Kamis, 29 Juli 2010

"KOMUNITARIANISME IBU KOTA"


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Pelita, 6/07/2010)

Jakarta sebagai ibu kota, layaknya sebuah latar drama kehidupan. Penggalan cerita kekerasan, keangkuhan,pertaruhan nasib dan mimpi semuanya dikonstruksi menjadi ranah pengalaman. Tak terasa, pada 22 Juni 2010 Jakarta berusia 483 tahun. Di hari jadinya inilah, penting menempatkan perbincangan Jakarta sebagai drama masyarakat metropolitan dalam suatu diskursus prinsip komunitarian.

Problem Sosial

Daya tarik Jakarta berkaitan dengan tingginya peredaran uang. Hampir dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta. Pada saat yang sama, kurang lebih 45 persen investasi dalam negri juga ditempatkan di Jabodetabek. Dengan demikian Jakarta antraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politik, ekonomi bahkan industri kebudayaan.

Terjadinya sentralisasi kapital ini, bukan tanpa masalah. Orang daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki nasib. Mereka tak bisa disalahkan, sebab mimpi perbaikan nasib itu kini menggantung di langit Jakarta. SDM berkualitas di daerah habis tersedot ke pusat, sehingga daerah pun tak dapat mengoptimalkan diri.

Jakarta kian banyak melibatkan aktor yang bermain. Meskipun kebutuhan dan kapasitas wilayah Jakarta untuk menjadi panggung kehidupan kian terbatas. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan penduduk Jakarta 9,6 Juta jiwa berdasarkan informasi sensus 2010. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang pindah ke Jakarta. Dapat kita bayangkan dampak pertumbuhan masyarakat seperti ini. Perlahan tapi pasti, "Imagined city" justru kian mengarah ke "self-destroying society" di masyarakat metropolitan."

Masalah yang harus diwaspadai di masyarakat metropolitan sekarang ini, adalah "socio-cultural animosity". Ini merupakan kebencian sosial dan budaya yang bersumber dari perbedaan nasib yang dikonstruksi oleh momentum. Hal ini bisa menjadi rahim keinginan balas dendam yang sangat mungkin memunculkan konflik sosial baik aktual maupun yang sifatnya laten.

Munculnya konflik itu bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, pada masyarakat Jakarta yang heterogen terlanjur berkembang simbol-simbol khusus yang membentuk streotype kelompok tertentu. Contoh paling kolosal, konflik seperti ini aktual pada 13-15 Mei 1998.

Kebencian yang tersembunyi pada kelompok tertentu, tersalurkan lewat penyerangan, penjarahan dan pembunuhan, misalnya terhadap etnis keturunan. Selain kerugian materi, konflik seperti ini tentu saja menciderai nilai-nilai ideal kemanusiaan. Bisa jadi, ini hanya merupakan salah satu contoh kasus dari ledakan-ledakan besar yang sudah dan akan terjadi di kemudian hari jika tak diantisipasi.

Faktor lain yang memunculkan "animocity", bisa juga dipengaruhi proses integrasi yang belum tuntas. Proses integrasi menurut Amitai Etziani dalam The Spirit of Community The Reinvention of American Society" (1993) memiliki beberapa model. Model integrasi normatif, yaitu integrasi yang berakar pada kesepakatan dan kepatuhan yang membudaya terhadap nilai-nilai dan norma tertentu. Integrasi ini mempunyai hubungan timbal balik dengan adanya rasa senasib, cita-cita bersama dan ikatan solidaritas. Integrasi model ini, sekarang sudah mulai hilang di masyarakat ibu kota.

Secara sosiologis, seseorang akan patuh pada nilai-nilai dan norma yang ada bila ia memiliki rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut serta kontrol yang terjadi dalam diri setiap orang. Kenyataanya di ibu kota seperti Jakarta, sikap ultra individualisme yang berkembang telah terinstitusionalisasikan sehingga ikatan solidaritas menjadi sangat lemah.

Model integrasi lainnya, adalah integrasi fungsional yang bersandar pada rasa saling membutuhkan dan ketergantungan fungsional antar kelompok. Banyak kasus yang mengakibatkan integrasi model ini terganggu, misalnya saja kasus bisnis yang berjalan tidak sehat.

Banyak perusahaan di Jakarta yang lahir dan tumbuh sarat dengan KKN, sehingga "corporate culture" yang dibangun tidak menciptakan hubungan fungsional yang utuh. Banyak terjadi kesenjangan yang secara psikologis menyuburkan nilai ke-aku-an.

Integrasi yang dominan dalam kondisi seperti Ini, justru integrasi koersif yakni integrasi yang belandaskan pada kekuatan memaksa dari suatu kelompok dominan terhadap lainnya. Misalnya saja, dapat kita amati saat kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis pribumi Ibu kota yang kerap memaksakan kehendak mereka.

Prinsip Komunitarian

Untuk membangun good seciety di Jakarta perlu kiranya kita mengukuhkan kembali prinsip komunitarianisme. Prinsip ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.

