Senin, 10 Desember 2007

Information Literacy

Oleh : Gun Gun Heryanto

Satu penanda modernisasi yang saat ini memagang peranan sangat signifikan dalam kehidupan sosial adalah informasi. Perkembangan informasi tak hanya terjadi secara gradual (evolusioner) melainkan juga telah terjadi secara revolusioner. Kebebasan informasi (freedom of information) yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menjadikan dunia sebagai kampung global (global village). Dampaknya, akses masyarakat atas informasi kian terbuka, kian bebas, dan kian beragam. Paling tidak ada tiga fenomena yang sangat terkait erat dengan kemudahan infromasi yang saat ini dirasakan oleh masyarakat.
Pertama, potensi keterbukaan akses atas pengetahuan kian terbuka lebar. Tak dapat disangkal lagi, bahwa informasi yang membanjiri kita setiap hari melalui surat kabar, majalah, tabloid, televisi, radio, website, milis group, friendster, blog dan lain-lain telah mengubah saluran informasi pengetahun dari sekedar institusi sekolah dan madrasah seperti terjadi di masa lalu, menjadi multi akses dengan kemunculan varian media baru yang lebih cepat, lebih mudah dan lebih variatif. Perkembangan multi akses ini mendorong manusia modern untuk mengintegrasikan diri ke dalam berbagai perubahan informasi yang terjadi secara cepat.
Kedua, seiring dengan kemunculan era informasi ini juga kian menegaskan perkembangan teknologi komunikasi. Sejatinya, era informasi tak dapat dipisahkan dari era teknologi komunikasi. Dengan demikian, prasyarat penguasaan banyak akses atas saluran informasi modern saat ini adalah dengan cara memahami, mengikuti dan mengimplementasikan skill di segenap varian teknologi komunikasi yang ada dan berkembang saat ini dan ke depan. Misalnya skill untuk mengakses internet, skill untuk memanfaatkan komputer, skill untuk membaca dan memahami media cetak dan media elektronika serta sejumlah skill lain yang terkait dengan teknologi komunikasi.
Ketiga, fenomena jaringan komunikasi (communication network) makin memainkan peran penting. Jika dahulu, alur komunikasi mengikuti garis hirarkis sosial kemudian pelan tapi pasti perannya diambil oleh media massa. Namun demikian, saat ini peran-peran individu yang mengintegrasikan diri ke dalam jaringan global juga fenemonanya kian menguat. Kompetisi di lakukan dengan basis seberapa luas jaringan komunikasi yang dimiliki oleh seseorang. Semakin seseorang memiliki akses yang luas, maka semakin besar potensi orang tersebut untuk sukses. Sebaliknya seseorang yang tak memiliki kemampaun mengembangkan jaringan komunikasi maka kemungkinan akan menjadi pihak yang merugi. Dengan jaringan komunikasi inilah seseorang memanej dirinya untuk berpikir terbuka (inward looking) dan adaptif sehingga akhirnya mampu membangun kapasitas individual (Individual Capacity Building) dengan baik.
Istilah Information Literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, President of The Internationl Industry Association lebih dari 30 tahun lalu. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai : ”orang-orang yang terdidik di dalam mengaflikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. Mereka belajar teknik-teknik dan keterampilan-keterampilan untuk memanfaatkan cakupan yang luas dari sarana informasi sebagaimana juga sumber-sumber utama dalam memecahkan permasalahan mereka”.
The American Library Association (1996) telah mendefinisikan information literacy sebagai istilah yang diterapkan terhadap keterampilan-keterampilan informasi untuk memecahkan masalah. Adapun keterampilan yang dimaksud terdiri dari 7 (tujuh) hal yakni :
1.Keterampilan mendefinisikan kebutuhan terhadap informasi (defining the need of information). Yakni kemampuan seseorang dalam mengetahui bahwa pengetahuan yang dimilikinya tentang suatu subyek tertentu tidak mencukupi namun dia sadar bahwa di sekelilingnya ada banyak sumber-sumber yang tersedia agar dapat dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai permasalahnnya.

2.Menetapkan strategi pencarian (initiating the search strategy). Yakni, sebuah proses sebelum pencarian yang dengannya seseorang mampu mengorganisikan data yang saat ini telah diketahuinya ke dalam beberapa kategori atau subyek, mengidentifikasi sumber-sumber yang berpotensi menjadi bahan tambahan ke dalam ketagori-kategori dan menentukan kriteria untuk sumber-sumber kekinian.

3.Mengumpulkan sumber-sumber informasi (locating the resources). Kemampuan seseorang dalam melakukan proses pengumpulan berbagai sumber yang diperlukan baik dalam bentuk cetakan dan non cetakan, online, dan komputerisasi, interview para pakar, permohonan dokumen-dokumen yang cocok dll.

4.Menilai dan memahami informasi (assesing and comprehending the information). Yakni kemampuan seseorang dalam memahami substansi isi informasi menyangkut kualitas, validitas, dan berbagai makna yang terkandung di dalam informasi yang didapatkannya. Selain itu mampu menilai sejauhmana informasi itu relevan dan tidak relevan dengan dirinya.

5.Menerjemahkan informasi (interpreting the information). Kemampuan seseorang untuk menguraikan dan menginterpretasi informasi yang didapatkannya. Menerjemahkan berarti tak sekedar memahami makna substansial informasi akan tetapi juga konsteks yang melatarbelakangi infromasi tersebut.

6.Mengkomunikasikan Informasi (communicating the information). Yakni kemampuan seseorang untuk meneruskan, menyampaikan atau mengembangkan informasi yang sudah didapatkannnya dengan cara jaringan komunikasi (communication network).

7.Mengevaluasi produk dan proses (evaluating the product and Process). Yakni kemampuan untuk melakukan sebuah evaluasi menyeluruh atas produk informasi yang diterima beserta keseluruhan proses penerimaan informasi di setiap tingkatannya.

Pendapat lain tentang Information Literacy dapat kita kutip dari The Southern Association of College and Schools (1996) yang menyatakan information literacy sebagai kemampuan menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi untuk menjadi pelajar sepanjang hayat yang mandiri. Dengan demikian, melek informasi tak hanya sekedar mencari dan menemukan berbagai sumber informasi yang dapat diakses melainkan juga user (pemakai) informasi tersebut mampau menggunakan informasi yang didapat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sekaligus mampu mengevaluasi informasi tersebut

Bangkitnya Film Horor

Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO, Jum'at 30 Maret 2007)

Setiap Tanggal 30 Maret senantiasa diperingati sebagai hari Film Nasional oleh insan perfilman di Tanah Air. Sebuah momentum yang kerap digunakan untuk menjadi penanda akan eksistensi perfilman kita.

Secara historis, tanggal ini merujuk pada syuting hari pertama film Darah dan Doa karya Usmar Ismail produksi perdana Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikannya. Darah dan Doa yang mulai diproduksi 30 Maret 1950, memang bukanlah film pertama Usmar, karena sebelumnya dia telah menyutradarai Film Kredit Harta Karun (1949) dan Tjitra di tahun yang sama.Darah dan Doa pun bukan film nasional yang pertama, karena sejak 1926 sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng, telah diproduksi NV Java Film Company. Meski demikian, Darah dan Doa yang mengusung tema revolusi fisik bangsa Indonesia, mampu menghadirkan cita rasa atau representasi nasionalisme sehingga dianggap layak menjadi penanda kelahiran film nasional. Kini, setelah 57 tahun sejak kelahirannya, sudahkah film-film kita benarbenar menjadi lebih Indonesia?

Euforia Kebangkitan

Banyak orang menilai, film nasional telah bangkit dari keterpurukan. Indikator sederhananya, semakin banyak film nasional yang diproduksi dan menghiasi bioskop-bioskop kita. Bahkan, beberapa sineas muda dengan sangat percaya diri menyatakan, maraknya film kita akhir-akhir ini sebagai penutup lembar buram film nasional, sekaligus membuka pintu lebar-lebar pencerahan dan kegairahan. Di satu sisi,kita memang patut mengapresiasi fenomena tersebut. Paling tidak,telah banyak generasi baru sineas yang muncul dan menelurkan karya. Usmar Ismail, Teguh Karya, Arifin C Noer, juga tokoh-tokoh senior lainnya kini telah diteruskan Garin Nugroho, Mira Lesmana,Riri Reza,Nia Dinata,Rizal Mantovani,Rudi Soedjarwo,Hanung Bramantyo, dan sederet nama lain dengan berbagai pilihan genre yang menjadi identitas mereka.

Di sisi lain, kita juga perlu mewaspadai agar kebangkitan film nasional ini tak sekedar euforia. Banyak bukti bahwa kita kerap terlena dengan maraknya film nasional, hingga kita lengah untuk menjaga konsistensi. Dunia perfilman kita bangkit dan hanya bertahan lima atau maksimal sepuluh tahun. Setelah itu, kembali tersungkur bahkan pernah hingga mencapai titik nadir. Sekadar mengingatkan, pada 1941 tercatat ada sekitar 41 judul film nasional den0gan Terang Boelan sebagai film yang terpopuler.

Ini tak bertahan lama, karena sejak 1942 hingga 1950 mengalami paceklik. Di kurun waktu ini, krisis produksi masih bisa dimaklumi karena memang kolonial Jepang telah mengebiri semangat kebebasan dengan hanya membolehkan lahirnya film-film yang bersedia menjadi aparat ideologi negara (ideological state apparatus). Pada 1955 tercatat ada sekitar 65 judul film dan gairah timbul menggelegak berbarengan dengan diselenggarakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali.

Sepuluh tahun kemudian, film kita kembali terpuruk bahkan bisa dikatakan mati suri berbarengan dengan krisis politik yang melanda negeri ini. Era 1970 hingga 1980 dengan maraknya tema-tema seks, film kita kembali mengalami grafik peningkatan.Tercatat ada sekitar 604 judul film yang turut meramaikan kegairahan ini. Namun pasca itu, film kita kembali tertidur lelap dan baru terbangunkan oleh gelombang deras era digital di tahun 1990-an. Dari 1990 hingga 2000,industri film kita pun timbul tenggelam bahkan sempat beberapa kali terpuruk karena digerus kekuatan dahsyat produk-produk film Hollywood, Bollywood dan China. Pada 2001 hingga sekarang, film nasional dapat dikatakan sedang menikmati kembali euforia kebangkitan.

Dominasi dan politik koorporatif negara yang kian melemah akibat munculnya gelombang reformasi, turut menyemaikan sineas-sineas ”generasi baru” yang menawarkan tawaran ide lebih beragam. Mulai romantisme cinta remaja seperti AADC, politik seperti Gie, satire sosial seperti Arisan dan Berbagi Suami dan tentunya sederet film horor yang seolah membawa kita kembali ke era Suzana.Sampai kapan kebangkitan film kita ini akan bertahan? Tentunya kita perlu mewaspadai catatan sejarah film kita, supaya kita tak hanya memaknai kebangkitan sebagai euforia semata.

Horor vs Rasionalitas

Hari Film Nasional kali ini ditandai juga dengan bangkitnya hantu-hantu dari kubur, pocong, sundel bolong, kelong wewe, kuntilanak, dan sejumlah setan-setan lain yang bergentayangan di hampir seluruh bioskop.Mereka menebar ketakutan, mistik dan di level tertentu juga kerap menihilkan rasionalitas penonton.Tak salah juga jika kita katakan, saat ini adalah era kebangkitan kembali film horor nasional. Apa kira-kira yang melatarbelakangi maraknya film-film horor belakangan ini? Kurang lebih ada empat faktor yang mempengaruhinya. Pertama, ketakutan yang ditebar film horor, secara komersial memang menguntungkan bagi si pembuat film.

Menurut catatan beberapa media, film Bangku Kosong misalnya, ditonton kurang lebih 880 ribu penonton, Kuntilanak ditonton 1,3 juta orang, Jelangkung (2001) ditonton 1,5 juta orang, Tusuk Jelangkung (2002) ditonton 1,3 juta orang. Belum lagi pendapatan diperoleh dari VCD dan DVD yang juga dijual ke pasaran. Kedua, biaya produksi rata-rata film horor jauh lebih murah. Hal ini karena kebanyakan film horor tidak memasang artis-artis ”kelas atas”, melainkan banyak menggunakan artis baru yang sebelumnya tak pernah dikenal.Jika pun memasang artis yang mahal, jumlahnya dapat dipastikan tak akan sebanyak film jenis drama percintaan atau satire sosial dan politik.

Konsep minimalis bujet juga dapat diwujudkan dengan baik, karena film-film horor dapat mengurusi banyak hal menyangkut unsur drama yang menakutkan lewat rekayasa pasca produksi. Dengan ongkos yang relatif lebih murah, terjadilah logika hukum pasar yakni dengan modal sekecil-kecilnya berupaya memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Jika bisa membuat film dengan murah dan menguntungkan, mengapa pilih yang mahal? Ketiga, bisa jadi film-film horor ini pun lahir dari proses komodifikasi mistisme yang tumbuh subur dari tradisi tutur masyarakat.

Cerita tentang sundel bolong, pocong, genderuwo, leak, dan lain-lain selalu mendapat ruang di dalam perbincangan sehari-hari masyarakat. Meski perbincangan tentang hal ini sering absurd dan tidak rasional, masyarakat seolah mempercayainya sebagai realitas objektif yang apa adanya. Tradisi tutur ini,selalu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga fenomena seperti ini memudahkan pembuat film untuk mengubah ”realitas objektif” mistisme yang seolah-olah apa adanya itu untuk kemudian menjadi realitas simbolis yang dipasarkan. Keempat, bisa jadi maraknya film horor juga dipengaruhi semacam pelarian masyarakat dari realitas sosial yang carut-marut. Hingga level tertentu, himpitan sosial, ekonomi, dan politik yang berkepanjangan memunculkan gejala kejenuhan di masyarakat.

Akibatnya, mistik meskipun irasional menjadi satu di antara pilihan untuk relaksasi.Dengan membangun ketakutan bersama-sama,teriak bersama-sama, dan mendramatisasi setan-setan gentayangan, seolah-olah dapat memunculkan kepuasan tersendiri. Sebagian besar film-film horor itu telah memberikan kontribusi pada institusionalisasi mistik dan irasionalitas. Meskipun ada satu dua film horor yang mencoba untuk mengetengahkan cita rasa ilmiah dan modern,para sineas kita seyogianya turut mendukung dan mengawal perubahan masyarakat kita yang sedang mengalami transisi dari kultur agraris ke masyarakat informasi industrial.

Caranya, tentu lewat karya-karya film yang cerdas, berkualitas dan menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk bergerak menuju pencerahan dan perubahan.Hal ini penting untuk selalu kita ingat, agar saat ini dan ke depan kita dapat melihat bangkitnya film nasional bukan sekadar bangkitnya film horor nasional.(*)

Kamis, 06 Desember 2007

Media Massa dan Public Sphere :Analisa Pemikiran Jurgen Habermas

Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Jurnal Dakwah UIN Jakarta)

ABSTRAKSI
Media massa merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam konteks era informasi seperti sekarang ini. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.

Tentu saja dalam perkembangannya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja diantaranya negara (state) dengan sekian agenda politiknya dan pemilik kapital dengan sekian agenda ekonominya. Persoalannya bisakah media massa menjadi ‘ruang publik’ yang bebas dari dominasi ?.

Makalah sederhana ini, mencoba mengelaborasi pembahasan tentang media massa dalam kaitannya dengan public sphere yang bertitik tolak dari pemikiran Jurgen Habermas. Pembahasan akan diawali dengan pemaparan realitas media massa di Indonesia saat ini. Bahasan selanjutnya berkaitan dengan sosok dan pemikiran Jurgen Habermas sebagai salah seorang pemikir aliran Kritis atau Mazhab Frankfurt. Tentu saja, dengan fokus pada ulasan tentang konseptualisasi public sphere. Untuk melengkapi bahasan, di bagian akhir tulisan diajukan analisa terhadap konseptualisasi public sphere yang dibuat Habermas terutama dalam kaitannya dengan realitas perkembangan media penyiaran di Indonesia.

Perlu diakui sejak awal, untuk memahami konstruk pemikiran Habermas tidak bisa melihatnya hanya dari satu sisi. Hal itu tentu saja tidak banyak dibahas dalam makalah ini, karena prioritas bahasan lebih pada konsep-konsep dia yang relevan dengan bahasan public sphere. Tentu saja, sebagai pemikir Habermas juga memiliki banyak kekurangan dan kelebihan. Bagian ini akan banyak diulas pada bagian beberapa kritik terhadap Habermas. Pada akhirnya, makalah ini disusun tidak untuk membuat simplikasi pemikiran Habermas, melainkan upaya sederhana untuk mengurai benang merah pemikirannya terutama dalam konteks perkembangan media di Indonesia. Banyak kelemahan yang ada dalam bahasan makalah ini, untuk itu dibuka ruang kritik.

MEDIA MASSA : Antara Mekanisme Pasar dan Peran Negara
Hal yang menarik dikaji dalam pembahasan media massa adalah relasi yang terjadi antara kelompok yang memiliki posisi vital dalam mempangaruhi eksistensi media. Mekanisme pasar yang melibatkan pasar pertukaran (exchange market) dan negara (state) yang merupakan institusi pemangku otoritas publik, memiliki karakteristik khas dalam pola hubungannya dengan media penyiaran di Indonesia.
Dalam tinjauan Garnham, insitusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat menurut Garnham sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dan kondisi yang memaksakan perluasan pasar dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut berkonsekuensi pada makin berkurangnya jumlah sumber media yang independen, munculnya sikap masa bodoh terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar bebas (Garnham, 1997).
Media massa di Indonesia secara lebih luas, umumnya memiliki keterikatan dengan sistem kapitalis. Dalam struktur mekanisme pasar, media banyak “dipaksa” berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, karena itu ia harus berusaha untuk menyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar.
Dilain pihak, media massa juga sering terstrukturkan dalam kepentingan politik negara. Sebagai ilustrasi pada masa Orde Baru misalnya, media yang berbeda dari mainstream kebijakan negara dianggap dapat mengganggu stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus dikontrol secara ketat. Makanya lahir perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru.
Di Indonesia, peran negara pernah amat dominan dan memiliki kekhasan berkolaborasi dengan pemilik modal baik pemilik modal dari lingkaran ekonomi keluarga penguasa maupun relasi politik dalam memainkan peran di industri media penyiaran. Sewaktu Orde Baru kita tahu kasus kepemilikan oleh Liem Sioe Liong (Indosiar), Bambang Triatmojo (RCTI, SCTV), Siti Hardiyanti Rukmana (TPI) Agung Laksono dan Abu Rizal Bakri (ANTV).
Tentu saja, setelah rezim Orde Baru tergeser, posisi dominan negara melemah dan posisi tekanan pasar meningkat. Ekspresi kebebasan memberi peluang komodifikasi bagi media, sehingga menjadi sebuah peluang bisnis yang menggiurkan. Tidak heran, pasca Orde Baru TV-TV swasta muncul semarak dengan beragam penentuan segmen khalayak yang nantinya akan diberikan kepada pengiklan. Diantaranya muncul TV-7 yang memprioritaskan program olahraga, Global TV dengan musiknya, Trans-TV dengan sinema-sinema Box-officenya, tak ketinggalan LATIVI yang masih belum begitu jelas prioritas segmen pasarnya.
Sebenarnya kalau mengacu kepada pendapat Denis McQuail (1987), terdapat sejumlah ciri khusus institusi media peyiaran sebagai bagian media massa, antaralain : pertama memproduksi dan mendistribusi “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain yakni dari pengirim ke penerima, dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Keempat, partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada kebutuhan pembiayaan. Keenam, meskipun institusi media tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.
Dengan mengacu kepada pendapat McQuail tadi, kita memperoleh gambaran kalau media massa memiliki keterkaitan erat dengan pemodal dan kekuatan negara. Meskipun demikian, media massa sebenarnya harus memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan publik yang sifatnya sukarela. Ini artinya, media harus menyediakan sekian acara yang menjadi ranah publik (public sphere).

JURGEN HABERMAS : Konseptualisasi Public Sphere
Sosok dan Pemikiran Habermas
Jurgen Habermas adalah filsuf kritis generasi kedua dari Aliran Frankfurt. Ia tidak hanya membaharui generasi pertama aliran Frankfurt yang dipopulerkan Max Horkheimer, Theodore W. Adorno dan Herbert Marcuse tetapi ia juga membawa paradigma baru dalam alur pemikiran Marxian-Hegelian, yaitu memasukan filsafat bahasa (komunikasi, universal pragmatics).
Habermas mengabungkan diri ke dalam Institut fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno (Francisco Budi Hardiman : 1990). Satu hal yang kiranya penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt. Seperti pendahulunya Adorno dan Horkheimer, Habermas juga melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman, meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ini terbukti ketika Habermas mengkritik gerakan-gerakan mahasiswa yang menjelang tahun 70-an yang mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan. Aksi-aksi tersebut oleh Habermas dikecam sebagai ‘revolusi palsu’dan sebagai hal yang kontraproduktif.
Menurut Hardiman (1990) Habermas juga seperti pendahulunya hendak membangun sebuah ‘teori dengan maksud praktis’. Dari segi isi dan latar belakang pemikirannya, dia tetap berakar pada tradisi transendentalisme Kant, idealisme Fitche dan Hegel serta materialisme Marx.
Melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi teori kritis. Ini yang menurut Bertens (1983) menyebabkan pihak-pihak kiri yang tetap memegang teguh ‘jalan konflik’nya pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang ‘sesat’ dan ‘bekerja demi ilmu borjuis’. Tuduhan tersebut dapat dipahami dalam konteks Habermas yang memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik ideologinya. Tapi dengan teori komunikasi itulah justru banyak orang memandang selayaknya Habermas ditempatkan sebagai pembaharu.
Habermas mengalamatkan teorinya pada sesuatu yang umum sekali, yaitu : rasio manusia. Menurut Agnes Heller (1982), Rasio dalam pandangan Habermas adalah ‘rasio yang memihak’ yaitu yang memiliki kepentingan emansipatoris. Jadi, meskipun dia tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, rasio yang memihak itu akan menunjukan siapa yang harus dibebaskan.
Dalam pandangan Habermas suatu perkembangan masyarakat menyangkut tiga dimensi pokok, yakni kerja, interaksi dan kekuasaan (Sensat :1979). Jika kita kembalikan gagasan ini pada konsepnya mengenai rasionalisasi, dapat dikatakan bahwa perkembangan masyarakat yang seimbang menyangkut tiga macam rasionalisasi, yaitu rasionalisasi teknis di dalam dimensi kerja, rasionalisasi praktis di dalam dimensi interaksi dan rasionalisasi sistem di dalam dimensi kekuasaan.
Pekerjaan (work) merupakan usaha untuk menciptakan sumber daya material, sifatnya teknis dan meliputi rasionalitas instrumental serta berkaitan dengan disiplin yang bersifat empiris-analitis. Interaksi yaitu penggunaan bahasa dan sistem-sistem simbol dalam berkomunikasi, sifat dan rasionalitasnya praktis serta diwakili oleh sejarah dan hermeneutic, sedangkan power dikaitkan dengan ideologi yang mendominasi masyarakat (Little Jhon, 1999)
Dengan pandangan ini, Habermas berusaha mengatasi baik Marxisme klasik maupun neo-Marxisme pada umumnya yang masih memandang perkembangan masyarakat sebagai perubahan-perubahan hubungan kerja. Dalam perkembangan hubungan ketiganya inilah Habermas yakin manusia akan semakin rasional, dalam arti semakin mampu memperluas penguasaan teknis atas proses-proses alam eksternal manusia, semakin mampu menciptakan situasi komunikasi bebas penguasaan dan semakin mampu menentukan tujuan-tujuan teknis dan tujuan-tujuan praktis masyarakat secara memadai.

Konseptualisasi Public Sphere
Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula pejabat atau politikus.
Tujuan dari ranah publik adalah menjadikan manusia mampu untuk merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya. Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal. Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang praktis, tepatnya culturally-embedded social practice.
Habermas mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan diperdebatkan. Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya. Ruang publik seperti ini menurut Garnahm, bertujuan membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan gereja maupun negara.
Bagaimanapun banyak dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin berbeda dalam ukuran dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka, puncak perdebatan mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya mengorganisasikan diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus menerus, sebab itu mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum (Jurgen Habermas :1993).
Secara institusional , menurut Habermas (1993) terdapat kriteria yang menyamakan ketiga forum diskusi (public sphere) antaralain :
1. Mereka memelihara suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari pensyaratan kesamaan status. Kecenderungan mengganti penghormatan atas tingkatan dengan kebijakan yang cocok secara merata. Sama-sama memelihara kesetaraan sebagai manusia, terlepas dari atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi.
2. Kedua diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area yang kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum” yang menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu perlindungan diantara otoritas gereja dan negara yang memiliki monopoli interpretasi tidak hanya dari mimbar tetapi juga dalam philosopi, literatur dan seni.
3. Ketiga, proses yang sama yang mengubah budaya kedalam komoditi, public sphere pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja, dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang berdiskusi di coffe house dll.) adalah pendidik.
Ruang publik borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsip-prinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Pada awalnya, para angota public sphere hanyalah kaum borjuis laki-laki, bangsawan, dan intelaktual yang bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra. Namun begitu, dalam kajian Habermas dikemudian hari diskusi-diskusi tersebut telah bergeser menjadi pembicaraan-pembicaraan politik. Pembicaraan mengenai hal ini membuka jarak sosial dan merupakan perlawanan terhadap status quo. Sehingga, tujuan public sphere pun berubah, menjadikan orang mempunyai sikap kritis terhadap kekuatan negara.

ANALISA
Media dan Public Sphere
Kemunculan media massa seperti surat kabar, radio dan televisi memang membuat perubahan signifikan dalam rekonseptualisasi public sphere ala Habermas. Matriks demokrasi politik seperti coffe house, public square, salon, tichgesellschaften, town hall dan banyak tempat lainnya tidak lagi menjadi tempat untuk diskusi dan aksi politik. Perannya, seperti dikatakan John Hartley (1992), digantikan oleh media massa. Menurutnya TV, koran, majalah, fotografi dan media lainnya merupakan public domain, tempat dimana publik sering diciptakan oleh karenanya mengandung pemahaman publik sphere.
Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan public sphere dalam arti face-to-face sudah bergeser. Karenanya, Poster dalam “Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere” mengatakan, hendaknya apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, dalam arena publik elektronik terabaikan (Mark Poster, 1995). Bentuk-bentuk ala salon dan coffe house mungkin berubah menjadi virtual communities, electronic cafes, bulettin board, e-mail atau teleconfrence.
Peran mengisi ruang antara kekuatan negara dan civil society sebenarnya dapat diisi oleh media massa. Media dapat memainkan peranan signifikannya dalam membentuk dan menyebarluaskan informasi dalam pembentukan opini publik. Hanya masalahnya mampukah media massa menempatkan diri sebagagi kekuatan publik yang lepas dari pengaruh sistem politik yang anti demokrasi dan tidak terkontaminasi oleh kekuatan ekonomi tertentu ? hal ini yang hingga kini masih diperdebatan.
Menurut Habermas, semula media memang dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere. Hanya saja, kemudian media dikomersilkan menjadi komoditi sehingga menjauhkan perannya semula sebagai pengisi ruang publik (dalam Oliver Boyd Barrett, 1995). Dalam masalah ini, Habermas terlihat pesimis dengan peran media massa karena perhatiannya mengenai public sphere lebih tertuju dapa diskusi politik dengan membesar-besarkan komersialisasi media massa.
Habermas kiranya dalam konteks ini melihat lemahnya media massa bukan saja disebabkan keterkaitannya dengan komodifikasi media tetapi juga erat kaitannya dengan komersialisasi masyarakat secara umum sebagaimana pernah diungkapkan Elliot yang memandang hal ini dipercepat oleh kebijakan Reagen (AS) dan Tatcher (Inggris) yang sangat percaya pada kekuatan pasar sebagai penyelsaian terbaik penyediaan barang dan jasa dengan para konsumennya.
Memang kalau kita amati kenyataanya seperti sekarang ini, banyak dampak akibat semakin dominannya aspek modal dalam kegiatan media. Pasar bebas melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang bersifat hegemonik dan monopolistik dimana satu atau beberapa produsen dan penyalur bisa menentukan jangkauan dan kualitas layanan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Hal ini tentu saja merugikan konsumen dan publik yang membuat mereka hanya punya pilihan yang terbatas. Murdock mengatakan bahwa kenyataan tersebut sebagai konsekuensi dari kebijakan privatisasi media yang membuat kekuatan modal sangat berperan dalam kepemilikan jaringan media massa. Dia mengaitkan hal itu dengan ideologi konsumerisme yang selalu mendorong orang untuk mencari solusi privat untuk menyelsaikan masalah-masalah publik dengan cara membeli atau menjual sesuatu (Murdock, 1992).
Dalam konteks media penyiaran di Indoenesia seperti secara umum digambarkan diawal bahasan, hampir sebagian besar acara-acara mulai dari kuis, infoteinment, diskusi dan lain-lainnya memiliki agenda perekrutan khalayak untuk diberikan pengiklan. Kalau era Orde Baru dulu, media penyiaran seperti TV dan radio didominasi oleh negara bahkan secara gamblang kita dapat menilai posisi media sebagai instrumen aparatus ideologi negara. Dua-duanya (dominasi negara dan pasar) tentu saja tidak dapat melahirkan public sphere yang diidealkan. Memang masih ada diantaranya model-model acara yang cenderung masih mebuka ruang publik disela derasnya tekanan pasar. Misalnya saja, dialog Indonesian Recovery yang dipunyai Metro saat membuka diskursus gagasan Islam liberal Ulil Absar Abdala (23/12). Disitu terdapat kesempatan berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk saling berdialog. Tentu saja, masih banyak acara sejenis di TV-TV lainnya yang masih bisa diharapkan turut membantu mewujudkan kritisisme masyarakat secara emansipatoris.
Tentu saja, kondisi media yang ‘menghambakan’ diri pada dominasi negara dan pasar ini bertentangan dengan cita-cita Habermas. Sebab dalam dimensi tindakan komunikatif menurut Habermas (dalam Purwantoro, 1997) “rasionalisasi” menunjukan proses-proses emansipasi dan individuasi, sama halnya dengan perluasan komunikasi yang bebas dari dominasi. Habermas memandang, emansipasi itu menyangkut kepentingan material yang dihubungkan secara internal dengan kebenaran, kebebasan dan keadilan. Artinya, ini juga merupakan proses pembentukan komunikasi bebas distorsi sebagai bentuk organisasi sosial.
McCharty (1978) menjelaskasn konsep Habermas mengenai ‘situasi perbincangan ideal’, menurut Habermas struktur komunikasi itu bebas dari hambatan hanya bila bagi semua partisipan terdapat suatu pembagian simetris dari kesempatan-kesempatan untuk memilih dan mempergunakan speech act, bila ada suatu kesamaan kesempatan yang efektif bagi pengandaian peran-peran dialog. Struktur pemikiran Habermas kalau kita telusuri telah menggantikan perjuangan kelas sebagai revolusi fisik dengan perjuangan kelas sebagai hubungan dialogal.
Untuk menjadikan media penyiaran menjadi institusi yang memiliki fungsi pelayanan bagi perluasan ruang publik kiranya perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, menyediakan forum publik untuk berbagai lapisan masyarakat secara inkulsif. Kedua, menggali cara berpikir popular, memberikan sumber baru pengawasan dan umpan balik bagi pemegang kekuasaan. Ketiga, melekatkan definisi dominan mengenai kewarganegaraan, bangsa dan budaya. Keempat, membuat garis batas antara kawasan swasta dan kawasan publik

Beberapa Kritik Terhadap Habermas
Banyak kritik telah disampaikan terhadap konsep public sphere Habermas, misalnya datang dari Thompson (dalam Featherson, 1993). Sebenarnya Thompson tidak bermaksud menolak prinsip-prinsip public sphere dari Habermas, hanya dia mencoba membedakan isu-isu substantif dan isu-isu normatif. Kritiknya itu antara lain :
Pertama, secara historis Habermas terlalu menekankan publik yang ada pada public sphere borjuis dan mengabaikan bentuk-bentuk lain wacana publik yang ada pada abad 17, 18 dan 19 di Eropa. Selain public sphere borjuis juga terdapat gerakan politik dan sosial yang populer dan bukan merupakan turunan dari public sphere borjuis. Bahkan diantara keduanya seringkali bersifat bertentangan.
Berkaitan dengan hal ini, Habermas mengakui perlunya pendekatan yang lebih fleksibel terhadap gerakan sosial populer dan bentuk-bentuk budaya populer. Pendekatan tersebut tidak hanya menilai karakternya tetapi juga kemungkinannya untuk memiliki bentuk dan dinamikanya sendiri.
Kedua, model public sphere borjuis merupakan idealisasi proses sejarah aktual dan tidak sesuai dengan karakter gerakan sosial non borjuis. Public sphere borjuis terbatas pada elit yang berpendidikan dan golongan laki-laki. Habermas tidak menyadari marjinalisasi perempuan di kalangan borjuis dan karakter patriarkat keluarga borjuis. Studi-studi feminist yang ada menunjukan bahwa penarikan (exclusion) perempuan dari public sphere tidak hanya karena kondisi sejarah yang memungkinkan, tetapi juga karena penarikan tersebut terkandung dalam pengertian atau gagasan mengenai public sphere itu sendiri. Public sphere merupakan wacana politik khusus kelompok gender tertentu (laki-laki) dan merupakan kawasan rasionalisme dan universalitas dimana laki-laki diperlengkapi kemampuan untuk berpartisipasi dan perempuan hidup dalam dunia domestik.
Ketiga, bagian terlemah dari structural Transformation adalah mengenai “penurunan dari public sphere”. Argumen Habermas tentang transformasi public sphere pada abad 19 dan 20, tidak berisi detil material empiris. Menurut Habermas, terjadi konsumerisme publik dan refeodalisasi public sphere melalui hegemoni kapitalis atas media. Thompson berpandangan terdapat penjelasan yang keliru dengan menunjukan dua alasan . Pertama, diragukan apabila konsumen media massa adalah konsumen yang terpikat (enthrall) dan dapat dimanipulasi. Terdapat proses penerimaan (process of reception) yang menggambarkan penerimaan orang terhadap isi media merupakan proses kreatif yang rumit dan kreatif. Kedua, berkenaan dengan gagasan refeodalisasi public sphere. Habermas melihat politik yang ada saat ini hanya mengandalkan penampilan pribadi seorang politisi (personal aura) daripada debat politik yang membandingkannya dengan kondisi pada abad pertengahan. Perbandingan tersebut tidaklah relevan karena kondisi komunikasi bertatap muka sekarang ini berbeda dengan komunikasi melalui media yang dilakukan oleh politikus dengan publik. Selain itu, pada abad pertengahan politisi berhadapan dengan orang-orang dengan konteks budaya dan temporal yang sama. Sedangkan saat ini pemimpin politik berhadapan dengan jutaan pendengar yang sangat tersebar secara spatial.
Keempat, structural tansformation hanya relevan untuk kondisi masyarakat barat pada abad 20-an, karena saat ini terjadi diferensiasi sosial dan Habermas telah memperbaiki teorinya melalui bukunya the theory of communicative Action yang membedakan sistem dengan dunia kehidupan yang mempunyai implikasi besar dalam teori demokrasi dari Habermas.
Kritik lain yang diajukan Thompson dan tidak banyak disinggung oleh ahli lainnya adalah filosofi yang melandasi wacana praktis yakni konsepsi dialogis. Konsepsi tersebut hanya mempunyai sedikit kesesuaian dengan jenis komunikasi melalui media, sehingga kesesuain dengan jenis public sphere dimana media ikut membentuknya menjadi tidak relevan.
Cara berpikir Habermas mengenai media cetak dibentuk oleh model komunikasi yang didasarkan pada kata yang diucapkan (lisan) seperti pada public sphere borjuis. Cara berpikir ini tentu saja tidak sesuai dengan kondisi komunikasi melalui media. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Habermas melihat media massa dalam pengertian negatif dibandingkan dengan public sphere borjuis karena situasi komunikasinya berbeda (tanpa dialog, karena melalui proses penerimaan isi media yang bersifat pribadi).
Memang kalau kita analisa, Habermas sangat pesimistik dalam melihat media massa, ini terlihat dari penilaiannya terhadap produk media massa yang dianggapnya manipulatif. Betul bahwa media seperti radio dan TV membentuk format-format baru komunikasi, seperti show, disksusi panel dll, namun hal tersebut dalam pandangan Habermas tidak sepadan dengan debat-debat rasional dan kritis yang terjadi di public sphere.
Terlepas dari kekurangan konsep public sphere Habermas dalam hubungannnya dengan media, konsep tersebut setidaknya memiliki kelebihan-kelebihan yang perlu kita hargai. Pertama, kebenaran (authenticity) sosiologis yang mengesankan dan menggambarkan kelangkaan karya yang setara untuk media lain, dalam konteks dan sejarah yang berbeda. Kedua, memberikan pengaruh kuat kepada masa glasnot yang diikuti oleh tumbangnya Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ketiga, inspirasi kebijakan reagenian dan tatcherian serta divusi (penerapan) konsep tersebut pada birokrasi umum dengan maksud untuk merevitalisasi dan memperkuat ideologi dan praktek kapitalis menimbulkan suatu kondisi “menantang” analisis oposisional radikal, dan pada saat yang sama kondisi tersebut memperlemah legitimasi dan kesempatan menggunakan analisis tersebut. Keempat, kepentingan praktis penelitian untuk membantu mendefinisikan ulang dan mengatur peranan media di Timur, bersamaan dengan kepentingan Barat berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi swastanisasi media publik dan komersialisasi yang lebih intensif pada media swasta. Kelima, keuntungan politis bagi intelektual media untuk membangun dialog dengan dunia dalam kehidupan akademis.
Sebenarnya ada beberapa model pelayanan publik yang ideal dipraktekan oleh media massa saat ini yakni, pertama media massa memfasilitasi kesejahteraan bentuk-bentuk kehidupan, selera dan pendapat masyarakat. Kedua, media memberdayakan keragaman warga negara yang tidak diatur oleh negara diktator juga tidak diatur oleh dominasi kekuatan pasar. Ketiga, memungkinkan masyarakat hidup dalam kerangka negara konstitusional. Terakhir media menyajikan beragam pendapat publik.
Maksimalisasi kebebasan dan kesetaraan komunikasi memerlukan usaha-usaha pencegahan pemusatan kepemilikan media dan pengaturan secara umum media milik swasta serta membatasi jangkauan dan intensitas “suara” perusahaan.
Lembaga media yang dikuasai oleh lembaga non-profit dan didanai oleh umum sebenarnya menjadi bentuk ideal model pelayanan umum. Media non-pemerintah dan non non-swasta dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuasaan dan emansipatoris. Tentu saja ini sebuah idealisasi yang membutuhkan waktu dan upaya lebih keras lagi untuk mewujudaknnya.

KESIMPULAN
Pemikiran Habermas tentang public sphere sebenarnya mengidealkan adanya ruang diantara negara (state) dan masyarakat (pulic) dimana setiap warga negara bisa melibatkan diri dalam diskursus tentang masalah bersama. Dia melihat fenomena seperti salon, coffe house dan tichgesellschaften pada abad 19 dan 20 sebagai contoh-contoh artikulasi public sphere. Hanya tentu saja siring perkembangan zaman, model-model public sphere yang mensyaratkan dialog face-to-face tergantikan dengan adanya peran media massa.
Mulanya Habermas melihat media massa dibentuk sebagai bagian integral dari public sphere, namun pada perkembangannya dia melihat media massa secara pesmisitik karena media dia anggap sudah sangat komersil dan tersubordinasi oleh kepentingan pemodal, sehingga tidak bisa bebas dan emansipatoris.
Pokok pemikiran Habermas yang berkenaan dengan public sphere sebenarnya dilatarbelakangi upayanya membangun sebuah ‘teori dengan maksud praktis’. Dalam pandangannya suatu perkembangan masyarakat menyangkut tiga dimensi pokok, yakni kerja, interaksi dan kekuasaan. Pekerjaan sifatnya teknis dan meliputi rasionalitas instrumental yang berkaitan dengan disiplin yang bersifat empiris-analitis. Interaksi sifat dan rasionalitasnya praktis serta diwakili oleh sejarah dan hermeneutic, sementara power dikaitkan dengan ideologi.
Penerapannya dalam konteks relasi media dan public sphere saat ini ide Habermas sebaiknya dilihat sebagi spirit untuk terus mengupayakan munculnya beragam conten media yang berpihak kepada publik.
DAFTAR PUSTAKA


Agnes Heller, Habermas and Marxism, dalam : Thompson, J.B (ed.) Habermas : Critical Debates, London : The Macmiilan Press, 1982

Bernstein,RJ., Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman, Jakarta :Gramedia, 1983

Boyd-Barret, Oliver, Conceptualizing the Public Sphere, in Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, Approach to Media A Reader, New York : Arnold, 1995

Habermas, Jurgen, The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Translated by Thomas Burger, Cambridge Massachusetts : MIT Press, 1993

Habermas, Jurgen, Institusion of The Public Sphere, in Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, Approach to Media A Reader, New York : Arnold, 1995

Hartley, Jhon., The Politics of Picture : The Creation of the Public in the Age of Popular Media, New York : Routledge, 1992

Hardiman, Francisco Budi, Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Jakarta : Kanisius, 1993

Littlejhon, Stephen W., Theories of Human Commnucation, Albuquerque New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998

McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.) Jakarta : Erlangga, 1987

Murdock, Granham, Citizens, Consumers and Public Culture, in Schroder, Kim Cristian and Skovmand, Michael (eds), Media Culture, Routledge, London, 1992

McCarthy,TH., The Critical Theory of Jurgen Habermas, Camridge : MIT Press, 1978

Purwantoro,A., Pembaruan Linguistik Jurgen Habermas dalam Tradisi Teori Kritis, dalam Majalah Filsafat Driyakarya, th.XXIII No. 1

Sensat,J., Habermas and Marxism, London : Sage Publications, 1979

Thompson, John B., The Theory of the Public Sphere, in Featherstone, M. (ed.), Theory, Culture and Society, Sage : London, Vol.10 No.3

Artikulasi Politik Kaum Muda

Oleh : Gun Gun Heryanto

Saat Michael Sessions (18) terpilih sebagai Walikota termuda sepanjang sejarah Amerika, banyak yang meragukan kemampuan politik sekaligus manajerial sang walikota yang masih tercatat sebagai siswa di SMA Hillsdale. Sumber ketidakpercayaan tak lain adalah faktor usia, karena politik selalu diidentikan dengan kematangan pengalaman yang menjadi satu dari dua sisi mata uang selain kematangan usia.
Begitu pun saat Benigno (Ninoy) Aquino Jr. dari Philipina, menjadi walikota termuda di provinsinya dengan usia baru 22 tahun, dia menimbulkan kehebohan luar biasa dalam percaturan politik Philipina saat itu. Mirip iklan salah satu produk‘yang muda belum boleh bicara (baca berpolitik)’ , maka Aquino pun harus merasakan pahitnya didiskualifikasi dari jabatanya setelah 7 tahun memerintah. Apa penyebabnya? sederhana, ternyata saat dia mencalonkan diri sebagai walikota, usianya kurang 19 hari dari batas usia yang diperbolehkan mendaftar. Tapi, politik selalu menjadi rumusan art of possibility, sukses dijegal dari jabatannya sebagai walikota, Aquino justru menjadi gubernur termuda dalam usia 28 tahun (1976), senator termuda di Philipina pada usia 34 tahun dan sempat mencalonkan diri sebagai Presiden Philipina pada tahun 1973.
Lagi-lagi, gagalnya Aquino tak terkait dengan kapabilitas dirinya karena masih belia, melainkan justru kemampuannya yang luar biasa itulah yang menakutkan lawan-lawan politiknya sehingga dia pada tahun 1972 harus dijebloskan ke dalam tahanan militer yang khusus. Setelah itu, diasingkan di AS dan klimaknya pada 21 Agustus 1983 di tembak di Bandara Internasional Manila. Kematian Ninoy telah menjadi martil bagi perjuangan rakyat Philipina menumbangkan rejim Markos, setalah sebelumnya semangat Ninoy bermetamorfosis dalam semangat Qorazon Aquino istrinya.
Manifesto Pemuda
Munculnya spirit dan kekuatan politik kaum muda juga yang menghantarkan NKRI sperti sekarang ini. Sedikit flashback sejarah nasional kita, artikulasi semangat kaum muda Indonesia tak hanya dengan mengangkat senjata tapi juga dengan pemikiran dan pencerahan. Caranya, tentu saja melalui konsolidasi kekuatan yang digawangi kaum muda tersebut.
Para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925, telah melahirkan Manifesto Politik 1925 yang intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Sebuah manifesto dari kaum muda yang menjadi pintu menentukan bagi proses ikrar bersama masyarakat negara-bangsa (nation-state) yang berslogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" yakni Indonesia. Konggres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itulah satu diantara momentum artikulasi politik kaum muda yang luar biasa.
Proses berdemokrasi yang dinamis dan kerapkali melahirkan situasi krisis selalu membutuhkan kontribusi politik kaum muda Indonesia. Soekarno sempat berujar “berikan kepadaku 10 pemuda, maka akan kuubah dunia” . Sebuah pernyataan retoris yang menekankan optimisme jika kaum muda mau dan mampu membangun kapasitas individual mereka.

Media dan Regulasi Pornografi

Oleh : Gun Gun heryanto

Banyak perspektif untuk melihat apakah suatu gambar atau tampilan bisa dikategorikan sebagai seni atau pornografi. Fenomena yang mengemuka, sejak ramai perang opini tentang perlu tidaknya majalah Playboy di tutup, telah membentuk polarisasi yang tajam antara kelompok yang pro dan yang kontra. Bahkan selayaknya realitas yang biasa dikonstruksi oleh media, maka riuh-rendahnya perdebatan tentang majalah Playboy tersebut, ibarat magnet yang kian menyedot perhatian publik, sehingga isu tersebut laku dijual.
Sejak awal, penulis tak ingin berpolemik tentang definisi pornografi, karena hal ini hanya akan mengundang debat yang tak berkesudahan. Melainkan, ingin menegaskan perlunya kesadaran semua pihak untuk peduli pada satu institusi pendidikan massal yang setiap saat mencangkokan berbagai nilai, budaya bahkan ideologi. Institusi tersebut, tak lain adalah media massa. Jika isi rubrik, gambar atau program di media massa mengumbar ketertarikan syahwat, memacu libido bahkan kecabulan secara kasat mata, terlepas apakah itu dianggap seni atau bagian dari ekspresi kebebasan pers, maka hal itu patut dikritisi bersama-sama.
Realitas Simbolik
Tak dipungkiri, satu diantara kekuatan media massa di era teknologi komunikasi seperti sekarang ini, adalah kemampuannya dalam memproduksi dan mereproduksi pengetahuan dalam masayarakat. Terlebih, di dalam masyarakat Indonesia yang tingkat melek medianya (media literacy) secara umum masih rendah, terpaan media massa menjadi sangat powerfull. Dalam karakteristik masyarakat seperti ini, tesis munculnya kesadaran kritis khalayak konsumen untuk memilih dan tidak memilih media seperti dipercayai penganut Uses and Gratification Theory masih sangat sulit untuk direalisasikan. Bahkan fenomenanya, media kian perkasa mengintervensi dan menghegemoni kesadaran individu khalayak untuk turut dalam mainstream realitas yang ditampilkan media.
Memang, media massa yang selalu menjadi ‘arena pertarungan’ merupakan sebuah konstruksi sosial yang eksistensinya terbentuk melalui interaksi berbagai tindakan agen dan struktur. Kerapkali ideologi, superstruktur atau lingkup dan representasi wacana dalam domain publik serta akses khalayak terhadap wacana bergantung pada kekuatan ekonomi, cara pendanaan dan pengorganisasian produksi media.
Media massa memang mengusung realitas simbolik yakni ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai realitas obyektif atau realitas yang ‘apa adanya’. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, bahwa saat ini media menjadi institusi pelembaga yang paling efektif. Melalui realitas simboliknya, media massa mengkonstruksi realitas subyektif. Menurut Berger (dalam Dedy N Hidayat, 2003 :7-8) realitas subyektif adalah konstruksi defenisi realitas seputar pasar (market reality) yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi .
Dalam rangkaian logika inilah, realitas simbolik untuk menampilkan rubrik, gambar atau program di dalam media massa yang membangkitkan syahwat, libido dan kecabulan harus dihentikan. Meminjam desain perspektif Berger and Luckman (1990 : 75-76), ada dua konsekuensi dari realitas simbolik pornografi di dalam media massa. Pertama, akan terjadinya pelembagaan jika apa-apa yang telah ditampilkan media massa tentang pornografi membentuk proses pembiasaan (habitualisasi) . Artinya ucapan, gambar, ataupun prilaku berbau pornografi kerapkali diulangi dan akhirnya menjadi suatu pola yang kemudian dipahami oleh khalayak konsumen media, sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian (realitas obyektif). Nyaris setiap saat dapat kita temukan di media cetak maupun elektronika, “jualan” yellow program atau yellow picture and article yang kerapkali mengusik kesadaran kita untuk menuntut tanggung jawab sosial media massa.
Kedua, realitas simbolik pornografi di media massa akan melegitimasi berlakunya dogma neo-liberalisme di dalam pasar media yang mengklaim “The greater the play of the market force, the greater the freedom of the press; The greater the freedom of the press, the greater the freedom of the audience choice” . Dengan dalih kebebasan pers akan memberikan kesempatan lebih banyak bagi kebebasan memilih yang dimiliki khalayak konsumen media, maka banyak media yang kemudian ‘menghalalkan’ pornografi sebagai menu utama jualannya. Tentunya, ini merupakan legitimasi yang keliru. Bukan persoalan siapa yang lebih bermoral, melainkan lebih pada kekhawatiran kita untuk tidak terjebak pada kediktatoran pasar (market dictatorship).
Regulasi Media
Korporasi media massa bersekala internasional termasuk group media yang memiliki trademark berjualan seks akan melirik Indonesia sebagai pasar sangat potensial. Hal ini, paling tidak dilatarbelakangi oleh dua alasan kuat. Pertama, Indonesia merupakan salah satu negeri dengan penduduk terbesar di dunia. Secara kuantitatif, jumlah yang besar tersebut menjadi bernilai secara ekonomis. Sementara secara kualitatif, masih minimnya penduduk yang mengenyam pendidikan terutama pendidikan tinggi, berpengaruh pada reading habit masyarakat. Dampak lanjutannya sudah bisa ditebak, minimnya minat baca berpengaruh pada tingkat melek media, dan karakteristik masyarakat yang tingkat melek medianya rendah akan lebih menyukai isi media yang berbau gosip, hiburan, kriminalitas, dan tentunya eksploitasi seks di urutan teratas.
Kedua, ekspansi dan intervensi korporasi internasional seperti Majalah Playboy Indonesia melalui PT. Velvet Silver Media, menemukan momentumnya di tengah perubahan bandul sistem media Indonesia dari otoritarian ke libertarian. Pascaruntuhnya Orde Baru, pers memasuki fase kebebasan yang luar biasa. Sistem kontrol negara (state regulations) tergantikan dengan sistem free market of ideas. Pengintegrasian diri ke dalam sistem pasar yang berporos pada logika akumulasi keuntungan inilah yang memudahkan korporasi media internasional masuk mengintervensi pasar media di Indonesia. Sehingga, suka tidak suka realitas simbolik pornografi akan menjadi bagian dari realitas yang apa adanya (objektif).
Buah simalakama kini tengah dirasakan masyarakat Indonesia. Di satu sisi muncul gelombang protes dan penentangan terhadap kemunculan media massa dengan trademark eksploitasi seks seperti Playboy, bahkan sempat berbuah tindakan anarkis oleh salah satu organisasi keagamaan. Di sisi lain, negara dan juga para pekerja media telah merelakan untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem pasar yang tidak boleh melarang hadirnya sebuah institusi media untuk bertarung di pasar selama ada pasar yang membelinya.
Kenyataan ini tentunya harus disikapi secara proporsional. Dengan alasan apapun tindakan anarkis untuk mengekpresikan ketidaksetujuan bukanlah cara yang tepat. Ada dua jalan yang kiranya bisa ditempuh oleh kita untuk menyalurkan kegerahan atas kemunculan majalah porno yang lokal maupun yang berafiliasi ke korporasi internasional. Pertama, mendorong semua pihak baik pemerintah maupun media massa untuk taat pada instrumen regulasi yang sudah ada. Regulasi bukan untuk memberangus kebebasan pers akan tetapi untuk melindungi media yang memiliki tanggung jawab sosial kepada khalayak konsumennya. Sebanarnya kita memiliki instrumen regulasi yang belum dijalankan secara optimal misalnya KUHP, UU Penyiaran No.32 tahun 2002, PP No.49,50,51 dan 52 tahun 2005, UU Pokok Pers No.40 tahun 1999, dan UU Perlindungan anak. Jika, ada komitmen untuk menegakkan regulasi tersebut secara konsekuen, maka media massa yang mengusung pornografi akan tereleminasi dengan sendirinya. Berbagai kekhususan regulasi di instrumen-instrumen hukum tersebut, harus dioptimalkan sehingga media akan benar-benar tampil menjadi public sphare.
Kedua, secara sistem ada baiknya perubahan dari sistem otoritarian tidak lantas menjadikan media massa Indonesia menganut liberalisme yang radikal. Represi rejim kapital atau market dictatorship dengan pola rasionalitas intrumental yang memaksimalkan produksi-konsumsi dengan mendasarkan diri pada kaidah penawaran dan permintaan tak lebih hanya menciptakan mesin-mesin produksi yang kehilangan ‘mata hati’ untuk bertanggungjawab secara sosial. Media yang bebas adalah media yang menanamkan kesadaran untuk melindungi publik guna memperoleh isi media yang berkualitas dan mencerahkan.

Pilkada dan Jaringan Pers Lokal

Olwh : Gun Gun Heryanto

Demam Pilkada kini kian menghangat di berbagai daerah di tanah air. Suasana menjelang pesta demokrasi di tingkatan lokal ini, semakin semarak. Berbagai spanduk menyambut Pilkada mulai menghiasi berbagai sudut keramaian. Fenomena yang dirasakan hampir oleh seluruh daerah penyelenggara Pilkada. Bahkan, di daerah-daerah yang Pilkadanya terancam tak terlaksana di bulan Juni pun, seperti di 13 kabupaten/Kota di Papua, di dua daerah di Sumatera Selatan yakni Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, di Kabupaten Manggarai Barat, NTT dan sejumlah daerah lainnya di tanah air, gaung Pilkada tetap terasa.
Antusiasme masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia, di mana para kepala daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan ‘hajatan’ baru yang akan menentukan nasib penanganan daerah-daerah di masa mendatang. Model birokrasi daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang menciptakan atmosfir kesemarakan.
Sementara secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di tingkat nasional. Bangsa Indonesia telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung. Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa sejalan dengan keinginan mereka.

Potensi Masalah
Munculnya sejumlah masalah dan berbagai kecurangan dalam setiap kali pemilihan kepala daerah merupakan cerita lama. Terpilihnya seorang kepala daerah yang biasanya melalui konspirasi elit partai di lembaga legislatif, seringkali melahirkan raja-raja kecil. Tradisi politik seperti ini, yang mestinya dirubah melalui momentum Pilkada secara langsung.
Hanya saja, perlu upaya dan kepedulian yang kuat dari masyarakat untuk turut memantau secara seksama proses Pilkada. Sebab, pertarungan menuju singasana kepala daerah ini, dibayang-bayangi berbagai trik, manuver serta konspirasi yang seringkali tidak sejalan dengan arah dan tujuan demokrasi.
Dalam konteks inilah, penulis memandang peran strategis yang dapat dimainkan oleh institusi dan insan pers. Sebagai kekuatan ke empat (the fourth estat) di sebuah negara, pers diharapkan bisa menjadi alat kontrol yang efektif dalam sistem demokrasi, termasuk di tingkatan lokal sekalipun. Dengan reportasenya, pers diharapkan menceritakan berbagai hal menyangkut Pilkada kepada khalayak. Jika konstruksi realitas yang dibangun pers mewakili jati dirinya sebagai public sphere yang menyokong demokratisasi di daerah-daerah penyelenggara Pilkada, maka pengharapan akan munculnya kepala daerah melalui cara-cara demokratis pun akan semakin menemukan momentumnya.
Belum lagi Pilkada digelar, sejumlah masalah sudah nampak di depan mata. Menurut pengamatan penulis, ada beberapa titik krusial yang harus terus-menerus mendapat perhatian masyarakat. Pertama, menyangkut validitas data pemilih. Depdagri telah menerima data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang kemudian data pemilihnya diambil oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Daerah, yang disebut sebagai Data Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4). Akhir tahun lalu, Depdagri sebenarnya telah menerima data P4B dari KPU. Masalahnya, DP4-nya belum tentu benar, sehingga KPUD harus melakukan up date lagi untuk mendapatkan DP4 yang muktahir. Realitasnya, di berbagai KPUD saat ini mengalami kesulitan dalam pemuktahiran data pemilih Pilkada dan pencetakan kartu pemilih. Banyak daerah yang belum mengeluarkan daftar pemilih sementara. Hal ini, nantinya berpotensi besar menimbulkan kerawanan manipulasi pemilih.
Kedua, kemungkinan adanya campur tangan pemerintah daerah dalam urusan pencalonan orang atau paket pasangan tertentu. Hal ini, terutama dilakukan oleh kepala-kepala daerah yang saat ini menjabat dan akan kembali mencalonkan diri. Potensi memanfaatkan power kekuasaan dan berbagai fasilitas yang masih melekat pada jabatannya itulah, yang harus senantiasa dikontrol oleh masyarakat. Aroma konspirasi dengan pihak legislatif pun tak terhindarkan. Misalnya, dengan belum adanya laporan dari DPRD setempat kepada KPUD tentang berakhirnya masa jabatan bupati/walikota. Di Papua misalnya, dari 13 Kabupaten/Kota yang mengikuti Pilkada, hingga 4 april 2005 baru tiga DPRD yang mengajukan laporan yakni DPRD Merauke, DPRD Yapen dan DPRD Waropen. Oleh karenanya, besar kemungkinan pelaksanaan Pilkada akan tertunda. Hal seperti ini, bisa menguntungkan salah satu calon terutama calon yang saat ini masih menjabat. Sejumlah masalah lain pun tentunya menghadang pelaksanaan Pilkada yang demokratis, antara lain sumber dana kampanye, prilaku money politic, ijazah palsu hingga tindakan kriminal dan lain-lain. Semua masalah tersebut, tentunya memerlukan perhatian intensif masyarakat termasuk kontrol ketat dari insan pers.

Pers Lokal
Satu di antara pemain kunci yang nantinya akan mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, sebenarnya adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Minimal ada tiga potensi besar yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. Pertama, pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi area liputannya. Para jurnalis pers lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka bahas secara lebih detail. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih tinggi. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal sangat kurang. Kalau pun ada, hanya terbatas pada isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
Kedua, akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama.
Ketiga, seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan manajemen modern. Terlebih dengan terkoneksinya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar yang telah menjadi trend di Indonesia. Dukungan manajemen modern atau manajemen group bisnis media ini, turut mendukung profesionalisme institusi pers lokal. Tak hanya terbatas pada media cetak, pers lokal pun kini telah merambah radio dan televisi.
Melihat ketiga potensi besar tadi, alangkah idealnya jika pers lokal memainkan perannya secara maksimal dalam pelaksanaan Pilkada nanti. Kongkretnya, pertama ada baiknya jika jurnalis di daerah membangun jaringan pers lokal pemantau pilkada. Sehingga bisa memainkan fungsi social surveillance secara lebih terorganisir dengan menghasilkan efek yang lebih kuat. Kedua, di tengah himpitan dan godaan kekuatan ekonomi dan politik, pers lokal seyogyanya tetap mengusung obyektivitas. Komponen obyektivitas seperti diidealkan J. Westershal (lihat McQuail :1994), mencakup faktor faktualitas yakni mengandung nilai kebenaran, serta faktor impartialitas yakni mencerminkan keseimbangan dan netralitas. Memang seringkali pers lokal mengalami dilema antara idealisme dan tuntutan untuk survive. Namun, di era keterbukaan seperti sekarang ini, kualitas isi media yang baik, tentunya akan membuat pers lokal tetap eksis.

Membingkai Kontroversi di Televisi

Oleh Gun Gun Heryanto

Tahun 2007 segera berlalu, meninggalkan beragam cerita yang tak pernah ada habisnya. Penggalan cerita yang disuguhkan berbagai televisi kita kian beragam, mulai dari hingar-bingar politik, fenomena kekerasan, mistik, binalitas, hingga sejumlah kontroversi seputar figur dan selebriti yang memuncak di penghujung tahun. Sekilas, nampak tak ada masalah apa pun, karena televisi telah menjadi pola hidup dan menu tontonan harian keluarga.
Bagi sebagian besar masyarakat kita, televisi telah menjadi oase dalam proses relaksasi dari kepenatan dan himpitan masalah sosial yang begitu menumpuk. Televisi telah sukses memerankan dirinya sebagai penghibur, yang meninabobokan kesadaran khalayak. Keindahan dan kompleksitas dramaturgi yang dibangun dalam realitas simbolik televisi telah menghipnotis masyarakat, sehingga mereka tuna kuasa untuk melakukan kritik atas hegemoni ketidakpatutan yang kerapkali terlembagakan. Meski di satu sisi, si kotak ajaib ini merupakan instrumen modernisasi dan demokrasi yang sangat penting, namun di sisi lain juga telah memerankan diri sebagai aparat ideologi dari kekuatan pasar maupun negara yang turut membentuk kesadaran manusia satu dimensi (one dimensional man).

Celebrity Effect
Mengamati dunia televisi kita sepanjang tahun 2007, nampak kian menguatkan tesis Douglas Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion. Ini merupakan “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan hak akumulasi modal sebebas-bebasnya. Apapun programnya, selama menghasilkan uang akan dianggap sebagai sesuatu yang “alami, wajar dan sudah seharusnya demikian”. Dunia televisi kita, hingga penghujung tahun ini masih mengusung berbagai fenomena ketidakpatutan yang diproduksi dan reproduksi secara massal.
Sepanjang tahun ini, isi televisi kita makin didominasi oleh maraknya infotainment dengan segala diversifikasi programnya (talk show, reality show dll.) yang memaksa isu-isu privat menghegemoni isu-isu publik. Betapa luar biasa gamblangnya televisi kita memberitakan perselingkuhan, skandal,poligamy,kematian dan sederet kasus lainnya. Tentu saja, pembingkaian kontroversi yang dilakukan oleh televisi kita perlu dikritisi bersama. Pertama, banyak program infotainment yang tak lagi mengindahkan etika profesi kewartawanan. Kalau pencarian berita seputar selebritis diklaim sebagai jurnalisme infotainment, mengapa banyak sekali kaidah-kaidah normatif publikasi berita yang melanggar kepatutan ? Misalnya saja, banyak infotainment yang mengumbar keseronokan secara kasat mata, saat memberitakan kasus Yahya Zaeni dan Maria Eva tahun lalu.
Kita dapat memahami bahwa berita harus selalu mengusung fakta. Namun jika fakta adegan cabul dalam video mesum pelaku ditampilkan secara gegabah, intensif dan serempak, bukankah ini akan memiliki dampak kuat yang negatif. Televisi kita telah menerapkan prinsip konsonansi, yakni isi informasi tentang suatu hal yang disampaikan oleh berbagai media massa secara serempak dan nyaris seragam baik isi, arah, frekuensi maupun cara penyajiannya.
Bisa dibayangkan, jika berita cabul dengan potongan-potongan gambar seronok tersebut ditayangkan di waktu-waktu yang memang bisa diakses oleh segala umur, bukankah hal ini dapat menstimulasi khalayak untuk berperilaku sama? Sekilas nampak positif, seolah televisi menjadi alat sosial kontrol atas prilaku tak senonoh anggota DPR dan artis dangdut tersebut. Namun, jika ditelaah lebih mendalam justru akan mengkondisikan juga prilaku imitasi.
Menurut Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi (1941) menyebutkan, imitasi itu dapat dilakukan melalui matched-dependent behavior. Seorang individu belajar untuk menyamai tindakan orang lain (model atau si pemimpin) melalui proses instrumental conditioning. Cara vulgar media menampilkan video mesum tersebut dan porsi ulasan berlebih yang menyulap Maria Eva mendadak populer serta ”untung” karena undangan dari berbagai stasiun televisi, dapat menjadi instrumen yang mengkondisikan prilaku imitasi.
Dalam hal ini, layak kiranya kita mengutip pendapat Bandura (1969) tentang inhibitory & disinhibitory effect (efek malu dan tidak malu). Inhibitory merupakan efek yang menyebabkan orang lain yang menyaksikan perilaku tertentu menjadi malu dan menahan diri untuk mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan disinhibitory merupakan efek sebaliknya yang menyebabkan orang tidak malu untuk mengulanginya. Jika televisi kita menjadi instrumen yang mengkondisikan perilaku-perilaku seperti itu sebagai ”ladang menguntungkan” dan memperpendek jalan merengkuh popularitas, tidak mustahil akan lahir kasus serupa di masa mendatang dimana pelakunya tak sedikit pun dihinggapi rasa malu.
Kedua, yang harus dikiritisi adalah proporsionalitas waktu tayang. Keseharian kita tahun ini, bahkan mungkin tahun 2007 pun tak akan jauh berbeda, dikepung oleh berbagai jenis infotainment dengan segala bentuk kemasannya. Pagi, siang, sore, hingga larut malam program ini dijual habis-habisan oleh televisi kita. Kontroversi poligamy AA Gym dan misteri kematian Alda Risma misalnya, sangat mendapat porsi berlebihan mengalahkan bencana lumpur panas Lapindo Brantas, Pilkada Aceh, bencana banjir dan longsor di Sumut dll.
Tak dapat dipungkiri, program infotainment yang sarat drama, kontroversi dan sentuhan emosional ini, memang menguntungkan secara bisnis. Namun demikian, ada baiknya para pekerja media pun menyadari eksistensi media sebagai public sphere. Dengan demikian, jangan sampai televisi kita terlampau didominasi oleh isu-isu privat hingga mengalahkan isu publik. Terlebih, jika untuk memperkuat unsur dramatisnya, isu-isu tersebut diarah-arahkan, diplintir, dieksploitasi sesuai skenario si pembuat berita. Ada baiknya media juga meraba dampak pemberitaan dari perspektif yang diberitakan.
Peran Media
Catatan akhir tahun lainnya yang menonjol di televisi kita adalah paradoks peran media di masyarakat. Televisi yang seharusnya menjadi media edukasi dan informasi, malah menjadi institusi paling berpengaruh dalam mencangkokan nilai-nilai kekerasan dan budaya instan.
Jhon Sinclair dkk., dalam bukunya New Patterns in Global Television : Peripheral Vision (1996) menyebutkan, bahwa televisi merupakan medium cangkokan yang megah. Pemikiran ini beranjak dari kenyataan hampir seluruh isi media merupakan cangkokan antara muatan lokal dengan berbagai komoditas isi yang dikehendaki struktur pasar global.
Dua penanda yang menonjol dari hasil cangkokan tersebut yakni kekerasan dan budaya hedonis yang bertumpu pada kesadaran instan. Penanda pertama, telah melahirkan banyak korban misalnya tayangan program smackdown produksi World Wrestling Entertainment (WWE) serta semua program sejenis antaralain After burn, Raw, Bottomline, Heat, Experience, Extreme Championship Wrestling. Acara kekerasan pun tersebar di berbagai tayangan berita kriminal yang menghiasi hampir seluruh televisi kita.
Penanda kedua, berbagai televisi kita sepanjang tahun ini masih melembagakan berbagai cara instan mencapai kesuksesan. Berbagai ajang pencarian bakat super instan, maraknya kuis berhadiah milyaran rupiah, mengadu nasib melalui sms atau premium call dan sejumlah instrumen pembentuk kesadaran palsu lainnya telah membius khalayak untuk senantiasa menjadi loyalis yang tidak memiliki daya kritis.
Tentu saja, kritik atas kinerja televisi kita sepanjang tahun 2007 ini, tidak serta merta menihilkan peran penting yang telah dimainkan oleh media dalam membangun peradaban masyarakat. Selalu ada jalan tengah antara ekstrim liberal media yang berporos pada logika keuntungan dan ekstrim otoritarian media yang berporos pada logika kekuasaan, yakni tanggung jawab media yang berporos pada logika hak-hak publik untuk mendapatkan program yang berkualitas

Pleonasme Simbol Kenegaraan

Maraknya aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon belakangan ini ternyata mengundang reaksi dari Megawati. Tentu saja, dalam kapasitasnya sebagai komunikator politik, pesan Mega menjadi sarat makna dan mempengaruhi diskursus publik. Layaknya proses komunikasi pada umumnya, komentar Mega kali ini juga berada dalam suatu konteks yakni ketidakharmonisan antara suprastruktur dan infrastruktur politik, dua aras pokok dalam jalinan komunikasi politik.

Simbol Kenegaraan
Di depan peserta Rakornas Sosialisasi Kebijakan Komunikasi dan Informasi di Istana Negara, Rabu (8/1) lalu, Mega menyesalkan aksi-aksi massa yang merusak simbol-simbol kenegaraan. Simbol-simbol yang dimaksud, antara lain bendera, foto dan patung kepala negara.
Dalam perspektif Mega, pembakaran seperti itu dinilainya tidak menghormati pemimpin bangsa dan hanya akan membuat bangsa Indonesia sulit menjadi bangsa yang utuh seperti Jepang dan Korea. Namun sebaliknya, dalam perspektif massa pengunjuk rasa, aksi tersebut merupakan pesan kekecewaan terhadap pemimpinnya yang tidak lagi peduli terhadap nasib bangsa yang kian sulit.
Yang menarik ditelaah dalam masalah ini adalah pemaknaan terhadap simbol itu sendiri. Merujuk kepada pendapat David K. Berlo (dalam Cangara, 2000 :102), simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis sehingga memiliki arti. Foto dan Bendera bagi Mega merepresentasikan simbol kenegaraan yang memiliki arti otoritatif dan sangat politis. Oleh karenanya, mereka yang membakar simbol-simbol tersebut dipandang telah menghina negara dan pemimpinnya.
Simbol ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Menurut Alex Sobur (2001: 44-45), sifat simbol itu mewakili sesuatu yang lain dan simbolisme dianggap sebagai usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis.
Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir. Contoh kasus, dalam menentang masuknya Singapore Technologies Telemedia (STT) dalam kepemilikan 41,94 saham Indosat bisa jadi massa pengunjuk rasa yang membawa bendera merah putih menjadikannya sebagai simbol nasionalisme. Begitu juga saat kampanye 1999 lalu, banyak orang yang turun ke jalan dengan mengusung foto dan patung Mega maupun Hamzah. Simbol dalam konteks ini, adalah harapan rakyat akan terjadinya perubahan nasib yang mereka delegasikan lewat tokoh-tokoh tersebut.
Popularitas Mega hingga mendapat dukungan politik untuk menduduki jabatan presiden juga merupakan hasil dari interaksi simbolis. Saat itu, Mega adalah representasi wong cilik. Simbol perlawanan yang diusungnya, telah mengkonstruksi dia sebagai simbol perubahan kaum marginal.
Wajar disaat harapan rakyat akan perubahan nasib yang lebih berpihak kepada rakyat kecil tidak terpenuhi, mereka marah dan membakar simbol-simbol itu sebagai ekspresi kekecewaan. Konsekuensinya, semakin banyak kebijakan pemerintah yang mengecewakan, delegitimasi terhadap simbol-simbol kenegaraan juga akan semakin kuat.
Pleonasme Politik
Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telopon kali ini menunjukan terjadinya krisis komunikasi politik. Dalam situasi yang serba sulit, lahirnya sebuah kebijakan publik mestinya mengacu kepada mutual understanding antara rakyat dengan pemerintah. Artinya diperlukan optimalisasi komunikasi antara suprastruktur politik dalam hal ini pemerintah dengan rakyat sebagai infrastruktur politik.
Pemerintah mestinya melakukan sosialisasi yang rasional mengenai seluruh kebijakan yang menyangkut kebijakan publik. Hal ini penting guna meningkatkan loyalitas dan mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Dalam kapasitasnya sebagai media penghubung, komunikasi mestinya dioptimalkan agar terjalin komunikasi timbal balik (two way Communcation) antara masyarakat dan pemerintah.
Perlu diberi catatan, pengharapan rakyat pada pemerintahan Mega-Hamzah adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu (Dan Nimmo,1993). Oleh karenanya, mustahil seorang pemimpin dapat mengkoordinasikan tata nilai politik dan ideliasasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.
Kenaikan yang berbarengan, secara psikososial tentu saja membuat shock masyarakat. Hal ini dengan sendirinya menstimulasi kepanikan sosial akibat melambungnya berbagai kebutuhan pokok. Masalahnya justru bukan pada kenaikan tarifnya, tetapi pada timing dan prosesnya yang melawan logika publik. Resistensi dilakukan karena publik merasa pemerintah Mega-Hamzah sama halnya dengan pemerintahan sebelumnya tidak memiliki sense of crisis.
Pemerintah hingga saat ini, masih tetap pada keputusannya, meskipun hampir di setiap daerah aksi demonstrasi makin marak. Elemen mahasiswa, serikat buruk, asosiasi pengusaha dan lain-lain kompak turun ke jalan. Macetnya saluran komunikasi politik, dikhawatirkan makin memperkuat sikap skeptis rakyat terhadap lembaga-lembaga formal negara. Di sisi lain, pihak-pihak yang merasa kuat dan memiliki kekuasaan dikhawatirkan memaksakan kehendak dan kepentingannya lewat transformasi simbol-simbol politik.
Komunikasi politik semacam ini,meminjam istilah Novel Ali (1999) bisa menimbulkan pleonasme atau kemubadziran baik bagi sumber (komunikator) maupun sasaran (komunikan). Pleonasme memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan antara sumber dan sasaran. Pada akhirnya hal ini juga mengakibatkan pleonasme simbol-simbol kenegaraan, karena berbedanya tingkat apresiasi terhadap substansi makna simbol-simbol tadi.
Pleonasme bisa mendorong mencuatnya heteronomi komunikasi, dimana masyarakat bisa juga pemerintah kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik.

Rhetorically sensitive
Untuk menghindari krisis komunikasi politik yang kumulatif Megawati maupun Hamzah Haz sudah semestinya mengkonstruksi diri menjadi komunikator ideal, yang menurut tipologi Roderick Hart (1972 : 75-91) sebagai tipe rhetorically sensitive. Menjadi komunikator yang sensitif retoris, artinya Mega dan Hamzah harus peka terhadap situasi yang berkembang. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mau dan mampu mendengar serta menerima input dari masyarakat. Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dalam penerimaan ide-ide secara meluas.
Mega tidak perlu lagi khawatir akan terjadinya pleonasme simbol-simbol kenegaraan. Sebab hal ini hanya akan terjadi kalau pemimpin tetap bersikukuh dalam tipe noble selves, yang mengganggap dirinya superior sehingga tidak perlu melakukan adaptasi dengan rakyatnya. Pemerintahan Mega-Hamzah sebenarnya memiliki sumber daya politik yang cukup. Hanya saja, kalau tidak dimanfaatkan demi kepentingan rakyat, momentum itu akan berlalu tanpa keberhasilan apa-apa.

Sumber Rujukan
Ali, Novel, Peradaban Komunikasi Politik Potret Manusia Indonesia, Bandung : Rosadakarya, 1999
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
Harta, Roderick P., and Don M Burks, “Rhetorical Sensistivity and Social Interaction,” Speech monoghraps 39, 1972
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Tjun Surjaman (terj.), Bandung : Rosdakarya, 1993
Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001

Prinsip Komunitarian Masyarakat Metropolitan

Oleh : Gun Gun Heryanto

Jakarta sebagai kota metropolitan, layaknya sebuah latar dari pentas drama kehidupan. Penggalan cerita kekerasan, keangkuhan, pertaruhan nasib dan mimpi semuanya dikonstruksi yang dalam perspektif interaksionisme simbolis (Stephen W. Littlejohn, 1998), menjadi arena orang belajar dari pengalaman. Struktur dan institusi sosial tercipta dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. Dari konstruk tersebut, tindakan sosial menjadi konsep dasar yang memediasi hampir seluruh proses psikologis dan sosial lainnya. Tindakan lebih jauh dilihat Burke salah seorang tokoh interaksionisme simbolis sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Dengan demikian penting kiranya, menempatkan perbincangan Jakarta sebagai drama masyarakat metropolitan dalam suatu setting diskursus komunitarian.

Socio-cultural Animocity
Jakarta semakin banyak melibatkan aktor yang bermain. Meskipun secara real, kebutuhan dan kapasitas wilayah Jakarta untuk menjadi panggung kehidupan semakin terbatas. Dari jumlah 435.000 jiwa pada tahun 1930, menjadi 9,8 juta (1995), dan sekitar 12 juta jiwa saat ini. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang pindah ke Jakarta. Upaya Pemerintah DKI sendiri dalam menekan laju pertumbuhan penduduk hanya bisa 0,16 persen pertahun. Dapat kita bayangkan ekses yang diakibatkannya, terjadi paradoks antara imagined city yang bercirikan good society yang semakin mengarah ke utopia, dengan self destroying society yang semakin menemukan bentuknya di masyarakat metropolitan.
Akar masalah yang menyebabkan semakin parahnya dehumanisasi pada masyarakat metropolitan sekarang ini, adalah masalah Socio-cultural animosity. Yakni suatu kebencian sosial dan budaya yang bersumber dari perbedaan nasib yang dikonstruksi oleh sejarah masa lalu. Terkandung unsur keinginan balas dendam yang memunculkan tidak hanya manifest coflict tetapi juga yang lebih berbahaya lagi, yakni hidden atau latent coflict.
Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat. Keluarga, sekolah, kampung, rumah ibadah, ormas, orpol, termasuk media massa melakukan terpaan secara terus menerus.
Munculnya konflik itu bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, pada masyarakat Jakarta yang heterogen terlanjur berkembang simbol-simbol privalege yang menjadi mitos dan streotif kelompok tertentu. Orang cina, kristen, militer akar etnis berlainan seperti Jawa, Minang, Makssar, Bugis dan lain-lain. Contoh paling kolosal, saat terjadi akumulasi kemarahan massa 13-15 Mei lalu, maka kebencian yang tersembunyi itu, tersalur dengan penyerangan, penjarahan dan pembunuhan terhadap etnis cina. Secara materi, berdasarkan informasi mengakibatkan kerugian 2,5 triliyun (Kompas, 18 Mei 1998). Selain tentu saja kerugian yang lebih besar yakni terganggunya nilai-nilai ideal kemanusiaan. Bisa jadi, ini hanya merupakan salah satu contoh ledakan dari ledakan-ledakan besar yang sudah dan akan terjadi.

Faktor lain yang memunculkan animocity, bisa juga dipengaruhi proses integrasi yang belum tuntas. Mengadopsi integrasi dari Etzioni (1993), terdapat model-model integrasi. Model integrasi normatif, yaitu integrasi yang berakar pada kesepakatan dan kepatuhan yang membudaya terhadap nilai-nilai dan norma tertentu. Integrasi ini mempunyai hubungan timbal balik dengan adanya rasa senasib, cita-cita bersama dan ikatan solidaritas. Integrasi model ini sekarang sudah hilang di masyarakat Jakarta. Kalaupun ada, sangat terbatas pada kelompok kecil yang terpisah-pisah.
Secara sosiologis seseorang akan patuh pada nilai-nilai dan norma yang ada bila ia memiliki rasa bersalah (guilty feeling), rasa malu (shame feeling) dan rasa takut (fear) serta kontrol yang terjadi dalam diri setiap orang (inner control). Sikap ultra individualisme telah terinstitusionalisasikan secara baik sehingga ikatan solidaritas menjadi sangat lemah.
Model integrasi lainnya, adalah integrasi fungsional. Yakni integrasi yang berdasar pada rasa saling membutuhkan dan ketergantungan fungsional antar kelompok. Banyak kasus yang mengakibatkan integrasi model ini terganggu. Misalnya saja kasus bisnis yang berjalan tidak sehat. Banyak perusahaan di Jakarta yang lahir dan tumbuh sarat dengan KKN, sehingga corporate culture yang dibangun tidak menciptakan hubungan fungsional yang utuh. Banyak terjadi kesenjangan yang secara psikologis menumbuhsuburkan keakuan.
Integrasi yang dominan dalam kondisi seperti ini, justru integrasi koersif yakni integrasi yang belandaskan pada kekuatan yang tidak bisa dihindarkan (memaksa) dari suatu kelompok dominan terhadap lainnya. Misalnya saja, dapat kita amati saat Forum Betawi Rembug (FBR), memaksa “ketaatan” masyarakat miskin perkotaan terhadap eksistensi Sutiyoso, dengan cara tidak mengotak-atik LPJ-nya.

Sentralisasi Kapital
Daya tarik Jakarta berkaitan dengan tingginya peredaran uang. Lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta. Pada saat yang sama, 45 persen investasi dalam negri juga ditempatkan di Jabotabek. Dengan demikian Jakarta antraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politis, ekonomi dan kebudayaan.
Terjadinya sentralisasi kapital ini, bukan tanpa masalah. Orang daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki nasib. Mereka di satu sisi tidak bisa dipersalahkan sebab memang secara real mimpi perbaikan nasib itu diarahkan ke Jakarta. Disisi lain, SDM berkualitas di daerah habis tersedot ke pusat, sehingga daerah tidak bisa mengoptimalkan diri.

Prinsip Komunitarian
Untuk membangun good seciety di Jakarta perlu kiranya kita mengukuhkan kembali prinsip komunitarian. Prinsip yang banyak diinspirasikan dari Konsep Walter Lippman (1937). Prinsip ini menurut Etzioni (1993) berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.
Yang penting dari prinsip ini, masyarakat metropolitan perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya kekitaan yang tidak menindas keakuan, dengan kata lain adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsipnya antara lain, anti puritanisme, merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan untuk pemerintah. Dalam prinsip komunitarian, institusi pendidikan juga bisa menjadi agen pendidikan moral tanpa mengindoktrinasi. Warga harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain. Perjuangan kepentingan pribadi dalam prinsip ini,harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas. Oleh karenanya kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disyahkan oleh masyarakat.
Pembangunan oleh pemerintah harus mengacu pada konsep people centre development dan Reinventing Government yang menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memberi daya (empowering) dan memberi kemudahan (facilitating) dengan cara memberikan informasi kepada komunitas dan mengikut sertakan mereka menjadi partisipan yang proaktif. Pemda DKI sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun) dan menengah (10 tahun), tinggal kesadaran para penyelenggaranya untuk lebih memanusiawikan prosesnya.
Penyakit sosial berupa anomie (normlessness) atau kekaburan antara apa yang benar dan salah, yang meluas di kalangan masyarakat bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tidak diskrimatif. Menuju masyarakat komunitarian pada masyarakat metropolitan bukan lagi sutau keinginan yang idealis tetapi kebutuhan yang realistis bahkan strategis.


Daftar Bacaan
Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication, Albuquerque New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998
Etziani, Amitai. The Spirit of Community : The Reinvention of American Society, New York : Touchstone. 1993
Kompas, 18 Mei 1998

Rabu, 05 Desember 2007

MARKETING POLITIK DAN INDUSTRI CITRA

Oleh : Gun Gun Heryanto*
(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO, 16 November 2006)


Politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang mengiurkan setiap orang. Tak bisa dimungkiri, Bangsa Indonesia yang sudah bersepakat untuk belajar demokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang mengalami gegap gempita dan euporia pesta demokrasi. Bak permainan baru yang sedang digemari, energi masyarakat, banyak yang tersedot ke dalam rivalitas politik yang kian mengharu biru. Pilkada digelar dimana-mana, riuh rendah dukungan dan penolakan terhadap kandidat terpilih, seolah menjadi penanda paling nyata bahwa wilayah permainan dan rivalitas politik tak lagi tersentral di Jakarta. Melalui Pilkada langsung, hasrat politik sekian banyak orang dapat tersalurkan. Tentu, setelah mereka mampu bertarung dengan kandidat lain di sebuah era industri citra. Pertarungan yang masih didominasi oleh politik citra atau politik yang berporos pada popularitas kandidat di tengah massa pemilih.
Industri Citra
Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar.
Hampir tak ada satu pun komponen-komponen sistem politik yang dapat meniadakan hubungan saling menguntungkan antara politisi dengan industri citra politik. Komponen seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan dan pelaksanaan aturan dibentuk dan dilaksanakan melalui akses terhadap industri citra. Di antara industri citra yang sangat menonjol dewasa ini adalah industri media massa.
Kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Banyak orang ataupun institusi sosial dan politik yang berkepentingan dengan media. Mereka berupaya memiliki akses untuk masuk dan mempengaruhi media, dengan asumsi penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.
Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari imej dan menyumbang imej. Oleh karena opini merupakan respons yang dikontruski, maka sangat stratagis jika politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini. Paling tidak, ada tiga komponen utama di dalam sebuah opini. Pertama, keyakinan yang terdiri dari credulity atau soal percaya dan tidak terhadap sesuatu. Dengan marketing yang baik, khalayak akan digiring untuk mempercayai apa yang menjadi konsep dan tawaran kandidat. Semakin besar kepercayaan khalayak terhadap kandidat, maka opini yang berkembang akan semakin positif.

Kedua, di dalam opini juga terkandung nilai berbentuk nilai-nilai kesejahteraan (welfare Values) dan nilai-nilai deferensi (deference value). Nilai-nilai kesejahteraan antaralain pencarian kesejahteraan, kemakmuran, keterampilan dan enlightement. Sementara nilai-nilai deferensi antaralain penanaman respek, reputasi bagi moral rectitude, perhatian dan popularitas serta kekuasaan. Dengan memahami komponen-komponen nilai tersebut, kandidat seyogyanya memahami benar jika opini tidak bisa dibiarkan mengalir secara bebas, melainkan harus dikonstruksi. Tentunya dengan cara-cara yang elegan.
Ketiga, opini juga terdiri dari komponen ekspektasi. Yakni komponen yang berkaitan dengan unsur konatif. Ini merupakan aspek dari imej pribadi dan proses-proses interpretif yang terkadang disamakan oleh para psikolog sebagai impuls, keinginan (volition) dan usaha keras atau striving. Kesadaran untuk mengemas opini publik adalah kesadaran untuk menyelaraskan keinginan dan usaha keras pencapaian tipe ideal sebuah tatanan dengan tipe ideal yang diharapkan khalayak pemilih. Semakin luas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih, maka akan semakin besar pula peluang kandidat untuk memenangi pertarungan citra.
Publisitas Politik
Di hampir setiap penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah, hingga kini persoalan kampanye politik selalu menuai masalah. Polemik yang mempertanyakan legitimasi kapan sebuah kampanye boleh dan tidak boleh dilakukan. Tak hanya itu, batasan-batasan tegas apa yang dikategorikan sebagai kampanye dan bukan pun kerapkali menjadi persoalan yang pelik. Peraturan Pilkada selalu membatasi masa kampaye dari tanggal sekian hingga tanggal sekian, namun demikian berbagai langkah pemasaran politik (marketing of politics) berjalan jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Contoh yang sangat dekat dan menonjol akhir-akhir ini yakni Pilkada DKI, Pilkada Banten dan Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam. Hampir tak ada satu sudut pun di area publik yang bebas dari terpaan pemasaran politik. Spanduk, giant banner, sticker dll., seolah-olah menjadi pemandangan yang lumrah dan realitas apa adanya.
Dalam perspektif komunikasi politik, kampanye termasuk ke dalam kategori penyampaian pesan politik. Aktivitas kampanye biasanya merupakan upaya sistemis, terencana dan terorganisir untuk mempengaruhi khalayak agar menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang menjadi kontestan. Kampanye sebagian besar diorientasikan bagi publik umum. Mereka dipersuasi, dikenalkan dan diajak turut serta memilih salah satu kandidat. Sebuah upaya “menggarap” massa di luar kader yang sudah ditasbihkan menjadi loyalis partai atau ideolog-ideolog yang intensif bergerak di dalam wadah politik yang dimiliki kandidat. Dengan demikian, di dalam kampanye selalu terkandung ajakan untuk mendukung kandidat pada saat pemilihan.
Saat ini, sudah tidak zamannnya lagi jika kandidat Pilkada masih menganggap sosialisasi politik hanya terpaku pada kampanye politik dengan waktu yang dibatasi. Namun demikian, bukan berarti kandidat lantas boleh semena-mena menggunakan seluruh waktu dan ruang publik untuk menyeru khalayak agar memilihnya. Kita sepakat, jika kampanye dalam arti seruan eksplisit untuk mencoblos salah satu kandidat dibatasi waktu penyelenggarannya. Kita juga boleh sepakat jika ada ajakan, seruan ataupun intimidasi untuk memilih kandidat di luar waktu yang ditetapkan harus ditindak secara tegas. Akan tetapi kita juga harus hati-hati benar untuk tidak menghakimi kesadaran pemasaran politik modern sebagai pelanggaran.
Dalam pemasaran politik dikenal salah satunya adalah publisitas politik. Publisitas merupakan upaya mempopulerkan diri kandidat atau institusi partai yang bertarung. Ada empat bentuk publisitas yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik. Pertama, dikenal sebagai pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya saja, bulan Ramadhan dan Idul Fitri merupakan siklus aktivitas tahunan sehingga menjadi realitas yang apa adanya. Kandidat bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memasarkan dirinya. Misalnya dengan mengucapkan “Selamat Menjalani Bulan Ramadhan” atau “Selamat Idul Fitri 1427 H” dengan embel-embel nama atau photo kandidat. Semakin banyak jenis bentuk pure publicity yang digarap, maka akan semakin populer kandidat.
Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil menjadi pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor gerakan anti narkoba, turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga disebuah daerah kantung pemilih dan lain-lain.
Ketiga, tie-in publicity yakni dengan memanfaatkan extra ordinary news (kejadian sangat luat biasa). Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga imbasnya memperoleh simpati khalayak. Sebuah peristiwa luar biasa, dengan sendirinya memikat media untuk meliput. Sehingga partisipasi dalam peristiwa semacam itu, sangat menguntungkan kandidat.
Keempat, paid publicity sebagai cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, Iklan spot, iklan kolom, display atau pun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan menyediakan anggaran khusus untuk belanja media.
Dalam perspektif penulis, di era industri citra sekarang ini, berbagai langkah untuk memasarkan diri sebagai upaya sosialisasi politik merupakan hal yang lumrah dan sudah seharusnya demikian. Berbagai jenis media publisitas dapat digunakan secara elegan. Maksud elegan di sini artinya kandidat tidak merusak tatanan dengan membuat seruan, ajakan, atau justru intimidasi secara eksplisit untuk mencoblos. Seruan ekplisit mencoblos hanya digunakan saat masa kampanye berlaku. Mempersuasi tidak harus selalu menunjukan nomor atau kalimat ajakan mencoblos melainkan dengan cara memalingkan perhatian publik, lalu membuat diri mereka memiliki kepentingan dan hasrat yang sama, mengarahkan orang untuk menimbang kelebihan kandidat yang akan menjadi bekal keputusan mereka saat memilih. Semakin besar kesamaan dalam hal keyakinan, nilai-nilai dan ekspektasi khalayak maka semakin besar pula peluang kandidat memenangkan pertempuran.