Rabu, 26 Agustus 2009

TRANSFORMASI PARA NOORDINIS


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah Dipublikasikan di SINDO, 17 Agustus 2009)



JELAS sudah, identitas Mr X yang menjadi pusat drama perburuan 17 jam di Dusun Beji, Temanggung, Sabtu (8/8), yang ternyata adalah Ibrohim.Hal ini mematahkan gosip yang beredar selama ini bahwa Noordin telah berkalang tanah.
Penjelasan resmi pihak Polri ini sekaligus menguak tabir pekat di balik rentetan peristiwa penghentian jaringan terorisme yang menjadi menu utama pemberitaan media dan perbincangan publik akhir-akhir ini. Cerita Noordin dan jaringannya belum berakhir, malahan terus menggelinding bak bola api yang kian hari kian besar dan semakin liar.Entah di mana Noordin saat ini berada,satu hal yang pasti lolosnya dia menjadi penanda bahwa lonceng kematian setiap saat masih bisa berdentang.Dari peristiwa itu, ada tiga hal yang menarik untuk dikomentari, yakni media dalam perannya sebagai pengabar, transformasi ”Noordinisme”, dan jaringan para Noordinis.

Noordin dan Media


Tak disangkal lagi, Noordin memang ngetop dan paling dicari belakangan ini. Seluruh bingkai pemberitaan media (news framing) dari pagi hingga ke pagi lagi dipenuhi oleh seribu satu cerita soal Noordin. Bahkan,kerap sulit membedakan antara fakta dan gosip, antara kehati-hatian reportase dan reality show.
Noordin yang faktual dan Noordin yang simbolis telah menyatu dalam komodifikasi khas industri media. Perburuan Noordin ”sang teroris” terus dieksplorasi menjadi suguhan bak film aksi/laga,bahkan di beberapa media mirip hidangan infotainment tanpa fakta verifikatif. Perhatikan saja, klimaks cerita di Beji,Temanggung, Sabtu (8/8). Dusun pinggiran yang bersahaja dan jauh dari hiruk-pikuk ”politik kota” itu menjelma menjadi area menegangkan.
Letusan senjata dan kepungan pasukan polisi antiteror berujung pada kabar Noordin telah tiada. Meski belum terkonfirmasi, berbagai headline media langsung meyakinkan khalayak bahwa Noordin telah tewas! Pemberitaan demi pemberitaan bergulir menerpa khalayak seolah berlomba untuk menjadi yang tercepat, tanpa mengindahkan fakta yang holistis. Hanya sedikit media yang tak tergoda ke dalam jebakan euforia ”kematian”Noordin.
Ada baiknya kita memahami kembali pemikiran Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya The Social Construction of Reality (1990) yang menyebutkan bahwa realitas itu dikonstruksi secara sosial (reality is socially constructed). Mengonstruksi makna tentu tak lepas dari proses pelembagaan dan legitimasi untuk memapankan sesuatu sehingga terpola dan menjadi kenyataan objektif.
Juga terdapat internalisasi sebagai dimensi subjektif dari proses konstruksi tersebut.Jika media terus-menerus dan terpola mendistribusikan kabar yang keliru, bukan tak mungkin kekeliruan itu nantinya dianggap sahih dan apa adanya dalam internalisasi kesadaran individu-individu khalayak.


Transformasi ”Noordinisme”


Satu hal lain yang patut kita apresiasi ialah upaya kepolisian dalam melumpuhkan jaringan terorisme di negeri ini, termasuk berbagai usaha menghentikan Noordin. Bagaimanapun, terorisme telah menjadi kejahatan utama bagi kemanusiaan (ultimate crime againts humanity).

Gerakan ini laten dan bisa kembali aktual kapan pun dalam sosok serta jaringan yang sama atau pun berbeda. Doktrin ajaran ala Noordin yang meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus tindakan pragmatisnya masih tertanam di banyak kader. ”Noordinisme” telah disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir yang keliru, kemiskinan, kelengahan pengelola dan aparatur negara, serta ketidakpedulian masyarakat. Embrio itu siap menetas menjadi stelsel aktif yang mengimplementasikan semangat dan cara pandang Noordin di kemudian hari.
Terlebih bangsa ini kerap menjadi bangsa pelupa di tengah bekerjanya gurita para pemilik otoritas modal dan kekuasaan yang kerap dengan sengaja membuat proyek lupa. Satu kasus sengaja didorong ke permukaan untuk menutupi kasus-kasus lain yang mengancam si pemilik otoritas sehingga masyarakat masuk ke dalam dimensi lupa yang sengaja diciptakan dan dilembagakan.
Kita perlu mewaspadai transformasi ”Noordinisme” atau semacam gagasan ideologis dan spirit gerakan radikal ala Noordin.Terlebih jika dia dikukuhkan oleh para pengikutnya sebagai role model yang keliru dari konsep diri ”pejuang”, ”syuhada”, ”pembawa kebenaran”, ”imam atau amir”, dan lain-lain. Kini, bisa jadi Noordin tak semata faktual, melainkan juga simbolis.
Artinya Noordin tak hanya ada dalam realitasnya sebagai pribadi, tetapi juga menjadi kesadaran kelompok terbagi (shared group conciousness) yang larut dan penetratif dalam orientasi diri para pengikutnya itu. Sungguh berbahaya jika terjadi konvergensi simbolis atas diri dan gagasan Noordin di kelompoknya yang belum tertangkap. Menurut Ernest Bormann,konvergensi simbolis ini merupakan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum (realitas simbolis) yang disebut sebagai visi retoris. Menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi dan paradigma berpikir (dalam Cragan, 1998). Jika cara pandang menghalalkan bom bunuh diri,membunuh atau menebar teror menjadi kesadaran kelompok, ”Noordinisme” akan sangat berbahaya.


Para Noordinis


Transformasi gerakan ala Noordin jangan sampai melahirkan dan memapankan Noordinis atau para pengikut setia Noordin yang tak lagi menggunakan rasionalitas dan empati kemanusiaan untuk mengukur tindakannya. Tentu dalam konteks ini, sekali lagi bukan Noordin sebagai individu yang faktual, melainkan yang simbolis.Kita seyogianya juga tak menstimulasi kelahiran Noordinis-Noordinis ini.Paling tidak ada tiga faktor yang dapat memfasilitasi transformasi gerakan seperti yang dipraktikkan Noordin. Pertama, lingkungan makro antara lain sistem politik global. Misalnya saja relasi antagonistis yang dibangun Amerika Serikat dengan kebijakan unilateralismenya. Bisa juga praktik Islamofobia di beberapa negara Barat telah mengakibatkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerap dicap ”teroris”, ”ekstremis”, ”penjahat demokrasi”, dan sebagainya.Kondisi seperti ini pula yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak, Iran, Libia, termasuk juga di Indonesia.Sentimen anti-Barat marak dan mengemuka seolah menjadi penegas zona perlawanan bisa di mana saja sehingga muncul gejala terorisme transnasional. Interkoneksi para pelaku teror tak lagi tersekat oleh batas-batas geografis, teritorial maupun etnis. Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan kesadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri. Di antaranya keluarga, kelompok penganut agama, sekolah, dan lingkungan pergaulan.
Sangat wajar jika di suatu pesantren atau sekolah yang terus-menerus, sistemis, dan terorganisasi menghidupkan cara pandang ekstrem tentang agama, akan banyak lahir kader militan yang siap mati karena memperjuangkan apa yang mereka yakini. Cara-cara kekerasan justru dimaknai dalam konteks ”investasi surga”. Keluarga juga dapat menjadi katalisator yang ampuh dalam melahirkan kaderkader militan. Ketiga, orientasi kepribadian yang tecermin dalam sikap individu.
Bentuknya dapat bermacammacam. Mulai dari kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi teroris yang diikuti, eksternalisasi diri agar populer sebagai penebar teror sehingga menjadi ikon liputan media massa. Selain itu, ada pula orangorang tertentu yang menebar teror sebagai bentuk pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-orientasi kepribadian ini, perlahan tapi pasti, dapat merangsang lahirnya orangorang bertipe Noordinis di sekitar kita.
Dari ketiga faktor di atas, tampaknya faktor pertama dan kedualah yang dominan menjadi penyemai para Noordinis. Kita sungguh-sungguh tak berharap matinya Noordin menumbuhkan seribu Noordinis. Biarlah Noordin ngetop dan dipopulerkan media, tapi jangan sampai melahirkan ”Noordinisme”.(*)

KOMUNIKASI PENDIDIKAN


Oleh : Gun Gun Heryanto

(Telah Dipublikasikan di Tabloid Pena-9, Edisi 25 Tahun II)



Istilah Komunikasi Pendidikan masih belum familiar baik di kalangan peminat kajian komunikasi, civitas akademia maupun khalayak umum di tanah air ini. Bidang ini tak sementereng komunikasi politik, komunikasi bisnis, komunikasi pemasaran, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya dan lain-lain. Sangat sulit mencari tulisan populer, jurnal, buku atau publikasi lainnya yang secara ekplisit mengelaborasi bidang ini. Hal ini semakin lengkap dengan belum banyaknya untuk tak mengatakan belum ada sama sekali, mata kuliah komunikasi pendidikan dalam kurikulum di fakultas, jurusan atau program studi di tingkat perguruan tinggi maupun sekolah. Begitu pun di institut dan universitas yang memiliki historis sebagai perguruan tinggi ilmu pendidikan.
Jika dilihat dari peminatan riset, komunikasi pendidikan juga masih kalah jauh dengan bidang baru lainnya seperti komunikasi kesehatan. Saat ini, banyak riset cukup serius baik di level S1, S2 hingga S3 yang menjadikan komunikasi kesehatan sebagai riset akhir studi. Tentu saja hal ini menjadi ironi, karena sesungguhnya komunikasi pendidikan memiliki posisi penting baik dalam konteks kajian di ranah keilmuan komunikasi dan keilmuan pendidikan maupun sebagi skill praktis yang dapat menunjang proses pendidikan itu sendiri.
Paling tidak ada dua pertimbangan dasar yang penting kita perhatikan untuk menjawab mengapa komunikasi pendidikan menjadi keharusan. Pertama, dunia pendidikan sangat membutuhkan sebuah pemahaman yang holistik, komprehensif, mendasar dan sistematis tentang pemanfaatan komunikasi dalam implementasi kegiatan belajar-mengajar. Tanpa ruh komunikasi yang baik, maka pendidikan akan kehilangan cara dan orientasi dalam membangun kualitas out put yang diharapkan. Dalm konteks ini, komunikasi pendidikan bisa kita sejajarkan pentingnya dengan metodologi pengajaran, manajemen pendidikan dan lain-lain. Kita bisa bayangkan hampir 80 persen aktivitas guru maupun dosen di ruang kelas adalah kegiatan komunikasi baik verbal maupun non verbal. Oleh karenanya, hasil buruk penerimaan materi oleh para siswa, belum tentu karena guru atau dosennya bodoh, bisa jadi justru karena metode komunikasi mereka yang sangat buruk di depan para siswa.
Kedua, komunikasi pendidikan akan menunjukkan arah dari proses konstruksi sosial atas realitas pendidikan. Sebagaimana dikatakan teoritisi sosiologi pengetahuan Peter L Berger dan Thomas Luckman dalam social construction of reality, yang mamahami bahwa realitas itu dikonstruksi oleh makna-makna yang dipertukarkan dalam tindakan dan interaksi individu-individu. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa realitas itu dinamis dan intersubyektif. Mengkonstruksi makna tentu tak lepas dari proses pelembagaan dan legitimasi untuk memapankan sesuatu sehingga terpola dan menjadi kenyataan obyektif. Sekaligus juga terdapat internalisasi sebagai dimensi subyektif dari proses konstruksi tersebut. Artinya, komunikasi pendidikan bisa memberi kontribusi sangat penting dalam pemahaman dan praktik interaksi serta tindakan seluruh individu yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pendidikan tak akan bisa mewujudkan nilai kelompok terbagi (shared group conciousness) tanpa dukungan komunikasi.

PUBLISITAS TEROR


Oleh : Gun Gun Heryanto

(Dipublikasikan di Koran Jakarta, 24 Juli 2009)



Peristiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (17/07), tak hanya mengguncang Jakarta tetapi juga Indonesia. Dampak peristiwa tersebut, sudah pasti menjadi penanda negatif proses pencitraan Indonesia di mata dunia. Berbagai upaya meyakinkan pihak internasional, bahwa Indonesia merupakan negara yang aman dari ancaman kembali mendapatkan ujian. Memori publik diingatkan, pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya. Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini, juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya. Sehingga, kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.
Extraordinary

Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisir dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan. Oleh karennya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatik.
Bagi para pelaku, bukan hanya sekedar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional dan situasi yang serba tidak menentu. Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukkan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi extra ordinary news (kejadian sangat luar biasa). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa. Mereka sangat sadar, bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya akan diliput media massa. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah, yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, tak hanya di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional.
Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detil dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan, karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan sesuatu yang terjadi di masyarakat terlebih menyangkut peristiwa extra ordinary seperti peristiwa pemboman. Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tidak terjebak oleh keinginan pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tidak menghembus-hembuskan asumsi-asumsi liar tanpa bukti memadai.
Dalam kasus bom di Ritz Carlton dan JW Marriott, pelaku sangat memperhitungkan dampak publisitas yang high explosive dari kejadian itu. Hal ini paling tidak ditunjang oleh tiga faktor. Pertama, konteks tempat yakni kedua hotel yang dijadikan sentral ledakan. Setiap aksi teror selalu membutuhkan “panggung pertunjukkan” yang memungkinkan luasnya jangkauan pengaruh. Kita bisa identifikasi, ledakan demi ledakan selalu terjadi di obyek-obyek vital seperti bandara, kedutaan negara asing, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, hotel dll.
Ritz Carlton dan JW Marriott merupakan dua hotel internasional dan diidentifikasi milik asing. Dengan meledakkan kedua tempat tersebut, sudah tentu pelaku berharap menjadikan peristiwa ini sebagai isu internasional. Mungkin saja ada kelompok organik dari gerakan terorisme yang menandai tindakan terornya melalui penghancuran simbol barat lebih khususnya Amerika. Namun, kemunginan pihak lain pun masih bisa saja terjadi. Yakni, mereka yang mengelabui perhatian publik, dengan meminjam modus lama gerakan terorisme berbasis ideologi, padahal para kreatornya tak lebih dari hanya sekedar para machievelist yang menginginkan ketidakteraturan sosial guna pencapaian tujuan strategis dan politis yang bersifat jangka pendek.
Kedua, konteks momentum kedatangan para pesohor Manchaster United (MU) ke Indonesia. Pasukan MU adalah magnitud pemberitaan, wajar jika kemana pun mereka bergerak, maka sudah otomatis akan mendapatkan peliputan media. Begitu pun rencana kedatangan mereka ke Indonesia. Jauh hari sebelum tanggal pertandingan digelar, MU telah menimbulkan kegaduhan di rung media massa. Si pelaku melihat jeli situasi ini, kedatangan MU tak hanya membawa serombongan pasukan pemain bola tetapi juga embedded international journalist yang akan meliput dan mempublikasikan lawatan tersebut. Sungguh pemilihan momentum yang direncanakan dan terstruktur.
Ketiga, konteks waktu pasca Pilpres yang segera memasuki fase krusial yakni penetapan pemenang Pemilu. Bisa jadi, tak ada hubungannya antara peristiwa bom dengan peristiwa Pemilu. Namun demikian, suasana kompetisi yang belum usai, menyebabkan hiruk-pikuk berita selalu berkisar diantara para capres dan cawapres. Upaya menarik kasus bom ke ranah politik, membuat suasana kian tak kondusif dan menyebabkan sikap saling tak percaya diantara para elit. Justru kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh para pelaku teror.
Kontroversi SBY
Presiden SBY merupakan sosok yang biasanya sangat pandai menjaga citra di muka publik. Berbagai pernyataanya selalu dia kemas dengan hati-hati, sistematis, dan menghindari keagresifan verbal. Namun, kebiasaan itu tak tercermin dalam pernyataannya saat menanggapi kasus bom Ritz Carlton dan JW Marriott. SBY disadari atau tidak membuat kontroversi dalam dua hal.
Pertama, terjadi tumpangtindih peran pada saat membuat pernyataan. Lagi-lagi komunikasi tak melulu persoalan isi, melainkan juga konteks. Saat SBY berbicara di halaman Istana, seharusnya dia berbicara dalam kapasitas dirinya sebagai Presiden yang mestinya menyatukan seluruh elemen bangsa dalam menghadapi common enemy yakni terorisme. Bukan sebagai calon presiden yang mengkhawatirkan adanya pihak lain yang akan menggagalkan kemenangannya di Pilpres melalui pendudukan KPU, Iranisasi atau tindakan berbahaya lainnya. Jika SBY berbicara di Istana, jelas pernyataannya harus menunjukkan respek di atas semua golongan, bahkan lawan politik sekali pun. Tidak pada tempatnya dia menyudutkan pihak lain melalui pernyataan yang mengundang beribu tanya.
Kedua, jika pun isi pernyataan SBY merupakan hasil analisa data intelejen yang valid, satu hal mungkin telah dilupakan bahwa situasi teror justru menghendaki kepanikan yang menjadi-jadi. Data intelejen yang diakui baru pertamakali dibuka di muka umum, bahwa ada gerakan yang ingin menjadikan SBY sebagai target kekerasan dan adanya gerakan sekelompok orang yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden, justru menebar ketakutan lain. Tidak relevan SBY membuka temuan dan hasil analisa intelejen itu, bersamaan waktunya dengan pernyataan keras mengutuk pelaku pemboman. Kita tentu saja tidak berharap, pernyataan SBY ini terjebak dalam desain para peneror yakni situasi saling curiga yang menstimulasi kondisi chaos.
Pernyataan seorang presiden tentu akan menjadi berita yang dikonsumsi masyarakat. Sangat mungkin sebuah pernyataan yang tidak dimaksudkan menebar teror justru mengonstruksi agitasi. Opini publik dapat berjalan liar, menjadi bola salju yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu perlu kearifan semua pihak terutama para elit politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror. ***