Nilai penting dari prinsip ini, masyarakat metropolitan perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Kekitaan yang tidak menindas keakuan serta memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsipnya antara lain anti puritanisme serta merancang dengan hati-hati kewenangan serta kekuasaan pemerintah.

Dalam prinsip komunitarian, institusi pendidikan dapat menjadi agen pendidikan moral tanpa terjebak pada proses indoktrinasi. Warga memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain. Perjuangan kepentingan pribadi dalam prinsip ini, harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas.

Oleh karenanya, kerakusan individu tanpa batas harus diganti dengan kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang diakui serta dikonsensuskan oleh masyarakat. Pembangunan oleh pemerintah harus mengacu pada konsep "people centre development and reinventing government". Konsep ini, menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memberi daya dan memberi kemudahan dengan cara memberikan informasi kepada komunitas dan mengikutsertakan mereka menjadi partisipan yang proaktif.

Pemda DKI sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun) dan menengah (10 tahun), tinggal kesadaran para penyelenggaranya untuk lebih memanusiawikan prosesnya. Penyakit sosial berupa "anomie" (normlessness) atau kekaburan antara apa yang benar dan salah, yang meluas di kalangan masyarakat bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tak diskriminatif.

Menuju masyarakat komunitarian pada masyarakat metropolitan bukan lagi suatu keinginan yang idealis tetapi kebutuhan yang realistis bahkan strategis.

Tulisan ini bisa juga diakses di:
http://bataviase.co.id/node/284752

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu, 30/06/2010)


Perbincangan publik mengenai skandal video porno mirip para selebritas, secara sadar,masif, dan penuh paradoks hingga sekarang masih mewarnai, bahkan mendominasi, ruang publik kita.

Inilah negeri yang lekat dengan berbagai skandal. Dari skandal politik, keuangan, pendidikan hingga kesusilaan. Skandal seolah mengikuti detak jantung kesemrawutan bangsa ini dan paralel dengan sikap tunarasa para publik figur yang kerap dipertontonkan secara nyata di depan mata khalayak. Isu privat yang menerabas batas konsensus moralitas umum dan hukum seperti dilakukan para pelakon mirip artis tersebut telah sukses mereduksi makna ruang publik menjadi perbincangan yang sangat dangkal.

Berbicara skandal asusila mirip Ariel-Luna Maya-Cut Tari dilihat dari perspektif komunikasi, tak hanya menempatkan para artis itu sebagi bahasan sentral. Melainkan harus menempatkan objek itu dalam interkoneksitasnya dengan institusi media massa,khalayak penerima pesan, serta dampak skandal tersebut bagi masyarakat.

Nilai Pertukaran

Skandal dengan pelaku dari kelompok elite, baik dari panggung politik maupun dunia hiburan, selalu menjadi komoditas yang punya potensi menyediakan pasar sekaligus nilai pertukaran (exchange value).Kontroversi suatu skandal yang melibatkan para pesohor menebarkan aroma hukum pasar. Semakin tinggi tingkat permintaan, semakin mahal barang. Sejumlah skandal kaum elite menyeruak ke permukaan dan penetratif hingga ke ruang keluarga, melalui media massa.

Jika media tak membahas intensif suatu skandal,maka tentu tak akan menjadi prioritas perhatian khalayak. Dari ranah politik kita bisa mencontohkan skandal Watergate di awal 1970-an yang melibatkan Richard Nixon. Di dalam negeri sendiri sejumlah skandal seperti Buloggate,Bruneigate,hingga skandal bailout Bank Century menjadi ranah pertarungan opini publik di media massa. Isu-isu tersebut dibentuk, diarahkan, dan menjadi bola salju guna menginformasikan fakta, mengonstruksi realitas, mendominasi, bahkan kerap memanipulasi kecenderungan opini khalayak. Begitu pun skandal yang menyangkut kesusilaan, kita bisa menyebut misalnya skandal Bill Clinton-Monica Lewinsky yang sempat mengarah pada upaya digelarnya impeachment pada 1998.

Skandal Silvio Berlusconi,Perdana Menteri Italia, bersama sejumlah perempuan— termasuk wanita panggilan. Isu skandal pun ramai menerpa mantan Presiden AS yang sukses seperti Thomas Jefferson dengan Sally Hemings serta John F Kennedy- Marilyn Monroe. Di dalam negeri, kita tentu juga mengingat skandal Yahya Zaini-Maria Eva serta Max Moein-Desi Vridiyanti. Deretan skandal kesusilaan lain menyangkut para pesohor sebagian besar timbul dan tenggelam dalam kontestasi isu yang dibingkai oleh media massa. Tentu saja para pelaku asusila dalam berbagai skandal sangat meresahkan dan mengancam konsensus moral yang mapan terpola.Termasuk dalam skandal terakhir yang melibatkan Ariel-Luna-Cut Tari.

Jika pun benar mereka melakukan apa yang kini dituduhkan sebagai prilaku asusila, maka sudah sepatutnya mereka mempertanggungjawabkan prilaku mereka secara hukum dan sosial. Namun, bagi penulis tak hanya para pelaku asusila itu saja yang patut dikritik, melainkan media massa yang dengan sangat intensif dan masif memosisikan skandal ini dalam konteks komodifikasi.Mengacu pada Vincent Mosco dalam The Political Economi of Communication (1996), komodifikasi itu merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan.Sebagai contoh, berbagai stasiun televisi nasional kita dengan sangat intensif mengulas fakta bercampur gosip secara eksplosif baik dalam bentuk narasi maupun visualnya.

Dengan begitu, mereka tidak hanya menghadirkan informasi, melainkan juga sensasi tertentu pada khalayak untuk menjadi pengoleksi dan “jamaah” penikmat dari berbagai koleksi skandal yang terdokumentasikan. Berita yang mencampuradukkan fakta dan gosip ini pun kerap tak hanya dilakukan para pekerja infotainment, melainkan juga program berita yang seharusnya lebih hati-hati dan lebih selektif.

Akumulasi dan Peneguhan

Dalam kasus Aril-Luna-Cut Tari ini industri media kita tampak makin meneguhkan tesis Douglas Kellner dalam Television and the Crisis of Democracy (1990), bahwa tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion. Memang benar,skandal asusila ini harus diberitakan.Namun,jangan sampai media mereduksi ruang publik dengan dominasi persoalan privat yang dapat menutup mata khalayak atas sejumlah persoalan kebangsaan yang membutuhkan perhatian. Misalnya soal pemilihan pimpinan KPK,kasus Anggodo, Bibit-Chandra, Susno Duadji, skandal pajak Gayus, lumpur Lapindo, etika politik anggota KPU Andi Nurpati, dan lain-lain.

Bukan sebaliknya, karena pertimbangan akumulasi keuntungan, maka fenomena ketidakpatutan diproduksi dan direproduksi secara massal. Terlebih saat ini media massa telah mendapatkan partner peneguh yang tak kalah berpengaruhnya, yakni dunia maya. J i k a dulu berbagai skandal itu hanya diperoleh melalui media massa, kini melalui jejaring sosial skandal menjadi kian personal.Contoh cukup memprihatinkan adalah video panas mirip para selebritas ini sempat disebar melalui Facebook. Bahkan hashtag ”Ariel Peterporn” sempat menjadi trending topics twitter nomor 1 mengalahkan hashtag Flottila, sehingga menjadi perhatian tak hanya Tweeps (pengguna Twitter) di Indonesia, melainkan juga luar negeri. Berbagai link untuk mengakses video-video tersebut sangat mudah didapatkan para pengguna internet.

Bahkan informasi dari pihak Telkomsel (14/6), akibat peredaran video skandal orang-orang mirip selebritas ini,trafficTelkomsel melonjak 30%.Virus penyebaran skandal ini tentu saja salah satunya difasilitasiolehmediamassa. Sinopsis skandal itu terpapar cukup detail di berbagai media massa baik cetak maupun elektronika, sehingga turut memberi stimulasi untuk melakukan perbincangan dan akses skandal ini melalui situs jejaring sosial.

Reinforment Imitasi

Hal yang patut kita waspadai bersama adalah dampak skandal ini bagi khalayak. Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi memberi catatan bahwa seorang individu sangat mungkin belajar untuk menyamai tindakan orang lain,terutama dari role model atau publik figur, melalui proses instrumental conditioning. Cara vulgar media menampilkan video mesum dan porsi ulasan berlebih dapat menjadi instrumen yang mengondisikan prilaku imitasi. Terlebih mereka yang diduga menjadi pelaku adalah selebritas yang memiliki jutaan fans.

Hal ini sudah mulai berdampak,misalnya KPAI menginformasikan ada 33 anak diperkosa gara-gara video mirip Ariel ini. Jika motif mereka benar demikian,tentu saja fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Elite di panggung hiburan seperti halnya di panggung politik, lekat dengan publisitas yang sangat mungkin merekayasa ingatan khalayak melalui opini publik yang dibangunnya.Memang upaya pembersihan citra diri bukan persoalan sederhana.Para politisi,terlebih yang terikat dengan partai politik, akan sangat tergantung pada organisasi politik di mana dia bernaung.

Jika dia masih diakui sebagai ingroup dari kelompoknya, biasanya skandal tak akan sampai membunuh eksistensinya. Namun, kebanyakan politisi yang tersangkut skandal, terlebih masalah asusila, biasanya akan menepi dari peredaran,terutama jika gagal merekayasa opini positif.Selebritas dunia hiburan akan sangat ditentukan oleh kekuatan nilai tukarnya di pasar.Jika pasar masih merespons positif, biasanya dia akan memperoleh ”pengampunan” sosial, meski tak bisa mengelak dari hukum.

Hal seperti ini sangat mungkin kembali terulang di masa depan. Seolah mempertegas bahwa skandal tak akan pernah terpisah dari gegapgempitanya kehidupan para pesohor.(*)

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334690/

Di

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jum'at, 11/06/2010)


Perhelatan akbar olahraga terpopuler sejagat dimulai. Prosesi pembukaan Piala Dunia akan secara resmi dimulai 11 Juni di Soccer City, Johannesburg dan akan berlangsung hingga 11 Juli.

Virus World Cup telah menyebar dan mewabah secara masif serta menghipnotis warga dunia melampaui batas-batas negara, etnik, agama bahkan perbedaan politik.Selama sebulan penyelenggaraan Piala Dunia ke-19 di Afrika Selatan ini, miliaran orang masuk ke dalam satu dimensi yang sama, yakni konvergensi simbolik yang diikat oleh tradisi perilaku mapan dan terpola berbasis “ideologi kulit bundar”.

Arus pusaran Piala Dunia ini seperti biasanya melahirkan euforia. Tak hanya pergulatan mengukir prestasi olahraga, melainkan juga prestise, nasionalisme, citra sekaligus motif ekonomi-politik untuk menjadi yang terhormat dari sejumlah negara-bangsa (nation state) yang menjadi peserta.

Kampanye total

Mengapa Piala Dunia yang diselenggarakan Federation International de Football Assocation (FIFA) untuk yang ke-19 kalinya ini sangat powerful dan luar biasa menyihir warga dunia? Hampir semua penggila bola dari seluruh dunia larut dalam ekstase yang gejalanya diembuskan dari Stadion FNB, Moses Mabidha, Green Point, Ellis Park, Loftus Versfeld, Nelson Mandela Bay,Free State,Peter Mokaba, Mbombela,Royal Bafokeng. Semula,banyak pihak yang menyangsikan kesiapan Afrika Selatan sebagai tuan rumah.

Terlebih, saat itu Afrika Selatan harus bersaing dengan Maroko dan Mesir. Inilah bagian dari strategi sihir kampanye FIFA agar perhelatan ini benar-benar dimiliki dan dirasakan warga dunia. Caranya, tentu saja melalui sistem rotasi penyelenggaraan turnamen Piala Dunia FIFA di antara konfederasi-konfederasi yang mengintegrasikan diri.

Tak dielakkan lagi, kunci sukses Piala Dunia adalah kampanye total yang didesain tak hanya di negara yang menjadi tuan rumah, melainkan juga di antero dunia. Dengan cara berantai dan sistematis, kampanye dilakukan dengan interkoneksitas media massa dan korporasi yang menjadi sponsor. Afrika Selatan tampak berupaya all out memoles citra negaranya untuk dianggap layak sebagai tuan rumah.

Sebagai contoh kecil,misalnya, perhelatan Piala Dunia menurut beberapa sumber menghabiskan dana 30 miliar rand atau sama dengan USD3,7 miliar yang setara dengan Rp35triliun. Dana tersebut terutama digunakan untuk mempercantik 10 stadion yang akan digunakan sebagai panggung pertunjukkan, bahkan bisa jadi jumlah tersebut lebih besar dari estimasi tadi.

Sementara strategi total media relations melalui publikasi, advertising, dan sejumlah strategi kampanye lainnya berupaya menggiring, mengintervensi hingga mampu menjebol benteng pertahanan dari kesadaran warga dunia untuk menjadi “teman setia” yang menguntungkan secara ekonomi dan potensial bagi sponsor serta penyelenggara.

Football effect yang senantiasa merasuki jiwa miliaran penonton di seluruh dunia sudah lama menjadi pendorong ampuh footballnomics atau gejala peningkatan pendapatan ekonomi yang disebabkan sihir “si kulit bundar”.World Cup menjadi arena pertarungan tak hanya bagi timtim sepak bola tangguh dari seluruh dunia, melainkan juga tempat bertempur produk para sponsor untuk memenangi pasar.

Para sponsor resmi seperti Budweiser, Mc- Donald’s, Castrol, Continental, perusahaan komunikasi seluler MTN, perusahaan jasa teknologi informasi asal India, Satyam dan perusahaan China pertama yang menjadi sponsor Piala Dunia Yingli Green Energy memiliki hak eksklusif penggunaan trade mark FIFA dalam promosi produk mereka di seluruh dunia.

Layaknya rumusan dalam dunia bisnis no free lunch, sejak mereka membayar mahal, sejak saat itulah mereka menjadi campaign apparatus yang secara sistemik melakukan kampanye total bagi Piala Dunia. Satu hal lagi yang patut dicatat dalam keberhasilan penyebaran virus World Cupadalah terpaan media (media exposure).

Ribuan wartawan, fotografer, kamerawan berlomba menyajikan laporan Piala Dunia yang paling cepat, paling baik, paling variatif untuk tampil mengesankan hingga di ruang keluarga. Ribuan stasiun televisi, radio, media cetak, dan media online membeli hak siar Piala Dunia.

Bahkan,di Piala Dunia 2010,makin menguat fenomena konvergensi teknologi seperti juga telah terjadi di Piala Dunia Jerman tahun 2006. Berbagai situs web memberi peluang mengunduh kliping-kliping video, termasuk semua gol yang tercetak. Di Indonesia sendiri, Electronic City yang selama ini dikenal sebagai penyedia barang-barang elektronik berhasil mendapatkan lisensi Piala Dunia 2010 melalui anak perusahaannya Electronic City Entertainment (ECE).

ECE melakukan integrated campaign untuk menyemarakkan Piala Dunia 2010. Untuk tayangan di televisi, ECE memilih RCTI dan Global TV sebagai media partner. Selain akan menayangkan 64 pertandingan live dan rerun, ada supporting program seperti tayangan Road To World Cup.

Tidak hanya strategi above the line, ECE juga menerapkan kampanye lewat program-program di lapangan, misalnya membuat gerai bernuansa World Cup di rombong, kios,dan mal-mal.Selain itu, mengadakan acara nonton bareng yang menargetkan 1.000 titik di kafe, mal, dan restoran.Wajar jika kemudian demam Piala Dunia hadir di mana-mana.Inilah bentuk dari sihir komunikasi berbentuk kampanye yang serentak, global, dan penetratif.

Bolaisme

Piala Dunia sejatinya tak lagi hanya perhelatan olahraga. Unsur dramatiknya inilah yang sering kali disentuh, bahkan pada tataran tertentu dieksploitasi, untuk membingkai kesadaran warga dunia dalam satu dimensi emosi, bahkan perlahan tapi pasti membentuk semacam “ideologi kulit bundar” atau bolaisme.

Ada tiga alasan yang menguatkan bahwa realitas Piala Dunia ini telah membentuk bolaisme yang dianut miliaran orang di hampir seluruh penjuru dunia. Pertama, permainan bola telah membentuk “kesadaran nilai” yang menggerakkan. Seperangkat moral-etik telah disepakati sebagai landasan berpikir, acuan bertindak, dan dipercaya sebagai nilai yang akan memberikan “jalan kebenaran”.

Bola tak lagi hanya sebagai wujud benda bulat yang diperebutkan 22 pemain dari kedua tim yang bertanding, melainkan sudah menjadi semacam pragmatic action dengan landasan kesadaran ideologis.Jika kita tanya mengapa orang Brasil,Argentina, atau Portugal bermain bola? Bukan semata karena alasan olahraga,melainkan karena bola telah menjadi spirit hidup yang menuntun mereka melakukan banyak hal.

Kedua, permainan bola sudah menjadi bahasa universal yang dapat diterima warga dunia tanpa batas-batas etnis,ras,agama,strata sosial atau kelompok politik tertentu. Semua orang Asia, Eropa, Amerika,Afrika ataupun Australia dapat berkumpul dalam satu perhelatan yang sama tanpa diskriminasi. Salah satu tradisi Piala Dunia misalnya, sebelum pertandingan dimulai,para pemain yang hendak bertanding membentangkan spanduk berbunyi: Says No to Racism.

Sebuah pesan dan semangat universal untuk membangun kebersamaan. Simpul yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut tak lain adalah bolaisme. Ketiga, permainan bola juga telah memiliki banyak tokoh yang perilaku dan pemikirannya banyak memengaruhi “jamaah”bola di seluruh dunia.Sebut saja namanama legendaris seperti Pele,Sang Kaisar Franz Beckenbauer,Diego Maradona,Marco van Basten,atau Juergen Klinsmann.

Dari generasi kekinian ada David Beckham, Zinedine Zidane, Miroslav Klose, Christiano Ronaldo,Wayne Rooney dll. Seperti halnya dengan ismeisme yang lain, permainan bola pun memiliki aliran yang berkembang. Ada penganut aliran permainan gerendel seperti Italia, aliran total footballyang dianut Belanda, aliran permainan bola indah ala Brasil dan lainnya.

Selama sebulan kita akan turut bangga menjadi bagian dari nasionalisme Argentina, Italia, Prancis, Portugal, Jerman dll.Meski demikian, di tengah gegap gempita pesta, seyogianya kita senantiasa sadar bahwa kita sejatinya adalah warga dari sebuah bangsa bernama Indonesia yang hingga kini masih dihinggapi sejuta persoalan yang patut kita waspadai.(*)

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/330329/

"KEMBALINYA POLITIK KARTEL"


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, Jum'at 21 Mei 2010)


Dinamisasi politik terus menimbulkan riakan-riakan opini publik.Berbagai kasus sambungmenyambung seolah menjadi penanda bahwa fase turbulensi belum usai.Polemik terakhir terkait dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi yang telah menahbiskan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua harian.

Ada tiga hal yang menyebabkan polemik itu mencuat.Pertama, momentum pembentukan Setgab yang persis dilakukan pasca pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan.Kedua, terkait dengan skeptisme publik atas posisi penyelesaian akhir kasus Century.Ketiga, bergulirnya kekhawatiran terhadap pembentukan Setgab yang sangat mungkin menguatkan kembali politik kartel di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam perspektif komunikasi politik, momentum adalah pesan politik itu sendiri.Saat elite memainkan the game of words dengan menyatakan seribu kata manis dan saling mengapresiasi lawan politiknya, substansi pertarungan sesungguhnya dapat kita temukan di momentum yang menjadi setting tindakan aktor.

Pengunduran diri Sri Mulyani yang penuh puja-puji mulai dari SBY hingga elite partai yang kerap berseberangan hanyalah realitas semu yang disebarkan melalui realitas simbolik media massa.Sejumlah permainan kata-kata tersebut, misalnya, menyebut Sri Mulyani Srikandi yang akan mengharumkan negeri , sesungguhnya apa realitas di balik itu?Berbagai indikasi kuat menunjukkan momentum pengunduran diri Sri Mulyani ini semacam altar pengorbanan.

Siapa yang paling diuntungkan? Golkar dan Ical.Sudah bukan rahasia lagi jika hubungan Sri Mulyai dan Ical kerap bermasalah, terutama saat Sri Mulyani mengutak-atik soal pajak bisnis Ical.Polemik yang mencuat di media massa itu cukup menjadi penunjuk ke mana langkah Ical dengan mesin Golkarnya akan mengarah.Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan banyak pihak mengenai motivasi utama Partai Golkar yang turut naik dalam perahu opsi C. Momentum Hak Angket Pansus Century benar-benar sukses menjadi momentum reality show kepiawaian Golkar bermain bola billiard.Hasilnya, Sri Mulyani pun harus rela mundur teratur dengan skenario jalan tengah yang seolah-olah terhormat untuk berkantor di Washington DC.

Drama belum berakhir, ibarat pepatah habis Sri Mulyani mengundurkan diri, terbitlah Setgab.Oleh karenanya, teramat sulit logika kita membantah, keterhubungan prosesi pengunduran diri Sri Mulyani dengan zona of possible agreement yang disepakati antara elite Golkar.Terlebih, Ical pun melenggang ke puncak hierarki Setgab bersama-sama SBY. Posisi sebagai Ketua Harian sangat strategis dalam mewarnai dan menentukan arah pemerintahan SBY ke depan.

Penyelesaian Century

Imbas dari bersepakatnya para elite, terutama yang tergabung dalam mitra koalisi, dalam zona of possible agreement melalui setgab ini bukan tanpa konsekuensi.Sulit ditepis bahwa salah satu variabel utama yang menjadi alat bargaining elite di balik kelahiran Setgab adalah prahara Century.

Tentu , SBY mengevaluasi satu masalah besar yang membuat tersendatnya laju perahu Kabinet Indonesia Bersatu II adalah ganjalan kasus Century.Peran antagonis oposisional yang ditiupkan oleh PDIP selaku partai di luar pemerintahan, dengan sigap disambut beberapa partai koalisi.Golkar dan PKS menjadi partai koalisi yang paling eksplosif menjadikan kasus Century sebagai tekanan. Hasilnya, opsi C pun diraih, dan bola panas lantas dilempar ke KPK.Liputan media massa yang masif, telah memberi pencitraan positif bahwa mereka yang berkoalisi pun atas nama kepentingan rakyat tetap dapat bersuara lantang.

Saat itu, para elite Golkar menyatakan koalisi tak menghalangi sikap kritis Partai Golkar jika ada penyelewengan yang merugikan rakyat.Tinggallah Partai Demokrat yang terpojok, seolah ragu meramu mitra koalisi yang mulai keropos. Lagi-lagi, Century menjadi alat ampuh untuk ditabuh. Bisingnya tabuhan pun menelan korban, Sri Mulyani mengundurkan diri. Seiring pengunduran diri Sri Mulyani, sikap Golkar pun mulai senyap dan kian menepi untuk tak lagi menabuh kasus Century di tengah gelanggang.

Kartelisasi Politik

Stabilitas politik bagimanapun memang dibutuhkan.Oleh karenanya , demi stabilitas inilah maka infrastruktur yang mapan menjadi sebuah keniscayaan.Jika kita runut, berbagai persoalan krusial bangsa ini mengemuka dan menjadi prahara karena ketidakjelasan pelembagaan politik. Misalnya ketidakjelasan sistem presidensial yang menjadi pilihan. SBY harus melakukan politik akomodasi terhadap berbagai kekuatan politik yang ada di sekitarnya. Pilihan koalisi besar pun pada akhirnya tidak efektif, misalnya saat kasus Century bergulir dan menjadi bola liar.

Kemasan argumentasi yang dikemukakan untuk menjawab skeptisme publik atas pembentukan Setgab juga merujuk pada alasan kebutuhan infrastruktur yang mapan.Tentu, argumentasi tersebut tampak relevan, karena kenyataannya memang pelembagaan koalisi dibutuhkan untuk menjamin sebuah pemerintahan yang stabil. Namun, benarkah momentum pembentukan setgab ini karena cita-cita mulia untuk stabilitas pemerintahan yang manfaatnya akan dirasakan bangsa Indonesia?

Lagi-lagi, konteks di balik pembentukan Setgab itulah yang tak cukup meyakinkan logika kita menerima motif para elite. Jika memang pelembagaan koalisi itu dibutuhkan untuk menopang pemerintahan, seyogianya SBY dan elite pemimpin partai mitra koalisi melakukan hal ini sejak awal pemerintahan bergulir.Tidak seperti sekarang, Setgab muncul justru di episode yang sudah berdarah-darah hasil pertarungan para elite untuk memuluskan urusan politik who gets what when and how? Risikonya, persoalan-persoalan nyata pelanggaran yang telah mulai terbuka seperti kasus Century dan kasus pajak akan diselsaikan secara adat.

Dengan demikian, pembentukan Setgab juga berpotensi menguatkan kembali politik kartel.Pelembagaan koalisi bukan merujuk pada manfaatnya untuk rakyat tapi guna meminimalisasi persaingan politik atau bahkan meniadakan kompetitor.Politik dikuasai oleh segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elite-elite yang berada di puncak hierarki koalisi itu. Menurut Dan Slater dalam tulisannya Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi kolusi demokrasi (collusive democracy).

Jika Setgab ini lebih memintangkan agenda pragmatis para elite, maka sudah barang tentu politik kartel yang menyebabkan kolusi demokrasi ini akan kembali menguat.Oleh karenanya, kritisisme layak kita alamatkan ke Setgab ini, agar rakyat selaku pemilik mandat tak selalu berada dalam kesadaran palsu.

tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=52744

Sabtu, 17 Juli 2010

"WAJAH GANDA UU KIP"


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 8 Mei 2010)


Di tengah pusaran berita berbagai persoalan hukum dan politik yang gegap gempita di negeri ini, muncul setitik harapan akan penyelenggaraan negara dan badan publik yang lebih baik. Harapan itu (yang bisa juga baru sekadar mimpi indah) muncul seiring dengan pemberlakuan secara resmi UU No14 Tahun 2008 pada Jumat,30 April 2010. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 64 ayat 1 Ketentuan Penutup UU ini, yang mengharuskan pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dua tahun sejak diundangkan.


Meski UU KIP ini semangatnya berwajah demokratis, hal itu masih tetap berpotensi menghadirkan wajah lama, yakni ketertutupan, terutama jika minim pengawalan dalam implementasinya.


Esensi Demokrasi


UU KIP ini secara substansial mengubah cara pandang “perlunya mengetahui” (a need to know) menjadi “hak mengetahui”(a right to know). Sejak lama para ilmuwan seperti Harold L Cross dan Kent Cooper dalam tulisannya The People’s Right to Know (1953) dan The Right to Know (1956) mengingatkan perlu adanya jaminan atas keterbukaan informasi seperti berkenaan dengan dokumen pemerintah sekaligus akses publik atas informasi tersebut.


Dengan demikian, UU KIP ini tentu saja menjadi satu di antara esensi demokrasi yang niscaya ada. Sekadar reviu sekilas, UU seperti ini telah dimiliki oleh banyak negara demokrasi dengan proses yang berbeda-beda. Pemerintah Amerika telah memiliki Freedom of Information Act yang disahkan pada tahun 1966. Pada November 2000 pemerintah Inggris mengundangkan Freedom of Information Act setelah perjalanan panjang sejak 1972.Sementara,di Jepang,sejak disuarakan sebagai kebutuhan esensial tahun 1970-an,baru tahun 1999 Jepang memiliki Law Concerning Acces to Information Held by Administrative Organs. Di negeri tetangga kita yang kini lagi bergolak, Thailand,tindakan melawan rezim penguasa dan kekuatan militer serta para pendukung doktrin kerahasiaan dilakukan oleh para aktivis. Baru pada tahun 1997 mereka mengundangkan Official Information Act.Tak hanya negara-negara tadi saja yang memiliki UU ini,banyak negara demokrasi lainnya yang menjadikan UU ini sebagai salah satu penanda nyata dari sistem demokrasi yang dianut.


Di Indonesia sendiri, perjalanan UU cukup panjang, sejak menjadi RUU usul inisiatif DPR pada 20 Maret 2002, baru pada 30 April 2008 disahkan sebagai UU dan diberlakukan mulai 30 April tahun ini. Semula bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang disokong oleh berbagai organisasi dan aktivis.Waktu itu, terdapat suatu Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang terdiri dari 38 organisasi masyarakat sipil plus tokoh sebagai bentuk keprihatinan atas penyelenggaraan negara yang tidak menerapkan prinsip-prinsip good governance, khususnya terkait dengan hak publik atas akses informasi. Semangat mendasar dari UU ini sesungguhnya adalah pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik,melalui hak publik atas informasi. Dalam Pasal 1 ayat 2 secara eksplisit dinyatakan yang dimaksud informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan pe-nyelenggara serta penyelenggaraan negara atau badan publik. Di ayat 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa badan publik dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Sebagian atau seluruh dana badan publik tersebut bersumber dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat atau luar negeri.


Pengawalan

Pascapemberlakuan secara resmi UU ini, diperlukan pengawalan tak hanya oleh negara melainkan oleh masyarakat. Sebuah UU justru lebih krusial dalam hal pengawalan saat implementasi dibanding saat proses penyusunan dan penetapannya. Jika tidak ada pengawalan yang memadai maka UU ini akan kembali menghadirkan wajah ganda.Wajah pertama, menunjukkan spirit demokratis tercermin dari substansi di atas kertas yang telah disepakati. Wajah lainnya, menunjukkan ketertutupan tercermin dari tak tersentuhnya tembok birokrasi karena lemahnya power saat UU ini diimplementasikan.


Kita bisa mengambil pelajaran misalnya dari UU Penyiaran No.32 tahun 2002.Secara substansial UU ini merupakan satu di antara UU berwajah demokratis.Namun apa daya,saat implementasinya UU ini “mandul” terutama saat berhadap- hadapan dengan dunia industri. Banyak sekali pelanggaran siaran yang muncul mulai dari kepemilikan media, jaringan, isi media dan lain-lain,tak tersentuh oleh KPI juga oleh sangsi hukum UU penyiaran ini. Belum lagi tarikmenarik kepentingan antara pemerintah dengan KPI terkait beberapa kewenangan mendasar. UU KIP juga akan memiliki sejumlah tantangan yang menghadang dan harus dilampaui untuk menghindari kesia-siaan.


Pertama, terkait dengan upaya-upaya mereduksi keterbukaan informasi melalui pemanfaatan atau penyalahgunaan isi Pasal 17 UU KIP tentang informasi yang diatur bisa dikecualikan untuk dibuka ke publik.Paling tidak ada 10 kategori informasi yang mendapat pengecualian itu.Yakni,informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum, dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Informasi publik yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional. Selain juga informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri,dapat mengungkap isi akta otentik yang bersifat pribadi, dapat mengungkap rahasia pribadi,memorandum atau surat-surat antarbadan publik yang dirahasiakan, dan informasi yang tak boleh diungkap berdasarkan undang-undang. Dari setiap kategori tersebut, tentu saja terdapat sejumlah bagian informasi yang masuk kategori pengecualian dari hak publik untuk mengaksesnya. Dalam implementasinya, jangan sampai informasi yang dikecualikan ini menjadi tameng bagi penyelenggara negara dan badan publik untuk berlindung. Harus ada pengkajian mendalam,pertimbangan sekaligus masukan dari ahli untuk menyatakan suatu informasi masuk ke dalam kategorikategori pengecualian. Tafsir yang serampangan dan regulasi yang lentur, tentu akan memberi kesempatan melakukan penyelewengan dengan pembenaran UU KIP itu sendiri.Dengan demikian harus ada pengawalan dalam memahami informasi yang dikecualikan tadi, agar tak menimbulkan perbedaan persepsi bahkan lebih jauh lagi supaya tak digunakan untuk menjerat serta membelenggu publik.


Kedua, jangan sampai UU KIP dihambat atau direduksi oleh kehadiran UU lain di kemudian hari yang paradoks dengan substansi UU ini. Misalnya di penghujung periode DPR 2004-2009,muncul pembahasan intensif mengenai RUU Rahasia Negara (RN), yang jelasjelas memiliki kandungan yang mengancam eksistensi UU KIP. Saat itu, resistensi publik sangat kuat sehingga sementara waktu RUU RN tersebut mengendap.Namun bukan mustahil, bahasan mengenai RUU RN ini akan kembali dihidupkan di periode DPR sekarang atau mendatang. Oleh karenanya harus ada pengawalan berbentuk sorotan dan kritisisme publik atas sejumlah RUU baru yang justru akan mengancam eksistensi UU KIP ini. Di Amerika sendiri setelah Freedom of Information Act disahkan, justru diperkuat dengan UU lain misalnya Paperwork Reduction Work Act yang mengharuskan instansi pemerintah tidak begitu saja memusnahkan dokumen, ada Sunshine Act, yang memperbolehkan akses publik ke rapat-rapat instansi federal. Dengan demikian jika pun akan ada UU lain yang muncul kemudian dan terkait dengan hak publik atas informasi bukan mereduksi UU KIP tapi justru harus menguatkannya. Ketiga, harus kuatnya Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU ini sebagaimana diamanatkan Pasal 23 UU KIP. Jangan sampai komisi ini tak memiliki wibawa sehingga keberadaannya siasia.(*)


Tulisan ini bisa diakses di web Seputar Indonesia: