Minggu, 15 Desember 2013

Publisitas Politik dan Simulasi Realitas Pejabat Publik

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013)

Sebenarnya, publisitas politik itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui beragam cara. Dalam perspektif komunikasi politik, paling tidak ada empat jenis publisitas. Pertama, publisitas yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa (pure publicity), misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat spanduk yang dilakukan di berbagai ruas jalan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral.

Tujuannya jelas yakni popularitas dan elektabilitas kandidat. Kedua, publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya partai atau capres yang membuat posko di tempat kejadian musibah besar  dan memiliki potensi nilai berita. Modus yang biasa dipakai adalah menyelam sambil minum air, membantu orang-orang terkena musibah sambil meraup popularitas. Ketiga, publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki oleh pihak ketiga (free ride publicity) misalnya kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara  dan lain-lain untuk mengelola popularitasnya. Keempat, publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk menanamkan kesadaran atas sebuah brand kandidat misalnya lewat advertorial, spot, dan segmen acara.

Hal yang menonjol saat ini adalah bermunculannya publisitas pejabat publik di media massa yang sebagian besar diantaranya memiliki potensi pelanggaran etika. Namun, dari sekian banyak publisitas para politisi yang harus kita kritisi adalah keterlibatan pejabat publik dalam sejumlah iklan komersial, iklan layanan masyarakat maupun sinetron. Sebut saja sebagian nama pejabat itu ada Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan), Dahlan Iskan (Menteri Perhubungan), Marzuki Ali (Ketua DPR) dan juga ada Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat Deddy Mizwar. Selain itu, ada juga sejumlah nama anggota DPR dari kalangan selebriti yang sudah kembali aktif di panggung hiburan padahal masih tersemat label wakil rakyat dengan seabrek tugas yang harusnya menjadi prioritas mereka.

Jika dibuat tipologi, pejabat publik yang masih beriklan itu bisa kita bedakan menjadi dua. Pertama, campaigning maker artinya pejabat ini sedang menyiapkan diri memengaruhi pemilih untuk jabatan tertentu di kemudian hari. Dengan demikian, meski bungkusnya publisitas, tetapi targetnya sama dengan kampanye yakni positioning, branding, segmenting. Menanamkan kesan di benak para pemilih, memalingkan perhatian khalayak, mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial.  

 Kedua, tipe The leader of the governing artinya pejabat yang sedang memerintah dan dalam waktu dekat belum memiliki agenda kampanye untuk bertarung lagi di pemilu.

Nama-nama seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Marzuki Ali, Hatta Radjasa, dan sederet nama pejabat lain yang melakukan publisitas politik dapat kita masukan ke  tipe pertama. Sementara Deddy Mizwar bisa menjadi contoh yang pas untuk tipe kedua. Semua berpotensi merusak etika politik meskipun bisa menghindari adanya pelanggaran regulasi.

Tak elok, jika iklan layanan masyarakat yang dibiayai kementrian, ditumpangi sang mentri yang akan nyapres atau ikut konvensi. Sementara iklan produk komersial yang dibintangi Wagub Deddy Mizwar  akan memantik kritisisme warga Jawa Barat terkait dengan prioritas dan performa komunikatif dalam mengemban mandat kekuasaan. Alasan sudah terikat kontrak komersial sebelum menjadi wagub bisa saja terucap, tapi jika dedikasi atas jabatan dan mandat kekuasaan di atas hitung-hitungan kontrak, maka tentu Wagub Deddy Mizwar akan memilih berhenti sementara menjadi bintang iklan produk komersial hingga jabatannya usai.  


Semua pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”. Ucapan ini dikutip ulang oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) untuk menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik. Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas partai dan urusan komersial milik pribadi.


Siapa pun yang bersiap menjadi pejabat publik tentu sudah menghitung konsekuensi apa yang akan melekat pada jabatan yang diembannya. Jangan sampai, si pejabat publik melakukan apa yang oleh Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra disebut  sebagai simulasi realitas. Dalam konteks ini, tindakan si pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan padahal tidak sama sekali. ***

Tanggung Jawab Sosial Media Massa

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom OPINI Koran Sindo, 5 Desember 2013)

INDONESIA menjadi tuan rumah acara The 3rd International Islamic Conference on Media yang diselenggarakan Selasa-Kamis (3-5/12) di Jakarta. Sejumlah akademisi, periset, praktisi media dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual terkait eksistensi media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang menjadi sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun hubungan antarnegara. Sejumlah topik seperti dimensi etis media, tata informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan oleh seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.  

Dilema media

Sebagai partisipan dalam konferensi internasional tersebut, penulis meraba denyut kegundahan banyak kalangan, terutama tentang eksistensi media massa yang ada di dunia saat ini. Memang tak disangkal, media memiliki posisi penting di era yang disebut John Keane dalam tulisannya, The Humbling of the Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance (1998), sebagai era keberlimpahan komunikasi. Terlebih, dalam praktik negara-negara demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung keajekan konsolidasi demokrasi adalah media.

Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi ruang publik (public sphere) demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di posisi itulah media kerap mengalami dilema antara idealitas dan profesionalitas di satu sisi serta pragmatisme di sisi lain.

Kondisi objektif media tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia memiliki benang merah yang sama, terutama dalam dua hal. Pertama, banyak media yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya dinamika informasi kerap dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantorkantor berita besar yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor berita negara maju. Sebesar 60-70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.

Tentu salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare). Ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name callingatau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Sejumlah sebutan seperti teroris, tiran, ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap terpapar dalam bingkai media berjejaring global untuk mendelegitimasi pihak-pihak tertentu yang sedang menggeliat menjadi kekuatan baru potensial di dunia. Kedua, hal yang paling banyak dirisaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi media.

Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik domestik maupun global. Beragam kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik. Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Dengan begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.

Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsepresonansi. Ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran sekaligus menciptakan realitas buatan melalui beragam ikon kebudayaan yang meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan dibanyak negara masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka. Terlebih jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang berkolaborasi dengan rezim kapital.

Keadaban publik

Eksistensi beragam media di dunia seharusnya mendorong terciptanya keadaban publik. Menjadi katalisator literasi informasi guna memperkuat warga dunia yang saling menghargai keberagaman, bukan sebaliknya, menjadi provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara yang harusnya saling menghormati.

Ada beberapa tanggung jawab sosial media yang harus ditunaikan kepada publik. Pertama, media harus mau dan mampu mengemban fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini konflik politik maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia. Penyebab utamanya rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai representasi kebenaran. Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah pertentangan antar kekuatan, bukan sebaliknya, menjadikan berita berdarah-darah sebagai jualan.

Kedua, media wajib menghadirkan role model pemberdayaan masyarakat. Benar bahwa media saat ini sudah berada di era industri yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese menulis dalam Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan memproduksi, mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan. Kendati demikian, selalu ada peluang para pekerja media untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran tanpa merusak keadaban publik.