Rabu, 08 Mei 2013

DRAMA KEJAR TAYANG


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran SINDO, 4 Maret 2013))

Ibarat sinetron kejar tayang, cerita seputar Partai Demokrat terus bergulir memasuki episode demi episode penuh drama. Penulis pernah gundah saat SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Demokrat dalam salah satu pidatonya menyatakan pengamat, wartawan, masyarakat, media massa salah duga dengan berbagai manuvernya.

Rapimnas Demokrat (17/2) pun disulap jadi panggung dramaturgi politik, seolah-olah konsolidasi Demokrat berjalan mulus. Saat itu, penulis tertantang untuk mengkritisi konsolidasi semu Demokrat, dengan membuat tulisan yang dimuat di Koran SINDO, Selasa (19/2) dengan judul “Dramaturgi Konsolidasi”.

Intinya, penulis mengatakan terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya dari rapimnas yang seremonial dan formalistis. Waktulah yang akan menguji konsistensi Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau hanya bermain peran di panggung depan.

Psywar Anas 

Tak butuh waktu lama untuk sekadar mengetahui ke mana drama beralur logika dangkal tersebut berlanjut. Kurang dari sepekan seusai rapimnas, perahu Demokrat kian retak. Anas Urbaningrum selaku nakhoda Demokrat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun bukan status hukum Anas yang menjadikan partai biru ini mengharu biru, melainkan pernyataan Anas dalam pidato pengunduran dirinya selaku ketua umum Demokrat yang menjadi babak baru perang terbuka Anas vs SBY.

Sejumlah psychological war atau perang urat saraf yang dilancarkan Anas menjadi bentuk komunikasi politik menohok dan memalingkan perhatian publik pada alur yang dikehendaki Anas. Paling tidak, ada empat dinamika psywar yang Anas konstruksi dan menarik dicermati.

Pertama, Anas sukses mengartikulasikan teknik card stacking saat pidato pengunduran dirinya. Dalam konteks komunikasi politik, si aktor memilih dengan teliti pernyataan untuk membangun suatu kasus. Nalar publik dibawa pada sebuah konstruksi alur cerita yang sangat logis dan tentunya memiliki efek domino kuat pada konstelasi berikutnya.

Persis seperti kartu domino yang didirikan paralel, jatuhnya satu kartu menyebabkan kejatuhan kartu-kartu lain. Pernyataan yang mewakili teknik ini, misalnya saat Anas dengan tegas menyebut dirinya sebagai bayi yang dilahirkan tetapi tidak diharapkan. Anas nampak paham benar, yang disebut koherensi material dan koherensi struktural dalam alur sebuah narasi.

Kedua, Anas piawai membangun haltung dan stimmung secara bersamaan dalam pidato persuasifnya. Haltung merupakan upaya memengaruhi perilaku, sikap, dan perbuatan orang, sementara stimmung merupakan moral penerimaan dan retensi imbauan persuasif. Anas mencoba meyakinkan publik dengan pernyataan bahwa ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Ekspresi ini untuk menggarisbawahi kondisi kekinian Anas; meski dinyatakan sebagai tersangka tetapi belum menjadi the end of history bagi Anas.

Ketiga, Anas juga secara sengaja atau tidak telah menggulirkan Duren Sawit sebagai poros baru dalam perang opininya terhadap Cikeas. Persis setelah pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Demokrat, Anas menjadi news maker paling diburu para pencari berita.

Setiap hari siaran live televisi, radio, laporan media cetak dan online terkait komentar Anas mengalir deras dari Duren Sawit. Berlakulah praktik teori agenda setting media, seperti digagas oleh Maxwell McComb dan Donal L Shaw dalam tulisan lawasnya The Agenda Setting Function of Mass Media (1972), jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Anas secara leluasa melancarkan perang urat saraf kepada kubu Cikeas dengan membuka secara perlahan serangannya pada Ibas dalam kasus Hambalang. Tak hanya itu, Century pun digulirkan sebagai halaman berikutnya yang akan dibuka ke publik. Memang, pernyataan Anas belum mengarah ke fakta hukum melainkan masih bahasa politis. Tetapi justru bahasa politis itulah perang urat saraf yang bisa membuat kubu Cikeas gerah.

Keempat, psywar juga tampak terasa dari kedatangan para tokoh lintas kekuatan ke rumah Anas. Dalam konteks ini, Anas secara praktis merealisasikan teknik bandwagon yakni meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan daya tariknya, sehingga banyak orang akan “turut naik” pada gerbong yang sama.

Dalam politik, berlaku adagium “musuhnya dari musuhku adalah sahabatku”. Terlepas dari apa pun motif kedatangan para tokoh nasional itu ke rumah Anas, satu yang pasti secara politis itu membuat rasa percaya diri Anas kian tinggi untuk berhadap-hadapan dengan SBY.

Darurat Ketum 

Ada tiga kemungkinan pilihan sikap para pendukung Anas dalam menanggapi pengunduran dirinya. Pertama, sangat mungkin para loyalis Anas mengundurkan diri dari kepengurusan maupun keanggotaan Demokrat. Hal ini sudah mulai terjadi seperti di Cilacap, Sumatera Utara, dan sangat mungkin juga terjadi di wilayah-wilayah lain jika tak diantisipasi oleh elite Demokrat saat ini.

Kedua, loyalis Anas mungkin saja melakukan perlawanan dari dalam, yakni dengan tetap memosisikan diri seolah-olah ikut serta dalam langgam SBY. Secara formal prosedural, seolah-olah mereka menjadi bagian dari arus utama kubu Cikeas.

Tetapi di momentum tertentu, yakni seusai mereka lolos dalam screening distribusi dan alokasi sumber daya misalnya dalam daftar caleg Demokrat, dan punya ruang ekspresi lebih leluasa seusai SBY turun dari jabatannya sebagai Presiden yang memuncak pada Kongres Demokrat 2015, bisa saja para loyalis Anas “memukul” balik kubu Cikeas. Ketiga, sangat mungkin juga munculnya kelompok brutus pada lingkaran loyalis Anas.

Artinya, karena pertimbangan realistis-pragmatis loyalis Anas meninggalkan gerbong dan beralih ke kubu Cikeas. Kemungkinan-kemungkinan itu, tentu sudah dibaca oleh SBY dan elite kubu Cikeas lainnya. Sehingga sejak mengeluarkan delapan poin solusi beberapa waktu lalu, sudah beberapa kali DPD dan DPC dikumpulkan.

Terakhir, DPD dan DPC dikumpulkan di Cikeas pada Sabtu (2/3). Tentu, tak ada elite Demokrat yang eksplisit menyatakan bahwa salah satu agenda yang dibicarakan terkait dengan kongres luar biasa (KLB) yang saat ini menjadi kebutuhan mendesak partai. Namun, penulis memprediksi salah satu agenda perbincangan kumpulnya DPD dan DPC di Cikeas, Sabtu kemarin itu, adalah prakondisi untuk menyolidkan figur yang nantinya akan didorong dalam KLB.

Dengan demikian, sangat mungkin mereka menempuh mekanisme bermufakat dulu baru bermusyawarah. Artinya, figur yang dikehendaki sangat mungkin disosialisasikan SBY dan dimufakati DPD serta DPC, sehingga agenda KLB hanya akan jadi panggung dramaturgi politik Demokrat untuk mengesankan seolah-olah ada mekanisme demokratis yang ditempuh. Itulah salah satu sisi buruk drama kejar tayang jika dilakukan.

DRAMATURGI KONSOLIDASI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran SINDO, 19 Februari 2013)

Ada yang menarik dan mengena dalam tulisan Tajuk harian SINDO, Senin (18/2). Salah satu bagian tulisan di Tajuk tersebut menyoroti tajam sikap SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sangat keliru ketika seorang pemimpin berpidato berdasar asumsi bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa.

Bukankah merendahkan kecerdasan masyarakat itu sama dengan merendahkan akal sehat? Benar dan tidak isi pidato SBY itu akan ditentukan oleh waktu. Sejarah akan mencatat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak. Demikian penggalan tulisan di Tajuk tersebut.

Di bagian lain, Tajuk harian SINDO juga mengkritisi pidato SBY yang memosisikan seolah-olah pengamat, wartawan, masyarakat, serta media massa salah duga dengan berbagai manuvernya.

Benarkah soliditas di tubuh Demokrat terwujud lewat seremoni rapimnas tersebut? Atau, jangan-jangan rapimnas hanya bagian dari panggung depan konsolidasi semu para elite partai berkuasa ini.

Strategi kompromi

Rapimnas Partai Demokrat, Minggu (17/2) memang tak bisa kita lepaskan dari konteks situasi dinamis yang berkembang. Ini mata rantai proses penyelamatan, pembenahan, pembersihan, dan konsolidasi partai yang dipimpin langsung oleh SBY selaku ketua Majelis Tinggi. Tentu, hak yang melekat pada SBY dengan segala macam posisinya di Demokrat untuk melakukan proses konsolidasi partai.

Hanya, terlalu sederhana jika dikatakan usainya rapimnas berarti juga usainya rivalitas dan sirkulasi elite antaraktor di internal Demokrat. Apa yang dilakukan SBY di rapimnas sebenarnya bisa kita pahami dalam tiga konteks.

Pertama, ini strategi ZOPA (zone of possible agreement) dalam negosiasi kehormatan antara SBY dan Anas Urbaningrum. Dalam komunikasi politik, sesungguhnya pembacaan alur menjadi penting dalam memosisikan narasi retoris SBY. Kita ingat, gaduhnya berita seputar Demokrat ini dimulai dari hasil rilis elektabilitas Demokrat yang terjun bebas hingga angka 8,3 persen.

Kemudian muncul drama pengondisian “kekitaan” antar elite lewat SMS SBY yang ditunjukkan kepada beberapa tokoh Demokrat. Bola panas bergulir saat SBY secara demonstratif mengeluarkan delapan poin solusi. Pidato SBY saat itu, fokus pada bahasa kuasa untuk pe-ngendalian dan penegasan otoritas.

SBY eksplisit menyatakan bahwa Ketua Majelis Tinggi Partai berwenang dan bertanggung jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Dalam konteks yang sama, SBY meminta Anas fokus pada masalah hukum. Jika tujuannya hanya untuk menyelamatkan elektabilitas Demokrat, SBY tentu tak perlu tergopoh-gopoh turun gunung untuk memimpin langsung misi penyelamatan karena publik juga tahu betapa sibuknya SBY sebagai presiden di injury time kekuasaannya.

Reaksi cepat mengumpulkan 33 DPD se-Indonesia pun tak bisa kita lepaskan dari strategi pemetaan kekuatan struktur partai dari pusat hingga daerah. Rekonsensus formal secara langsung melalui penandatanganan pakta integritas menjadi alat kendali dalam pengondisian otoritas sekaligus memuluskan rentang kendali agar pengurus Demokrat berada dalam arus utama yang sama yakni langgam SBY.

Tetapi, fakta politiknya marginalisasi Anas juga tak mudah karena status hukumnya yang tak kunjung jelas sehingga sulit mendorong rapimnas ke kongres luar biasa (KLB). Belum ada tautan legal formal pelanggaran AD/ART partai inilah yang menyebabkan SBY dan Anas akhirnya saling mengakomodasi.

Kedua, SBY tentu juga melihat pergerakan opini publik di eksternal partai yang kian hari kian resisten terhadap langkahnya terjun langsung dalam misi penyelamatan partai. Opini keras dari publik ini terutama karena kekhawatiran SBY tak bisa fokus mengurusi bangsa dan negara meski hal ini juga sudah dibantah oleh SBY. Hal lain yang menjadi sorotan publik adalah cara pragmatis pengambilan kuasa dari Anas yang dikhawatirkan menjadi preseden buruk institusionalisasi demokrasi di tubuh partai.

Ketiga, SBY tentu juga berhitung cermat dinamika ke depan.Jika dia mengambil cara “perang terbuka” dengan menginisiasi sirkulasi elite yang frontal terutama dalam pemosisian Anas, bukan mustahil justru akan memberi efek bumerang bagi otoritas serta kehormatan dirinya sebagai figur utama di Demokrat.

Panggung depan

Tak dimungkiri bahwa panggung politik dalam praktiknya memiliki banyak kesamaan dengan panggung hiburan. Sama-sama memiliki unsur dramaturgi yang menuntut orang memainkan peran-peran tertentu. Erving Goffman (1922- 1982) seorang sosiolog interaksionis dalam bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life, menyatakan, perilaku dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari menampilkan diri kita dengan cara yang sama dengan aktor saat menampilkan karakter orang lain pada sebuah pertunjukan drama.

SBY harus kita pahami sebagai aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan “pertunjukan dramanya sendiri”. Menurut konsep dramaturgis,SBY tentu akan mengembangkan sejumlah perilaku yang mendukung perannya. Setting, kostum, serta pesan verbal dan nonverbal selama rapimnas bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik di publik bahwa tak ada apa-apa di tubuh Demokrat.

Goffman menyebut tindakan ini dengan istilah impression management. Dalam hal memainkan peran, panggung politik sama persis dengan panggung hiburan. Sama-sama menuntut penampilan prima terutama saat sang aktor berada di panggung depan (front stage). Di situlah publik diajak masuk ke dalam pemahaman dan alur cerita yang dikehendaki. Rangkaian tindakan tak bebas dari alur drama yang telah diskenariokan.

Dengan demikian, tindakan bukanlah sesuatu yang natural, melainkan telah dikonstruksi dalam realitas seolah-olah. Hal ini berbeda dengan situasi panggung belakang (back stage) yang biasanya bebas dan menjadi representasi tindakan nyata apa adanya.

Rapimnas jelas-jelas merupakan panggung depan para elite partai Demokrat sehingga apa yang tersaji di panggung depan belum tentu menjadi representasi kebenaran hakikinya.

Terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya dari rapimnas yang seremonial dan formalistik. Dengan demikian, waktulah yang akan menguji konsistensi Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau hanya bermain peran di panggung depan!


http://nasional.sindonews.com/read/2013/02/19/18/719172/dramaturgi-konsolidasi

TIPOLOGI KONFLIK ELITE

Oleh: Gun Gun Heryanto
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Opini Suara Pembaruan, 12 Februari 2013)

Konflik elite yang didominasi para politisi, kian mengemuka dan terpapar di media massa. Tiada hari tanpa pemberitaan konflik, baik di internal partai maupun relasi kuasa antara kekuatan yang bermuara pada Pemilu 2014. Terkini, sebut saja konflik internal Partai Demokrat yang bersumber dari posisi Anas Urbaningrum. Nyata dan teraba, faksionalisme di tubuh Demokrat belum usai hingga sekarang. Hasil riset SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang memosisikan elektabilitas Demokrat terjun bebas, menjadi katalisator hubungan antagonistik di antara elite Demokrat sendiri. Sebenarnya, konflik elite juga terasa di partai-partai lain. Terekspos atau tidaknya konflik para elite tersebut, sangat dipengaruhi manajemen konflik dan manajemen isu para politisi bersangkutan.   

Memetakan Konflik

Menarik untuk memetakan sejumlah konflik yang ada atau terprediksi mencuat sepanjang 2013 hingga Pemilu 2014. Paling tidak ada empat tipologi konflik para elite.

Pertama, konflik legal-formalistik. Jenis konflik ini muncul dari determinan hukum. Sejumlah elite dihantam kasus hukum mulai kelas ringan hingga kelas berat. Kasus Hambalang misalnya, sudah menyeret sejumlah nama politisi Demokrat seperti Mohammad Nazaruddin, Andi Alifian Mallarangeng, Angelina Sondakh. Kasus ini bak bola panas dan menghantam Anas Urbaningrum. Meskipun hingga kini posisi Anas masih sebagai saksi, tetapi kasus ini benar-benar telah memosisikan Anas dalam situasi tak nyaman dan tak pasti. Anas tentu tak tinggal diam, sejak lolos dari jeratan kasus Wisma Atlit, dia mengonsolidasikan kekuatan eksekutif partai dari pusat hingga daerah.
Anas sukses membangun stelsel aktif pertahanan dengan cara membentuk kepengurusan yang bisa dia kendalikan. Perlahan tapi pasti, Anas pun mulai mengembangkan strategi menghadapi tokoh-tokoh senior yang dominannya berada di Dewan Pembina sekaligus menjadi orang lingkar dalam SBY. Jika Anas lolos kasus Hambalang, maka bukan mustahil dia akan semakin percaya diri dan lebih leluasa memainkan manuvernya. Tetapi jika dia tersandung dan ditetapkan sebagai tersangka, maka akan menjadi the end of history bagi Anas di Demokrat.

Konflik legal formalistik ini pun terjadi bukan semata di internal melainkan juga antar partai. Sebut saja kasus korupsi pengadaan Al Qur’an yang membelit citra Golkar, kasus Century yang masih menyandera partai Demokrat, suap sapi impor yang menodai reputasi PKS dan sejumlah kasus hukum lainnya yang kian terbuka. Tahun 2013, akan kian ramai bermunculan sejumlah kasus yang melibatkan para politisi. Meminjam istilah salah seorang anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok, terbukanya korupsi para politisi itu ibarat arisan. Tinggal menunggu giliran siapa yang kena, karena prilaku koruptif ini telah menyebar dan nyaris merata di hampir seluruh partai politik.

Kedua, konflik struktural-organisasional terkait adanya hubungan buruk di antara para politisi dalam memosisikan aktor-aktor utama di tubuh partai mereka. Konflik di tubuh partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi contoh nyata jenis konflik ini. Dimana, saat NasDem bermetamorfosis menjadi partai muncul dua aktor utama yang sama-sama menjadi ikon partai berslogan “restorasi Indonesia” ini. Kedua aktor tersebut yakni Surya Paloh (SP) dan Hary Tanoesoedibjo (HT). Karena posisi figur lebih kuat dibanding sistem, maka gesekan antar aktor utama ini pun tak terelakan. Dampaknya, HT pun harus mundur dengan konsekuensi munculnya konflik lanjutan yang sifatnya struktural-organisasional. Misalnya, sejumlah pengurus DPP dan juga DPD yang merasa tak nyaman dengan kemunduran HT, berpotensi turut serta keluar barisan.

Ketiga, konflik instrumentalistik. Konflik ini dipicu oleh sejumlah faktor instrumental dalam kaitannya dengan pemilu 2014. Misalnya konflik dalam penetapan Daftar Caleg Tetap (DCT), calon presiden dan wakil presiden, Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sejumlah faktor lainnya. Sebagai contoh, kita bisa melihat relasi yang kurang harmonis antara Abrizal Bakrie (ARB) dengan Akbar Tandjung. Kondisi tersebut dipicu oleh mekanisme pencapresan ARB yang terkesan terburu-buru dan kurang melalui tahapan demokrasi internal partai. Konflik ini, bisa saja sementara mendingin seiring komunikasi yang dibangun ARB dengan sejumlah elite Golkar. Tetapi, tak menutup kemungkinan jelang pemilihan nanti, konflik ini akan kembali eskalatif bahkan yang terburuk lagi adalah ketidaksolidan mesin partai dalam pemenangan capres mereka. Demikian pula dalam pemilu legislatif, akan muncul dampak proporsional terbuka dimana caleg akan sangat ditentukan suara terbanyak di daerah pemilihan. Konflik bukan saja terjadi antar caleg beda partai, teman satu kandang pun sangat mungkin “baku hantam”.

Keempat, konflik simbolik. Ini merupakan konflik yang banyak dipicu oleh perang kata dan opini baik melaluimedia massa maupun media sosial. Sepanjang 2013 hingga pemilu 2014 kita kan menemukan sejumlah perang urat saraf dan propaganda bertebaran di mana-mana. Opini menyudutkan dan mendelegitimasi akan memenuhi ruang publik kita. Tentu, yang menjadi sasaran adalah melemahnya simbol kuasa seseorang atau institusi. Perang simbolik ini, bisa kita amati misalnya dari pernyataan Presiden PKS, Anis Matta soal adanya konspirasi besar terkait kasus LHI. Tak tanggung-tanggung, dia pun menyerukan untuk melawan penggunaan otoritas dalam proses pemberantasan korupsi yang bersifat tirani.  Pernyataan verbal agresif seperti ini juga akan sangat sering digunakan oleh para elite lain sesuai dengan kepentingan dan target sasaran masing-masing.

Modernisasi Partai

Di tengah pusaran konflik elite seperti sekarang, sudah saatnya para politisi kita mulai memikirkan dan mengupayakan modernisasi partai politik. Ada beberapa karakteristik partai modern yang sebaiknya diadopsi partai-partai di Indonesia.

Pertama, meminimalisir kekuatan rujukan (referent power). Tak disangkal bahwa setiap partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Gejala feodalisasi di tubuh partai yang mesti diwaspadai adalah menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan figur utama di puncak hirarki partai. Kesadaran diskursif maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar dalam penstrukturan organisasi.

Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996) penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumberdaya oleh anggota kelompok.  Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan sumberdaya manusia selalu menggantungkan kekuatannya  pada satu figur dan garus keturunannya, maka tentu partai bersangkutan tak akan pernah menjadi partai modern.

Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity). Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tak bisa berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan prilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai yang terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis figur utama.

Ketiga, partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi. Tahapan tersebut berjalan secara integratif yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai, lantas membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam jabatan-jabatan publik di internal maupun eksternal partai. Misalnya di legislatif, eksekutif maupun di struktur kepengurusan partai.
Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimana pun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Partai dapat menjadi saluran tepat saat konflik muncul dan eskalatif, sekaligus menjadi pengontrol yang efektif dalam proses konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik. ***

MELAWAN DALAM SUNYI?


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Opini Koran SINDO, 12 Februari 2013)

Reaksi cepat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memimpin penataan, penertiban, dan pembersihan Partai Demokrat mulai diimplementasikan. Selang dua hari setelah pengumuman delapan poin solusi penyelamatan Demokrat, SBY tancap gas dengan mengumpulkan 33 DPDse-Indonesia di Puri Cikeas, Bogor (10/2).Sulit menghindari tafsir politis menyangkut momentum serta relasi kuasa antara SBY dan Anas dalam sejumlah tindakan, ucapan, dan kebijakan SBY terkait penandatanganan pakta integritas tersebut.

Konteks Politis

Pakta integritas menjadi prioritas SBY di awal misi penyelamatan karena memiliki makna strategis ke dalam dan ke luar partai. Untuk internal partai, menjadi sebuah prosedur penting bagi SBY dalam melihat, menilai, memetakan loyalitas elite Demokrat seluruh Indonesia di tengah situasi krisis.Lebih spesifik lagi,tentu SBY selaku ketua majelis tinggi partai punya kepentingan memastikan bahwa dirinya benar-benar berada di puncak hierarki otoritas partai baik secara de juremaupun de facto. SBY pasti tidak ingin dipersepsikan hanya pandai berwacana dengan delapan poin solusi penyelamatan sehingga dia merealisasikan pertemuan sesegera mungkin.

Menariknya, kenapa penandatanganan justru dimulai dari pengurus 33 DPD dulu daripada DPP? Sekali lagi, konteks tak bias kita nafikan,bahwa selama ini Anas merupakan sosok ketua umum yang sangat rajin turun ke bawah. Berbagai inisiasi program dan penguatan jaringan Anas di struktur kepengurusan daerah berdenyut,bahkan kian memperlihatkan eksistensinya yang kian menguat. Jejaring politik Anas di daerah tak bisa dianggap sebelah mata. Wajar jika SBY mulai menyisir peta kekuatan dan memulainya dari daerah.

Dengan demikian, pakta integritas bukan semata soal substansi yang memang seluruh poinnya bagus, melainkan juga soal prosedur penguasaan. SBY sadar benar mengenai dampak psikopolitis dari pengondisian melalui pembubuhan tanda tangan yang merepresentasikan konsensus langsung tersebut. SBY juga mengelola kepastian guna memudahkan evaluasi serta pengendalian para elite Demokrat di daerah. Wajar, jika kita melihat kondisi ini menciptakan batasan afiliatif.Menurut Dennis Gouran dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disisihkan. Jika melihat dari sudut genealogi politik Partai Demokrat, tampak jelas posisi SBY hingga kini masih menjadi figur utama dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu.

Efek ke luar partai, penandatanganan pakta integritas yang diliput media massa tentu menjadi pesan bahwa Demokrat sedang serius berbenah. Sejumlah poin misalnya soal menjaga kinerja dan integritas untuk menyejahterakanbangsa, melayani masyarakat dengan adil dan tidak diskriminatif, memperkuat persatuan dan mengembangkan toleransi, patuh pada konstitusi dan hukum, mencegah dan menghindari korupsi, bersedia mundur dari jabatan di partai jika tersangka, menyerahkan data kekayaan dan lain-lain menjadi ekspresi simbolik bahwa ada kemauan untuk memperbaiki diri.

Tentu substansinya patut kita apresiasi, tetapi sebenarnya ini modus yang biasa digunakan dalam manajemen isu di saat krisis.Saat seseorang atau institusi dihajar isu atau persepsi negatif, maka biasanya mereka memalingkan perhatian pada ekspresi simbolik lain yang menunjukkan sisi positif. Hal ini juga dilakukan PartaiKeadilanSejahtera(PKS), saat mencuat kasus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI),maka Presiden Baru PKS,Anis Matta, mengatakan bahwa mereka akan melakukan pertobatan nasional. Hanya soal pilihan pendekatan saja yang membedakan strategi Demokrat dengan PKS. Jika PKS menggunakan pendekatan simbolik keagamaan, Demokrat lebih teknis operasional, yakni pakta integritas. Tujuan akhirnya kurang lebih sama, yaitu membangun persepsi positif publik atas institusi mereka.Terlebih momentumnya berada di tengah rivalitas antarkekuatan jelang Pemilu 2014. 

Posisi Anas

Dalam konstelasi politik internal Demokrat saat ini, posisi Anas memang sangat riskan. Akankah Anas selamat dari jerat kasus hukum? Kini hanya itu yang menjadi celah telak bagi faksi non-Anas untuk menjatuhkan dia dari posisinya sebagai nakhoda partai.Faktanya, hingga sekarang belum ada satu kasus pun yang disangkakan kepada Anas. Dengan begitu, SBY juga tak bisa serta-merta menggunakan strategi “perang terbuka” dengan melengserkan Anas karena belum cukup alasan adanya pelanggaran konstitusi partai.

SBY tentu berhitung cermat jika cara frontal yang ditempuh yakni melengserkan Anas sebelum ada kejelasan status hukumnya, maka justru kondisinya bisa berbalik menghantam SBY.Bisa dipahami jika mekanisme “perang terbuka” tak dipilih untuk menghindari zero sum game atau kalah jadi arang,menang jadi abu. SBY mengambil cara aman, dengan mengerangkeng Anas dalam poin-poin solusi penyelamatan partai. Yang paling menohok tentu poin yang menyatakan segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat. SBY sebagai ketua majelis tinggi akan mengambil keputusan dan arahan yang penting serta strategis. SBY juga mempersilakan Anas untuk fokus pada kasus hukum yang dikaitkan kepadanya.

Senyatanya, ini merupakan bentuk korporatisme politik ala SBY yang memosisikan Anas sebagai komandan tanpa tongkat komando! Jika melihat gaya komunikasi politik Anas yang selalu tampil terjaga,cool,dan jarang menunjukkan agresivitas verbal, kemungkinan besar Anas tak akan membuka ruang konflik terbuka di ruang publik. Yang jelas, saat ini posisi Anas belum habis di Demokrat, meskipun delegitimasi terhadapnya sangat intensif dilakukan oleh para elite Demokrat lain. Bahkan sangat mungkin Anas melawan dalam sunyi. Artinya, Anas tak membuka polemik entah itu terhadap poin-poin solusi yang dikemukakan SBY pada Jumat (8/2) maupun terhadap pakta integritas yang dorong untuk ditandatangani 22 ketua DPD se- Indonesia.

Sangat mungkin Anas “melawan”atau lebih tepatnya mengembangkan kontestasi dengan cara soft.Di satu sisi dia meminta melalui berbagai media massa untuk tak dihadaphadapkan dengan SBY, di sisi lain juga Anas tetap turun ke bawah mempertahankan dan menyolidkan jejaring yang sudah dia miliki selama ini. Secara kebetulan atau tidak,  Anas tetap melakukan aktivitas kepartaian di DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Bisa jadi, ini juga bukan terakhir kalinya Anas turun ke struktur partai di daerah. Meski posisi Anas kian terancam, tidak tertutup kemungkinan dia melawan meski dengan caranya sendiri yakni,operasi sunyi! ●

STRATEGI GANDA PENGENDALIAN DEMOKRAT


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom Pakar Media Indonesia, 11 Februari 2013)

Demokrat memasuki fase turbulensi politik. Terjun bebasnya elektabilitas Demokrat yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memantik relasi antagonistik antar elite Demokrat di ruang publik. Tentu, hasil riset hanyalah variabel minor dalam pembacaan dinamika konflik aktual di tubuh partai pemenang pemilu ini. Sejatinya, relasi kuasa yang mengerucut pada tumbuhkembangnya faksionalisme di tubuh Demokrat tak pernah usai sejak konggres 2010, di Bandung.

Meski para elite Demokrat selalu membangun kesan solid, fakta politik kekinian yang mengharuskan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung menjadi bukti nyata retaknya kapal demokrat. Pidato SBY tentang 8 poin solusi penyalamatan partai, juga tak menghasilkan impresi memadai. Substansi wacana yang disodorkan SBY tetap memiliki sejumlah kerumitan untuk diimpelementasikan terutama terkait posisi Anas seabagai nahkoda partai.

Pembonsaian Politik

 Jika kita perhatikan secara seksama, 7 dari 8 poin solusi penyelamatan Demokrat secara eksplisit menegaskan otoritas Majlis Tinggi Partai dimana SBY menjadi ketuanya. Dengan balutan gaya komunikasi politik yang high context culture SBY memosisikan kata demi kata terlihat santun, aman, dan tidak terkesan verbal agresif. Meskipun, substansinya menyuguhkan aroma korporatisme politik yang kental tak hanya pada kuasa bahasa tetapi juga pada operasionalisasi organisasi.

Proses keluarnya 8 poin solusi itu juga menarik,karena SBY memadukan antara teknik icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear erousener yang menekankan pada ancaman hukuman dan tekanan mental. Teknik pertama, merupakan pra kondisi solusi, saat SBY mengirim SMS dari depan Ka’bah di kota Mekkah. Isi pesan tersebut membangun hubungan emosional dengan menyatakan bahwa SBY terus memohon petunjuk Allah agar Demokrat dibebaskan dari cobaan berat, sekaligus meminta agar turut didoakan untuk menemukan solusi yang tepat, bijak dan bermartabat. Ini pra kondisi khas SBY untuk membangun harmoni.

Sementara teknik kedua, fokus pada bahasa kuasa untuk pengendalian dan penegasan otoritas. SBY memulai solusi dengan menyatakan bahwa Ketua Majlis Tinggi Partai berwenang, dan bertanggungjawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Meski 8 poin itu merupakan satu kesatuan utuh, tetapi yang paling inti bisa kita raba pada nomor dua saat SBY menyatakan segala keputusan, kebijakan dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan oleh Majlis Tinggi Partai. SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi akan mengambil keputusan dan arahan yang penting serta strategis. Ini mengunci beberapa poin lain seperti mekanisme pertanggungjawaban elemen-elemen utama partai, penataan, penertiban dan pemberesihan  partai, keputusan Majelis Tinggi Partai yang  mutlak diindahkan dan dijalankan, termasuk poin yang membahas posisi Anas Urbaningrum.

Tekanan mental bisa kita temukan dalam pernyataan SBY yang mengancam siapapun yang tak menjalankan keputusan Majlis Tinggi Partai akan diberi sanksi organisasi secara tegas. Bahkan SBY eksplisit mempersilahkan orang Demokrat yang tak nyaman dengan kondisi elektabilitas serta misi penyelamatan partai yang dipimpinnya untuk meninggalkan partai. Hampir seluruh narasi pernyataan SBY bermuara pada strategi AUM (uncertainty and unxiety management strategy) yang tentunya dipakai untuk mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpastian sekaligus memosisikan SBY di puncak hirarki otoritas partai.

Dampak Lanjutan
Secara substansi, sulit menghindari tafsir politis atas posisi Anas di Demokrat sejak pernyataan SBY, Jum’at (8/2). Diakui atau tidak, telah terjadi pembonsaian politik Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Secara De jure Anas tetap diposisikan sebagai ketua umum yang sah, sekaligus sebagai Wakil Ketua Umum Majlis Tinggi Partai. Tetapi secara De facto, kewenangan Anas dalam menjalankan fungsi-fungsi ketua umum dipreteli. SBY eksplisit menyatakan, akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan dan penertiban partai serta mempersilahkan Anas untuk fokus menghadapi dugaan masalah hukum.

Inilah langkah dua tahap (two step flow strategy) yang sangat lazim digunakan pemimpin bercorak hati-hati. SBY tentu sudah berhitung cermat kemungkinan dukungan nyata di struktur kepengurusan DPP hingga DPD dan DPC terhadap Anas. Sehingga tak mengambil langkah frontal menggeser atau melengserkan Anas. Jika skenarionya pelengseran Anas, tentu akan muncul geger politik di internal partai, karena hingga sekarang Anas belum menjadi tersangka satu kasus hukum pun. Memaksakan kehendak pelengseran Anas akan menyebabkan zero sum game yang membuat partai luluh lantak.

SBY secara halus sedang menerapkan mekanisme sirkulasi elite. Dalam perspektif Vilpredo Pareto The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elit itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respon institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan.

Makanya, strategi pertama yang diambil SBY adalah tetap memosisikan Anas sebagai ketua umum Demokrat tetapi dibatasi, ditakar untuk tak tumbuh kembang di luar kehendak SBY. Singkatnya,  inilah skenario korporatisme politik atau pembonsaian Anas di tubuh Demokrat. Sementara strategi kedua akan sangat ditentukan oleh status hukum Anas di KPK. Jika Anas menjadi tersangka, tentu akan menjadi the end of history dalam konstelasi politik Demokrat karena SBY tentu sudah mengantongi sejumlah nama potensial untuk didorong ke jabatan tersebut jika Anas nantinya mengundurkan diri atau dipecat partai.


Situasi dinamis Demokrat setelah  pernyataan SBY tentang solusi partai, tentu akan melahirkan sejumlah kemungkinan dampak lanjutan. Kemungkinan pertama, mengokohkan gejala groupthink di tubuh Demokrat. Situasi ini terkait dengan genealogi Demokrat itu sendiri. Partai ini lahir, tumbuh dan berkembang hingga akhirnya menjadi pemenang dengan sebaran konstituen meyakinkan di Pemilu 2009, tak lepas dari sosok SBY. Resikonya memang, politik figur yang sangat kuat ini, biasanya melahirkan gejala groupthink.

Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elite utamanya dalam konteks ini adalah SBY. Dengan demikian, sangat mungkin apa yang sudah ditetapkan SBY sebagai solusi akan diikuti meskipun tidak semua merasa happy. Terlebih SBY hingga 2014 masih mengendalikan kuasa tak hanya di internal partai melainkan juga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sehingga, orang-orang di lingkaran SBY terutama di level elite tentu akan berpikir seribukali untuk berbeda pandangan dengan SBY. Meski dinamikanya bisa saja berbeda jika SBY sudah tak lagi berkuasa.

Kedua, sangat mungkin juga muncul skenario “perlawanan” Anas dengan cara yang sama seperti dilakukan SBY. Dalam hal ini Anas dan para pendukungnya menerapkan soft strategy untuk tetap eksis mengendalikan eksekutif partai. Anas tidak secara frontal memberi pernyataan bersebrangan dengan SBY, tetapi memberi tafsir yang tidak tunggal atas pilihan kata dalam poin yang secara langsung berhubungan dengan posisinya. Misalnya pernyataan Anas di media massa tentang dirinya yang diminta fokus pada kasus hukum. Anas secara enteng menafsirkan bahwa yang dimaksud SBY itu adalah agar dirinya tidak alfa  pada kasus hukum yang dituduhkan padanya, sehingga tetap memungkinkan dia melakukan kerja-kerja kepartaian seperti biasanya.  Bukti tindakan show must go on itu, terlihat dari pilihan aktivitas Anas untuk tetap datang ke DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Disengaja atau tidak, momentum tetap turun ke struktur bawah ini menjadi pesan dari Anas kepada publik bahwa dirinya tak terpengaruh oleh perubahan apapun. Bahkan,  bisa jadi Anas akan tetap turun ke bawah (turba) dengan kemasan kata yang sama dengan SBY yakni atas nama konsolidasi partai. Sangat mungkin, perlawanan halus Anas ini, memosisikan wacana “garang” SBY hanya pada level kesadaran diskursif tetapi tidak kesadaran praktis saat diimplementasikan di lapangan.

Terlepas dari berbagai kemungkinan dinamika internal partai Demokrat, satu hal yang dikhawatirkan publik adalah tersedotnya energi kreatif SBY sebagai presiden. Pernyataan SBY yang akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan dan penertiban partai, tentu akan membagi fokus perhatian SBY di 1,5 tahun masa akhir kekuasaanya. Muncul paradoks, di satu sisi SBY telah meminta dengan tegas agar para menterinya yang berasal dari partai untuk tetap fokus bekerja di kabinet meski memasuki tahun politik, tetapi di sisi lain SBY justru mengambilalih peran utama konsolidasi partai Demokrat. Artinya, SBY akan berada dalam titik episentrum persoalan-persoalan internal partai. Sehingga, sulit menghindar dari peran ganda kekuasaan. Padahal para pemimpin kita kerap diingatkan dengan ucapan terkenal dari Mantan Presiden Filipina, Manuel L Quezon (1878-1944) “loyalitas kepada partai berakhir, saat loyalitas pada negara dimulai”.  Tentu, masyarakat akan mengkritisi jika pemimpin yang diberi mandat berkuasa lebih mendahulukan loyalitas pada diri dan kelompoknya. (***)

REGULASI KAMPANYE


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di KOMPAS, 4 Februari 2013)

Kampanye politik masa kini tak bisa dilepaskan dari media massa. Media penyiaran seperti televisi dan radio kerap menjadi saluran persuasi pemilih secara masif dan penetratif hingga ke ruang keluarga. Terlebih, pada era industri penyiaran yang sedang tumbuh pesat dan terintegrasi dalam konglomerasi grup media besar, potensi hegemoni media untuk kepentingan partai tertentu kian nyata.

Penggunaan frekuensi milik publik secara semena-mena kerap mendistorsi informasi yang diterima publik. Kondisi ini dengan mudah memosisikan media dalam pelanggaran, seperti pernah diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya ”The Media and Truth: Is There a Moral Duty?” (1997:103) tentang Seven Deadly Sins. Salah satu pelanggaran tersebut adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Media mempraktikkan pembohongan massa dengan menyalahgunakan kekuatan untuk memengaruhi opini publik.

Tak kita nafikan, masih banyak pekerja di media penyiaran yang memiliki idealisme tinggi dan berorientasi pada kerja profesional. Namun, jika aturan main kampanye ambigu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tutup mata dalam mengatur kepentingan para politisi selama kampanye, media seperti digambarkan Antonio Gramsci bisa menjelma menjadi ’tangan-tangan’ kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik.

Masa Kampanye

UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 83 menyatakan, kampanye pemilu legislatif dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir saat dimulainya masa tenang. Artinya, sepanjang 11 Januari 2013-5 April 2014, lebih kurang 15 bulan, masyarakat akan menghadapi terpaan kampanye beragam kekuatan yang bertarung. Rentang masa kampanye Pemilu 2014 ini lebih lama dibandingkan Pemilu 2009 yang berjalan 9 bulan (5 Juli 2008-5 April 2009). Hal lain yang berbeda adalah waktu pelaksanaan metode kampanye.

Pada Pemilu 2009, seluruh metode kampanye—seperti pertemuan terbatas, tatap muka, iklan di media massa cetak dan elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum—sudah bisa dilakukan sejak tiga hari ditetapkan sebagai peserta pemilu. Hanya metode rapat umum yang baru diperbolehkan 21 hari sebelum masa tenang. Untuk Pemilu 2014, tak hanya metode rapat umum, iklan di media cetak dan elektronik baru bisa digunakan 21 hari sebelum masa tenang. Mungkinkah kampanye bisa sesuai dengan rentang waktu yang tetapkan?

Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu, terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga masyarakat. Hal kunci yang sering menjadi persoalan dalam fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan kesepakatan aturan main.

Kampanye itu memang harus dibatasi dalam rentang waktu tertentu. Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993) bahwa kampanye merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan. Dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran. Orientasi dari beragam metode kampanye tentu saja berupaya memersuasi dan mengubah perilaku pemilih (voter behavior) agar menjadi dukungan dan suara nyata.

Batasan waktu kampanye seharusnya dihormati semua kontestan. Terlebih untuk media penyiaran, spektrum frekuensi itu jelas-jelas sumber daya alam terbatas sebagaimana diatur dalam pertimbangan UU No 32/2002. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas semena-mena dimanfaatkan segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan partai mereka.

Pengawasan Siaran

Guna memperbaiki kualitas kampanye di media penyiaran, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, faktor struktural, harus adanya koordinasi yang lebih intensif, fungsional, dan komplementer antarpenyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU dan Bawaslu dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. KPU telah menetapkan peraturan No 1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif pada Jumat (11/1).

Apa yang sudah disusun KPU ini tentu harus dikoordinasikan dengan KPI, terutama menyangkut aturan kampanye di media penyiaran, karena setahu penulis KPI juga sedang dalam proses akhir penyusunan peraturan program pemilu. Jangan sampai aturan main yang disusun kedua lembaga ini berbenturan sehingga menjadi pintu masuk bagi para kontestan untuk mencari celah memainkannya.

Yang harus diperjelas, misalnya, adalah persepsi program siaran pemilu selain iklan, kewenangan antarlembaga KPU dan KPI, sanksi atas pelanggaran oleh lembaga penyiaran dan partai kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI. MOU kelembagaan jangan semata seremonial dan formalistik, atau lebih menunjukkan ego kelembagaan, tetapi harus dalam koridor kebersamaan mengawal kualitas kampanye.

Kedua, faktor substansial, yakni menyangkut sejumlah aturan yang memerlukan ketatnya sistem pengawasan di lapangan. Sebenarnya, dalam UU No 08/2012 ini ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika.

Misal, Pasal 96 mengatur soal larangan: menjual blocking segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.
Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.

Soal durasi ini, KPI tentu harus melengkapinya dengan aturan tentang waktu siaran iklan kampanye pemilu ditambah dengan iklan komersial ataupun iklan layanan masyarakat lain, maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per hari selama masa kampanye di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Ini penting dilakukan agar tidak menabrak UU penyiaran.

KPI juga perlu mengatur secara lebih operasional tentang beberapa hal, antara lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam sehari, penyiaran jajak pendapat, dialog/talkshow, dan jenis siaran lain yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung para kontestan pemilu.

Intinya, regulasi kampanye di media penyiaran harus dibuat jelas, tegas, dan operasional sehingga turut menyumbang perbaikan kualitas pemilu.

MUSIM SEMI POLITIK CITRA


 Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di  Kolom Opini Suara Pembaruan, 22 JAN 2013)

Genderang perang Pemilu 2014 sudah ditabuh sejak sepuluh partai politik diumumkan lolos verifikasi faktual. Berdasarkan Pasal 83 UU No.8 tahun 2012, tiga hari setelah penetapan resmi sebagai peserta Pemilu, kampanye pemilu legislatif  bisa dimulai dan akan berlangsung hingga tiga hari sebelum hari  pencoblosan atau saat dimulainya masa tenang. Masa kampanye kali ini, lebih panjang dari Pemilu 2009 yang berlangsung sembilan bulan (5 Juli 2008-5 April 2009). Kini, musim semi politik citra tersebut, akan berlangsung sepanjang lima belas bulan yakni antara 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014. Bagaimana seharusnya partai memanfaatkan fase pencitraan ini untuk mengatrol keterpilihan mereka?

Strategi Kampanye
 Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik, sebagai upaya memersuasi pemilih (voter), agar pada saat pencontrengan, pasangan kandidat yang berkampanye mendapatkan dukungan dari banyak kalangan. Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Dengan demikian, jika berbicara kampanye terutama dalam konteks Pemilu mengharuskan adanya konsensus soal waktu berkampanye. Sementara untuk strategi, tentu akan sangat ditentukan oleh pilihan masing-masing. Strategi kampanye, sebenarnya merupakan prinsip yang dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan persuasi pemilih. Biasanya, dijabarkan dalam berbagai langkah taktis berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Ada beberapa prinsip pokok yang selayaknya memperoleh perhatian serius dalam pengembangan strategi kampanye yakni positioning, branding, segmenting.

Positioning, dipahami sebagai beragam aktivitas untuk menanamkan kesan di benak para pemilih agar mereka bisa membedakan partai-partai yang bertarung. Tentu, partai harus punya nilai keberbedaan agar citra politiknya lekat dalam persepsi pemilih di tengah eksistensi partai kompetitor lainnya.  

Branding, dilakukan untuk memalingkan perhatian khalayak. Secara umum brand sama dengan trademark atau merek dagang. Oleh karena sebuah merek itu harus eksis, maka bukan semata-mata soal atribut seperti keunggulan, keistimewaan, kualitas, atau kekuatan, tetapi juga mesti menunjukkan keuntungan (benefits), nilai (values), budaya, personalitas serta sasaran kampanyenya.

Sementara segmenting, partai politik harus mampu mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial di masyarakat agar bisa memahami sifat dan karakteristik partai mereka.

Tantangan terbesar bagi kesepuluh partai yang lolos verifikasi faktual kemarin adalah soal nilai keberbedaan, karena partai-partai yang ada sekarang nyaris seragam baik dalam ideologi yang mereka klaim, platform partai maupun pola sosialisasinya di tengah masyarakat. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002) partai wajib mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan masyarakat. Kampanye harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum yang tepat untuk menunjukkan bahwa partai atau kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan nyata di masyarakat. Butuh rekam jejak partai politik yang mumpuni untuk menggerakkan pemilih agar mencoblos partai yang bersangkutan.

Ciri Komunitarian

Jika kita hayati secara seksama, masyarakat Indonesia itu secara umum adalah masyarakat paguyuban. Semangat komunitariannya tinggi, sehingga wajar jika kita masih menemukan di berbagai tempat pola kekitaan lebih menonjol di banding keakuan. Jangan heran, pada saat Pilkada DKI beberapa waktu lalu, Jokowi tak terbendung meski sudah dikepung oleh partai-partai besar yang berada di belakang Fauzi Bowo. Salah satu kunci kesuksesan Jokowi saat itu adalah pendekatan kekitaan dengan mengembangkan rasa memiliki komunitas. “Blusukan” Jokowi ke masyarakat akar rumput mampu menghadirkan kehangatan, keakraban, kealamiahan hubungan. Sehingga, pemilih tergerak untuk mencoblos karena masih memiliki kepercayaan bahwa Jokowi dapat menjadi tokoh transformatif. Dalam konteks kampanye, istilah “blusukan” pun bisa menjadi model yang khas dalam konteks kuasa citra.

Menurut Pfau & Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993) menyebutkan, kampanye secara inheren merupakan aktivitas persuasif. Ada empat aspek dalam kampanye persuasif yang lazimnya ada. Pertama, kampanye secara sistematis berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang kandidat atau gagasan yang disodorkan. Kedua, kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan mulai dari menarik perhatian khalayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata. Ketiga, mendramatisasi gagasan-gagasan yang  disampaikan pada khalayak dan mengundang mereka untuk terlibat baik secara simbolis maupun praktis, guna mencapai tujuan kampanye. Keempat, kampanye juga secara nyata menggunakan kekuatan media massa dalam menggugah kesadaran hingga mengubah perilaku khalayak.

Di Indonesia, kecenderungannya sekarang tren politik citra yang elitis semakin menurun dan perlahan tapi pasti tergeser oleh prototipe persuasi berbasis kinerja. Tak dinafikan, bahwa politik citra sempat merajai politik kita terutama di tiga pemilu pascareformasi. Terpilihnya SBY sebagai presiden dan naiknya partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, menunjukkan pencitraan politik menyumbang peran signifikan. Ekspresi simbolik jualan Demokrat “Katakan Tidak Pada Korupsi!” plus politik figur dalam hal ini SBY, membuat publik punya harapan. Meskipun, akhirnya harapan tersebut sirna seiring waktu dan terpublikasikannya sejumlah praktik korupsi politik yang dilakukan elite Demokrat. SBY sendiri kerap direpresentasikan sebagai sosok yang lekat dengan pencitraan politik dan gagal mewujudkan harapan rakyat di dua periode pemerintahannya.

Transformatif
Sudah sepatutnya partai-partai yang bertarung di pemilu 2014 mengedepankan kampanye yang sifatnya transformasional. Kampanye  mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi  penanganan  masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.

Biasanya, kampanye transformatif selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas misalnya, dilakukan mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama, pendekatan community relations yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka. Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena. Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya, melalui pendidikan politik  atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat.

Saatnya parpol-parpol di Indonesia, menggunakan kampanye dengan pendekatan modern yakni berbasis literasi politik. Hal itu, dimulai dengan gagasan yang tidak seragam, dengan demikian adu gagasan menjadi mungkin terjadi sehingga memberi opsi-opsi dan referensi bagi pemilih. Politik citra harus memberi kesempatan pada publik untuk mengetahui platform, komitmen, kredibilitas dan orientasi masa depan parpol-parpol yang ada, sehingga muncul trust yang menjadi penggerak keterpilihan parpol di bilik-bilik suara.

PECAH KONGSI NASDEM


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom Opini Koran SINDO, 22/1/2013)

Tak salah jika tahun 2013 menjadi tahun politik penuh kejutan. Setelah rangkaian drama dan kegaduhan dalam pengumuman 10 partai yang lolos verifikasi faktual, kini publik dibuat tercengang dengan mundurnya salah satu elite utama Partai Nasional Demokrat (NasDem), Hary Tanoesoedibjo (HT), dari jabatannya sebagai ketua Dewan Pakar.

Meski isu pecah kongsi HT dengan Surya Paloh (SP) sudah bergulir cukup lama, tetapi siapa menyangka HT akan benar-benar mundur di tengah popularitas NasDem yang sedang menanjak dan menjadi satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi.

Itulah jalan politik yang tak selalu linear, selalu muncul sejumlah paradoks yang membuat satu keputusan politik mengundang sejuta makna dan seribu kemungkinan dampak lanjutan. Dalam konteks sirkulasi elite itulah posisi mundurnya HT menarik untuk dianalisis, terutama menyangkut keberadaan NasDem saat ini dan ke depan.

Posisi Strategis

Sejak HT masuk ke NasDem pelan tapi pasti pergerakannya makin nyata dan makin memosisikan HT lekat dengan political branding partai berslogan restorasi Indonesia ini. Hal ini bisa dimaklumi karena beberapa faktor. Pertama, proses political news framing di sejumlah media, terutama di grup media yang dimiliki HT. Sumbangsih HT dalam membangun brand NasDem melalui serangkaian publisitas politik yang intensif tak bisa kita nafikan.

Dalam pandangan Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987), upaya memperkuat brand ini sama pentingnya dengan pengembangan strategi kampanye lain seperti positioning dan segmenting.

Branding dilakukan untuk memalingkan perhatian khalayak. Secara umum brand sama dengan trademark atau merek dagang. Oleh karena sebuah merek itu harus eksis, bukan semata-mata soal atribut seperti keunggulan, keistimewaan, kualitas, atau kekuatan, tetapi juga mesti menunjukkan keuntungan (benefits), nilai (values), budaya, personalitas serta sasaran kampanyenya.

Sejak HT masuk ke NasDem 9 Oktober 2011, hal itu menjadi keuntungan tersendiri bagi brand NasDem dalam konteks persepsi publik tentang partai baru yang mapan dan siap berkompetisi di Pemilu 2014. Dalam kerja pengelolaan dan penguasaan opini publik inilah formula agenda setting media berlaku.

Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan mereka yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” menyebutkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Saat NasDem diperingkatkan sebagai partai potensial di 2014, pelan tapi pasti HT juga kian populer bahkan menjadi lebih lekat dibandingkan SP yang di saat bersamaan terkesan masih menjaga jarak dari NasDem yang beridentitas partai, bukan ormas. Kedua, faktor finansial.

HT bermetamorfosis menjadi sosok penting di NasDem karena memiliki kekuatan finansial. Konteksnya mendukung, saat NasDem harus membangun infrastruktur partai di 100 persen provinsi,75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan seluruh Indonesia, NasDem butuh suntikan dana yang luar biasa besar.

Terlebih, NasDem harus lolos verifikasi administratif dan faktual. HT yang masuk ke NasDem belakangan tentu menjadi sosok yang menjanjikan dalam konteks kepentingan penetrasi partai. Wajar jika HT segera berubah menjadi ikon penting NasDem.

 Posisi ini tentu tak membuat nyaman SP yang sedari awal juga punya kepentingan untuk berada di puncak otoritas partai yang secara historis memang diinisiasi olehnya. Soal apa yang menjadi pemantik sesungguhnya dari pecah kongsi SP dan HT, tentu hanya mereka dan orang terdekat mereka sendiri yang tahu.

Dampak Lanjutan

Pengunduran diri HT secara langsung maupun tak langsung tentu merugikan NasDem. Pertama, terkait dengan image partai. Perpecahan ini akan menyebabkan buruknya citra kekinian (current image) NasDem sebagai partai baru. Selayaknya partai baru dalam pemilu, harusnya NasDem membangun impresi sebagai partai solid dan mengembangkan kebersamaan untuk bertarung melawan kompetitor lain.

Bukan sebaliknya, mengembangkan relasi antagonistik sesama warga NasDem sendiri. Pecah kongsi sebelum kompetisi akan menyumbang persepsi negatif sekaligus keraguan publik akan kemampuan partai NasDem membawa harapan.

Kedua, mundurnya HT akan merugikan momentum political publicityyang sekarang sedang gencar dilakukan NasDem. Kita ingat, posisi NasDem yang sudah masuk di top of mind khalayak tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengemasan opini publik di berbagai media milik HT.

Keuntungan ini tentu tak akan lagi didapat NasDem. Ketiga, kerugiannya adalah dapat memicu konflik lanjutan di lingkup internal NasDem. Sebagaimana kita ketahui,dalam perspektif sirkulasi elite, perubahan elite itu selalu menyebabkan perubahan-perubahan lain pada subsistem lainnya. Sangat mungkin, akan banyak orang HT yang kecewa.

 Sangat mungkin pula NasDem akan mengalami friksi tidak hanya di level pengurus pusat, tetapi juga di daerah. Hal ini tentu akan sangat berbahaya bagi eksistensi NasDem karena bisa menjadi katalisator keguncangan di antara orangnya HT dan orangnya SP.

Misalnya, indikator itu terlihat dari komentar HT saat mengundurkan diri.Salah satu visinya adalah mendukung orang-orang muda untuk menjadi pengurus partai dan dengan “pengambilalihan” eksekutif partai oleh SP, hal itu akan berpotensi memicu ketidaksolidan pengurus yang merembet hingga ke daerah.

Tentu, mundurnya HT merugikan persiapan NasDem sebagai partai potensial di Pemilu 2014. Elektabilitasnya sangat mungkin turun drastis dan berpotensi terjadinya zero sum game dalam relasi antagonistik antarelite di dalamnya.

Ada istilah no free lunch dalam politik! Sedari awal, tentu HT juga menyadari,masuknya dia ke NasDem karena dianggap punya modal finansial dan modal politik, yakni kekuatan media. Wajar jika SP melihat posisi strategis ini dan berkolaborasi dengannya.

Bagaimanapun, konflik internal partai, terlebih partai baru, akan sangat berbahaya karena berpotensi merontokkan mesin pemenangan di lapangan. Lebih berbahaya lagi bagi satu partai jika ambisi seorang elite lebih dominan daripada kekuatan sistem!

Tulisan bisa diakses di:
http://nasional.sindonews.com/read/2013/01/22/18/709724/pecah-kongsi-nasdem

(Bukan) Pemimpin Populis


 Tulisan ini telah dipublikasikan di Opini Koran SINDO, 12 Januari 2013

Akhir-akhir ini istilah “blusukan” menjadi sangat populer di media massa dan media sosial.Makna kata tersebut tak lagi dalam dimensi lokalitas bahasa Jawa, melainkan menjelma menjadi kata sarat kuasa citra. Akhir-akhir ini istilah “blusukan” menjadi sangat populer di media massa dan media sosial.Makna kata tersebut tak lagi dalam dimensi lokalitas bahasa Jawa, melainkan menjelma menjadi kata sarat kuasa citra.

Lebih dari itu, blusukan yang dilekatkan pada sosok tindakan aktor seperti SBY dan Jokowi menjadi multitafsir dan memosisikan si pelaku dalam bingkai konstruksi realitas, bahkan pertarungan opini publik. Sangat mungkin, kata “blusukan” ini naik level dalam pemeringkatan khalayak karena publik tergelitik melakukan pemilahan biner antara SBY dan Jokowi.

Pemilahan yang menekankan kemampuan bahasa dalam mengantarkan makna guna menstrukturkan realitas. Misalnya, pemilahan antara pemimpin elitis dengan pemimpin populis, antara blusukan untuk citra atau blusukan untuk kerja. Membicarakan hal sederhana soal blusukan SBY menjadi bermakna saat kita membahasnya dalam konteks kerinduan bangsa ini atas sosok pemimpin transformatif, bukan pemimpin yang gandrung dengan peran “seolah-olah” yang melahirkan kesadaran palsu bagi warga.

Konsistensi Peran 

Sebenarnya, sah-sah saja jika SBY blusukan karena sudah seharusnya presiden yang dipilih oleh rakyat dekat dan membangun komunikasi efektif dengan pemberi mandat kekuasaannya. Hanya saja, blusukan SBY kali ini telah kehilangan momentum dalam pembentukan persepsi positif di masyarakat. Delapan tahun SBY memerintah telah menghadirkan stigma kuat di masyarakat bahwa SBY bukanlah pemimpin populis! Pilihan komunikasi SBY yang berjarak, formal, dan menekankan strategi anxiety uncertainty management (AUM) ditambah pola politik harmoni akhirnya mapan menjadi wajah kepemimpinan SBY yang elitisbirokratis.

Sangat wajar jika muncul kritisisme pada blusukan SBY. Pertama, mengapa SBY baru sekarang melakukan tindakan tersebut? SBY memang kerap blusukan saat memasarkan dirinya dalam Pemilu Presiden 2004, juga 2009, plus sekejap di awal periode pertama kekuasaannya. Dengan demikian, tindakannya saat itu tak lebih dari sekadar upaya memersuasi pemilih dan mengelola elektabilitas. Rentang waktu panjang setelah berkuasa tak membuat dirinya punya catatan memadai sebagai sosok yang dekat dengan rakyat.

Singkatnya, blusukan SBY itu tak punya tautan dengan historisitas berjenjang dia sebagai pemimpin populis.Warga tak cukup merasakan kehadiran SBY karena kesibukan dia mengelola relasi kuasa di level elite. Pola kompromistis dengan segenap mitra koalisi telah memosisikan SBY jauh lebih terkesan melayani kelompok elite dibandingkan rakyat yang memberi mandat kekuasaannya. Kedua, terkait substansi pesan dan panggung depan (frontstage) saat pesan tersebut didistribusikan.

Kita bisa melihat adanya kejanggalan, kenapa saat blusukan di masyarakat akar rumput, SBY masih menyampaikan pesan elitis seperti soal reshuffle. Saat berkunjung ke Pasir Putih,Teluk Naga, Tangerang, dengan formalnya SBY berdiri di atas tangga yang dijadikan mimbar dadakan sehingga kesan yang muncul, SBY hanya memindahkan panggung untuk memberi keterangan resmi dari Istana ke kampung warga.

Kehadiran SBY tetap saja berjarak dengan warga sehingga tak mampu menghapus kesan high profile pemimpin saat bertemu dengan rakyat biasa. Ketiga, soal waktu.Saya meragukan efektivitas blusukan SBY untuk kepentingan monitoring and evalution (monev) seperti dikemukakan Staf Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga. Pemerintahan SBY saat ini sudah di fase akhir, tak lagi dalam konteks belanja masalah, melainkan soliditas tim dan efektivitas kinerja sektor-sektor penyelenggara pemerintahan guna mengejar realisasi program.

Kunci masalahnya sekarang bukan lagi di masyarakat, tetapi di level pelaksana program, yakni di sejumlah kementerian yang dipimpinnya. Tahun 2013 adalah tahun politik. Jadi yang seharusnya dilakukan SBY adalah membuat dan menerapkan sistem kontrol guna menjaga perahu kabinet jangan sampai bocor karena terjangan agenda politik partai-partai yang menanam orang di sejumlah pos kementerian.

Reality by Proxy 

Tak salah jika berbagai pihak menafsirkan apa yang dilakukan SBY tak lebih dan tak kurang hanya semata urusan pengelolaan citra. Tentu, hal ini tak akan berpengaruh banyak dalam mengubah persepsi publik tentang reputasi SBY sebagai pemimpin elitis. Jikapun diorientasikan untuk urusan citra, blusukan tersebut hanya akan memperteguh hiperealitas politik citra SBY.

Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya Simulacra and Simulation(1981) sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya, simulasi realitas ini berupa tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolaholah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan dianggap tak harus memiliki tautan logis. Biasanya, hiperealitas politik citra itu menghadirkan reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi.

Banyak mimpi indah dibangun dan membentuk kesan di masyarakat seolah-olah si aktor sebagai pemimpin populis, tapi kenyataannya justru dia lebih banyak “bercengkerama” dalam zona nyaman kaum elite. SBY tentu tidak ingin landing dari kekuasaannya dalam situasi turbulensi. Oleh karenanya, sangat wajar jika dia mengatur manajemen konflik lintas kekuatan, terutama di level elite.Terlebih tahun 2013 ini diprediksi buka tutup kasus hukum serta tekanan untuk mendelegitimasi pihak lawan akan semakin terbuka.

Hanya saja, jika akar kekuasaannya terutama di level akar rumput mengalami pembusukan karena tak pernah dirawat dengan baik, kekuasaannya tak akan pernah (lagi) tumbuh kuat dalam ingatan panjang bangsa Indonesia. Blusukan pada akhirnya bukan semata soal bertemu dan berbincang dengan rakyat.Lebih dari itu adalah soal membangun semangat kekitaan yang kuat berbalut kinerja nyata serta dilakukan secara konsisten, bukan kemasan! Di dunia banyak pemimpin yang dilabeli sebagai sosok pemimpin populis.

Sebut saja beberapa nama di Amerika Latin seperti Hugo Cavez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ecuador. Tentu,mereka menerjemahkan kepemimpinan mereka dengan cara berbeda-beda. Hanya benang merahnya sama, yakni mereka punya perhatian utama untuk membela kepentingan rakyat biasa. Pemimpin populis tak cukup hanya bermodal kecerdasan, tetapi juga keberanian membawa perubahan demi kesejahteraan rakyat. Dalam konteks itulah rakyat tentu punya catatan siapa yang blusukan untuk kerja dan siapa yang sekadar pencitraan.


Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/news/bukan-pemimpin-populis

Membaca Tahun Politik


 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Gagasan di Koran Jakarta, 5 Januari 2013)



Tirai tahun politik sudah dibuka seiring dengan momentum waktu yang memasuki 2013. Seluruh kekuatan politik memanaskan mesin utama kontestasi, sekaligus melakukan serangkaian manuver pendahuluan guna mengetahui posisi kawan dan lawan jelang puncak perhelatan demokrasi lima tahunan di 2014. Dapat diprediksi dengan mudah, sepanjang tahun ini tensi politik akan eskalatif seiring dengan munculnya beragam kelompok yang unjuk kekuatan.

Jika dipetakan, ada beberapa faktor yang menjadi katalisator tahun 2013 menjadi tahun politik. Tahun ini akan menjadi momentum paling menentukan dalam manajemen konflik antarpartai maupun antarcalon presiden dan wakil presiden. Hampir seluruh partai politik terutama yang saat ini memiliki akses ke eksekutif maupun legislatif dirundung persoalan hukum.

Para politikus lintas partai terjerat korupsi. Sebagian di antaranya masih berada di wilayah abu-abu antara salah dan tidak. Modus mekanisme pertahanan diri para politikus dengan membuka dan menutup kasus tertentu guna menghidupkan sejumlah peluang negosiasi.

Alat tekan yang sering dimanfaatkan tentunya rekayasa opini publik. Efek domino dari perang hukum tersebut melahirkan atmosfir politik gaduh, keruh dan penuh tipu muslihat.

Selain konflik antarkekuatan berbeda, sesungguhnya rivalitas juga sangat mungkin terjadi di internal partai. Faksionalisme di Demokrat, misalnya, masih sangat mungkin memberi peluang para petualang memanfaatkan ketidaksolidan. Ini juga terjadi di Golkar terkait capres.

Terkait branding dan pemasaran politik para elite sepanjang tahun ini dilakukan dengan strategi tertentu. Publisitas politik, konstruksi dan rekonstruksi opini publik, serta optimalisasi saluran-saluran komunikasi politik mulai dari face-to-face informal, pemanfaatan struktur sosial tradisional, saluran input dan output hingga media massa.

Juga dengan pendekatan hype politic, yakni dengan membuat gaduh di media agar khalayak berpaling. Atau melalui manajemen reputasi politik dan pembangunan komunitas guna menciptakan rasa memiliki partai pada basis pemilih. Maka, sepanjang tahun ini upaya menanamkan brand dari kekuatan baru, dan rebranding dari kekuatan lama yang sadar mengalami titik jenuh akan tercurah masif dan sistemis.

Jagat politik Indonesia dari pusat hingga daerah akan disesaki sosialisasi, publisitas dan propaganda. Tentu politik akan menjadi santapan dominan pemberitaan media dan diskursus di ruang publik lainnya.

Sepanjang tahun ini juga akan ditandai dengan pergerakan para aktor dalam membangun komunikasi politik lintas kekuatan. Parpol sangat sadar, ikatan antara basis konstituen dan partai dari waktu ke waktu kian melemah. Hal ini, ditandai dengan merosotnya identifikasi kepartaian dari satu ke pemilu berikutnya.

Penjajakan

Dalam konstelasi seperti ini, berbagai penjajakan kerja sama antarkekuatan dilakukan secara intensif para elite, utamanya persiapan pencapresan 2014. Semua kekuatan sangat menyadari, nyaris belum ada figur yang benar-benar kuat dan meyakinkan.

Nyaris mustahil dalam peta politik seperti sekarang, partai bisa melaju sendirian dalam pencapresan tokoh yang dikehendakinya. Mereka harus realistis dengan penggabungan kekuatan parpol. Maka, sepanjang tahun ini akan tampak bongkar pasang nama yang akan disandingkan di 2014.

Sejumlah nama pasangan yang digadang-gadang baik dari kalangan internal partai maupun nonpartai masih sangat tentatif. Paruh pertama tahun ini, masyarakat akan disuguhi uji reaksi publik dengan menghidupkan sejumlah peluang. Namun, di paruh terakhir tahun 2013 akan ada finalisasi capres dan cawapres sejumlah partai untuk disosialisasikan secara masif jelang 2014.

Komplikasi dalam dunia kesehatan adalah bercampurnya beragam penyakit secara bersamaan karena munculnya penyakit baru yang menjadi tambahan penyakit lama. Komplikasi juga bisa berarti pencampuran yang kusut dan rumit dari berbagai hal. Dalam konteks politik di tahun 2013, ada sejumlah faktor yang dapat menjadi sebab komplikasi politik. Jika tak diwaspadai, bukan mustahil ini dapat membusukkan politik (political decay). Dampaknya kegagalan konsolidasi demokrasi.

Ada beberapa penyakit dalam praktik politik. Misalnya, kian akutnya demokrasi kolusif yang mengacu pada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Ini tampak dalam akomodasi politik yang sangat pragmatis dan mengabaikan aturan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kerap muncul perilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologi serta kerap mengingkari konstituen mereka.

Hasilnya pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena disibukkan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Inilah penyakit lama pascareformasi yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Kemudian, tunduknya sistem dalam hegemoni para politikus. Posisi ini kerap menimbulkan paradoks dalam praktik sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Negara demokrasi yang baik, biasanya menempatkan sistem yang kuat dan mampu mengatasi fragmentasi kekuatan politik karena memiliki prinsip-prinsip kredibel, konsisten dan berdaya guna.

Penyakit lama bangsa, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi para pengusaha dan penguasa. Para pemilik kapital dan pemangku otoritas berkolaborasi dalam mengamankan sejumlah proyek “bancakan.” Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi.

Jika tak ada ”obat” yang tepat, maka bukan mustahil 2013 akan membuat bangsa ini semakin sakit. Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan politik yang akan bertarung agar mereka memainkan peran politik dengan menyandarkan pada aturan main yang kuat dan tegas.

Rivalitas itu lumrah. Hanya, seluruh pemain yang siap turun ke gelanggang juga harus menyadari bahwa setiap permainan ada aturan. Penghormatan atas aturan itulah yang menjadi kesejatian manusia beradab!

Tulisan bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/109570