Sabtu, 14 Januari 2012

MENYOAL PROPORSIONAL TERTUTUP


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 5/1/2012)

Salah satu bahasan penting yang saat ini menjadi perdebatan hangat di DPR terkait dengan revisi UU Pemilu No 10 Tahun 2008 adalah rencana sebagian politisi Senayan untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung sistem proporsional tertutup ini.

Jika solid, maka jumlah suara dari semua fraksi ini mencapai 242 suara. Sementara itu, pendukung proporsional terbuka adalah Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Hanura. Kalkulasi dukungan dari ketiga fraksi tersebut mencapai 211 suara. Sisanya adalah Partai Golkar yang mengusulkan langkah kompromistis mix member proportional system.

Langkah Mundur

Untuk mengingatkan, pada 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan untuk mengabulkan uji materi atas Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008. Konsekuensi keputusan MK tersebut, penetapan caleg untuk Pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak. MK memberi pertimbangan bahwa penetapan caleg berdasarkan nomor urut tidak sesuai dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Uji materi tersebut antara lain bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 3, dan Pasal 28 I Ayat 2 UUD 1945. Intinya, saat itu MK memandang sistem nomor urut yang diatur dalam UU Pemilu dinilai bertentangan dengan asas pemilu luber dan jurdil. Ide mengembalikan sistem pemilu ke nomor urut sesungguhnya kemunduran dalam pemilu kita, sekaligus berpotensi menjadi salah satu sumbatan nyata dalam konsolidasi demokrasi.

Ide ini dapat mengembalikan oligarki parpol karena para elite banyak yang merasa tidak percaya diri dalam rivalitas perebutan suara secara terbuka. Paling tidak, terdapat tiga kritik utama terhadap sistem proporsional tertutup.

Pertama, sistem proporsional tertutup akan mengembalikan elitisme dan feodalisme dalam parpol karena mereka yang di nomor jadi, biasanya adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan elite parpol. Kedekatan geneologi politik dan pola patron-client biasanya menjadi faktor-faktor dominan yang menentukan.

Mereka yang tak masuk dalam atmosfer elite atau tak memiliki akses ke pemilik otoritas parpol, biasanya hanya diletakkan di nomor buntut dan hanya sekadar menjadi ornamen dalam pesta demokrasi yang berlangsung.

Kedua, sistem ini juga dianggap akan mengembalikan politik transaksional. Mereka yang jadi, dalam tradisinya membayar upeti ke parpol sehingga pertimbangan penetapan caleg tak lagi berbasis kompetensi dan pemilih, melainkan lebih pada seberapa besar uang yang bisa mengalir dari caleg ke parpol.

Ketiga, sistem proporsional tertutup dianggap bisa merusak tatatan kaderisasi karena sirkulasi politik dalam distribusi dan alokasi sumber daya tak lagi ditentukan oleh loyalitas dan tahapan kaderisasi, melainkan oleh faktor kedekatan dan upeti tadi. Para pengusung proporsional tertutup kerap meletakkan basis argumennya pada upaya menjaga peran dan otoritas partai.

Suara terbanyak dianggap menghadirkan liberalisasi politik yang tak sepenuhnya bisa dikontrol oleh parpol. Muncul penyederhanaan logika, parpol bisa lebih optimal dalam menjaga garis perjuangan partai di legislatif jika diberikan peran utama dalam menentukan siapa saja yang berpeluang menjadi anggota DPR.

Dengan suara terbanyak seperti di pemilu 2009 kemarin, dianggap telah menghadirkan para politisi "kacangan" yang populer di masyarakat, namun tak optimal bekerja sesuai dengan harapan parpol.

Suara Terbanyak

Tak dinafi kan, sistem proporsional terbuka juga memang memiliki kelemahan. Pertama, sistem ini dianggap melemahkan kohesivitas parpol karena untuk mendapatkan suara terbanyak di suatu dapil, kerap melahirkan kontestasi dan konfl ik yang keras sesama rekan satu partai.

Kedua, sistem suara terbanyak mengubah peta upeti ke parpol menjadi upeti ke konstituen. Artinya, praktik money politic kian masif karena setiap caleg yang mau terpilih harus mengeluarkan ongkos politik yang sangat mahal di berbagai kantong pemilih.

Liberalisasi politik berbalut uang dikritik dapat mencederai demokrasi karena secara sengaja telah memapankan politik transaksional dalam skala yang lebih luas. Namun proporsional terbuka jauh lebih berpotensi besar dalam menjaga akses menuju kesejatian demokrasi, dibanding proporsional tertutup. Mereka yang akan menjadi anggota DPR adalah orang-orang yang memang diinginkan oleh konstituen di suatu daerah pemilihan.

Artinya, ada peran leluasa dari rakyat dalam menentukan siapa-siapa saja yang layak dijadikan wakil mereka, bukan ditentukan, terlebih dipaksakan parpol. Tentu, pemilu 2009 belum menjadi contoh ideal proporsional terbuka, tapi bukan berarti salah untuk diteruskan. Sistem suara terbanyak juga lebih berpeluang untuk menjadi mekanisme hukuman bagi para politisi dan partai politik yang tak sungguh-sungguh memperjuangan amanat rakyat.

Misalnya, seseorang yang sudah terpilih sebagai anggota DPR tetapi tak optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya, maka pada pemilu 2014, orang-orang yang tak kredibel ini sangat mungkin tak dipilih kembali oleh konstituen mereka. Memang muncul jalan kompromistis di antara dua tawaran tadi, yakni mixed member proportional system dengan cara mengawinkan nomor urut dan suara terbanyak.

Beberapa kursi disediakan dengan menggunakan nomor urut dan berapa kursi lainnya melalui suara terbanyak. Harapannya, calon unggulan partai dan calon yang paling mendapat dukungan di dapil bisa terakomodasi secara bersamaan. Komposisi anggota DPR ke depan, adalah para pekerja atau orang-orang yang memiliki kontribusi nyata pada partai politik dan kader yang memang secara faktual memperoleh dukungan basis konstituen di sebuah dapil.

Tentu saja, UU Pemilu perlu mengatur secara jelas berapa jumlah kursi yang disediakan untuk jalur nomor urut, dan berapa kursi yang akan dikontestasikan secara terbuka berdasarkan suara terbanyak dari pemilih. Jalan kompromi ini, bisa saja ditempuh di tengah kutubkutub ekstrem yang saat ini ada di DPR. Namun satu yang pasti, jika pilihannya tetap pada kutub proporsional tertutup, tentu pemilu kita akan kembali ke masa lalu ketika rezim parpol akan sangat dominan.

Tulisan bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/80084

Tidak ada komentar: