politik. Meminjam pendekatan teoritik dari Dominic Ifanta yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Dominic Ifanta, 1996), terdapat dua sifat agresi yang dominan yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Berdebat tentunnya bukan sesuatu yang salah, karena untuk mempertajam visi dan misi kandidat misalnya, maka dibutuhkan sebuah perdebatan kritis untuk menguji kredibilitas calon pemimpin. Hanya saja kesukaan berdebat dalam perspektif Dominic yakni kesukaan berdebat tentang isu-isu yang sensitif dan kontroversial. Sementara keagresifan verbal berhubungan dengan kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal ini juga menyertakan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional yang menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, meyakiti perasaan dan reaksi negatif lainnya.
Pada saat kampanye, atau debat kandidat biasanya muncul keinginan kandidat satu menjatuhkan legitimasi kandidat lain. Sebagian dari mereka melakukan upaya-upaya yang tidak etis misalnya menjelek-jelekan, black campaign, propaganda politik yang langsung menyerang kehormatan serta konsep diri orang lain. Hal ini bisa muncul mislanya dari apa yang Roderick P Hart (1972) sebut sebagai tipe diri noble selve. tipe yang mengagungkan ideal personal tanpa variasi dan adaptasi. Komunikator politik tipe ini dapat kita temukan pada diri para pemimpin yang otoratarian. Mereka selalu mengganggap dirinya superior sehingga tidak perlu melakukan adaptasi dengan pihak atau orang lain.

Rising Expectation
Antusiasme masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia, di mana para kepala daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan ‘hajatan’ baru yang akan menentukan nasib penanganan daerah-daerah di masa mendatang. Model birokrasi daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang menciptakan atmosfir kesemarakan.
Sementara secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di tingkat nasional. Bangsa Indonesia telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung. Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa sejalan dengan keinginan mereka. Untuk tetap menjaga peningkatan harapan di masyarakat atas demokratisasi di tingkatan lokal ini maka seyogyanya Pilkada dapat mereduksi faktor-faktor penyebab konflik sebagaimana disebutkan di atas. Ada pun solusi yang memungkinkan ditempuh adalah :
Pertama, guna mereduksi communication gap antara partai politik dengan konstituennya harus ada mekanisme internal partai yang dapat menjamin demokratisasi internal berjalan dengan baik. Calon yang diusung partai seyogyanya mewakili aspirasi umum warga partai. Kandidat tidak serta-merta ada melainkan lahir dari sebuah mekanisme sosialisasi, transfaransi, akuntabilitas. Seluruh elit partai ada baiknya kembali menyadari bahwa fungsi partai politik jika merujuk pada Ramlan Surbekti (1992) ada 7 fungsi, yakni : (a) Sosialisasi Politik, proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. (b) Rekrutmen politik, seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. (c) Partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan (d) pemandu kepentingan, (e) Komunikasi politik, (f) pengendalian konflik, (g) Kontrol politik, kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatianya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas (Sigmund Neumann,1963 : 352).
Kedua, guna mereduksi masalah information roles, mesti tampilnya KPUD yang independen, professional dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki oleh KPUD guna menghindari lemahnya kredibilitas KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada. Sebagai penyelenggara paling tidak ada dua kunci utama kinerja KPUD. Pertama, KPUD mesti memainkan diri sebagai orang yang terjun menangani masalah (distrub handler). Dalam tugasnya ini, KPUD harus memilki legitimasi dan dukungan finansial serta moral. Kedua, dalam konteks sebagai penyelenggara, KPUD juga harus piawai memainkan resource allocator. Seluruh potensi baik internal maupun ekternal KPUD diarahkan untuk ditempati oleh sumber daya manusia yang tepat dan memiliki kemampuan.
Ketiga, seyogyanya menggunakan strategi equevocal communications (EC) secara tepat. Oleh karena Pilkada terkait dengan sebuah kinerja yang teknis, maka jenis-jenis EC tidaklah tepat jika dilakukan dominan dalam prosesnya. Informasi yang rinci, jelas, terarah dan transfaran lebih dibutuhkan oleh para anggota KPUD, Pemerintah juga DPRD. Namun demikian, EC juga sekali-kali dibutuhakan untuk suatu isu-isu tertentu yang belum jelas dan butuh komunikasi yang diplomatis untuk menghindarkan dari resiko yang lebih besar.
Keempat, untuk menghindari kemunculan fenomena pleonasme simbol atau melemahnya simbol-simbol otoritatif kenegaraan, maka sangat diperlukan upaya meunjukkan wibawa dari institusi pemerintah, DPRD, KPUD dan lain-lain, dengan cara memperkuat kapasitas kelembagaan. Merujuk kepada pendapat David K. Berlo (dalam Cangara, 2000 :102), simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis sehingga memiliki arti. Simbol ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Menurut Alex Sobur (2001: 44-45), sifat simbol itu mewakili sesuatu yang lain dan simbolisme dianggap sebagai usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir.
Kemubaziran komunikasi dan relasi antagonis dalam komunikasi politik akibat adanya harapan yang berbeda dari simbol dan yang disimbolkan harus dijembatani dengan adanya penguatan untuk kembali mempererat hubungan keduanya. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir. Pemerintah dan KPUD mestinya melakukan sosialisasi yang rasional mengenai seluruh kebijakan yang menyangkut kebijakan publik soal Pilkada. Hal ini penting guna meningkatkan loyalitas dan mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada. Dalam kapasitasnya sebagai media penghubung, komunikasi mestinya dioptimalkan agar terjalin komunikasi timbal balik (two way Communcation) antara masyarakat dan pemerintah.
Perlu diberi catatan, pengharapan rakyat pada penyelenggaraan Pilkada adalah adanya perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu (Dan Nimmo,1993). Oleh karenanya, mustahil seorang pemimpin dapat mengkoordinasikan tata nilai politik dan ideliasasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.
Kelima, media juga harus memberikan kontrubusi dalam menciptakan Pilkada yang demokratis dengan mengusung jurnalisme damai. Mengingat pentingnya Pilkada dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi keuntungan dari perhelatan kolosal Pilkada ini. Meski pun tak bisa melepaskan diri dari anasir kelompok kepentingan yang bertarung di Pilkada, media seyogyanya tetap mengedepankan pertanggung jawaban sosial. Artinya media dalam arti pers tak hanya melakukan kerja komodifikasi. Komodifikasi dalam pandangan ekonomi-politik Vincent Mosco (1996) mengacu pada proses mentransformasikan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) atau nilai yang didasarkan pasar. Dalam perannya sebagai “mata” dan “telinga”, pers seyogyanya terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D. Laswell adalah sebagai Pengawas sosial (social surveillance). Hal ini merujuk pada upaya penyebaran informasi dan iterpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Satu di antara pemain kunci yang sesungguhnya dapat mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi alat kontrol yang cukup efektif.
Minimal ada tiga potensi yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. (A) pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi wilayah liputannya. Para jurnalis lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka ulas secara lebih detil. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih besar. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal menjadi sangat terbatas. Kalau pun ada, hanya sebatas isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
(B) akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama. (C) seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan sistem manajemen modern. Terlebih dengan terhubungnya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar. Tentunya, media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi, distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial dan demokratisasi di Indonesia.
Keenam, elit politik juga harus menjaga diri untuk tidak terlampau agresif menyerang kandidat lain, apalagi dalam konteks menjatuhkan martabat dan kehormatan mereka dengan cara-cara yang tidak etis. Tipe noble selves seharusnya dapat tergantikan dengan rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan ekstrim-ekstrim ini. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat . Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dan akseptansi ide-ide secara meluas.

