Jumat, 21 Oktober 2011

PARTAI KEHILANGAN MAHKOTA

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di harian KOMPAS, 22 Juli 2011)

Menarik mencermati berita utama Kompas (12/7) “Yudhoyono Menjamin Anas”. Selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), Susilo Bambang Yudhoyono memandang penting mengeluarkan pernyataan yang menggaransi Anas Urbaningrum untuk tetap menjadi nahkoda partai. Konteks pesan Yudhoyono tersebut dapat kita posisikan sebagai peredam konflik internal antar faksi sekaligus berupaya meminimalisir efek turbulensi politik PD pasca “nyanyian ” Nazaruddin.

Menciderai Kekitaan

Dalam jangka pendek, sinyal SBY bahwa tidak akan ada kongres luar biasa (KLB), sepertinya masih akan didengar para elit Demokrat. Kita tentu memahami bahwa hingga sekarang, Yudhoyono masih berada di puncak hirarki kekuasaan partai. Dalam tradisi partai yang menyandarkan diri pada kekuatan figur sentral, dinamika politik yang terbangun biasanya bermuara pada gejala groupthink.

Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) menyebutkan salah satu ciri utama gejala groupthink ialah para kader organisasi akan menghindari pemikiran berlawanan dengan elit utamanya. Geneologi PD memosisikan SBY sebagai figur utama sekaligus pusat pergerakan sistem organisasi. Sekeras apapun upaya faksi non-Anas menggelindingkan isu KLB, tanpa restu SBY, hal tersebut hanya akan membentuk gelembung air sabun.

Namun, dalam jangka panjang pernyataan Yudhoyono pelan tapi pasti akan kehilangan koherensi karakterologis (characterological coherency). Hal ini ditandai dengan kian melemahnya kepercayaan publik di level konstituen dan publik eksternal partai pada karakter-karakter utama Yudhoyono sebagai pemimpin.

Konflik antarfaksi seusai kongres PD tahun lalu, mengalami fase ‘inkubasi’ saat skandal Nazaruddin terkuak. Perang terbuka pun aktual di media massa karena proses pengendalian konflik terhalang oleh kepentingan elit Demokrat yang berbeda-beda. Konsolidasi internal tak mampu menyolidkan lagi gerak ritmis para elit sehingga konflik menjadi eskalatif dan terbuka di mana-mana.

Partai Juara?

Tak dimungkiri, PD saat ini ibarat sang juara yang kehilangan mahkota. Setelah memenangi Pemilu 2009 dengan meraih 20,85 persen suara pemilih, Demokrat ternyata tak mampu mentransformasikan kemenangannya untuk membuat perubahan nyata.

Jajak pendapat Kompas, Senin (4/7/2011) menunjukkan kepercayaan publik terhadap Demokrat menurun drastis. Jika pemilu dilaksanakan sekarang hanya 35,6 persen pemilih Demokrat yang berterus terang akan tetap kembali memilihnya. Bahkan 86,8 persen responden yakin partai ini tidak bebas dari korupsi. Mahkota bagi partai pemenang pemilu adalah kepercayaan, kewibawaan dan kredibilitas. Sebuah partai yang memenangi Pemilu tetapi tak lagi punya ketiga hal tersebut sama saja dengan juara tanpa mahkota.

Komentar Marzuki Ali (Kompas,12/7/2011) yang menyatakan bahwa keberhasilan Demokrat pada Pemilu 2014 ditentukan tiga pihak yakni Yudhoyono selaku pemimpin pemerintahan, dirinya di DPR dan Anas dalam mengonsolidasikan partai, menjadi cermin elit Demokrat yang menyederhanakan masalah. Marzuki mungkin lupa, faktor rakyat atau konstituen dalam membesarkan partai. Tanpa riset ilmiah sekalipun teraba bahwa rakyat kini tak hanya gelisah tetapi kecewa atas perkembangan penyelsaian kasus Nazaruddin.

Tak ada pilihan bagi Demokrat, selain mengoptimalkan perbaikan-perbaikan ke depan. Pertama, Demokrat harus tegas memecat kader-kader yang terlibat korupsi. Agenda pemberesihan para koruptor di tubuh demokrat seharusnya menjadi agenda utama dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang digelar 23-25 Juli ini.

Kedua, PD harus menunjukkan political will untuk menuntaskan kasus yang menjadi sorotan utama publik. Misalnya turut menunjukkan tanggungjawab untuk menghadirkan Nazaruddin di Indonesia. Jika gagal, maka publik akan selalu menghubungkan tindakan korupsi yang dituduhkan terhadap Nazaruddin dengan partai dan para elit PD lainnya. Sikap tegas Demokrat juga harus tergambar dalam penyelsaian kasus pemalsuan surat yang melibatkan Andi Nurpati. Sangat beresiko bagi Demokrat jika menjadi bungker orang-orang bermasalah.

Ketiga, dalam konteks kohesivitas organasasi perlu adanya penataan ulang dalam proses distribusi dan alokasi sumberdaya kader. Selain memiliki operator politik handal yang diperlukan dalam manajemen konflik seperti sekarang, perlu juga memperbanyak kader yang bekerja nyata untuk rakyat di luar masa Pemilu.

Sumber gambar::

www.waspada.co.id

REORIENTASI POLITIK PPP

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, Kamis 7 Juli 2011

Muktamar VII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menentukan perjalanan partai ini ke depan, terutama terkait eksistensinya yang hingga kini terus terseok dan digerus oleh kekuatan parpol lain. Persoalan mendasar bagi PPP adalah menentukan reorientasi diri yang jelas sebagai bagian dari parpol modern. Bukan sebaliknya, terus berkutat dalam kegamangan yang menyebabkan merosotnya pemilih dalam demokrasi electoral yang kian kompetitif.

Kapal Tua

PPP sekarang adalah kapal tua yang butuh perawatan intensif agar tak bobrok dimakan zaman. Lampu kuning tanda bahaya bagi PPP sudah menyala, seiring dengan terus menurunnya suara pemilih dalam pemilu. Pada pemilu 1977, PPP memperoleh suara 29,3 persen, pemilu 1982 turun menjadi 27,8 persen, pemilu 1987 sebesar 15,9 persen, pemilu 1992 sebesar 14,6 persen, pemilu 1997 perolehan suara sempat naik yakni 22,4 persen, kemudian terjun bebas di pemilu 1999 dengan perolehan suara 10,7 persen, pemilu 2004 sebesar 8,1 persen, dan pemilu 2009 hanya dipilih oleh 5,5 juta pemilih atau sekitar 5,3 persen.

Menurunnya suara PPP itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya strategi pengelolaan basis massa tradisional. Dalam konteks kerja partai, PPP kerap abai atau sangat jarang mengusung gagasan, program atau sekadar menjadi trend setter isu yang terkait dengan basis masa tradisionalnya. Partai tak mampu meyakinkan basis massanya untuk tetap loyal, sehingga tak mengherankan banyak pemilihnya lari ke partai lain, baik sesama partai Islam maupun nasionalis.

Kedua, PPP mengalami krisis figur. Tak disangkal bahwa setiap partai selalu butuh simpul ketokohan yang bisa menjadi perekat kohesivitas kelompok. Memang posisi tokoh bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa negatif, jika tokoh sangat dominan dan melembagakan kekuatan referen (referent power) dirinya sehingga partai mengalami feodalisme.

Ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang tradisi dinasti politik. Gejala ini akan menyebabkan menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah tokoh atau figur di puncak hierarki partai. Tetapi kekuatan figur akan positif bagi PPP jika ditempatkan sebagai salah satu sumber transformasi organisasi menuju partai modern. PPP butuh figur kuat, kredibel, yang mau dan mampu bekerja untuk partai sekaligus bisa dibanggakan parpol sebagai politisi ideologis. Tokoh seperti ini penting untuk mengerek kembali seluruh potensi kejayaan PPP.

Ketiga, PPP kerap terjebak ke dalam identifikasi citra simbolis yang eliteis. Sah-sah saja sebuah partai punya citra simbolis, seperti halnya PPP yang mengusung citra dirinya sebagai partai Islam. Tentu, untuk bisa bertahan lama, simbol dengan substansinya harus sejalan, bukan saling menegasikan. Partai butuh kerja-kerja konkret di luar pemilu sebagai bagian optimalisasi fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol.

Bagaimanapun, partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Selain itu, juga dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan eskalatif. Bukan sebaliknya, parpol menjadi alat manipulasi kesadaran khalayak sekaligus menjadi kendaraan utama untuk "bancakan" uang rakyat secara sistemis dan berjamaah.

Refleksivitas Politik

Tantangan nyata bagi PPP ke depan adalah munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan prilaku politik para politisi lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat. Sehingga persentase kelompok apolitis kian membesar. Pasar bebas parpol di Indonesia yang kian kapitalistik juga menjadi tantangan tersendiri.

PPP harus bersaing dengan partai-partai lain yang punya sumber daya otoritatif (authoritative resource), sumber daya alokatif (allocative resources), dan sumber daya finansial (finansial resources) lebih siap dibanding PPP. Tantangan lain, PPP juga akan dihadapkan pada regulasi yang kian ketat seperti UU Parpol maupun dalam UU Pemilu. PPP, misalnya harus kerja ekstrakeras dalam menyikapi peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) dalam Pemilu 2014.

Muktamar bisa menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reorientasi diri menuju partai modern. Pertama, PPP harus mengembangkan refleksivitas organisasi. Ketua umum baru terpilih harus mampu membawa PPP menuju masa depan dengan perubahan-perubahan yang signifikan. Refleksivitas tercermin dari kemampuan untuk menentukan alasan-alasan dari pilihan perilakunya.

PPP jika ingin disebut partai modern harus progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan selalu terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis elite parpol.

PPP butuh memperkuat penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif terjadi jika organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Kedua, jika ingin menjadi partai modern, PPP harus dibangun melalui kaderisasi yang kuat. Tahapan kaderisasi harus berjalan integratif dimulai dari perekrutan, pembinaan kader menjadi loyalis serta pendistribusian dan pengalokasian kader ke dalam posisi-posisi tertentu. Pragmatisme dan politik trasaksional kerap mencederai tahapan kaderisasi ini. Partai menjadi pintu masuk bagi munculnya para politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu. Sehingga, merusak suasana batiniah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan menggerogoti kejayaan tubuh PPP.

Sudah bukan saatnya warga PPP berorientasi pada romantisme masa lalu sebagai satu-satunya rumah besar umat. Butuh kerja nyata untuk membentuk jejaring aktif melalui kaderisasi yang berkelanjutan agar PPP tetap bisa bertahan.

Tulisan bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://nasional.jurnas.com/halaman/10/2011-07-07/175434

Sumber gambar:

www.inilah.com

PANGGUNG MAFIA PEMILU


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, Sabtu 2 Juli 2011)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memiliki panggung pertunjukkan yang menyedot perhatian publik terutama media massa. Label yang disematkan oleh para politisi Senayan terutama yang berada di Komisi II garang dan menyeramkan! Mereka membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009 yang kemudian populer dengan sebutan Panja Mafia Pemilu.

Metode pertunjukkan hampir serupa dengan realitas simbolik yang dikonstruksi saat Panitia Khusus (Pansus) Century. Sama-sama menimbulkan kegaduhan publik, penuh kejutan, menebar bola liar isu, dan sangat impresif bagi media yang selalu memajang bad news is good news. Satu demi satu drama mengemuka dari paparan Mahfud MD (Ketua MK) dan Djanedjri M Gaffar (Sekjen MK) serta kian mengharu-biru saat Arsyad Sanusi (Mantan Hakim MK) dan Neshawati juga diberi panggung serupa. Inilah relasi antagonis yang mau tidak mau, suka tidak suka menjadi tontonan khalayak atas nama demokrasi.

Pemburu Mafia?

Mendengar istilah mafia yang dijadikan label Panja, merangsang kita untuk menerawang ke dunia kelam para kriminal. Di banyak literatur, kata mafia diartikan sebagai a crime syndicate atau semacam perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Konon awalnya, kata mafia merupakan istilah yang digunakan orang Sicilia untuk segala organisasi rahasia yang mengendalikan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Biasanya mereka menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuannya.

Penggambaran sistem kehidupan para mafia, secara menarik bisa kita baca di novel yang melegenda, The Godfather karya Mario Puzo (1969). Cerita mengenai para mafia Sicilia ini pun lantas dijadikan film yang sangat laris dan disutradarai oleh Francis Ford Coppola dengan judul yang sama dengan novelnya. Tokoh-tokoh Don Vito Corleone (Marlon Brando), Michael Corleone (Al Pacino) dan Santino ‘Sonny’ Corleone (James Caan) seolah menjadi icon peran para mafia.

Lalu, mampukah kira-kira tim pemburu para mafia ini memenuhi harapan publik agar sesuai dengan namanya yang sangar tadi? Di sinilah letak skeptisme muncul dan merebak di benak khalayak. Kita tentu ingat, DPR pada tahun 2009 pernah membentuk panitia angket tentang pelanggaran hak konstitusional warganegara untuk memilih yang kemudian lazim dikenal sebagai Panitia Angket Daftar Pemilih tetap (DPT) berdasarkan SK DPR No. 15/DPR RI/IV2008-2009. Panitia Angket ini diketuai oleh Gayus Lumbuun (PDIP).

Ada tiga hal yang dilakukan panitia angket tersebut. Pertama, menyelidiki akar permasalahan dan penyebab kekisruhan DPT yang menyebabkan sebagian warganegara kehilangan haknya untuk memilih. Kedua, mencari pihak yang paling bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut. Ketiga, memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dalam penyusunan daftar pemilih. Pada 29 September 2009 Panitia Angket membuat rekomendasi yang diantaranya menyatakan bahwa KPU diminta agar mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pemutakhiran data pemilih, penyusunan DPS dan DPT. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, direkomendasikan pemberhentian seluruh anggota KPU termasuk komisionernya dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Waktu pun berlalu tanpa kejelasan. Gegap-gempita kerja Panitia Angket DPT ibarat gelembung yang besar, rapuh dan cepat hilang sesuai dengan perubahan peta politik yang berlangsung di Senayan dan di lingkar kekuasaan. Hal serupa, juga terjadi saat Hak Angket Century. Seluruh energi bangsa ini masuk ke dalam pusaran kasus Century. Peristiwa itu, menjadi panggung kolosal bagi para politisi-selebriti dari Senayan, karena hampir setiap saat komentar mereka menjadi konsumsi media. Rekomendasi hanya drama yang berujung pada kesepakatan-kesepakatan politik sesama mereka.

Resiko Politisasi

Kita tentu patut mengapresiasi langkah Ketua MK Mahfud MD yang telah membuka kasus pemalsuan surat MK terkait penetapan kursi DPR untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I ke publik dan melaporkan tindakan pidana umum ini ke Polisi. Laporan Mahfud MD, sudah tepat untuk menjadi pintu masuk bagi pengungkapan ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Kepolisian pun menduga, bahwa pemalsuan surat keputusan MK dilakukan secara berkelompok. Tentu, dengan membuka kasus surat palsu MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang substansinya berbeda dengan surat asli tertanggal 17 Agustus 2009 ini, sesungguhnya sudah menyediakan koridor yang tepat untuk membongkar siapa dan berbuat apa, mereka menggunakan surat palsu untuk apa, serta siapa aktor utama yang menyuruh pemalsuan surat tersebut. Tentu, kasus Dewi Yasin Limpo ini bisa menjadi kotak pandora untuk menyingkap tabir para mafia pemilu yang nyaris tak tersentuh selama ini.

Hanya saja, semua proses itu menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan karena di saat bersamaan muncul resiko politisasi terutama setelah panggung politik bernama Panja Mafia Pemilu digelar di DPR. Menurut para politisi Senayan pembentukan Panja Mafia Pemilu menjadi keharusan. Pertama, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja penyelenggara pemilu. Kedua, dalam rangka penyempurnaan UU No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Mungkinkah fokus tersebut tidak akan melebar kemana-mana ? Di posisi inilah penulis meragukan panja buatan DPR tersebut.

Kekhawatiran itu kian menguat dalam 2 dinamika yang berlangsung di panja DPR. Pertama, muncul konstruksi opini yang melebar pada perang pribadi antara Mahfud MD versus Arsyad Sanusi. Kalimat verbal yang terucap sudah menyasar karakter personal dan melebar pada pembunuhan karakter masing-masing pihak yang bersetru. Layakah konflik personal itu mengemuka secara gamblang di media pada jam tayang yang bisa diakses semua usia. Resikonya, martabat dan kredibilitas MK sebagai institusi tentu juga akan tercederai, selain juga memberi pendidikan hukum dan politik yang keliru bagi masyarakat. Tidakah lebih tepat jika buka-bukaan itu fokus pada fakta hukum dan dipaparkan di pengadilan?

Kedua, dinamika panja juga menimbulkan kegaduhan politik nasional yang berpotensi memengaruhi fokus kepolisian dalam mengungkap kasus ini. Sekali lagi, kegaduhan publik dalam jejak rekamnya DPR lebih banyak menciptakan bubble politic dibanding penyelsaian akhir yang memuaskan rakyat. Prosesi mirip pansus Century berpotensi terulang, dan goreng-menggoreng isu pun sangat mungkin terjadi. Tak berlebihan, jika advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai pembentukan Panja Mafia Pemilu sebagai langkah kegenitan ! Rakyat tak menginginkan lagi panggung sandiwara, tetapi butuh pengungkapan fakta hingga kita tahu siapa saja para mafia pemilu itu. ***

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409835/

KLEPTOKRASI DAN KORUPSI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 8 Juni 2011)

Satu persoalan mendasar negeri ini yang hingga kini belum teratasi adalah praktik korupsi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berklindan dengan kekuasaan di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau meminjam istilah Jurgen Habermas menjadi bentuk kehidupan (lebensform).

Obstruction of Justice

Ironis memang, Indonesia kikinian adalah entitas negara yang tersandra oleh prilaku korup. Indeks persepsi korupsi tahun 2010 yang dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII) stagnan diangka 2,8 atau diposisi 110 dari 178 negara. Kondisi ini tak berubah jika dibandingkan tahun 2009. Indonesia sekelas dengan negara Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands sama-sama di skor 2,8 dan peringkat 110. Kalah kelas dengan negara tetangga sekalipun seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Meski cukup unggul dari Vietnam (2,7), Filipina (2,4), Kamboja (2.1), Laos (2,1) dan Myanmar (1,4).

Ini tentu menyedihkan, mengingat Indonesia telah menyia-nyiakan kesempatan good and clean governance pasca reformasi bergulir 13 tahun lalu. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sukses melahirkan sejumlah perangkat hukum guna meminimalisir tindakan korupsi. Perang melawan korupsi seolah membara saat reformasi sukses memasukan pembrantasan korupsi ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Secara legal formalistik Indonesia turut menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 7 Tahun 2006 dan menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Sebelum itu, karena praktik korupsi yang merajalela, Indonesia juga dengan gagah berani melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu kelahiran KPK bukan karena alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa.

Kini KPK, Mahkamah Agung (MA), kejaksaan maupun kepolisian pun nampak terjebak ke dalam sebuah pola Obstruction of Justice atau pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang yang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para Al Capone yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai God Father atau cukong tindakan korupsi.

Kleptokrasi

Kekhawatiran kita kian menjadi-jadi karena para elit yang menggenggam kuasa atas legislatif, eksekutif maupun yudikatif berjamaah melakukan korupsi. Sebagai contoh, gerombolan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 lintas partai menjadi tersangka kasus cek pelawat yang diduga sebagai suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Korupsi berjamaah juga dilakukan anggota DPRD di berbagai daerah. Yang teraktual, misalnya 11 angota DPRD Kota Madiun divonis penjara (31/05/2011). Mereka terbukti melakukan korupsi anggaran operasional dewan hingga merugikan negara 1,012 miliar.

Modus persekongkolan korupsi juga terjadi antara politisi di DPR dengan pejabat pemerintahan. Contoh aktualnya adalah suap dalam pembangunan wisma atlet yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Aroma kebusukan suap Sesmenporan pun telah menyeret politisi Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Sementara di yudikatif pun kejahatan korupsi tak kalah merajalela. Terbaru, seorang hakim pengawas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berinisial S yang diduga menerima suap atas kasus kapailitan. Hakim nakal ini telah ditangkap tangan KPK 1 Juni 2011. Tentu dia merupakan satu diantara gerombolan penegak hukum yang menjerembabkan diri ke dalam kubangan kejahatan.

Berbagai contoh tadi, menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan kini merajalela. Bahkan ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Secara etimologi, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Kita tentu ingat sebuah nasehat populer dari ekonom dan pemikir Prancis, Frederic Bastiat yang mengatakan bahwa jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor tentu hanya akan berjalan menuju titik nadir.

Pintu Masuk

Kleptokrasi sangat erat hubungannya dengan korupsi politik bahkan tak bisa dipisahkan. Dalam press release KPK (27/05/2011) eksplisit dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan korupsi politik adalah penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi. Lingkup korupsi politik sendiri mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Aktor dari korupsi politik bisa saja badan hukum partai poltik (parpol), pengurus dan kader parpol, anggota legislatif, calon/kandidat legislatif dan eksekutif yang diusung parpol, dan pelaku bisnis/swasta.

Korupsi politik akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik. Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka. Akan lebih parah jika korupsi politik ini dilakukan pemimpin negara atau pemerintahan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia pada 17 September 2007 menyebut sejumlah nama kepala negara dan pemerintahan yang melakukan korupsi politik. Di antara nama-nama tersebut adalah Soeharto, Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko, Sani Abacha, Slobodan Melosevic, Jean Claude Duvalier, Alberto Fujimori, Pavlo Larazenko, Arnoldo Aleman, Joseph Estrada. Penyebutan nama mereka berbarengan dengan peluncuran program Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Ini seolah mempertegas bahwa kejahatan korupsi politik harus menjadi perhatian seluruh warga dunia.

Saat ini, korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuataan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor.

Pertama, sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat. Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia dan sejumlah aset negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh para koruptor.

Kedua, dalam penyusunan, pengalokasian dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran.

Ketiga, korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sejumlah kebijakan publik lainnya. Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak asing maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi.

Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus tersandra oleh tindakan korupsi politik. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, maka seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal. ***

Sumber gambar:

www.inilah.com

DI BALIK SKENARIO MR A


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 6 Juni 2011)

Konflik politik yang melibatkan elit Demokrat kian menjadi-jadi. Bergulirnya isu Mr A yang dihembuskan oleh politisi Demokrat, Ramadhan Pohan pada 1 Juni lalu, sontak menjadi bola panas yang bergulir liar kemana-mana. Sederet nama politisi berawalan A yang mulai masuk ke dalam pusaran isu tersebut adalah Abu Rizal Bakrie dan Akbar Tanjung dari Golkar, Arief Poyouno dari Gerindra.

Dalam pembacaan komunikasi politik, fenomena seperti ini kerap dipahami sebagai gelembung isu (bubble issue). Yang biasanya digunakan oleh aktor untuk menarik perhatian publik pada isu sesaat guna menyembunyikan kenyataan lain yang sedang menjadi sorotan. Pola serupa kerap menghiasi jagat politik kita di masa lalu. Gelembung isu biasanya tak memiliki dasar dan tautan fakta yang kuat dan bisa dibuktikan secara hukum, karena memang sejak awal tidak diskenariokan untuk masuk di pembuktian legal formalistik melainkan bentuk equivocal communication. Menurut Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990) istilah ini memiliki makna pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas.

Konteks berhembusnya isu Mr A tentu tak bisa kita lepaskan dari kisruh kasus suap proyek wisma atlet SEA Games yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Wafid Muharram dan menyeret politisi Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Setelah Nazaruddin pergi ke Singapura beredar serangkaian propaganda melalui sms dan situs jejaring sosial yang menempatkan Demokrat dan sejumlah elit partainya sebagai sasaran tembak. Ada dua teknik propaganda yang menonjol dan digulirkan oleh pengirim yang seolah-olah Nazaruddin lewat SMS bernomor Singapura.

Pertama, teknik name calling yakni memberi label buruk pada gagasan, orang, objek atau tujuan agar menolak sesuatu tanpa menguji kenyataanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Staf Ahli Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), Andi Nurpati dan Anas Urbaningrum seolah-olah menjadi korban propaganda ini. Kedua, propaganda yang beredar itu juga menggunakan teknik card stacking yakni dengan cara memilih pernyataan yang akurat dan tak akurat, logis dan tak logis untuk membangun suatu kasus. SMS yang beredar secara sengaja dan terencana mencampur-adukan pernyataan yang asumsinya bisa diterima tetapi miskin fakta verifikatif. Tujuan utamanya menghadirkan efek domino pada perbincangan publik, sehingga orang ramai menduga-duga adanya sejumlah kasus lain di luar kasus Nazaruddin tersebut.

Dalam membaca gelembung isu semacam ini kita harus lebih teliti karena bisa jadi skenario sesungguhnya tidak seperti garis linear yang nampak di permukaan. Kini, seolah Partai Demokrat sedang dikerjai oleh banyak pihak dan terkesan menjadi sasaran tembak propagandis yang intensif menyasar berbagai kelemahan partai pemenang Pemilu ini. Kemungkinan seperti ini memang tak bisa kita abaikan terlebih jika dikaitkan dengan rivalitas menuju 2014.

Namun, kemungkinan lain juga harus kita baca secara jernih. Serangan intensif yang terjadi belakang mungkin juga diskenariokan oleh orang-orang Demokrat sendiri sebagai bagian dari manajemen konflik. Mereka menempatkan diri seolah-olah sedang disakiti, didzalimi, dijadikan sasaran tembak. Ingat, posisi semacam ini dalam tradisi politik Indonesia kerap melahirkan empati publik sekaligus melahirkan kembali kohesivitas organisasi.**

Sumber Gambar:

www.inilah.com