Sabtu, 14 Januari 2012

PELUNCURAN BUKU "DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK"



Kiri ke kanan: Pung Purwanto (Wapimred Koran SINDO, Idy Muzayyad (Komisioner KPI Pusat), Teresia Pardede (Anggota DPR-RI/Selebritis), Wanda Hamidah (Anggota DPRD DKI/Selebritis), Gun Gun Heryanto (Penulis Buku Dinamika Komunikasi Politik), Iding R Hasan (Deputi Direktur The Political Literacy Institute) dan Heru Sutadi (Badan Regulasi Telematika Indonesia/BRTI), dalam Launching buku "Dinamika Komunikasi Politik", Selasa 13 Desember 2011 di kampus UIN Jakarta

Tangsel-Pengurus Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Political Literacy Institute mengadakan bedah buku “Dinamika Komunikasi Politik” karya Gun Gun Heryanto. Kegiatan ini diselenggarakan pada Selasa, 13 Desember 2011 di ruang Theater Prof. Dr. Aqib Suminto lantai 2 Gedung Fidkom UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyelenggaraan bedah buku ini merupakan satu kesatuan utuh dari gerakan literasi politik. Beragam peristiwa dibingkai dan diulas secara bernas. Tentunya, hampir setiap bahasan di buku tersebut, pekat dengan beragam analisis faktual, konseptual sekaligus ilmiah dari perspektif komunikasi politik yang sudah lama menjadi perhatian utama penulis. Jika meletakkannya dalam khazanah pengetahuan komunikasi politik, buku ini memiliki posisi strategis yakni menjadi semacam potret atas sejumlah peristiwa yang berlangsung di masa lalu, saat ini juga prediksi perulangannya di masa mendatang. Penulis termasuk akademisi yang mempercayai berbagai dinamika politik yang terjadi kerap mengalami pengulangan model atau modus meski melibatkan tokoh-tokoh dan zaman berbeda.

Bagi civitas akademia, buku semacam ini akan memperkaya tautan teori dan konseptual karena hampir setiap bagian tulisan selalu berorientasi pada isu-isu kontemporer yang menghiasai diskursus media massa. Penulis mengajak peserta bedah buku untuk sama-sama memahami pola yang terjadi pada setiap kejadian atau peristiwa politik dalam rentang waktu 2010 hingga 2011. Bagi Gun Gun Heryanto, ini merupakan karya ketiganya. Buku pertama berjudul “Komunikasi Politik di Era Industri Citra” rilis tahun 2010. Buku Kedua berjudul “Studi Pada Pemberitaan Kasus Century” (2011). Sementara buku “Dinamika Komunikasi Politik” yang kali ini dibedah merupakan buku ketiganya. Dalam waktu dekat, Gun Gun juga akan meluncurkan buku baru lagi berjudul “Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar” yang jeda penerbitanya tidak akan berjauhan dengan penerbitan buku “PR Politik” yang merupakan karya dari penulis yang sama.


Buku "Dinamika Komunikasi Politik" Karya Gun Gun Heryanto, Diterbitkan PT. Lasswell Visitama Jakarta, November 2011

Buku ini terdiri dari 7 bab yang memiliki keterhubungan satu sama lainnya. Bab pertama terdiri dari “Manuver Politik dalam Kontestasi Partai Politik”, bab kedua “Erosi Citra Kinerja DPR”, bab ketiga “Performa Komunikasi Politik SBY”, bab keempat “Hiperialitas Politik di Media Massa”, bab kelima “Transformasi Literasi Politik”, bab keenam “Rivalitas dalam Regulasi Politik”, bab ketujuh “Refleksi Komunikasi Politik Internasional”. Keseluruhan bab menjadi potret politik yang dinamis dan terbingkai dalam kajian komunikasi politik.

Para pembahas dalam Bedah buku "Dinamika Komunikasi Politik"

Prof Andi Faisal Bakti, Ph.D Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, mengatakan “buku ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih komunikasi politik pada perbaikan negeri ini”. Sementara itu, penulis yang juga kandidat Doktor Ilmu Komunikasi politik UNPAD Bandung -mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membangun politik yang sehat dan berdaya melalui buku ini. Dalam kapasitasnya sebagai penulis, Gun Gun memaparkan bahwa buku ini sejak awal diposisikan sebagai potret beragam peristiwa yang terjadi dalam dinamika politik nasional maupun global. Layaknya sebuah potret tentu tidak akan semua ‘angel’ bisa dicover penulis sehingga menjadi rekomendasi angel baru dalam pengembangan literatur komunikasi politik di masa mendatang.

Teresia Pardede, Anggota DPR-RI Fraksi Partai Demokrat sedang membahas buku "Dinamika Komunikasi Politik" karya Gun Gun Heryanto

Narasumber yang hadir dalam bedah buku ini antara lain Wanda Hamidah, SH, M.Kn (DPRD-DKI) Theresia Pardede, S.Sos (Anggota DPR-RI), Ir. Heru Sutadi. M.Si (Badan Regulasi Telematika), Pung Purwanto, S.Sos (Wakil Pimpinan Redaksi Harian Seputar Indonesia), Idy Muzayyad (Komisi Penyiaran Indonesia Pusat), dan dimoderatori oleh Iding R. Hasan, M.Si (Diputi Direktur The Political Literacy Institute). Turut hadir membedah buku ini Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D(Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Partisipan bedah buku beragam mulai dari mahasiswa, pers, para dosen, penggiat kajian, aktivis forum mahasiswa, utusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dll.

Para peserta bedah buku "Dinamika Komunikasi Politik" di Ruang Teater Prof. Aqib Soeminto, Fidkom UIN Jakarta, 13 Desember 2011

Bagi The Political Literacy Institute acara ini diposisikan sebagai upaya pengarusutamaan literasi politik. Bedah buku kali ini, diharapkan dapat menularkan semangat pencerahan dan penguatan basis politik kewargaan, sehingga kantong-kantong civil-society bisa bertahan di tengah dominasi partai politik. Buku ini bisa diakses di beberapa toko buku dan untuk pemesanan langsung bisa di nomer kontak 081314272883 atau di email markom@lasswellvisitama.com (*Pan)


RESENSI BUKU "DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK"


Bingkai Politik Keindonesiaan

Judul Buku : Dinamika Komunikasi Politik
Penulis : Gun Gun Heryanto
Penerbit : PT. Lasswell Visitama, Jakarta
Tebal : xvi+ 324 halaman
Terbit : Desember 2011
Harga : 60.000,-
Pesan Langsung: 081314272883


Menyimak situasi politik Indonesia saat ini, tampak ada tiga fenomena yang menonjol jika dipotret dari perspektif komunikasi politik. Pertama, praktik demokrasi prosedural yang membuka ruang-ruang ekspresi dan partisipasi politik masyarakat.

Hal ini dimulai sejak transisi dari otoritarianisme Orde Baru ke era demokrasi elektoral yang berjalan hingga sekarang. Fenomena ini melahirkan beragam manuver,rivalitas dalam perumusan regulasi untuk saling mendukung atau menundukkan. Kontestasi politik ini menyuburkan basis komunikasi politik sebagai kebutuhan di hampir seluruh tindakan aktor.

Kedua, banyak perkembangan baru yang muncul dan menjadi penanda modernisasi di bidang komunikasi politik. Misalnya, penggunaan sosial media dalam menyosialisasikan ide,gagasan dan sikap para aktor politik. Mewabahnya penggunaan Twitter, Facebook dan sejumlah sosial media lainnya oleh para politisi,membuat lingkup komunikasi politik semakin luas.

Bahkan,fenomena protes di cyber pun kian menggejala meski belum nampak matang sebagai gerakan hacktivist yang menentang superioritas rezim kekuasaan dan korporasi seperti dilakukan Wikileaks. Di buku karya Gun Gun Heryanto ini beberapa kali fenomena ini disebut sebagai third age of political communication.

Ketiga,tumbuh suburnya industri di seputar komunikasi politik. Misalnya, media massa, konsultan komunikasi politik, agen publisitas,profesional PR (public relation) politik dll. Kerap menjamurnya industri komunikasi politik ini masih ditandai oleh kegagapan kita akan fenomena ini. Misalnya, terkait dengan aturan main soal publikasi hasil riset opini publik melalui media yang hingga kini masih belum jelas.

Panggung politik Indonesia terutama yang dibingkai oleh media pun kerap hanya menyajikan hyperealitas politik yang berlebihan. Jika ditelisik, benang merah pemaparan Gun Gun nampak memosisikan beragam peristiwa politik sebagai hal yang berpola. Banyak kesamaan pola peristiwa meskipun antara satu peristiwa dengan peristiwa lain terjadi dalam waktu berbeda dan memiliki sejumlah aktor yang berbeda pula.

Misalnya saja konflik elite yang melibatkan partai politik, motif dan modusnya sering kali memiliki kesamaan dengan peristiwa di masa sebelumnya. Relasi kuasa yang dibangun antar aktor pun kerap berkisar dalam model-model relasi yang hampir sama. Dalam konteks inilah buku karya Gun Gun sebagai akademisi yang consern dengan isu-isu komunikasi politik di Indonesia ini mendapatkan tempat istimewa.

Kita senantiasa butuh sebuah dokumentasi yang memotret dinamika yang terjadi di masa lalu, sekarang dan prediksi mendatang. Dalam buku ini setidaknya penulis menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, pentingnya membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap politik. Gun Gun menilai, literasi politik sebagai gerakan evolutif merupakan simpul kekuatan civil society. Literasi ini dimaksudkan untuk membaca kamuflase politik elitis di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekaligus menghindari dominasi politik kartel yang pekat dengan praktik kolusif.

Kedua, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor. Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan “kesalehan”berpolitik baik di tingkat pribadi maupun institusional. Pemikiran analitis yang dibingkai dalam tujuh bab bahasan di buku ini menyoroti beberapa peristiwa dengan cukup detil dan memadai, mengacu pada momentum peristiwa politik yang hangat dalam diskursus media. Pada bab pertama, penulis menyoroti manuver politik dan kontestasi parpol.

Di bagian pertama ini, penulis menyajikan ulasan seputar manuver partai politik dalam kontestasi demokrasi. Di bab kedua,penulis membahas citra DPR. Bagian ini memotret berbagai peristiwa konflik, inisiatif,produktivitas kerja dan respons khalayak terhadap para politisi DPR. Bahasan bab ketiga secara khusus menyoroti performa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia yang telah terpilih dalam dua kali pemilu.

Bab keempat mengulas posisi media dalam politik. Penulis menawarkan solusi atas dinamika komunikasi politik kita dewasa ini pada bab kelima. Secara khusus, penulis menyoroti rivalitas dalam regulasi politik dalam bab keenam,di mana paket rancangan undangundang mengenai nasib politik bangsa dikoreksi dengan detil.

Resensi ini dipublikasikan di Koran SINDO, 11 Desember 2011, Peresensi adalah Shulhan Rumaru, Peneliti The Political Literacy Institute, Jakarta.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/450573/


Note: untuk pemesanan secara langsung bisa hub: 081314272883 atau email ke: markom@lasswellvisitama.com

MENYOAL PROPORSIONAL TERTUTUP


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 5/1/2012)

Salah satu bahasan penting yang saat ini menjadi perdebatan hangat di DPR terkait dengan revisi UU Pemilu No 10 Tahun 2008 adalah rencana sebagian politisi Senayan untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung sistem proporsional tertutup ini.

Jika solid, maka jumlah suara dari semua fraksi ini mencapai 242 suara. Sementara itu, pendukung proporsional terbuka adalah Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Hanura. Kalkulasi dukungan dari ketiga fraksi tersebut mencapai 211 suara. Sisanya adalah Partai Golkar yang mengusulkan langkah kompromistis mix member proportional system.

Langkah Mundur

Untuk mengingatkan, pada 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan untuk mengabulkan uji materi atas Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008. Konsekuensi keputusan MK tersebut, penetapan caleg untuk Pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak. MK memberi pertimbangan bahwa penetapan caleg berdasarkan nomor urut tidak sesuai dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Uji materi tersebut antara lain bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 3, dan Pasal 28 I Ayat 2 UUD 1945. Intinya, saat itu MK memandang sistem nomor urut yang diatur dalam UU Pemilu dinilai bertentangan dengan asas pemilu luber dan jurdil. Ide mengembalikan sistem pemilu ke nomor urut sesungguhnya kemunduran dalam pemilu kita, sekaligus berpotensi menjadi salah satu sumbatan nyata dalam konsolidasi demokrasi.

Ide ini dapat mengembalikan oligarki parpol karena para elite banyak yang merasa tidak percaya diri dalam rivalitas perebutan suara secara terbuka. Paling tidak, terdapat tiga kritik utama terhadap sistem proporsional tertutup.

Pertama, sistem proporsional tertutup akan mengembalikan elitisme dan feodalisme dalam parpol karena mereka yang di nomor jadi, biasanya adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan elite parpol. Kedekatan geneologi politik dan pola patron-client biasanya menjadi faktor-faktor dominan yang menentukan.

Mereka yang tak masuk dalam atmosfer elite atau tak memiliki akses ke pemilik otoritas parpol, biasanya hanya diletakkan di nomor buntut dan hanya sekadar menjadi ornamen dalam pesta demokrasi yang berlangsung.

Kedua, sistem ini juga dianggap akan mengembalikan politik transaksional. Mereka yang jadi, dalam tradisinya membayar upeti ke parpol sehingga pertimbangan penetapan caleg tak lagi berbasis kompetensi dan pemilih, melainkan lebih pada seberapa besar uang yang bisa mengalir dari caleg ke parpol.

Ketiga, sistem proporsional tertutup dianggap bisa merusak tatatan kaderisasi karena sirkulasi politik dalam distribusi dan alokasi sumber daya tak lagi ditentukan oleh loyalitas dan tahapan kaderisasi, melainkan oleh faktor kedekatan dan upeti tadi. Para pengusung proporsional tertutup kerap meletakkan basis argumennya pada upaya menjaga peran dan otoritas partai.

Suara terbanyak dianggap menghadirkan liberalisasi politik yang tak sepenuhnya bisa dikontrol oleh parpol. Muncul penyederhanaan logika, parpol bisa lebih optimal dalam menjaga garis perjuangan partai di legislatif jika diberikan peran utama dalam menentukan siapa saja yang berpeluang menjadi anggota DPR.

Dengan suara terbanyak seperti di pemilu 2009 kemarin, dianggap telah menghadirkan para politisi "kacangan" yang populer di masyarakat, namun tak optimal bekerja sesuai dengan harapan parpol.

Suara Terbanyak

Tak dinafi kan, sistem proporsional terbuka juga memang memiliki kelemahan. Pertama, sistem ini dianggap melemahkan kohesivitas parpol karena untuk mendapatkan suara terbanyak di suatu dapil, kerap melahirkan kontestasi dan konfl ik yang keras sesama rekan satu partai.

Kedua, sistem suara terbanyak mengubah peta upeti ke parpol menjadi upeti ke konstituen. Artinya, praktik money politic kian masif karena setiap caleg yang mau terpilih harus mengeluarkan ongkos politik yang sangat mahal di berbagai kantong pemilih.

Liberalisasi politik berbalut uang dikritik dapat mencederai demokrasi karena secara sengaja telah memapankan politik transaksional dalam skala yang lebih luas. Namun proporsional terbuka jauh lebih berpotensi besar dalam menjaga akses menuju kesejatian demokrasi, dibanding proporsional tertutup. Mereka yang akan menjadi anggota DPR adalah orang-orang yang memang diinginkan oleh konstituen di suatu daerah pemilihan.

Artinya, ada peran leluasa dari rakyat dalam menentukan siapa-siapa saja yang layak dijadikan wakil mereka, bukan ditentukan, terlebih dipaksakan parpol. Tentu, pemilu 2009 belum menjadi contoh ideal proporsional terbuka, tapi bukan berarti salah untuk diteruskan. Sistem suara terbanyak juga lebih berpeluang untuk menjadi mekanisme hukuman bagi para politisi dan partai politik yang tak sungguh-sungguh memperjuangan amanat rakyat.

Misalnya, seseorang yang sudah terpilih sebagai anggota DPR tetapi tak optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya, maka pada pemilu 2014, orang-orang yang tak kredibel ini sangat mungkin tak dipilih kembali oleh konstituen mereka. Memang muncul jalan kompromistis di antara dua tawaran tadi, yakni mixed member proportional system dengan cara mengawinkan nomor urut dan suara terbanyak.

Beberapa kursi disediakan dengan menggunakan nomor urut dan berapa kursi lainnya melalui suara terbanyak. Harapannya, calon unggulan partai dan calon yang paling mendapat dukungan di dapil bisa terakomodasi secara bersamaan. Komposisi anggota DPR ke depan, adalah para pekerja atau orang-orang yang memiliki kontribusi nyata pada partai politik dan kader yang memang secara faktual memperoleh dukungan basis konstituen di sebuah dapil.

Tentu saja, UU Pemilu perlu mengatur secara jelas berapa jumlah kursi yang disediakan untuk jalur nomor urut, dan berapa kursi yang akan dikontestasikan secara terbuka berdasarkan suara terbanyak dari pemilih. Jalan kompromi ini, bisa saja ditempuh di tengah kutubkutub ekstrem yang saat ini ada di DPR. Namun satu yang pasti, jika pilihannya tetap pada kutub proporsional tertutup, tentu pemilu kita akan kembali ke masa lalu ketika rezim parpol akan sangat dominan.

Tulisan bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/80084

RAPUHNYA KONSOLIDASI DEMOKRASI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Catatan Akhir Tahun, dipublikasikan di SINDO, 28/12/211)

Larry Diamond,akademisi dari Stanford University, menulis soal definisi konsolidasi demokrasi dalam bukunya, Developing Democracy Toward Consolidation (1999).

Menurutnya, konsolidasi demokrasi itu sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.Konsolidasi demokrasi menekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik yang signifikan, baik pada level massa maupun elite, dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain, karena mereka yakin bahwa pemerintahan demokratis adalah yang paling tepat bagi masyarakat mereka.

Jika kata kunci itu merujuk pada kepercayaan dan legitimasi yang kuat, dinamika politik Indonesia sepanjang 2011 menunjukkan kian rapuhnya konsolidasi demokrasi. Momentum akhir tahun ini seyogianya menjadi saat yang tepat untuk membuat refleksi perjalanan demokrasi prosedural yang kita jalani, minimal dalam satu tahun terakhir ini. Sungguh! 2012 persoalan politik akan kian kompleks dan tren politisasi beragam isu akan kian eskalatif seiring dengan fokus para politisi yang kian tajam mengarah ke gelanggang Pemilu 2014.

Catatan 2011

Salah satu indikator kian rapuhnya konsolidasi demokrasi adalah persepsi publik yang semakin tidak puas dengan laju reformasi, bahkan sebagian di antaranya sudah menganggapnya gagal. Kita tentu masih ingat dengan salah satu hasil survei nasional Indo Barometer sepanjang 25 April hingga 4 Mei 2011.

Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasa ada perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4%.Hanya 31% masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7% yang menyatakan puas.

Hasil survei tersebut setidaknya menjadi penguat dari pendekatan akademik dalam meraba gejala kekecewaan masyarakat kepada kaum elite baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita rasakan mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi.

Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan. Sepanjang 2011 kita mencatat sejumlah sumbatan yang kian nyata kehadirannya. Jika dianalogikan,kondisi politik kita sepanjang tahun ini ibarat kemacetan Jakarta yang semakin parah.

Para pemain menumpuk di jalanan, sibuk saling mencaci satu sama lain dan lupa bahwa keegoan diri untuk melaju sesungguhnya menghambat dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kekalutan ini, lantas perang pun berjalan asimetris. Tidak lagi jelas siapa kawan dan lawan, karena kerapkali mereka yang menjadi mitra koalisi justru lebih mengancam dan mematikan!

Paling tidak ada dua sumbatan utama dalam laju konsolidasi demokrasi sepanjang 2011. Pertama, pola ambigu dalam konsolidasi kekuatan penopang rezim SBY-Boediono. Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna memenuhi harapan publik.

Pola konservatif berbasis koorporatisme politik seperti tergambar dalam pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) ternyata tidak berjalan mulus,bahkan menimbulkan sejumlah paradoks karena gaya kepemimpinan SBY yang sangat kompromistik. Secara faktual, SBY gagal mendisiplinkan banyak parpol yang merasa menjadi pemilik saham dalam rezim kekuasaannya.

Berbagai momentum politik menunjukkan hanya Demokrat, PKB,PPP, dan PAN yang benarbenar menjadi poros kekuatan SBY.Sementara Golkar dan PKS justru membawa agendanya sendiri-sendiri dan kerapkali menunjukkan identitasnya sebagai partai koalisi bercitarasa oposisi.

Momentum reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Oktober lalu menjadi sinyal kuat bahwa SBY lebih berorientasi pada adaptasi kekuasaan untuk memelihara rezim hingga 2014. Dengan demikian, hubungan mesra, tapi “munafik” ini sempurna hanya untuk saling menjaga diri para elite dan bukan diposisikan untuk konsolidasi demokrasi.

Hubungan ini jelasjelas membuat rezim SBY tidak mampu bekerja optimal, tidak memperkuat institusionalisasi sistem presidensial,serta menghambat tuntasnya sejumlah regulasi untuk konsolidasi dan pelembagaan politik. Contoh aktual adalah ketidakjelasan Setgab dalam revisi UU Pemilu.

Energi mereka hanya dihabiskan untuk polemik seputar parliamentary threshold. Kedua, laju politik para elite tersandera oleh sejumlah kasus hukum. PDIP tersandar oleh kasus BLBI, SBY dan Demokrat tersandera Century, Golkar tersandera kasus Lapindo, dan banyak politisi lintas parpol yang terjerat atau terancam dengan berbagai laku korupsi politik.

Banyak pintu menuju korupsi bagi para politisi.Hanya,sangat sulit pintu korupsi tersebut dilewati oleh aktor tunggal. Korupsi politik pun akhirnya dilakukan secara berjamaah dan risikonya satu sama lain akan saling melindungi. Tidak heran jika Corruption Perception Index (CPI) menurut versi Transparency International (TI) tidak beringsut dari angka negara terkorup.

Skor Indonesia tahun ini 3,0 sekelas dengan Argentina,Benin,Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,Meksiko, Sao Tome dan Principe, Suriname, dan Tanzania. Artinya Indonesia menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Tentu bukan prestasi yang membanggakan bukan?

Rivalitas Politik

Tahun 2012 segera datang. Alih-alih tensi politik menurun, yang akan terjadi justru kondisi politik yang semakin memanas. Para politisi akan semakin intensif melakukan tes pasar jelang Pemilu 2014. Berbagai strategi pencitraan, attacking lawan,publisitas,dan kontestasi regulasi seputar pemilu akan menjadi-jadi.Konsekuensi dari pertarungan tersebut,sejumlah langkah menjegal legitimasi lawan akan menyeruak ke permukaan.

Karena itu, proses konsolidasi demokrasi sangat tak mungkin dilakukan para elite parpol, karena energi mereka akan habis tersedot ke dalam pusaran kontestasi yang seolah tak pernah bertepi.●

Tulisan ini bisa diakses di web SINDO:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/455416/

DISKURSUS HAK MEMILIH TNI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini dipublikasikan di Harian Waspada, 22/11/2011)


Di dalam rapat-rapat DPR mengenai pembahasan revisi UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, wacana mengenai hak memilih TNI dalam pemilu kembali mencuat. Bahkan, ada beberapa fraksi yang sepertinya mendukung kembalinya TNI ke gelanggang politik. Argumen para pengusul, dengan memberi hak memilih bagi TNI artinya mengembalikan hak asasi manusia yang seharusnya dimiliki oleh mereka.

Namun benarkah hal tersebut menguntungkan bagi TNI dan bangsa ini?

Tatanan Demokrasi

Bagi penulis, wacana pemberian hak memilih bagi TNI ini akan bertentangan dengan UU, mengancam tantanan demokrasi sekaligus membahayakan bagi reformasi internal di tubuh TNI sendiri. Sangat jelas dan eksplisit pada Pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa tentara profesional adalah tentara yang tidak berpolitik praktis. Dengan demikian, TNI harus netral serta mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. TNI sebaiknya melanjutkan sikap netral seperti saat menghadapi Pemilu 2009.

Waktu itu, guna memperjelas sikap, Panglima TNI mengeluarkan instruksi nomor Ins/1/VIII/2008 pada 28 Agustus 2008. Poin pertama di instruksi tersebut mempertegas bahwa TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Pembahas revisi UU Pemilu tentunya harus menjaga agar jangan sampai ada upaya pihak-pihak tertentu yang menarik kembali TNI ke dalam politik praktis, misalnya berupaya melibatkan TNI dalam dukung mendukung atau menjadikan mereka sebagai pengurus parpol. Hal ini, akan bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Ketentuan tersebut terdapat dalam Bab II Pasal 3 ayat 2, yang pernah dijabarkan ke dalam PP No. 12/1999.

Disebutkan, bahwa pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus parpol. Oleh karena itu, pegawai negeri termasuk anggota TNI yang menjadi anggota dan atau pengurus parpol harus diberhentikan sebagai pegawai negeri atau anggota TNI. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. K.26-17/V.19-14/99 pada point 2.a yang memperkuat pelaksanaan UU No. 43 tahun 1999.

Bagi pegawai negeri sipil ataupun TNI yang menjadi anggota atau pengurus parpol setelah berlakunya UU tersebut, maka yang bersangkutan bisa diberhentikan dengan hormat jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Begitupun mereka bisa diberhentikan secara tak hormat, jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol tak memberitahukan diri. Larangan menjadi anggota atau pengurus parpol secara tegas juga diberikan kepada keluarga (istri/suami) prajurit TNI.

Di Pemilu 2009, sudah sangat jelas Prajurit TNI yang akan menggunakan haknya untuk dipilih dalam Pemilu dan Pemilukada harus membuat pernyataan mengundurkan diri dari dinas aktif dengan kata lain pensiun sebelum tahap pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada. Sikap ini lugas tertuang dalam surat telegram Panglima TNI Nomor STR/546 / 2006 tanggal 22 Agustus 2006.

Panglima TNI saat itu, menginstruksikan agara seluruh anggota TNI tidak diperkenankan menjadi anggota KPU di pusat maupun daerah. Tidak diperkenankan campur tangan dalam menentukan dan menetapkan peserta Pemilu. Dilarang memobilisir semua organisasi sosial, keagamaan dan ekonomi untuk kepentingan parpol dan kandidat tertentu.

Anggota TNI dilarang menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan. Selain itu, juga tidak diperkanankan menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pendaftaran Pemilih, tidak campur tangan dalam penentuan dan penetapan peserta Pemilu perorangan (Dewan Perwakilan Daerah). Selian itu juga terlarang menjadi peserta dan juru kampanye, termasuk menjadi tim sukses kandidat.

Jika pembahasan revisi UU No.10 tahun 2008 yang akan menjadi regulasi penyelenggaraan Pemilu 2014 nantinya menyepakati diperbolehkannya kembali para anggota TNI memilih, tentu ini sebuah kemunduran bahkan paradoks dengan salah satu amanat reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sekaligus keinginan tersebut tak mengapresiasi upaya yang telah dilakukan TNI sendiri yang sejak tumbangnya rezim Orde Baru sedang berupaya menjaga jarak dari politik praktis.

Mereduksi Reformasi

Niatan memberikan hak memilih bagi TNI dikhawatirkan juga akan mereduksi reformasi internal yang saat ini sedang berjalan. Pasca reformasi, TNI telah berupaya merumuskan paradigma baru. Salah satu substansinya, TNI bertekad meninggalkan fungsi sosial politik yang di zaman Orde Baru populer dengan sebutan dwi fungsi dan berkonsentrasi pada fungsi pertahanan.

Dengan demikian, konsekuensinya seluruh jajaran TNI baik institusi, satuan, maupun perorangan tak lagi melakukan kegiatan politik praktis ataupun menjadi partisan salah satu parpol. Sebagai rujukan, berdasarkan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 ditetapkan, peran TNI sebagai alat pertahanan NKRI. Untuk mewujudukan perannya sebagai alat negara, kebijakan TNI dalam Pemilu seyogianya mendukung agar penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana secara lancar dan konstitusional.

Sangat bisa dimaklumi, untuk mencapai tujuan politik, kontestan Pemilu baik untuk DPR, DPRD, DPD maupun calon presiden dan wapres akan sarat dengan persaingan. Terutama, dalam memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. TNI sebagai salah satu komponen bangsa yang masih mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat sangat mungkin dijadikan sasaran tarik-menarik kekuatan politik peserta Pemilu. Hal tersebut cukup beralasan mengingat TNI mempunyai organisasi yang terstruktur di seluruh penjuru tanah air.

Paling tidak ada dua hal yang rentan jika TNI kembali terlibat politik praktis. Pertama, karakteristik yang kental di tubuh TNI adalah satu komando (unity of command). Organisasi hirarkis yang sangat mengedepankan ketaatan pada atasan. Terbayang betapa bahayanya jika TNI harus mendukung parpol yang jumlahnya puluhan atau kandidat capres dalam pemilu. Fragmentasi kekuatan politik akan berpotensi menyeret mereka pada situasi ketidakpastian, terlebih di saat yang bersamaan tingkat kesejahteraan dan penguatan kelembagaan masih belum baik.

Kedua, saat ini reformasi internal di tubuh TNI belum tuntas. Pusaran konflik politik dalam Pemilu akan mengancam proses yang sedang berjalan, sehingga dikhawatirkan semuanya akan kembali ke titik nol.

Sumber tulisan:

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=224616:diskursus-hak-memilih-tni&catid=47:diskursus&Itemid=130

POLEMIK PEMILIHAN GUBERNUR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 21/11/2011)

Hal merisaukan sekaligus menjadi sumber polemik antara pemerintah dengan berbagai pihak mengenai draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) adalah aturan yang akan mengembalikan pemilihan gubernur (pilgub) ke DPRD. Sebagaimana kita ketahui RUU Pilkada merupakan salah satu pecahan dari revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Ada dua argumentasi utama pemerintah yang patut dikritisi. Pertama, gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas muncul simplikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara resiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding dengan pemilihan bupati atau walikota. Untuk membuat masuk akal, argumentasi ini, biasanya merujuk pada proses implementasi otonomi daerah yang basis utamanya di level kabupaten dan kota.

Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otonomi daerah tentu sangat rancu. Menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kita kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otonomi daerah, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi. Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada dua aspek yakni administrasi dan politik.

Dalam perspektif desentralisasi adminitrasi, memungkinkan transfer tanggungjawab adminitratif dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Sementara dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas ke tingkat yang lebih rendah dalam hirarki teritorial.

Pemerintahan Orde Baru yang terpusat, telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya, jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu di antara penandanya adalah pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala daerah yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini, akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput.

Dalam konteks inilah, Pilkada harus dipahami sebagai alat pemberian legitimasi rakyat kepada pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, Pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang beresiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.

Kedua, pilgub dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya finansial tetapi juga biaya sosial. Setiap kontestasi pilkada berlangsung, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfir pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai salah satu sebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain.

Apakah benar, mengembalikan pilkada gubernur ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD, justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti yang menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa di DPRD, bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.

Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekedar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) yang lazimnya dipraktikkan di era Orde Baru. ***

MOMENTUM SEDERHANAKAN PARPOL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 18/11/11)

Tensi pertarungan politik di DPR kian meningkat seiring dengan belum adanya titik temu partai papan tengah dan partai besar terkait angka parliamentary threshold (PT).

PDIP dan Golkar mengusulkan 5 persen, Demokrat 4 persen, PKS 3 hingga 4 persen, PPP, PAN, Gerindra, Hanura 2,5 persen. Terakhir, PKB yang justru mengusulkan turunnya angka PT menjadi 2 persen. Parpol menengah yang saat ini berada dalam lingkar kekuasaan pun mengancam akan keluar dari sekretariat gabungan (setgab) dan menginisiasi poros tengah.

Ambang Batas

Polemik soal peningkatan PT menjadi dilema tersendiri bagi para politisi di DPR mengingat banyaknya desakan untuk mengakomodasi kepentingan parpol dalam konfigurasi kekuasaan legislatif periode mendatang. Ambang batas ini berpotensi dijadikan sandera politik pembahasan revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 bahkan UU paket politik lain yang belum tuntas.

Kebiasaan buruk dalam setiap revisi UU Paket politik adalah penyelesaian pembahasan selalu mepet dengan penyelenggaraan pemilu. Misalnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPRD, dan DPD dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden disahkan mepet dengan penyelenggaraan pemilu 2009. DPR semestinya menjadikan pemilu 2009 sebagai pelajaran, betapa morat-maritnya persiapan para penyelengara pemilu karena pengesahan revisi UU yang tak kunjung datang jauh-jauh hari. Hal ini tentunya berdampak pada kualitas hasil penyelenggaraan pemilu 2009 yang kurang maksimal.

Logika peningkatan angka PT mestinya diposisikan sebagai konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kian mapan. Merujuk ke pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu ada sembilan parpol yang lolos ke parlemen, antara lain Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen).

Jika data tersebut menjadi dasar prediksi perolehan suara di Pemilu 2014, maka angka PT 5 persen akan melahirkan penyusutan jumlah parpol di DPR menjadi hanya 5 atau 6 parpol saja. Tentu, wacana ini akan sangat ditentang oleh parpol-parpol kecil yang sekarang tak terakomodasi di DPR sekaligus juga mendapat resistensi dari parpol papan tengah yang gamang dan belum percaya diri dapat meningkatkan suara melebihi ambang batas 5 persen. Peningkatan PT ini, sekali lagi, bukan mengamputasi parpol secara semena-mena, melainkan uji publik melalui kontestasi pemilu yang terbuka, sehingga semakin ke depan kita akan semakin menikmati atmosfer demokrasi yang solid dan kuat, dengan polarisasi yang tidak begitu kompleks.

Masalahnya sekarang penyederhanaan parpol di DPR itu selalu dianggap utopia. Logika politik selalu dibenturkan pada realitas politik yang seolah-olah belum memungkinkan adanya penyederhanaan. Parpol pun mencari seribu satu cara agar eksistensinya tetap terjaga sepanjang masa. PT ini hanya satu bagian kecil dari sederat regulasi lain yang harus dibahas dan dituntaskan DPR, oleh karenanya DPR jangan terus-menerus tersandera di ambang batas parlemen.

Konsolidasi Demokrasi

Pemilu 2014 akan menjadi fase menentukan apakah kita akan berada di jalur peningkatan konsolidasi demokrasi atau justru sebaliknya. Oleh karenanya, fase tersebut merupakan momentum kesejarahaan sekaligus ujian bagi bangsa ini. Jika diletakkan dalam konteks ini, revisi UU Pemilu menjadi strategis. Hanya saja, kita memiliki sejumlah catatan bahwa revisi senantiasa dilandasi bukan oleh motivasi untuk membuat komprehensifnya paket UU politik, melainkan lebih banyak dimotivasi oleh sejumlah variabel kepentingan para politisi dan partai politik.

Dalam politik, tentu saja kontestasi antara kekuatan merupakan hal yang sangat lumrah. Namun, saat ada kepentingan yang lebih besar yakni kualitas demokrasi dan pemapanan politik di negeri ini, maka kontestasi seyogianya mengacu pada kepentingan tersebut. Misalnya saja, soal aturan mengenai peningkatan angka parliamentary treshold (PT) seharusnya para politisi bukan dalam pemilahan biner kepentingan partai besar dan partai kecil.

Sistem politik kita rawan terjebak pada kutub-kutub ekstrem yang sesungguhnya tidak mendukung konsolidasi demokrasi. Kita pernah mempraktikkan kutub ekstrem fusi partai yang dipaksakan negara. Multipartai yang muncul di era Orde Lama ditekan sedemikian rupa oleh rezim Soeharto, sehingga menjadi tiga partai. Proses fusi tak berjalan alamiah karena PDI dan PPP hanya dijadikan ornamen tanpa mampu berbuat banyak. Konsekuensinya, muncul koorporatisme politik atas kekuatan civil society dan pressure group.

Kutub berikutnya adalah multipartai yang gegap gempita. Kita pernah mempraktikkan multipartai pada Pemilu 1955, 1971, 1999, 2004, juga 2009. Hasilnya tak terlalu menggembirakan karena ternyata hasil pemilu tersebut tak menghasilkan pemapanan politik yang kuat. Multipartai ekstrem terlalu kompleks saat harus mendukung efektivitas pemerintahan. Dinamika multipartai yang bersanding dengan presidensialisme terutama setelah Indonesia memasuki liberalisasi politik di tahun 1998 hingga sekarang, belum sukses membuat bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.

Satu hal mendesak bagi para anggota DPR di penghujung tahun ini adalah menyelesaikan seluruh paket UU Politik termasuk UU Pemilu, terlebih hal ini telah masuk di prioritas program legislasi nasional (prolegnas) mereka. Momentum itu penting, jangan sampai DPR kembali terjerembap ke dalam kubangan persoalan berulang, yakni pengesahan regulasi yang dilakukan di penghujung harapan masyarakat. Kita tentu tak berharap revisi dilakukan semata-mata tambal sulam, terlebih sekadar pelapis kelemahan parpol-parpol di Senayan.

Sekali lagi, pemilu 2014 adalah momentum yang tepat untuk masuk pada fase konsolidasi demokrasi setelah kita berkutat lama dalam kebuntuan yang disebabkan oleh fragmentasi kekuatan di DPR. Peningkatan ambang batas parlemen memang bukan satu-satunya mekanisme konsolidasi demokrasi, akan tetapi konsensus menyangkut peningkatan gradual ambang batas di pemilu 2014 dan sesudahnya akan turut mengurai benang kusut politik di Indonesia. ***

Sumber Tulisan:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/76372

Sumber gambar:

www.republika.co.id

MENGAMPUTASI POLITIK DINASTI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 16/11/2011)

Baru-baru ini, pemerintah mengusulkan beberapa perubahan pelaksanaan pilkada dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Subtansi yang menonjol adalah adanya keinginan untuk menghapus praktik oligarki sekaligus mengamputasi mata rantai politik dinasti yang saat ini kian menggejala di berbagai daerah. RUU Pilkada merupakan salah satu pecahan dari revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Niat untuk menghapus monopoli kekuasaan tentu saja layak diapresiasi, tetapi sejumlah aturan main yang diajukan di RUU tersebut, berpotensi menimbulkan masalah baru yang sama rumitnya.

Hegemoni Keluarga Inti

Tak dimungkiri, fenomena politik dinasti memang semakin menguat. Kita bisa ambil contoh, sepanjang 2010 sedikitnya ada sembilan kepala daerah terpilih yang masih kerabat dekat kepala daerah sebelumnya (SINDO,7/11).

Bupati Kendal Widya Kandi (istri mantan bupati kendal Hendy Boedoro), Bupati Kutai Kertanagara, Rita Widyasari (anak mantan Bupati Kukar Syaukani HR), Bupati Lampung Selatan Ryco Mendoza (putra Gubernur Lampung Sjahruddin ZP), Bupati Pesawaran, Aries Sandi Dharma (anak Bupati Tulang Bawang), Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan sebelumnya), Bupati Kediri Haryanti Sutrisno (istri bupati sebelumnya), Bupati Bantul Sri Suryawidati (istri bupati sebelumnya, Idham Samawi), Bupati Indramayu, Anna Sophanah (istri bupati sebelumnya Irianto MS Syafiuddin) dan Walikota Cilegon, Imam Aryadi (anak Walikota sebelumnya).

Tentu jika ditelisik lebih jauh lagi, sejak reformasi banyak sekali kepala daerah yang dipertukarkan dari, oleh dan untuk keluarga inti kepala daerah petahana (incumbent). Melihat gejala ini, pemerintah lantas mengusulkan aturan main soal pelarangan bagi keluarga inti (suami/istri dan anak) kepala daerah incumbent untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka baru boleh mencalonkan diri setelah kepala daerah yang bersangkutan tak berkuasa lagi selama satu periode jabatan atau 5 tahun. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode juga dilarang mencalonkan diri sebagai calon wakil kepala daerah.

Dalam praktik di Indonesia, politik dinasti memang menunjukkan preseden buruk bagi regenerasi kepemimpinan di daerah. Hal ini, menciptakan sistem yang feodal, bersifat patron-client dan membentuk hirarki kekuasaan berbasis struktur sosial-tradisional. Dampaknya, pertama integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya. Warga kerap terpaksa untuk masuk ke dalam pilihan politik yang terbatas karena akses dikendalikan sedikit elit yang membentuk sistem protektif oleh keluarga, kerabat dan teman dekat. Kedua, dinasti politik juga kerap menjadi ‘penjaga setia’ kekuasaan korup sebelumnya. Artinya penguasa daerah yang korup bisa menyelamatkan jejak kekuasaannya yang buruk lewat pengendalian orang-orang yang berkuasa setelah lengser dari jabatannya.

Hanya masalahnya, UU Pilkada juga tidak bisa membuat aturan yang membatasi hak-hak sipil politik seseorang. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, asalkan memenuhi persyaratan. Pelarangan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kandidat memiliki nuansa pelanggaran HAM.

Praktik dinasti politik, merupakan realitas yang kerap kita dapati tak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahan dunia lain melintasi budaya, sistem maupun wilayah politik. Di India misalnya ada dinasti Gandhi yang diawali Jawaharlal Nehru (1889-1964) dilanjutkan Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri perempuan pertama di India. Dinasti Gandhi dilanjutkan putra Indira, Rajiv Gandhi (1944-1991) setelah itu estapet dinasti politik dilanjutkan putra Rajiv, Rahul Gandhi.

Di Pakistan kita mengenal dinasti Bhutto yang dimulai Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) dan dilanjutkan Benazir Bhutto (1953-2007) yang mencatat sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama di Pakistan. Di Filipina, kita mengenal Cory Aquino perempuan presiden pertama yang memerintah Filipina 1986-1992 setelah suaminya, Benigno Aquino, dibunuh rezim Presiden Ferdinand Marcos. Masih di Filipina, kita juga mengenal Gloria Macapagal-Arroyo putri Presiden Diosdago Macapagal (1961-1965). Di Singapura, kita mengenal Dinasti Lee, mulai dari Lee Kuan Yew hingga kini Lee Hsien Loong. Di Myanmar, tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi merupakan putri dari pejuang nasional Jenderal Aung San (1915-1947). Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad meneruskan Presiden Hafez al-Assad (1930-2000). Di Argentina, Cristina Kirchner mantan istri Presiden Nestor Kirchner menjadi presiden. Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il (1966), putra Kim Il Sung (1912-1994). Di Indonesia sendiri kita mengenal dinasti Soekarno dalam kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Mekanisme Pengendalian

Politik dinasti dengan demikian tidak mungkin diamputasi, karena hasrat untuk berpartisipasi dalam politik melekat pada individu-individu. Seorang anak atau kerabat kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai kepala daerah tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat politiknya.

Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan pilkada di banyak daerah sekarang ini, lebih disebabkan banyaknya keluarga inti yang menjadi kandidat karbitan!. Tidak memiliki historisitas berjenjang sebagai politisi atau pengelolaan urusan publik, tiba-tiba menjadi kandidat. Proses injeksi publisitas dan politik uang menjadi dominan untuk memenangkan keluarga inti yang diusung incumbent. Resikonya politik menjadi sangat transaksional, hight cost dan menempatkan suara rakyat dalam skenario manipulasi sistemik.

Oleh karenanya, mekanisme yang mendesak dipersiapkan dalam RUU Pilkada adalah pengetatan dan penguatan bobot syarat-syarat pencalonan menyangkut kapasitas, kapabilitas dan rekam jejak calon kepala daerah. Jangan sampai hanya karena seseorang anak, besan, mertua, atau pun kerabat dekat lainnya dari incumbent bisa melenggang dengan mudah menjadi kandidat.

Selain itu, dalam RUU Pilkada itu juga perlu diperkuat sistem pengawasan, mempertagas sanksi dan mekanisme pemberian sanksi sehingga menimbulkan efek jera. Parpol juga harus bertanggungjawab!, karena salah satu penyumbang suburnya dinasti politik adalah parpol yang tidak menjalankan fungsI-fungsinya dengan baik. **

Sumber di web SINDO:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/444126/

Gambar:

www.matanews.com

WAJAH PARADOKS OTSUS PAPUA


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 7/11/2011)


Sejak Orde Baru hingga sekarang, Papua seolah tak pernah berhenti menjadi zona kekerasan. Sekarang pun, beragam bentuk kekerasan terus meningkat berkelindan dengan harapan akan kesejahteraan yang tak pernah kunjung datang. Inilah wajah penuh paradoks dari pemberlakukan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau lazim dikenal dengan sebutan UU Otsus Papua.

Apa yang Salah?

Otsus di Papua sudah berusia satu dekade. Substansi UU ini merupakan konsensus untuk mendelegasikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dengan dukungan dana sangat besar. Orientasi awalnya adalah peningkatan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua. Sumber dana mengucur deras dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus serta dana tambahan infrastruktur. Sebagai gambaran, kita ambil contoh total dana otonomi khusus yang telah dikucurkan ke bumi Cendrawasih sejak 2002 sampai 2011 mencapai 32 triliun rupiah.

Tapi, kesejahtaraan seolah mimpi mahal yang tak pernah bisa dijangkau masyarakat Papua. Merujuk pada laporan BPS Maret 2010, penduduk miskin di Papua mencapai 761.620 jiwa (36,80 persen), sementara di Papua Barat 256.250 jiwa (34,88 persen). Jika ditotal, penduduk miskin di kedua provinsi tersebut pada Maret 2010 mencapai 1.017.870. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2002 saat otonomi khusus mulai dijalankan yang berjumlah 984.000 jiwa (41,80 persen)! Artinya setelah satu dekade otsus, justru ada peningkatan penduduk miskin sebanyak 33.870 jiwa. Yang lebih miris lagi, tingkat kemiskinan Papua melampaui rata-rata nasional sebesar 13, 33 persen.

Apa yang salah dengan otsus? Tentu, bukan pada konsepnya yang menjanjikan angin surga melainkan pada implementasi yang centang-perenang. Kucuran dana Otsus hanya menjadi lahan bancakan kaum elit pusat dan daerah. Contoh kecil, data hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap anggaran otsus periode 2004-2009 menyebutkan ada penyimpangan sebesar 578 miliar rupiah atau 16 persen. Sekitar 70 persen penyimpangan tersebut berupa pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bentuknya proyek-proyek fiktif, penggelembungan nilai proyek, belanja yang menyimpang dan lain-lain. Hasil otsus bukannya kesejahtaraan masyarakat Papua, yang ada justru munculnya prilaku korup para pejabat di daerah yang sangat mungkin berjamaah dengan jejaring pusat.

Kini lampu kuning telah menyala di Papua, otsus yang konsep awalnya menjadi win-win solutions bisa antiklimaks jika dibiarkan dalam pengendalian para pencuri. Presiden SBY pada 20 September 2011 menandatangani dua peraturan presiden (perpres). Pertama perpres nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres nomor 66 tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Lagi-lagi, bagian terpenting dari implementasi kebijakan khusus untuk Papua tersebut adalah benar-benar terwujudnya kesejahteraan, bukan membiarkan matarantai korupsi baru yang menjadi virus mematikan harapan orang-orang Papua. Kekerasan tidak bisa diselsaikan dengan kekerasan terus-menerus. Konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun Orde Baru (Orba) di bumi Papua hanya menambah kesengsaraan, jangan sampai pemerintahan sekarang menempuh cara serupa. Kata kunci penyelsaian konflik Papua bukan pendekatan politik dan keamanan tetapi kesejahteraan. Selama hal itu belum terwujud, jangan heran jika kekerasan akan selalu menjadi menu harian.

Stigma dan Opini

Pemerintah harus berupaya keras untuk mengubah dua stigma yang kini lekat dengan Papua. Pertama, stigma sparatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru. Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam ketidakpercayaan (distrust). Setiap ekspresi kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI. Bahwa ada bagian tertentu dari masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI benar adanya, namun jumlah mereka tidaklah mewakili keseluruhan masyarakat Papua. Dampak kecurigaan berlebih atas upaya sparatisme, memunculkan relasi antagonistik antara masyarakat Papua dengan pemerintahan pusat. Lebih jauh lagi, membuat posisi Papua termarginalkan di tengah laju pembangunan bangsa Indonesia.

Kedua, stigma Papua sebagi zona kekerasan. Tak dimungkiri, betapa banyak kepentingan yang bermain di Papua dan faktanya memang banyak kekerasan terjadi di wilayah tersebut. Namun jika ditelisik lebih mendalam, matarantai kekerasan sebenarnya berporos juga pada persoalan hulu yakni minimnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan mereka. Jika kedua stigma ini terus melembaga dalam kesadaran masyarakat Papua maka tentunya akan merugikan Indonesia.

Ada tiga solusi dalam mengurai persoalan Papua. Pertama, pemerintah pusat maupun daerah sesegara mungkin mewujudkan kesejahteraan di Papua. Butuh langkah cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik. Jangan sampai dana otsus atau alokasi dana lain untuk Papua bocor dimana-mana dan menyebabkan frustasi masif masyarakat Papua yang berhak menerimanya. Upaya mewujudkan kesejahteraan juga harus barengi dengan dialog berkelanjutan antar pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, terutama dengan mereka yang saat ini berada di hot spot konflik Papua.

Kedua, pemerintah harus cekatan membangun hubungan positif dengan media terkait dengan implementasi otsus Papua. Hubungan media (media relations) ini menjadi strategis dalam mengendalikan opini publik terutama yang dikonstruksi oleh media-media nasional, regional maupun global. Bukan dengan cara memberangus kebebasan pers atau sangat protektif terhadap isu Papua, melainkan membangun pemahaman bersama (mutual understanding) di antara pemerintah, masyarakat Papua dan media massa.

Ketiga, pemerintah juga harus terus mengintensifkan kerja-kerja lobi dan diplomasi di dunia internasional. Terutama untuk mengantisipasi kerja-kerja kelompok kecil yang memperjuangkan papua merdeka. Hal ini, bisa dilakukan melalui hubungan baik dengan berbagai negara di dunia. Upaya lobi dan diplomasi ini penting untuk mereduksi efek domino persepsi negatif yang terbangun di dunia karena eskalasi kekerasan di bumi Papua.

Tulisan ini bisa diakses di web:

http://www.pelitaonline.com/read-analisis-berita/9717/wajah-paradoks-otsus-papua/

AUDIT KINERJA MENTERI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 29/10/2011)

Sisa tiga tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan pertaruhan besar dalam sejarah kepemimpinannya. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah dirombak sesuai keinginan, skala prioritas, dan pertimbangan realitas politik yang dihadapi SBY.

Hampir mustahil membuat perombakan yang memuaskan semua kalangan. Oleh karenanya, bukan waktunya lagi kita berpolemik perihal tepat tidaknya formasi yang dibentuk SBY karena bagaimana pun kapal KIB II akan tetap melaju hingga berlabuh di 2014.

Fase Turbulensi

Tiga tahun ke depan bukanlah waktu yang ideal bagi SBY. Serangkaian proses politik menjelang Pemilu 2014 segara dimulai. Akhir 2012 misalnya, sejumlah partai politik sudah menyiapkan diri untuk melakukan rekrutmen internal calon-calon anggota legislatif. Pada 2013 akan semakin banyak uji coba politik sebagai strategi memanaskan mesin partai sekaligus memetakan kekuatan lawan dan kawan.

Memasuki 2014, kita akan memasuki fase turbulensi karena tak dimungkiri pertarungan kian eskalatif dan lebih terbuka dibanding Pemilu 2004. Alasannya, pertama kekuatan figur-figur kandidat calon presiden (capres) lebih beragam dan relatif memiliki peluang yang sama.

Hal ini berbeda dengan pemilu 2004, di mana posisi SBY yang menjadi incumbent dan memiliki elektabilitas di atas rata-rata kandidat lain. Pemilu mendatang, SBY tak akan mencalonkan diri lagi sehingga peluang semakin terbuka. Wajar jika uji coba pemasaran (marketing) politik kandidat diprediksi lebih gegap gempita.

Kedua, pertarungan antarpartai terutama yang masuk the big five saat ini juga akan berjalan sangat ketat dan diprediksi semakin terbuka di penghujung 2013. Hampir seluruh partai memiliki sejumlah strategi terbuka untuk menggarap segmen pemilih yang diprediksi lebih cair karena hampir seluruh partai tersandera oleh banyak kasus.

Untuk itu, pencitraan melalui publisitas dan lobi melalui simpul-simpul jaringan pemilih hingga ke akar rumput akan semakin masif, keras, dan memakan banyak biaya.

Dampak kondisi ini bagi eksistensi kabinet minimal ada tiga. Pertama, sangat mungkin para menteri yang masih dominan diisi para politisi partai koalisi kinerjanya terganggu karena konsentrasi mereka yang harus terbagi antara optimalisasi peran sebagai menteri KIB II dan kerja-kerja partai.

Terlebih, beberapa menteri juga memiliki posisi penting bahkan orang nomor satu di partainya. Kerja kabinet dan kerja partai politik menuju pemilu 2014 sangat mungkin beririsan di waktu bersamaan.

Kedua, akan selalu muncul godaan untuk menjadikan kementerian sebagai basis logistik partai. Bukan rahasia bahwa biaya demokrasi elektoral itu sangat mahal. Terlebih di era pasar bebas partai politik seperti sekarang. Kekuatan hadiah (reward power) seolah menjadi "mahar" yang wajib diberikan partai kepada konstituen.

Sementara itu, sumber finansial partai saat ini tidak jelas sehingga memungkinkan praktik korupsi politik berupa penerimaan suap, gratifikasi, pemufakatan jahat, serta penyalahgunaan pengaruh atau wewenang.

Ketiga, bagi para menteri yang bukan orang nomor satu atau bukan pengurus elite partai sangat mungkin tergoda untuk memiliki loyalitas ganda saat bertugas. Loyalitas utama sang menteri kepada elite partai, sementara loyalitas kepada presiden menjadi nomor dua. Hal ini sangat mungkin terjadi terutama jika sistem kontrol tidak jelas, ambigu, dan tidak terarah.

Mekanisme Kontrol

SBY tentu tak menginginkan perombakan kabinet yang telah dilakukan kemarin berakhir sia-sia. Ada sembilan agenda utama KIB II mulai dari penggunaan uang negara (APBN dan APBD) yang tepat sasaran, transparan dan akuntabel, pemberantasan korupsi, pengurangan angka pengangguran, ketahanan pangan, peningkatan ketahanan energi (listrik, migas, panas bumi), peningkatan kinerja BUMN, pengelolaan TKI, penanganan kekerasan horizontal serta peningkatan integritas dan disiplin pejabat.

Oleh karenanya, butuh sejumlah sistem kontrol untuk bisa menutup potensi rembesan atau kebocoran di tubuh KIB II sehingga performa kabinet berjalan baik.

Pertama, sebaiknya SBY menerapkan audit kerja kabinet untuk menilai produktivitas kerja para menterinya dalam rentang waktu tiga bulanan. Saat ini, untuk mengevaluasi kerja para menteri, presiden mendapatkan masukan dari Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Evaluasinya sendiri bersifat tahunan. Misalnya laporan UKP4 pada 2011 menyebutkan kurang dari 50 persen instruksi presiden yang dijalankan. Padahal, instruksi itu bukan hanya sebatas lisan, melainkan sudah dituangkan ke dalam produk hukum instruksi presiden. Waktu yang dimiliki SBY saat ini terbatas, oleh karenanya butuh sistem kontrol dengan rentang waktu yang lebih ketat. Evaluasi tiga bulanan diharapkan bisa berpengaruh pada akselerasi kerja kabinet.

Sebaiknya, UKP4 setelah melaporkan temuannya ke presiden juga memublikasikan ke media agar masyarakat mengetahui prioritas apa saja yang belum tercapai dan kementerian mana yang prestasinya buruk. Jika dilakukan secara transparan seperti itu, tentu tak ada pilihan lain bagi para menteri selain giat bekerja karena performanya akan menjadi sorotan banyak pihak.

Kedua, ada pengetatan pakta integritas. Menteri-menteri yang sekarang menjabat di KIB II harus dikontrak ekslusif sebagai pembantu presiden. Konsekuensinya, loyalitas dia pada presiden untuk menyukseskan program pemerintahan yang memiliki dampak positif bagi masyarakat harus lebih diutamakan alih-alih loyalitasnya pada elite partai.

Jika ada manuver menteri yang lebih mendahulukan diri pribadi atau pun partainya, maka harus ada ketegasan sikap SBY untuk memberi sanksi para pembantunya.

Ketiga, adanya kejelasan kewenangan untuk 19 orang wakil menteri (wamen). Jangan sampai masing-masing kementerian memiliki tafsir berbeda-beda terkait dengan posisi para wamen ini. Pakem awalnya, para wamen ini bukan anggota kabinet tetapi diharapkan bisa mendukung kebijakan dan program-program yang menjadi prioritas kementerian.

Jika dari awal tidak ada kerangka kerja dan tafsir kewenangan yang jelas, tentu akan selalu muncul potensi kekisruhan birokrasi terutama dalam fungsi koordinasi menteri, wakil menteri, dan pejabat eselon satu lainnya di kementerian. Keberhasilan SBY menjadi nakhoda KIB II tak akan terwujud tanpa adanya tanggung jawab seluruh menteri.***

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/74815

sumber gambar:

www.waspada.co.id

ARAH POLITIK KAUM MUDA


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 27/10/2011)
AKHIR-akhir
ini, gerakan kaum muda perlahan mulai menggeliat kembali seiring dengan meluasnya kekecewaan masyarakat pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski sifatnya masih sporadis dan mengusung tema yang berbeda-beda, alurnya mulai jelas: kaum muda skeptis bahkan pesimis pada pemerintahan SBY yang sudah berjalan 7 tahun.

Bandul kekuasaan SBY lebih mengarah pada politik kaum elit dan menempatkan rakyat pemilik mandat di wilayah pinggiran. Salah satu contoh politik kaum elit yang dijunjung SBY adalah reshuffle yang baru saja dilakukan. Perombakan kian meneguhkan dominasi elit parpol dalam kabinet sehingga wajar jika postur birokrasi-oligarkis berporos pada politik representasi. Dalam konteks situasi politik yang sedang mengalami sumbatan seperti sekarang, kaum muda seyogyanya meneguhkan kembali arah politiknya agar tetap memberi kontribusi pada bangsa dan negara.

Spirit Sumpah Pemuda

Pada momentum Hari Sumpah Pemuda kali ini, ada baiknya kita melakukan refleksi kembali munculnya spirit dan kekuatan politik pemuda yang telah menghantarkan NKRI sperti sekarang. Sedikit flashback sejarah nasional kita, artikulasi semangat pemuda Indonesia tak hanya dengan mengangkat senjata tapi dengan pemikiran dan pencerahan. Caranya, tentu saja melalui konsolidasi kekuatan personal dan organisasional yang memiliki spirit perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini tanpa pamrih berlebih.

Pada tahun 1925 para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, telah melahirkan Manifesto Politik yang intinya menegaskan prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Konggres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 menjadi momentum lanjutan dari artikulasi politik kaum muda yang luar biasa. Sebuah manifesto dari para pemuda menjadi pintu menentukan bagi proses ikrar bersama sebuah masyarakat negara-bangsa (nation-state) yang berslogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" yakni Indonesia. Momentum ini melahirkan konsolidasi kekuatan politik pemuda untuk sama-sama memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan negara yang dicita-citakan. Kohesivitas kebangsaan dalam bingkai kepemudaan saat itu, mampu melintasi fragmentasi kepentingan primordial, etnis, dan ideologi. Singkatnya, para pemuda bisa menyatu dalam keberbedaan.

Proses berdemokrasi yang dinamis di setiap era yang bangsa Indonesia lalui, kerapkali melahirkan situasi krisis. Sejarah pun mencatat, setiap krisis muncul dan setiap perubahan era politik di negeri ini, senantiasa membutuhkan kontribusi politik kaum muda.

Presiden Soekarno sempat berujar “Berikan kepadaku 10 pemuda, maka akan ku ubah dunia”. Sebuah pernyataan retoris yang menekankan optimisme, jika kaum muda mau dan mampu membangun kapasitas individual mereka, tentu para pemuda ini akan menjadi sebuah harapan bagi berbagai perbaikan bangsa dan negara ini.

Politik para pemuda kerapkali mengalami dilema antara perjuangan idealisme dengan fakta politik yang berkembang. Biasanya ada 3 faktor yang kerap mereduksi idealisme para pemuda. Pertama, menguatnya kembali referent power yakni banyaknya politisi muda di partai politik, DPR maupun di birokrasi yang muncul ke permukaan karena menyandarkan dirinya ke kekuataan politik kerabat, patron politik dan nepotisme. Menguatnya kembali fenomena ini bisa kita amati di Pemilukada, Pemilu legislatif 2009, hingga proses regenerasi di tubuh parpol. Kekuataan “garansi” berbasis geneologi politik seolah mengingatkan kita pada saat Orde Baru sedang berjaya.

Kedua, dorongan rasionalitas instrumental yang kian mengental. Hal ini dipicu oleh banyaknya para petualang politik yang sudah kadung dilabeli “aktivis” atau “mantan aktivis” yang justru meruntuhkan citra politik pemuda yang idealis menjadi machieavellist. Migrasi vertikal mantan aktivis masuk ke DPR maupun ke birokrasi ternyata bukannya mengubah kondisi menjadi lebih baik, melainkan kian meneguhkan wajah buram politik di level suprastruktur. Bahkan ada kecenderungan politisi muda di DPR maupun di birokrasi, tak berbeda dengan politisi tua-kawakan yang juga menyandarkan kiprah politiknya pada persekongkolan jahat dengan cara ‘bancakan’ uang rakyat. Kasus Nazaruddin menjadi potret buram kiprah politisi muda.

Ketiga, kian marginalnya politik kerja dilakukan oleh para politisi muda dan banyak beralih ke politik citra yang kerap melahirkan disonansi kognitif di masyarakat. Tak dinafikan, di era industri media yang gegap gempita sosok politisi muda menjadi icon yang layak dijual. Kita bisa melihat, hampir setiap hari politisi muda kita live talkshow di televisi, radio, berkomentar di koran dan internet. Tetapi berapa banyak politisi muda yang memilih jalan hening bekerja untuk rakyat pedalaman, mengagregasi kepentingan politik di basis konstituennya?

Revitalisasi Politik

Kiprah politik kaum muda tak hanya diukur dari kuantitas melainkan kualitas kerjanya. Saat ini, kita butuh revitalisasi gerakan politik kaum muda untuk menghidupkan kembali semangat pencerahan yang belakangan tertutupi pekatnya politik transaksional.

Pertama, kita harus merevitalisasi kembali asketisme politik yang saat ini sudah dianggap utopia oleh banyak pihak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna. Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah wertrationalitat atau rasionalitas-bernilai. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius.

Kedua, arah politik kaum muda harus selaras dengan denyut kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Artinya, kaum muda harus menjadi katalisator perubahan yang pro rakyat, meski pun harus berhadap-hadapan dengan rezim berkuasa. ***

http://www.pelitaonline.com/read-analisis-berita/9348/arah-politik-kaum-muda/

Sumber gambar:

www.budiutomo.com

KABINET MINUS HARAPAN


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 22 Oktober 2011)

Seperti yang diprediksi banyak pihak, kegaduhan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II hanya memuaskan segelintir elit kekuasaan, tetapi tidak memiliki impresi kuat terlebih memberi harapan baru bagi masyarakat. Prosesi politainment yang gegap gempita, lama, dan mengharubiru tak lebih dari sekedar ‘mainan’ politik representasi di penghujung kekuasaan SBY-Boediono. Benang merah perombakan kian mengukuhkan jati diri kepemimpinan SBY yang sangat kompromistis dan mengedepankan perfeksionisme instrumental daripada perspeksionisme substansial.

Orientasi Perombakan

Kabinet baru hasil perombakan telah diumumkan, Selasa (19/10), dan drama pun mengalami antiklimaks meski jauh-jauh hari sesungguhnya orang awam sekali pun sudah bisa meraba kemana arah kekuasaan SBY diorientasikan. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa perombakan KIB II sempurna menjadi kabinet tambal sulam.

Pertama, SBY tidak menyinggung sama sekali komitmen ‘good governance’ dan ‘clean goverment’ dalam memperbaiki kredibilitas pemerintahannya. Padahal, salah satu harapan publik yang terbesar atas perombakan KIB II adalah komitmen pemerintah yang dinahkodai SBY untuk tidak berada dalam pusaran kleptokrasi. Korupsi politik berbentuk suap-menyuap, gratifikasi, persekongkolan dan pemufakatan jahat serta penyalahgunaan pengaruh oleh pejabat publik menjadi perusak utama bangunan sistem pemerintahan ini.

Indikator yang paling menonjol dari lemahnya komitmen SBY dalam hal tatakelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah tidak dirombaknya mentri-mentri yang jelas-jelas turut bertanggungjawab atas terjadinya praktik korupsi politik yang terjadi di institusi yang dipimpinnya. Mentri Pemuda dan Olahraga serta Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, melenggang aman mengantongi garansi penuh, padahal di saat bersamaan banyak pihak mengharap matarantai korupsi diusut tuntas hingga ke para aktor utamanya. Bisa saja, menteri-menteri tersebut tidak terlibat, tatapi proses hukum belum tuntas sehingga belum ada jaminan juga mereka bersih atau tidak. Proses hukum ini tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi konsentrasi menteri yang bersangkutan. Wajar, jika banyak pihak menyangsikan komitmen kerja mereka di tiga tahun mendatang. SBY seharusnya ingat, variabel utama yang menyumbang turunnya popularitas SBY hingga di bawah ambang batas psikopolitis legitimasi seorang pemimpin adalah tindakan korupsi yang dilakukan orang-orang dekat di sekitarnya.

Kedua, proses perombakan KIB II merupakan skenario menutupi realitas dasar. Problem awal yang menjadi pertimbangan perlu dilakukannya perombakan adalah produktivitas dan efektivitas kinerja kabinet di tiga tahun terakhir. Untuk itu SBY meminta in put dari Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sekaligus SBY mengevaluasi pakta integritas masing-masing mentri. Sehingga logikanya adalah, perombakan dilakukan untuk mengganti atau memperkuat sejumlah pos yang memang bolong dan berpotensi membahayakan eksistensi pemerintahan. Tetapi faktanya, perombakan dilakukan atas dasar politik representasi berbasis pencitraan. Politik representasi kuat terlihat masih dominannya politisi partai politik dalam kabinet. Tidak hanya representasi partai yang tetap menjadi acuan, melainkan juga representasi daerah, kepentingan donor asing, dan representasi kelompok elit intelektual-teknokrat.

Representasi politik memang tidak salah, hanya saja mendudukan profesionalitas kerja di nomor dua setelah kepentingan politik tentu akan beresiko. Indikatornya, bisa terlihat dari bertahannya komposisi koalisi dari sebaran menteri yang berasal dari parpol meksipun ada yang jumlahnya dikurangi yakni PKS dan Partai Demokrat sendiri. SBY mencoba menutup skeptisme publik terhadap kabinet baru dengan cara melapisi menteri-menteri politisi dengan sejumlah wakil menteri yang profesional. Tercatat 19 wakil menteri yang menjadi wajah pencitraan SBY, seolah ingin menunjukkan ke publik bahwa kabinetnya yang sekaranga adalah kabinet politisi plus (ahli). Tapi jika kita kritisi lebih mendalam, para profesional yang menjadi wamen itu, tidak akan memiliki ruang gerak yang leluasa dalam memberikan dampak signifikan untuk perbaikan. Penyebabnya adalah keterbatasan wewenang. Para wamen itu bukan policy maker di kementrian, mereka juga bukan anggota kabinet, sekaligus dalam praktiknya akan berhadapan dengan tembok tebal politik representasi yang dibangun para mentri dengan SBY.

Ketiga, pada salah satu pertimbangan perombakan yang disampaikan SBY dalam pidato pengantar pengumuman nama-nama menteri hasil perombakan, eksplisit dinyatakan faktor ‘right man on the right place’. Praktiknya, publik terhenyak saat Jero Wacik direposisi ke Kementrian ESDM begitu pun saat Maria Elka Pangestu di pasang di Kementrian Pariwisata. Tambahan label ekonomi kreatif dalam Kementrian Pariwisata tidak lebih dari sekedar tempelan absurd untuk diidentikan dengan orang yang akan mengisi pos tersebut. Wajar jika publik masih skeptis dengan model distribusi dan alokasi menteri pascaperombakan.

Oligarki Parpol

Satu hal yang pasti adanya dari proses perombakan kabinet kemarin adalah wajah oligarkis parpol yang kian kental. SBY mengambil pilihan obesitas kabinet dan terkesan sulit memunculkan figur menteri (bukan wakil menteri) yang memiliki integritas karena tersandra oleh deal-deal politik dengan para elit partai investor kekuasaan di Pemilu 2009. Oligarki tumbuh karena kecenderungan pemimipin sibuk mengorganisir diri sendiri untuk kepentingan mereka.

Menurut Adam Przeworski dalam bukunya Sustainable Democracy (1999) birokrasi oligarki ini membentuk kartel yang berkewajiban untuk menentang para pesaingnya sekaligus untuk membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara para anggota kartel. Kalau itu yang menjadi pilihan, maka bahaya lanjutannya adalah kekuasaan menjadi proyek individual para elit parpol beserta asosiasi-asosiasi korporatisnya. Kini, perombakan telah berlalu tanpa harapan.

Untuk kesekian kalinya elit kekuasaan memraktikan prinsip sic volo sic jubeo, inilah kehendakku, dan berdasarkan itulah aku memerintah. Sehingga wajar jika apapun perubahan yang dilakukan selalu berorientasi pada hasrat dan kebutuhan politik kaum elit. Tak sedikit pula elit yang berpikir, biarkan rakyat sekarang teriak, toh mereka bisa kita manipulasi lagi di Pemilu mendatang!.

Ilustrasi Gambar:

www.inilah.com

MEMPERKUAT POLITIK WARGANEGARA


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 21 Oktober 2011)

Salah satu eposide politik nasional yang menyedot perhatian khalayak sudah dilewati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Selasa (19/10) telah mengumumkan kabinet baru hasil perombakan. Tentu tidak ada perubahan yang menyenangkan semua pihak dan dalam setiap perubahan, logika kekuasaan dengan logika orang awam kerapkali tidak mudah dipersatukan. Rentang waktu polemik seputar reshuffle sangat panjang, dan prosesinya telah menurunkan fokus bangsa ini atas sejumlah persoalan yang semestinya mendapatkan perhatian seimbang.

Tak bisa kita nafikan, wajah penuh bopeng praktik berpolitik para politisi negeri ini semakin membuat banyak pihak nyinyir dan penuh prasangka buruk terhadap apapun yang dilakukan atas nama politik. Kemanakah politik sehat itu? Konstruksi berpikir politik bangsa yang sesungguhnya penuh keadaban ini, seolah terjerembab ke dalam kubangan ritus jahat segelintir elit yang sibuk saling menyandra pihak lain. Sayangnya, segelintir elit ini punya ruang teramat besar dalam bingkai berita media, sehingga seolah-olah menjadi representasi politik Indonesia kekinian.

Literasi Politik

Tentu, bangsa ini tak ingin terus menerus larut dalam konflik elit yang tak berujung. Isu reshuffle kabinet, konflik Badan Anggaran (Banggar) DPR versus KPK, mafia pajak, mafia Pemilu, kasus Century dan lain-lain seolah menjadi ‘mainan’ yang untouchable dari politik warganegara. Semua kasus-kasus tersebut memiliki resonansi luar biasa bahkan sukses menyedot hampir seluruh energi kreatif bangsa ini, sehingga kehilangan fokus pada pengembangan dan penguatan diri maupun komunitas di tengah warga dunia. Hubungan mondial ditaklukan oleh hebohnya seribu satu isu lokal yang senantiasa mendapatkan tempat terhormat dalam media dan perbincangan publik.

Sudah saatnya kita menyalakan lagi semangat berpolitik sehat sebagai wujud politik warganegara. Tentu tidak mudah, butuh pengarusutamaan (mainstreaming) literasi politik yang tidak semata normatif melainkan bisa diimplementasikan dalam jejaring politik warganegara. Literasi politik menurut Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000: 61) merupakan upaya memahami seputar isu utama politik. Singkatnya, literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ini merupakan cara membuat seorang warganegara menjadi efektif dalam kehidupan publik dan mendorong mereka agar aktif-partisipatif dalam melaksanakan hak serta kewajibanya baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.

Sementara dalam pandangan Catherine Macrae dkk., dalam Political Literacy Resource Pack (2006) literasi adalah bauran kompleks dari praktik-praktik sosial yang memungkinkan orang untuk menjadi warga negara yang aktif dan efektif. Mereka punya kemampuan dalam politik lokal, nasional maupun internasional. Membangun budaya politik sehat tak bisa dikerjakan dalam setahun dua tahun, butuh puluhan bahkan ratusan tahun karena menyangkut kesadaran yang tidak bisa dibuat instan. Jika demokrasi berjalan baik, maka kita selalu punya kesempatan untuk membangun politik sehat setiap saat.

Strategi Gerakan

Kini, saatnya literasi politik fokus pada tindakan. Hal ini dapat dilakukan melalui empat pendekatan. Pertama, warga didorong untuk bersama-sama memiliki kemampuan mendefinisikan kebutuhan informasi politik mereka. Hal ini, terkait dengan cara merumuskan definisi operasional tentang informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan. Misalnya, saat elit mengampanyekan dirinya dalam pemilu atau pun pilkada, tak ada salahnya jika ada gerakan independen yang kritis memublikasikan rekam jejak seluruh kandidat sehingga publik memiliki pengayaan informasi yang sifatnya komparatif.

Kedua, menetapkan strategi pencarian. Ini merupakan strategi investigasi terhadap seluruh proses politik. Misalnya, dari mana sumber pendanaan partai, apakah ada pelanggaran-pelanggaran prosedur dalam penetapan anggaran. Dengan banyaknya organisasi independen melakukan hal ini, maka pelangaran seperti kasus korupsi di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga di Kementrian Pemuda dan Olahraga sejak dini akan terdeteksi lebih dini. Proses seperti ini, tidak semata-mata bergantung ke KPK atau lembaga penegak hukum lainnya melainkan juga pada pasrtisipasi masyarakat.

Ketiga, gerakan mengomunikasikan informasi. Pendekatan ini sangat terkait dengan peran media dalam proses publikasi fakta dan isu. Ada baiknya media menciptakan satu asosiasi yang kuat semacam jaringan pers untuk mengawasi sekaligus menjadi kekuatan arus utama penyeimbang. Misalnya saja, media massa mampu menelisik berbagai kejahatan baik perorangan, korporasi maupun kejahatan kerah putih yang dilakukan para pemilik akses kekuasaan. Sehingga dapat mejadi informasi publik yang otentik.

Keempat, mengevaluasi produk dari proses akhir politik. Konteks pendekatan ini, terkait dengan evaluasi menyeluruh di setiap tingkatan dan kritis pada setiap ujung dari peristiwa politik. Misalnya, dalam proses lahirnya kebijakan publik baik dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dll. Tentu produk akhir politik ini pada fase berikutnya akan sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Politik sehat yang dilakukan warganegara, belum tentu terakomodasi dalam kebijakan dan implementasi kewenangan elit. Maklum warganegara bukanlah elit yang memerintah (governing elite). Semakin banyak warganegara yang tercerahkan maka akan semakin memperbesar rasio publik berperhatian (attentive public). Jumlah publik berperhatian di sebuah negara jarang melampaui angka 15 persen. Meski demikian, kelompok ini biasanya turut menentukan nasib bangsanya. Melalui literasi politik, semoga praktik politik sehat perlahan tapi pasti bisa diwujudkan meski tidak atau belum di lingkup kaum elit.

Nalar elit biasanya berada dalam dua orientasi yakni mengubah atau mempertahankan kekuasaan. Sangat sedikit waktu yang tersedia dalam melakukan pemberdayaan kapasitas politik masyarakat. Jika performa menjadi ukuran sukses tidaknya seorang elit, biasanya mereka lebih banyak mendahulukan citra dibanding kinerja. Tentu saja hal ini tidak sehat karena politik menjadi sangat artifisial dan tidak meraba degub jantung masyarakat. Akankah politik sehat menjadi utopia? Tentu sangat bergantung pada kedewasaan kita berdemokrasi.

Sumber gambar:

www.edgewoodjoppalive.com