Penutup
Berbicara konflik dalam penyelenggaraan Pilkada, tentunya sangat komplek. Anggapan sebagian besar orang bahwa konflik selalu akan melahirkan yang namanya kehancuran dan kekacauan tidak sepenuhnya benar. Jika ada sisi negatif maka juga ada sisi positifnya. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Konflik itu sesuatu yang melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu memahami dan menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik tidak dapat dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau dieliminir sehingga tidak menjadi tindak kekerasan.

Daftar Pustaka :
Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik Potret Manusia Indonesia, (Bandung : Rosadakarya.1999)

Almond, Gabriel A. Introduction : A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond dan James S. Coleman (ed.). The Politics of the Developing Areas. (Princeton University, 1960)

Budiarjo, Miriam. (peny.). Partisipasi dan Partai Politik.(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1998)

Bavelas, Janet Beavin, Nicole Chovil and Jennifer Mullett. Equivocal Communications (Newbury Park, CA : Sage, 1990)

Berger, Peter L, and Thomas Luckman. The Social Construction of Reality, (New York : Anchors Book, 1967)

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
Denton, R.E., Woodward, G.C. Political Communication in America. (New York : Praeger. 1990)

Hart, Roderick and Don M. Burks, “Rhetorical Sensitivity and Social Interaction,” Speech Monographs 39 (1972)

Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in developing Countries (Cambridge, Mass.:Harvard University Press,1977)

Ifanta, Dominic, Teresa A. Chandler and Jill E.Rudd, “Test of an Argumentative Skill Deficiency Model of Interpousal Violence,” Communication Monographs 26 (1989)

Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication, (Alburquerque, New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998)

McClosky, Herbert. Political Participation, International Encyclopedia of the Social Sciences, Edisi ke-2 (New York: The McMillan Company and the Free Press, 1972)

McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. Third Edition, (London and New York : Routladge. 2004)

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. ( London, New Delhi: SAGE Publication, 1996)

Noer, Deliar.Pengantar ke Pemikiran Politik. (Jakarta : Rajawali. 1983)
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Tjun Surjaman (terj.). (Bandung : Rosdakarya, 1993)
Powel Jr., Bingham. Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence. (New York : Harvard University Press. 1982)

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992)

Sigmund Neumann “Modern Political Parties” dalam Comparative Politic: A Reader, diedit oleh Harry E. Eckstein dan David E. Apter (London: The Free Press of Glencoe, 1963)

Sobur, Alex. Analisis Teks Media. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001)

Tuchman, Gaye. Qualitative Methods in the Study of News, in Jensen, K.B., and Jankowski, N.W. (ed.), A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. (London and New York : Routledge, 1991)