Sabtu, 18 Februari 2012

EFEK DOMINO KASUS ANGELINA


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 8/2/2012)

PENETAPAN politisi Partai Demokrat (PD), Angelina Sondakh, sebagai tersangka kasus korupsi Wisma Atlit (Jum’at, 3/2) memiliki dampak politis yang serius. Meski status baru Angie itu merupakan domain hukum, tarik menarik politik akan sangat keras dan cenderung mengarah ke fase ‘turbulensi’ politik terutama bagi Anas dan PD.

Dampak Kasus

Ada tiga efek domino pascapenetapan Angie sebagai tersangka. Pertama, kian terancamnya posisi Anas Urbaningrum. Angie merupakan entry point dalam penelusuran siapa saja yang terlibat dalam kasus Wisma Atlet. Artinya, dengan penetapan status tersangka untuk Angie, diharapkan menjadi link untuk mengungkap fakta hukum, apakah Anas turut terlibat atau tidak dalam kasus tersebut. Kondisi ini, berkontribusi pada posisi dilematis Anas saat ini dan kedepan.

Kedua, Angie merupakan politisi PD yang menjabat posisi strategis Wakil Sekjen, sekaligus salah satu fasilitator kemenangan Anas di Konggres Bandung, sudah terbayang, kasus ini berpengaruh besar pada persepsi publik terkait kredibilitas PD saat ini dan ke depan. Konsekuensinya, di internal PD faksionalisme yang beberapa waktu lalu mampu diredam sementara oleh SBY kembali memanas dan kian eskalatif. Hal ini, bisa kita amati dari relasi antagonistik antar elit PD sendiri. Bagi pihak eksternal, akan sangat mudah mengubah bubble issues yang ada di Demokrat menjadi amunisi nyata untuk mendelegitimasi PD jelang Pemilu 2014. Hal ini, tentunya akan berpengaruh pada elektabilitas PD di basis-basis pemilih.

Ketiga, kasus Angie ini akan berdampak pada 'public trust' terkait dengan eksistensi politisi muda yang saat ini menjadi pelaku di berbagai suprastruktur politik. Nazar, Anas dan Angie mrpk prototype politisi muda yang krn masalahnya berkontribusi pada penurunan persepsi positif publik atas distingsi peran politik kaum muda dan kelompok tua-mapan.

Manajemen Konflik

Pada level elite, manajemen konflik dan manajemen krisis PD sangat tak elegan dan kurang terorganisir. Indikatornya, betapa sering konflik antar faksi di tubuh PD terpapar secara gamblang di media massa. Kita bisa ambil contoh kontemporer, komunikasi antagonistik antar Marzuki-Mubarok-Ruhut dan Anggota Dewan Pembina PD lainnya.

Di level pengurus daerah diprediksi akan muncul kegamangan masif atas fenomena elite mereka di DPP. Terlebih, faktanya hingga kini hampir seluruh parpol di Indonesia belum bermetamorfosis menjadi parpol modern. Cirinya, parpol saat ini lebih mengandalkan politik figur daripada pola kaderisasi. Kesetiaan para politisi parpol lebih pada figur bukan pada sistem politik yang dikonsensuskan. Tentu, tidak mudah mendepak Anas dari jabatan Ketum PD karena Anas memiliki basis dukungan pengurus-pengurus daerah. Kecuali, jika secara hukum Anas benar-benar terlibat

Sangat mungkin, Anas akan menempuh mekanisme pertahanan diri dengan 'memproteksi' Angie untuk tidak menyeret dirinya ke dalam pusaran masalah. Proteksi itu bisa saja berbentuk konsensus agar Angie selamat atau sejelek-jeleknya terhukum dengan resiko terendah. Masih sangat mungkin juga menghilangkan segala ‘penanda’ keterhubungan Angie dengan Anas. Jika hal ini yang ditempuh, bukan mustahil akan muncul skenario 'missing link' yang didesain dengan rapih oleh para pelaku.

Tentu Anas tidak akan tinggal diam, karena posisi Angie dengan cepat bisa menjadi ‘teror’ bagi jabatannya sebagai Ketum PD sekaligus masa depan Anas sebagai politisi yang menghirup udara bebas. Suara Anas kini telah menjelma menjadi opini minoritas di tengah opini mayoritas yang mulai percaya dia terlibat. Oleh karenanya, tak ada pilihan lain bagi Angie maupun Anas selain ‘bertarung’ mati-matian melalui ranah hukum. Satu hal yang pasti, bahwa kasus Angie ini akan terus menggelinding menjadi bola api yang membesar dari ke hari, karena suka atau tidak menjadi salah satu momentum sekaligus pintu masuk untuk delegitimasi Partai Demokrat jelang 2014.

Tulisan ini bisa diakses di web Pelita:

http://www.pelitaonline.com/read-opini/74/efek-domino-kasus-angelina/

Tidak ada komentar: