Minggu, 19 Februari 2012

MENGELOLA POLITIK HUMANIS


Oleh: Novita Damayanti

Judul : Public Relations Politik

Penulis : Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasi

Penerbit : Ghalia Indonesia

Terbitan : Februari 2012

Halaman : xvi + 160 hlm

Harga : Rp. 48.000,-

Hingga saat ini sangat sulit menemukan literatur berbahasa Indonesia yang secara utuh membahas public relations politik.

Buku yang ditulis Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasi ini merupakan buku pertama public relations politik yang serius membahas berbagai konsep, pendekatan, topik-topik mendasar, sekaligus memberi contoh-contoh kasus terkait ruang lingkup kerja public relations politik. Buku ini menjadi sangat berarti bagi para akademisi, praktisi public relations, politisi, dan aktivis politik karena memberi banyak input komprehensif seputar cara mengelola politik modern secara lebih humanis.

Dalam buku yang ditulis oleh akademisi sekaligus konsultan komunikasi ini,public relationspolitik diposisikan sebagai ilmu terapan baru dalam kajian public relations. Karakteristiknya, bertujuan (pusposful communication), sengaja dan dilakukan secara sadar (intentionality), serta mengacu pada mekanisme yang sistemik. Artinya, public relations politik tidak dilakukan secara sporadis, tapi terarah dan berkesinambungan dalam pencapaian tujuan politik organisasi (halaman 21).

Buku ini memiliki kelebihan dalam menjawab berbagai hal elementer terkait pemahaman dan kerja public relations politik. Dalam uraian yang dibagi menjadi 15 bab ini, kedua penulis terlihat secara sengaja ingin memudahkan para pembaca dalam memahami public relations politik dari dasar.Dengan begitu,tak salah juga jika kita menyebut buku ini sebagai buku pengantar public relations politik yang sangat memadai untuk dijadikan referensi.Buku ini akan sangat mudah kita bagi menjadi dua bagian besar yakni penjelasan konseptual dan terapan.

Dari Bab I sampai Bab VI, penulis memberikan ulasan seputar pemahaman dasar public relationspolitik,kemudian meletakkannya dalam konteks kajian komunikasi politik. Sementara dari Bab VII sampai Bab XV, kita bisa menikmati uraian public relations politik dalam dimensi aplikatif.Misalnya terkait beragam cara dan pendekatan public relations politik dalam media relations, dinamika public relations politik di media baru, kampanye, negosiasi, propaganda, retorika, dan publisitas.

Tak berlebihan jika kita mengamini pernyataan di bagian pengantar buku ini, politik sebagai seni kemungkinankemungkinan selalu menempatkan komunikasi sebagai salah satu unsur pokok di dalamnya. Kendati komunikasi bukanlah panacea (obat mujarab) untuk semua penyakit, nyaris mustahil proses-proses politik bisa maksimal, tanpa peranan komunikasi di setiap tahapannya. Kita bisa membayangkan betapa kesulitannya proses sosialisasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, rekrutmen politik tanpa melibatkan proses komunikasi yang tepat dan strategis.

Satu hal yang menjadi kekurangan buku ini adalah masih terbatasnya ulasan-ulasan kasus nyata yang dimasukkan ke dalam bahasan. Sebagaimana kita ketahui,public relationspolitik ini berjalan dinamis meski banyak fenomena kekinian yang sesungguhnya memiliki modus sama dengan yang pernah terjadi sebelumnya.Keterbatasan uraian kasus ini bisa dipahami karena orientasi utama buku ini adalah pada ulasan materi yang mengantarkan kita pada pemahaman-pemahaman elementer konseptual dari bangunan keilmuan dan terapan public relations politik.

Public relations sesungguhnya merupakan aktivitas yang dibutuhkan oleh seluruh organisasi baik komersial maupun nonkomersial. Jika sebelumnya dunia public relations sangat identik dengan dunia korporasi atau bisnis komersial,sekarang public relations juga sangat dibutuhkan peranannya dalam manajemen politik modern.

Peresensi adalah Dosen Tetap Public Relations di Universitas Prof.Dr.Moestopo Jakarta dan Kandidat Doktor Komunikasi UNPAD

Resensi ini dipublikasikan di Harian SINDO, Minggu, 19/02/2012 :

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/470566/

Sabtu, 18 Februari 2012

PELUANG KANDIDAT INDEPENDEN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 11/2/2012)

Ada yang menarik dari fenomena rivalitas politik jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI, yakni terus melajunya pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen. Di tengah dominasi partai politik, pasangan jalur independen ini membuktikan keseriusan untuk terus melangkah menuju DKI 1. Fakta politiknya, pasangan Faisal Basri Batubara-Biem Benjamin (FB) berhasil menghimpun dukungan 547.359 Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga guna memenuhi persyaratan pencalonan perseorangan.

Memang dalam ketentuannya, pasangan calon perseorangan disyaratkan bisa mengumpulkan dukungan empat persen dari total 10 juta (sekitar 400.000) penduduk DKI Jakarta. Ini artinya, pintu awal bagi calon independen sudah terbuka, tinggal mendesain langkah lanjutan agar peluang tetap terjaga. Mengumpulkan dukungan publik berbentuk KTP tentu berat dalam kondisi skeptisis mepublik atas kualitas demokrasi elektoral di negeri ini.

Terlebih, di DKI ini masyarakatnya plural, baik dari sudut strata ekonomi, pendidikan, agama, etnis, maupun aliranaliran ideologi pun politik. Sejarah Pilkada DKI setelah era reformasi menunjukkan kandidat sangat terbiasa difasilitasi parpol yang menjadi mesin utama peme nangan setelah mereka melakukan serangkaian proses lobi dan negosiasi dengan elite partai.

Tentu, hal yang dilakukan calon independen berbeda sekali karena harus berjibaku meyakinkan dukungan awal dari publik. Sebenarnya, dalam konteks dinamika politik kekinian, calon independen itu memiliki ciri pembeda dengan kandidat parpol. Sebab saat ini warga DKI-sepertinya halnya bangsa Indonesia-secara umum sedang dilanda disonansi kognitif dalam memilih pejabat publik yang diusung parpol.

Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan pikiran dan realitas yang ditemukan para pemilih. Parpol hingga sekarang tidak memberi impresi memadai sebagai institusi yang mau dan mampu mengagregasi kepentingan politik rakyat. Bahkan, ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsi parpol. Apatisme publik ini semakin menjadi saat parpol ramai-ramai melibatkan diri dalam kekuasaan yang korup dan tidak memberi ruang sedikit pun bagi perjuangan politik prorakyat.

Partai apa pun nyaris sama, yakni lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya, sekaligus mengamankan berbagai akses mereka atas aset negara yang setiap saat bisa mereka korup. Oligarki Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Dalam maha karyanya, Republic, Plato pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai sekelompok elite.

Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol. Para politisi partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru melalui partaipartai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistis. Kejenuhan dalam merespons caloncalon gubernur parpol itulah, calon independen mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan.

Kemudian, pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya finansial, juga biaya sosial. Setiap pilkada, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfer pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai sebab demokrasi berlangsung tak sehat. Salah satu simpul yang membuat Pilkada DKI mahal karena tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol.

"Mahar" pencalonan kandidat parpol atau gabungan parpol ini tentu akan diposisikan sebagai "investasi" politik kandidat, sehingga jika menang, agenda utamanya adalah mengembalikan modal plus bunga atau keuntungan. Semakin parah, jika "investasi" yang ditanam hasil guyuran pengusaha akan menagih konpensasi saat kandidat berkuasa. Dengan demikian, residu logika ekonomi akan jauh lebih dominan dibanding logika pelayanan.

Calon dari jalur independen tentu memiliki peluang untuk mendeklarasikan diri sebagai kandidat yang tak terlilit tradisi upeti. Ini akan membuat mereka lebih percaya diri berjanji bekerja optimal melayani warga DKI. Pemilih DKI heterogen dan cair. Sebagai ibu kota negara, DKI berpenduduk masyarakat urban terdidik. Secara umum, pemilih di DKI memiliki marjin memadai untuk jumlah pemilih rasional (rational voter). Tersedia cukup banyak peluang massa mengambang (fl oating mass) dan swing voter.

Tipologi-tipologi pemilih ini menjadi peluang calon independen karena ikatan pemilih dengan parpol sangat cair. Sentimen negatif dari publik atas kinerja parpol secara umum di level nasional maupun daerah seharusnya bisa dimanfaatkan calon independen dengan menawarkan platform, program-program dan kinerja yang berbeda, sekaligus membawa perubahan.

Ada tantangan nyata yang akan ditemui calon independen. Misalnya, sokongan dana untuk membiaya tahapan pilkada. Calon independen berporos pada partisipasi publik termasuk pendanaan. Ini masih menjadi tradisi cukup asing dalam peta politik karena sistem dan logika berpikir pemilih telah lama dirusak parpol, dalam bentuk money politic. Dampaknya, pilkada tak ubahnya pa sar pertaruhan atau pasar lelang yang diatur hukum penawaran dan permintaan, juga desain strategi dan saluran implementasi dalam proses komunikasi persuasif.

Jika kandidat yang diusung parpol atau gabungan parpol sudah memiliki struktur mesin partai yang cukup lama di panaskan menuju DKI 1, calon independen harus berjibaku membentuk sistem pemenangan baru hingga ke simpul-simpul pemilih. Namun demikian, jika membaca peluang-peluang tadi, rasanya kandidat jalur independen memiliki peluang menjanjikan.

Sumber Tulisan di Web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/83306

EFEK DOMINO KASUS ANGELINA


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 8/2/2012)

PENETAPAN politisi Partai Demokrat (PD), Angelina Sondakh, sebagai tersangka kasus korupsi Wisma Atlit (Jum’at, 3/2) memiliki dampak politis yang serius. Meski status baru Angie itu merupakan domain hukum, tarik menarik politik akan sangat keras dan cenderung mengarah ke fase ‘turbulensi’ politik terutama bagi Anas dan PD.

Dampak Kasus

Ada tiga efek domino pascapenetapan Angie sebagai tersangka. Pertama, kian terancamnya posisi Anas Urbaningrum. Angie merupakan entry point dalam penelusuran siapa saja yang terlibat dalam kasus Wisma Atlet. Artinya, dengan penetapan status tersangka untuk Angie, diharapkan menjadi link untuk mengungkap fakta hukum, apakah Anas turut terlibat atau tidak dalam kasus tersebut. Kondisi ini, berkontribusi pada posisi dilematis Anas saat ini dan kedepan.

Kedua, Angie merupakan politisi PD yang menjabat posisi strategis Wakil Sekjen, sekaligus salah satu fasilitator kemenangan Anas di Konggres Bandung, sudah terbayang, kasus ini berpengaruh besar pada persepsi publik terkait kredibilitas PD saat ini dan ke depan. Konsekuensinya, di internal PD faksionalisme yang beberapa waktu lalu mampu diredam sementara oleh SBY kembali memanas dan kian eskalatif. Hal ini, bisa kita amati dari relasi antagonistik antar elit PD sendiri. Bagi pihak eksternal, akan sangat mudah mengubah bubble issues yang ada di Demokrat menjadi amunisi nyata untuk mendelegitimasi PD jelang Pemilu 2014. Hal ini, tentunya akan berpengaruh pada elektabilitas PD di basis-basis pemilih.

Ketiga, kasus Angie ini akan berdampak pada 'public trust' terkait dengan eksistensi politisi muda yang saat ini menjadi pelaku di berbagai suprastruktur politik. Nazar, Anas dan Angie mrpk prototype politisi muda yang krn masalahnya berkontribusi pada penurunan persepsi positif publik atas distingsi peran politik kaum muda dan kelompok tua-mapan.

Manajemen Konflik

Pada level elite, manajemen konflik dan manajemen krisis PD sangat tak elegan dan kurang terorganisir. Indikatornya, betapa sering konflik antar faksi di tubuh PD terpapar secara gamblang di media massa. Kita bisa ambil contoh kontemporer, komunikasi antagonistik antar Marzuki-Mubarok-Ruhut dan Anggota Dewan Pembina PD lainnya.

Di level pengurus daerah diprediksi akan muncul kegamangan masif atas fenomena elite mereka di DPP. Terlebih, faktanya hingga kini hampir seluruh parpol di Indonesia belum bermetamorfosis menjadi parpol modern. Cirinya, parpol saat ini lebih mengandalkan politik figur daripada pola kaderisasi. Kesetiaan para politisi parpol lebih pada figur bukan pada sistem politik yang dikonsensuskan. Tentu, tidak mudah mendepak Anas dari jabatan Ketum PD karena Anas memiliki basis dukungan pengurus-pengurus daerah. Kecuali, jika secara hukum Anas benar-benar terlibat

Sangat mungkin, Anas akan menempuh mekanisme pertahanan diri dengan 'memproteksi' Angie untuk tidak menyeret dirinya ke dalam pusaran masalah. Proteksi itu bisa saja berbentuk konsensus agar Angie selamat atau sejelek-jeleknya terhukum dengan resiko terendah. Masih sangat mungkin juga menghilangkan segala ‘penanda’ keterhubungan Angie dengan Anas. Jika hal ini yang ditempuh, bukan mustahil akan muncul skenario 'missing link' yang didesain dengan rapih oleh para pelaku.

Tentu Anas tidak akan tinggal diam, karena posisi Angie dengan cepat bisa menjadi ‘teror’ bagi jabatannya sebagai Ketum PD sekaligus masa depan Anas sebagai politisi yang menghirup udara bebas. Suara Anas kini telah menjelma menjadi opini minoritas di tengah opini mayoritas yang mulai percaya dia terlibat. Oleh karenanya, tak ada pilihan lain bagi Angie maupun Anas selain ‘bertarung’ mati-matian melalui ranah hukum. Satu hal yang pasti, bahwa kasus Angie ini akan terus menggelinding menjadi bola api yang membesar dari ke hari, karena suka atau tidak menjadi salah satu momentum sekaligus pintu masuk untuk delegitimasi Partai Demokrat jelang 2014.

Tulisan ini bisa diakses di web Pelita:

http://www.pelitaonline.com/read-opini/74/efek-domino-kasus-angelina/

Senin, 06 Februari 2012

KAMPANYE BERBASIS LITERASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO,4/2/2012)

Kabar baru berhembus dari Senayan terkait dengan rentang masa kampanye yang panjang untuk pemilu 2014. DPR dan pemerintah telah sepakat menetapkan masa kampanye dimulai sejak partai politik (parpol) dinyatakan sah sebegai peserta pemilu (SINDO, 31/1/2012). Dengan demikian, masa kampanye parpol direncanakan akan berlangsung 15-16 bulan sejak pengumuman verifikasi parpol oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika asumsi waktu berjalan mulus, maka rentang masa kampanye pemilu 2014 akan lebih panjang dari pemilu 2009. Seperti kita ketahui, merujuk ke UU No. 10/2008 peserta pemilu 2009 berkampanye 9 bulan, yakni sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009. Lantas akankah rentang kampanye yang panjang itu turut meningkatkan kualitas pemilu?

Model Ostergaard

Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik sebagai upaya memersuasi pemilih (voter) agar mendapatkan dukungan dari banyak kalangan saat pencontrengan. Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja adalah persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan oleh para kandidat mulai dari iklan di media lini atas (above the line media), media lini bawah (below the line media), hingga loby dan negosiasi yang langsung penetratif ke simpul-simpul pemilih. Kampanye yang baik, tentu saja adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Kampanye modern yang prospektif memersuasi khalayak biasanya adalah kampanye transformasional.

Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses, harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan di masyarakat. Sudah tidak saatnya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah (problem solving).

Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, lagi-lagi riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknis pelaksanaaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolalaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap serta keterampilan khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat terjadinya perubahan perilaku (voting behavior). Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika sloganistik. Pemilih kekinian, tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan, melainkan butuh indiktor-indikator yang bisa raba sekaligus diadu pada level gagasan dan program. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Sehingga berbagai rincian program itu dapat menarik dan menjadi bagian utuh kesadaran pemilih atau apa yang Walter Lipman tulis sebagai the world outside and pictures in our head.

Ketiga, adalah tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye dalam menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap pra kampanye. Kampanye dengan demikian, bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik. Melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih yang meluas.

Kampanye Transformasional

Kampanye transformasional bisa mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi penanganan masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.

Biasanya, sebuah kampanye menjadi transformasional selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas, misalnya dilakukan mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama, pendekatan community relations yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka.

Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena.

Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya, melalui pendidikan politik atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Kampanye dengan pendekatan komunitas ini seyogianya dilakukan oleh parpol, sehingga prosesi kampanye dapat mewujud dalam bentuk yang lebih transformatif.

Saatnya parpol-parpol di Indonesia, menggunakan kampanye dengan pendekatan modern yakni berbasis literasi politik. Hal itu dimulai dengan gagasan yang tidak seragam dengan demikian adu gagasan menjadi mungkin terjadi sehingga memberi opsi-opsi dan referensi bagi pemilih. Politik citra bukan semata-mata sukses membentuk hyperealitas melainkan memberi kesempatan pada publik untuk megetahui platform, komitmen, kredibilitas dan orientasi masa depan parpol-parpol yang ada sehingga memungkinkan munculnya trust yang menjadi penggerak keterpilihan parpol di bilik-bilik suara.***

Tulisan bisa diakses di web SINDO:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/466511/

HEGEMONI POLITIK DI TELEVISI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 30/1/2012)

SATU hal yang merisaukan kita saat ini adalah kian gegap gempitanya ruang publik (public sphere), terutama media massa: mulai dari perang opini, kontestasi citra, adu prestise bahkan relasi antagonistik di antara berbagai kekuatan menuju pergantian kekuasaan 2014. Pemilu masih cukup lama, tapi publisitas dan kampanye politik terasa semakin menyesaki isi media kita. Siaran televisi merupakan satu di antara media yang harus mendapatkan perhatian serius berbagai pihak, agar hegemoni pengusaha-politisi yang menjadi pemilik tidak semakin eksplosif dan merugikan kepentingan publik.

Konteks Sosio-Politis

Penonton televisi kita diprediksi akan terus meningkat seiring dengan kian bergairahnya industri broadcasting. Aneka ragam program tersaji dan menerpa khalayak hampir sepanjang hari. Eksistensi industri televisi pun kian kompetitif seiring dengan terintegrasinya stasiun-stasiun televisi ke jaringan usaha para konglemerat yang tidak hanya berhitung bisnis, melainkan juga politis.

Tak disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang mentah. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola penontonan yang meninabobokan kesadaran mereka. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap mudah terdominasi sekaligus tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan “sampah‘ yang setiap hari diantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.

Inilah salah satu konteks paling krusial yang harus dibaca oleh para akademisi, lembaga regulator independen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, para pekerja media sekaligus para politisi dan penyelenggara negara. Benar, sejarah akademik telah menempatkan posisi efek terbatas (limited effect) dari media seperti tergambar dalam riset Paul Lazarsfeld yang dikenal dengan Erie County Study tahun 1940. Dari 600-an responden, hanya 54 orang yang mengalami perubahan perilaku pemilihan (voting behavior). Tapi, akan samakah jika hal tersebut terjadi di Indonesia meski bangsa ini sudah lama merdeka dan merengkuh kebebasan pers?

Titik perbedaan kita dengan di Amerika adalah cara penonton kita mengonsumsi media yang mengalami lompatan. Literasi media yang rendah tentu juga akan berpengaruh pada minimnya literasi politik. Dampaknya, media terutama televisi, begitu leluasa melakukan penetrasi pada persepsi masif khalayak dan memosisikannya sebagai objek yang diterpa terus menerus tanpa kesadaran bertanya yang memadai.

Bisa jadi, kelas menenangah terdidik jengah dengan dominasi semacam itu, tetapi mereka yang awam dan marginal akan sulit keluar dari jeratan media. Meski, belum tentu aktor yang berada di balik terpaan media tersebut sukses mengonversikan beragam program televisi menjadi sejumlah suara nyata dalam pemilu.

Secara politik, bilik suara menjadi wilayah pertempuran baru, misalnya antara kelompok yang punya “gizi‘ dan yang kurang “gizi‘ atau antara mereka yang memiliki instrumen pengendalian sistem pemilu dengan mereka yang tidak. Di situlah letak penuh paradoks pemilu kita yang hingga kini belum terurai dengan baik.

Sumberdaya Terbatas

Masuknya Hary Tanoesoedibjo pemilik grup besar Media Nusantara Citra (MNC) yang antara lain menguasai RCTI, MNCTV, GlobalTV, SINDO radio dan sejumlah media cetak maupun online ke Partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi fenomena kontemporer kian mengkhawatirkan ruang publik kita. Sebelumnya, Aburizal Bakrie telah memiliki tvOne dan ANTV dan Surya Paloh menguasai Metrotv. Tiga contoh sosok pengusaha-politisi ini sudah cukup representatif untuk mengungkapkan kekhawatiran kita terhadap terjadinya hegemoni ruang publik kita, terutama terkait frekuensi yang memang sejatinya sumberdaya terbatas.

Kekhawatiran kita kian terkonfirmasi saat stasiun-stasiun yang mereka miliki mulai bertaburan spot iklan perkenalan partai, unjuk citra lewat program yang “memaksa‘ frekuensi sekaligus perhatian publik untuk berpaling pada sejumlah blocking time temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), siaran live rapat kordinasi nasional, kongres dan sejumlah pernik-pernik acara kepartaian lainnya yang tidak begitu penting bagi publik.

Dalam pertimbangan UU No 32 tahun 2002 jelas dibunyikan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumberdaya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas tersebut semena-mena dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan kontestasi pemilu semata. Dengan demikian ada sejumlah agenda yang harus dilakukan agar demokratisasi siaran tidak beralih ke hegemoni oleh sebagian orang.

Pertama, KPI selaku regulator independen harus merumuskan secara jelas aturan main penggunaan media untuk kepentingan politik di luar masa kampanye pemilu. Aturan main yang bunyi di Pasal 60 Peraturan KPI No.03/2007 mengenai Standar Program Siaran lebih diorientasikan pada pengaturan dalam pemilu dan piilkada. Begitu pun aturan dalam UU No10/2008 mengenai pemilu Pasal 93 sampai dengan Pasal 100 lebih disiapkan untuk mengatur proses kampanye pemilu. Padahal, faktanya di luar tahapan pemilu seperti yang terjadi sekarang, ruang publik kerap terhegemoni oleh kepentingan politik segelintir aktor.

Kedua, harus ada operasionalisasi yang lebih detail mengenai sejumlah aturan kampanye yang sekarang ada di Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Misalnya, ketentuan mengenai lembaga penyiaran diwajibkan mengalokasikan waktu yang cukup bagi peliputan pemilu/pilkada, bersikap adil dan proporsional, tidak partisan, tidak dibiayai atau disponsori oleh peserta pemilu dan pemilukada.

KPI harus menyusun panduan yang lebih detail dan teknis operasional sehingga aturan main itu tidak normatif dan mengundang multiinterpretasi dari seluruh peserta pemilu. Di dalam UU Pemilu No10/2008 pun aturan soal sanksi yang ada di pasal 99 harus lebih jelas, baik bagi lembaga penyiaran maupun parpol yang memanfaatkannya. Frekuensi televisi harus diatur. Selain sumberdaya terbatas, media juga--menurut Antonio Gramsci-- merupakan “tangan-tangan‘ kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik. Tentu, publik tak rela jika media sempurna menjadi instrumen distorsi informasi.

Tulisan bisa diakses di:

http://nasional.jurnas.com/halaman/10/2012-01-30/197143