Sabtu, 14 Januari 2012

MENGAMPUTASI POLITIK DINASTI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 16/11/2011)

Baru-baru ini, pemerintah mengusulkan beberapa perubahan pelaksanaan pilkada dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Subtansi yang menonjol adalah adanya keinginan untuk menghapus praktik oligarki sekaligus mengamputasi mata rantai politik dinasti yang saat ini kian menggejala di berbagai daerah. RUU Pilkada merupakan salah satu pecahan dari revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Niat untuk menghapus monopoli kekuasaan tentu saja layak diapresiasi, tetapi sejumlah aturan main yang diajukan di RUU tersebut, berpotensi menimbulkan masalah baru yang sama rumitnya.

Hegemoni Keluarga Inti

Tak dimungkiri, fenomena politik dinasti memang semakin menguat. Kita bisa ambil contoh, sepanjang 2010 sedikitnya ada sembilan kepala daerah terpilih yang masih kerabat dekat kepala daerah sebelumnya (SINDO,7/11).

Bupati Kendal Widya Kandi (istri mantan bupati kendal Hendy Boedoro), Bupati Kutai Kertanagara, Rita Widyasari (anak mantan Bupati Kukar Syaukani HR), Bupati Lampung Selatan Ryco Mendoza (putra Gubernur Lampung Sjahruddin ZP), Bupati Pesawaran, Aries Sandi Dharma (anak Bupati Tulang Bawang), Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan sebelumnya), Bupati Kediri Haryanti Sutrisno (istri bupati sebelumnya), Bupati Bantul Sri Suryawidati (istri bupati sebelumnya, Idham Samawi), Bupati Indramayu, Anna Sophanah (istri bupati sebelumnya Irianto MS Syafiuddin) dan Walikota Cilegon, Imam Aryadi (anak Walikota sebelumnya).

Tentu jika ditelisik lebih jauh lagi, sejak reformasi banyak sekali kepala daerah yang dipertukarkan dari, oleh dan untuk keluarga inti kepala daerah petahana (incumbent). Melihat gejala ini, pemerintah lantas mengusulkan aturan main soal pelarangan bagi keluarga inti (suami/istri dan anak) kepala daerah incumbent untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka baru boleh mencalonkan diri setelah kepala daerah yang bersangkutan tak berkuasa lagi selama satu periode jabatan atau 5 tahun. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode juga dilarang mencalonkan diri sebagai calon wakil kepala daerah.

Dalam praktik di Indonesia, politik dinasti memang menunjukkan preseden buruk bagi regenerasi kepemimpinan di daerah. Hal ini, menciptakan sistem yang feodal, bersifat patron-client dan membentuk hirarki kekuasaan berbasis struktur sosial-tradisional. Dampaknya, pertama integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya. Warga kerap terpaksa untuk masuk ke dalam pilihan politik yang terbatas karena akses dikendalikan sedikit elit yang membentuk sistem protektif oleh keluarga, kerabat dan teman dekat. Kedua, dinasti politik juga kerap menjadi ‘penjaga setia’ kekuasaan korup sebelumnya. Artinya penguasa daerah yang korup bisa menyelamatkan jejak kekuasaannya yang buruk lewat pengendalian orang-orang yang berkuasa setelah lengser dari jabatannya.

Hanya masalahnya, UU Pilkada juga tidak bisa membuat aturan yang membatasi hak-hak sipil politik seseorang. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, asalkan memenuhi persyaratan. Pelarangan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kandidat memiliki nuansa pelanggaran HAM.

Praktik dinasti politik, merupakan realitas yang kerap kita dapati tak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahan dunia lain melintasi budaya, sistem maupun wilayah politik. Di India misalnya ada dinasti Gandhi yang diawali Jawaharlal Nehru (1889-1964) dilanjutkan Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri perempuan pertama di India. Dinasti Gandhi dilanjutkan putra Indira, Rajiv Gandhi (1944-1991) setelah itu estapet dinasti politik dilanjutkan putra Rajiv, Rahul Gandhi.

Di Pakistan kita mengenal dinasti Bhutto yang dimulai Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) dan dilanjutkan Benazir Bhutto (1953-2007) yang mencatat sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama di Pakistan. Di Filipina, kita mengenal Cory Aquino perempuan presiden pertama yang memerintah Filipina 1986-1992 setelah suaminya, Benigno Aquino, dibunuh rezim Presiden Ferdinand Marcos. Masih di Filipina, kita juga mengenal Gloria Macapagal-Arroyo putri Presiden Diosdago Macapagal (1961-1965). Di Singapura, kita mengenal Dinasti Lee, mulai dari Lee Kuan Yew hingga kini Lee Hsien Loong. Di Myanmar, tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi merupakan putri dari pejuang nasional Jenderal Aung San (1915-1947). Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad meneruskan Presiden Hafez al-Assad (1930-2000). Di Argentina, Cristina Kirchner mantan istri Presiden Nestor Kirchner menjadi presiden. Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il (1966), putra Kim Il Sung (1912-1994). Di Indonesia sendiri kita mengenal dinasti Soekarno dalam kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Mekanisme Pengendalian

Politik dinasti dengan demikian tidak mungkin diamputasi, karena hasrat untuk berpartisipasi dalam politik melekat pada individu-individu. Seorang anak atau kerabat kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai kepala daerah tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat politiknya.

Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan pilkada di banyak daerah sekarang ini, lebih disebabkan banyaknya keluarga inti yang menjadi kandidat karbitan!. Tidak memiliki historisitas berjenjang sebagai politisi atau pengelolaan urusan publik, tiba-tiba menjadi kandidat. Proses injeksi publisitas dan politik uang menjadi dominan untuk memenangkan keluarga inti yang diusung incumbent. Resikonya politik menjadi sangat transaksional, hight cost dan menempatkan suara rakyat dalam skenario manipulasi sistemik.

Oleh karenanya, mekanisme yang mendesak dipersiapkan dalam RUU Pilkada adalah pengetatan dan penguatan bobot syarat-syarat pencalonan menyangkut kapasitas, kapabilitas dan rekam jejak calon kepala daerah. Jangan sampai hanya karena seseorang anak, besan, mertua, atau pun kerabat dekat lainnya dari incumbent bisa melenggang dengan mudah menjadi kandidat.

Selain itu, dalam RUU Pilkada itu juga perlu diperkuat sistem pengawasan, mempertagas sanksi dan mekanisme pemberian sanksi sehingga menimbulkan efek jera. Parpol juga harus bertanggungjawab!, karena salah satu penyumbang suburnya dinasti politik adalah parpol yang tidak menjalankan fungsI-fungsinya dengan baik. **

Sumber di web SINDO:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/444126/

Gambar:

www.matanews.com

Tidak ada komentar: