Kamis, 29 Juli 2010

"KOMUNITARIANISME IBU KOTA"


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Pelita, 6/07/2010)

Jakarta sebagai ibu kota, layaknya sebuah latar drama kehidupan. Penggalan cerita kekerasan, keangkuhan,pertaruhan nasib dan mimpi semuanya dikonstruksi menjadi ranah pengalaman. Tak terasa, pada 22 Juni 2010 Jakarta berusia 483 tahun. Di hari jadinya inilah, penting menempatkan perbincangan Jakarta sebagai drama masyarakat metropolitan dalam suatu diskursus prinsip komunitarian.

Problem Sosial

Daya tarik Jakarta berkaitan dengan tingginya peredaran uang. Hampir dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta. Pada saat yang sama, kurang lebih 45 persen investasi dalam negri juga ditempatkan di Jabodetabek. Dengan demikian Jakarta antraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politik, ekonomi bahkan industri kebudayaan.

Terjadinya sentralisasi kapital ini, bukan tanpa masalah. Orang daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki nasib. Mereka tak bisa disalahkan, sebab mimpi perbaikan nasib itu kini menggantung di langit Jakarta. SDM berkualitas di daerah habis tersedot ke pusat, sehingga daerah pun tak dapat mengoptimalkan diri.

Jakarta kian banyak melibatkan aktor yang bermain. Meskipun kebutuhan dan kapasitas wilayah Jakarta untuk menjadi panggung kehidupan kian terbatas. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan penduduk Jakarta 9,6 Juta jiwa berdasarkan informasi sensus 2010. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang pindah ke Jakarta. Dapat kita bayangkan dampak pertumbuhan masyarakat seperti ini. Perlahan tapi pasti, "Imagined city" justru kian mengarah ke "self-destroying society" di masyarakat metropolitan."

Masalah yang harus diwaspadai di masyarakat metropolitan sekarang ini, adalah "socio-cultural animosity". Ini merupakan kebencian sosial dan budaya yang bersumber dari perbedaan nasib yang dikonstruksi oleh momentum. Hal ini bisa menjadi rahim keinginan balas dendam yang sangat mungkin memunculkan konflik sosial baik aktual maupun yang sifatnya laten.

Munculnya konflik itu bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, pada masyarakat Jakarta yang heterogen terlanjur berkembang simbol-simbol khusus yang membentuk streotype kelompok tertentu. Contoh paling kolosal, konflik seperti ini aktual pada 13-15 Mei 1998.

Kebencian yang tersembunyi pada kelompok tertentu, tersalurkan lewat penyerangan, penjarahan dan pembunuhan, misalnya terhadap etnis keturunan. Selain kerugian materi, konflik seperti ini tentu saja menciderai nilai-nilai ideal kemanusiaan. Bisa jadi, ini hanya merupakan salah satu contoh kasus dari ledakan-ledakan besar yang sudah dan akan terjadi di kemudian hari jika tak diantisipasi.

Faktor lain yang memunculkan "animocity", bisa juga dipengaruhi proses integrasi yang belum tuntas. Proses integrasi menurut Amitai Etziani dalam The Spirit of Community The Reinvention of American Society" (1993) memiliki beberapa model. Model integrasi normatif, yaitu integrasi yang berakar pada kesepakatan dan kepatuhan yang membudaya terhadap nilai-nilai dan norma tertentu. Integrasi ini mempunyai hubungan timbal balik dengan adanya rasa senasib, cita-cita bersama dan ikatan solidaritas. Integrasi model ini, sekarang sudah mulai hilang di masyarakat ibu kota.

Secara sosiologis, seseorang akan patuh pada nilai-nilai dan norma yang ada bila ia memiliki rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut serta kontrol yang terjadi dalam diri setiap orang. Kenyataanya di ibu kota seperti Jakarta, sikap ultra individualisme yang berkembang telah terinstitusionalisasikan sehingga ikatan solidaritas menjadi sangat lemah.

Model integrasi lainnya, adalah integrasi fungsional yang bersandar pada rasa saling membutuhkan dan ketergantungan fungsional antar kelompok. Banyak kasus yang mengakibatkan integrasi model ini terganggu, misalnya saja kasus bisnis yang berjalan tidak sehat.

Banyak perusahaan di Jakarta yang lahir dan tumbuh sarat dengan KKN, sehingga "corporate culture" yang dibangun tidak menciptakan hubungan fungsional yang utuh. Banyak terjadi kesenjangan yang secara psikologis menyuburkan nilai ke-aku-an.

Integrasi yang dominan dalam kondisi seperti Ini, justru integrasi koersif yakni integrasi yang belandaskan pada kekuatan memaksa dari suatu kelompok dominan terhadap lainnya. Misalnya saja, dapat kita amati saat kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis pribumi Ibu kota yang kerap memaksakan kehendak mereka.

Prinsip Komunitarian

Untuk membangun good seciety di Jakarta perlu kiranya kita mengukuhkan kembali prinsip komunitarianisme. Prinsip ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.

Nilai penting dari prinsip ini, masyarakat metropolitan perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Kekitaan yang tidak menindas keakuan serta memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsipnya antara lain anti puritanisme serta merancang dengan hati-hati kewenangan serta kekuasaan pemerintah.

Dalam prinsip komunitarian, institusi pendidikan dapat menjadi agen pendidikan moral tanpa terjebak pada proses indoktrinasi. Warga memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain. Perjuangan kepentingan pribadi dalam prinsip ini, harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas.

Oleh karenanya, kerakusan individu tanpa batas harus diganti dengan kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang diakui serta dikonsensuskan oleh masyarakat. Pembangunan oleh pemerintah harus mengacu pada konsep "people centre development and reinventing government". Konsep ini, menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memberi daya dan memberi kemudahan dengan cara memberikan informasi kepada komunitas dan mengikutsertakan mereka menjadi partisipan yang proaktif.

Pemda DKI sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun) dan menengah (10 tahun), tinggal kesadaran para penyelenggaranya untuk lebih memanusiawikan prosesnya. Penyakit sosial berupa "anomie" (normlessness) atau kekaburan antara apa yang benar dan salah, yang meluas di kalangan masyarakat bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tak diskriminatif.

Menuju masyarakat komunitarian pada masyarakat metropolitan bukan lagi suatu keinginan yang idealis tetapi kebutuhan yang realistis bahkan strategis.

Tulisan ini bisa juga diakses di:
http://bataviase.co.id/node/284752

Tidak ada komentar: