Sabtu, 14 Januari 2012

MOMENTUM SEDERHANAKAN PARPOL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 18/11/11)

Tensi pertarungan politik di DPR kian meningkat seiring dengan belum adanya titik temu partai papan tengah dan partai besar terkait angka parliamentary threshold (PT).

PDIP dan Golkar mengusulkan 5 persen, Demokrat 4 persen, PKS 3 hingga 4 persen, PPP, PAN, Gerindra, Hanura 2,5 persen. Terakhir, PKB yang justru mengusulkan turunnya angka PT menjadi 2 persen. Parpol menengah yang saat ini berada dalam lingkar kekuasaan pun mengancam akan keluar dari sekretariat gabungan (setgab) dan menginisiasi poros tengah.

Ambang Batas

Polemik soal peningkatan PT menjadi dilema tersendiri bagi para politisi di DPR mengingat banyaknya desakan untuk mengakomodasi kepentingan parpol dalam konfigurasi kekuasaan legislatif periode mendatang. Ambang batas ini berpotensi dijadikan sandera politik pembahasan revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 bahkan UU paket politik lain yang belum tuntas.

Kebiasaan buruk dalam setiap revisi UU Paket politik adalah penyelesaian pembahasan selalu mepet dengan penyelenggaraan pemilu. Misalnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPRD, dan DPD dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden disahkan mepet dengan penyelenggaraan pemilu 2009. DPR semestinya menjadikan pemilu 2009 sebagai pelajaran, betapa morat-maritnya persiapan para penyelengara pemilu karena pengesahan revisi UU yang tak kunjung datang jauh-jauh hari. Hal ini tentunya berdampak pada kualitas hasil penyelenggaraan pemilu 2009 yang kurang maksimal.

Logika peningkatan angka PT mestinya diposisikan sebagai konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kian mapan. Merujuk ke pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu ada sembilan parpol yang lolos ke parlemen, antara lain Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen).

Jika data tersebut menjadi dasar prediksi perolehan suara di Pemilu 2014, maka angka PT 5 persen akan melahirkan penyusutan jumlah parpol di DPR menjadi hanya 5 atau 6 parpol saja. Tentu, wacana ini akan sangat ditentang oleh parpol-parpol kecil yang sekarang tak terakomodasi di DPR sekaligus juga mendapat resistensi dari parpol papan tengah yang gamang dan belum percaya diri dapat meningkatkan suara melebihi ambang batas 5 persen. Peningkatan PT ini, sekali lagi, bukan mengamputasi parpol secara semena-mena, melainkan uji publik melalui kontestasi pemilu yang terbuka, sehingga semakin ke depan kita akan semakin menikmati atmosfer demokrasi yang solid dan kuat, dengan polarisasi yang tidak begitu kompleks.

Masalahnya sekarang penyederhanaan parpol di DPR itu selalu dianggap utopia. Logika politik selalu dibenturkan pada realitas politik yang seolah-olah belum memungkinkan adanya penyederhanaan. Parpol pun mencari seribu satu cara agar eksistensinya tetap terjaga sepanjang masa. PT ini hanya satu bagian kecil dari sederat regulasi lain yang harus dibahas dan dituntaskan DPR, oleh karenanya DPR jangan terus-menerus tersandera di ambang batas parlemen.

Konsolidasi Demokrasi

Pemilu 2014 akan menjadi fase menentukan apakah kita akan berada di jalur peningkatan konsolidasi demokrasi atau justru sebaliknya. Oleh karenanya, fase tersebut merupakan momentum kesejarahaan sekaligus ujian bagi bangsa ini. Jika diletakkan dalam konteks ini, revisi UU Pemilu menjadi strategis. Hanya saja, kita memiliki sejumlah catatan bahwa revisi senantiasa dilandasi bukan oleh motivasi untuk membuat komprehensifnya paket UU politik, melainkan lebih banyak dimotivasi oleh sejumlah variabel kepentingan para politisi dan partai politik.

Dalam politik, tentu saja kontestasi antara kekuatan merupakan hal yang sangat lumrah. Namun, saat ada kepentingan yang lebih besar yakni kualitas demokrasi dan pemapanan politik di negeri ini, maka kontestasi seyogianya mengacu pada kepentingan tersebut. Misalnya saja, soal aturan mengenai peningkatan angka parliamentary treshold (PT) seharusnya para politisi bukan dalam pemilahan biner kepentingan partai besar dan partai kecil.

Sistem politik kita rawan terjebak pada kutub-kutub ekstrem yang sesungguhnya tidak mendukung konsolidasi demokrasi. Kita pernah mempraktikkan kutub ekstrem fusi partai yang dipaksakan negara. Multipartai yang muncul di era Orde Lama ditekan sedemikian rupa oleh rezim Soeharto, sehingga menjadi tiga partai. Proses fusi tak berjalan alamiah karena PDI dan PPP hanya dijadikan ornamen tanpa mampu berbuat banyak. Konsekuensinya, muncul koorporatisme politik atas kekuatan civil society dan pressure group.

Kutub berikutnya adalah multipartai yang gegap gempita. Kita pernah mempraktikkan multipartai pada Pemilu 1955, 1971, 1999, 2004, juga 2009. Hasilnya tak terlalu menggembirakan karena ternyata hasil pemilu tersebut tak menghasilkan pemapanan politik yang kuat. Multipartai ekstrem terlalu kompleks saat harus mendukung efektivitas pemerintahan. Dinamika multipartai yang bersanding dengan presidensialisme terutama setelah Indonesia memasuki liberalisasi politik di tahun 1998 hingga sekarang, belum sukses membuat bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.

Satu hal mendesak bagi para anggota DPR di penghujung tahun ini adalah menyelesaikan seluruh paket UU Politik termasuk UU Pemilu, terlebih hal ini telah masuk di prioritas program legislasi nasional (prolegnas) mereka. Momentum itu penting, jangan sampai DPR kembali terjerembap ke dalam kubangan persoalan berulang, yakni pengesahan regulasi yang dilakukan di penghujung harapan masyarakat. Kita tentu tak berharap revisi dilakukan semata-mata tambal sulam, terlebih sekadar pelapis kelemahan parpol-parpol di Senayan.

Sekali lagi, pemilu 2014 adalah momentum yang tepat untuk masuk pada fase konsolidasi demokrasi setelah kita berkutat lama dalam kebuntuan yang disebabkan oleh fragmentasi kekuatan di DPR. Peningkatan ambang batas parlemen memang bukan satu-satunya mekanisme konsolidasi demokrasi, akan tetapi konsensus menyangkut peningkatan gradual ambang batas di pemilu 2014 dan sesudahnya akan turut mengurai benang kusut politik di Indonesia. ***

Sumber Tulisan:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/76372

Sumber gambar:

www.republika.co.id

Tidak ada komentar: