Jumat, 17 Agustus 2007

Propaganda Politik Melalui Media Massa

Propaganda Politik Melalui Media Massa
(Analisa dari Perspektif Agenda Setting Theory)


PENDAHULUAN


Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya di jalankan.
Makalah ini, berupaya mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Teori agenda setting dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa dengan pertimbangan relevan dengan substansi pembahasan. Untuk melengkapi bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap beberapa konsepsi pokok.


PROPAGANDA : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi

Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak


Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.

MEDIA MASSA : Sebagai Saluran Propaganda Politik


Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch (1995), ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.
Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.

Urgensi Media Massa
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat urgen dalam proses propaganda politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981), komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.
Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.
Menurut Denis McQuail (1987), terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain : pertama memproduksi dan mendistribusikan “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah negara. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.
Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D. Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “lakukan X”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (“jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan oleh media massa.

Pembentukan Citra Politik
Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefenisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Lee Loevinger mengemukakan teori komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive theory’. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu-menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1993). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Schudson (1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latarbelakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip Susilo, 2000) sebagai model “hierarchy of influence”.
Kalau dideskripsikan, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media termasuk di dalamnya isi propaganda. Pertama pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang personal dan profesional. Kedua, pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dll. Ketiga pengaruh organisasional; keempat pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan propaganda. Kelima pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas kelompok. Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.

Prinsip Propaganda di Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :
Pertama status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan mereka yang punya status kuat. Misalnya saat Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis dari tujuan revolusi.
Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetisi, keandalan, dapat dipercaya dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator, hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels, dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagi pesan propagandis berhubungan dengan keefektifannya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua struktur pesan, bisa jadi karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya adalah orang-orang timur tengah.

ANALISA : Perspektif Agenda Setting Theory


Berbicara perspektif agenda setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat . Ini dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1997) Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan media memberikan cues tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa (seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Propagandis yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut perspektif agenda setting theory, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dll. Merujuk pada pendapat Gamson dan Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan propaganda yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Propaganda di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila AS secara terus menerus memberi label Irak, Saddam Husein, Osama bin Laden sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat pemerintah Megawati selalu mempersuasi Bangsa Indonesia kalau Abu Bakar Baasyir dan Jamah Islamiyah sebagai orang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan besar hal ini berpengaruh pada cara berpikir masyarakat. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks propaganda di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan propaganda “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima brondongan pesan-pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan model ini bersifat linier dan stau arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak.
Menganalisa propaganda melalui media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa kritik yang perlu dikemukakan. Pertama, tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan propaganda sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi waktunya. Dalam tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Ia beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo (1993) terdiri atas hubungan timbal balik antar orang-orang- bukan satu mendikte yang lain –dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan pengharapan pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik persuader maupun yang dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya, bagaimana dalam konteks media massa yang memiliki karakter delayed feedback. Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud secara baik dalam propaganda politik di media massa. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah seperti di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak memberi ruang untuk dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa propaganda politik dimedia massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali mainset pemahaman terhadap pesan politik sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal dalam organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.

KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal penting. Propaganda merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik, selain retorika dan periklanan. Secara sederhana propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi. Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu-kepada-banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu organisasi atau tujuan propagandis.
Hanya saja, dalam perspektif agenda setting theory, media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet thery yang memandang khalayak sangat pasif. Media dipandang bisa menonjolkan pesan propaganda tertentu, supaya menjadi hal yang penting bagi khalayak.


DAFTAR PUSTAKA

Bettinghaus, Erwin P., Persuasive Communication, Second Edition, (New York : Reinhart and Winston, Inc., 1973)
Blumler, Jay G., and Gurevitch, Michael., The Crisis of Public Communication, London and New York : Routledge, 1995)
Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993)
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Jakarta : Erlangga, 1987
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994)
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)
Suryadi,Syamsu, Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia, dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun , Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : Gramedia, 1993)
Schudson, Michael, The Power of News, (Massachusetts, London : Harvard University Press, 1995)
Sparrow, Bartholomew H., The News Media as A Political Institution Uncertain Guardian,(Baltimore and London : The Johns Hopkins University Press, 1999)
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, (Ohio : Grid Publising, inc., 1981)v