Kamis, 25 Juni 2009

"MANUSIA SETENGAH DEWA"


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Senin 22 Juni 2009)


“Turunkan harga secepatnya. Tegakkan hukum setegak-tegaknya. Adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa. Wahai presiden kami yang baru. Kamu harus dengar suara ini.” Itulah sepenggal lagu kritik sosial dari Iwan Fals yang masih kontekstual dengan musim Pilpres sekarang ini. Siapapun presiden yang nantinya akan terpilih, harus memiliki platform yang jelas dalam membawa Indonesia ke arah yang labih baik di masa depan. Iwan Fals bukanlah capres, wajar jika untaian kalimat kritisnya itu, dibingkai dalam bahasa indah, makro dan tak perlu dibebani indikator-indiktor kongkret berbasis data. Lain halnya dengan para capres yang kini sedang membangun politik citra. Megawati, SBY dan JK harus mau dan mampu menjelaskan formula kepemimpinan mereka untuk lima tahun ke depan. Mengedepankan gagasan dan desain kebijakan yang benar-benar berbasis penyelsaian masalah (problem solving) bagi bangsa ini. Jika ucapan mereka hanya berkisar dalam tataran makro, normatif, dan berbumbu yang indah-indah saja, lantas untuk apa para capres itu dicalonkan menjadi “manusia setengah dewa”?


Politik Harmoni

Meski capres di Pemilu 2009 itu ada tiga, namun yang nampak pada Debat Capres pertama Kamis 18 Juni kemarin, justru hanya satu yakni keseragaman. Benar-benar mengesankan dramaturgi di panggung depan (front stage) “tiga untuk satu atau satu untuk semua”, sebuah penerjemahan dari tradisi politik harmoni yang seolah telah melembaga dalam mental siapapun pemimpin nasional kita yang telah, sedang atau pun yang akan berkuasa. Debat tidak dimaknai dalam konteks komunikasi transaksional yang seharusnya membuka diri untuk mengkritik dan dikiritik, setuju dan tidak setuju, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika. Melainkan, dibangun di atas fondasi komunikasi interaksional yang lebih mempertahankan kualitas proses daripada kualitas hasil. Sebuah politik keselarasan yang kerap mereduksi nalar dan orientasi pilihan warga masyarakat. Hanya ada dua kata yang bisa menggambarkan forum debat capres putaran pertama, yakni datar dan membosankan. Anggapan datar merujuk pada situasi forum yang tak menunjukkan kelasnya para “bintang”. Tidak ada gagasan menonjol dan transformasional tercetus di forum itu. Sementara anggapan bahwa debat capres pertama membosankan, karena hampir seluruh capres berada dalam kuadran pemikiran yang senada. Sehingga acara debat tersebut tak akan tercatat dalam sejarah Pemilu negeri ini, sebagai forum yang melahirkan ide, cara pandang dan prilaku politik yang menggerakkan minat politik warga. Dari fenomena tersebut, yang mengkhawatirkan sesungguhnya adalah mental dan pemikiran dari tradisi yang sama. Sehingga, siapa pun presidennya, tetap akan melanggengkan tradisi kekuasaan yang sudah ada dan biasa berjalan apa adanya. Salah satu dasar sikap skeptis ini, tentu saja adalah forum debat capres pertama, yang tak menghadirkan penanda atau indikator-indikator yang menunjukkan keberbedaan antara satu kandidat dengan yang lainnya. Ketiga capres itu nyaris seragam dan saling setuju, terlebih pada saat mereka dimintai komentar tentang isu-isu krusial seperti penyelsaian lumpur Lapindo, soal kasus HAM, UU Peradilan Tipikor, perlindungan TKI dan lain-lain. Kita bisa menengok betapa debat antara Obama dan McCain menjadi menarik sekaligus inspiratif, karena mereka berani terus terang bahwa mereka berdua berbeda. McCain setuju melanjutkan operasi militer di Irak misalnya, sementara Obama sebaliknya akan mengurangi secara bertahap pasukan AS di sana. Obama menjanjikan menggunakan pendekatan dialog dengan Iran, sementara McCain tidak sama sekali. Begitu pun di topik-topik krusial lain, antaralain pemotongan pajak, kebijakan penanganan krisis ekonomi, pengelolaan kesehatan dan lain-lain. Rakyatlah yang menilai program mana yang lebih bagus. Kita bisa menilai bahwa program seorang kandidat itu lebih bagus dari yang lain, tatkala memang ada pemilahan yang jelas. Politik harmoni bukanlah solusi yang tepat saat khalayak memiliki hak untuk tahu apa yang membedakan kandidat satu dengan lainnya.


Negosiasi Kehormatan

Bisa jadi para kandidat tidak mau “bertarung” konsep dan gagasan secara oposisional itu karena dua alasan. Pertama, karena memang kuatnya budaya high context culture dalam tradisi politik para elit. High context culture merupakan kebalikan low context culture. Stella Ting Toomey (1985) mengidentifikasi diantara ciri menonjol dari high context culture adalah gaya komunikasi yang lebih mengutamakan hati daripada otak. Menggunakan gaya komunikasi tak langsung dalam menyelsaikan konflik. Biasanya juga mengutamakan faktor-faktor relasi antarmanusia dan emosi budaya melalui pendekatan human relations. Sebaliknya low context culture itu berorientasi hasil, cenderung melakukan negosiasi yang bersifat linear dan logis. Jika kita perhatikan nampak kerikuhan para elit kita untuk melakukan oposisi biner dalam konsep mereka. Tradisi budaya high context culture ini tidak selalu relevan dengan kebutuhan demokrasi. Contohnya saat rakyat membutuhkan kejelasan program melalui mekanisme debat, maka budaya konteks tinggi ini dapat menghambat atau mereduksi proses dan juga hasil. Kedua, debat menjadi monoton dan seragam bisa juga disebabkan karena negosiasi kehormatan (face negotiation) yang berlebihan. Masing-masing pihak menahan diri untuk menjaga citra, karena mereka yakin itulah mekanisme pertahanan diri yang efektif. Citra akan terjaga jika tidak mengkritik atau dikritik pihak lain, meski secara substansi bahkan prinsipil mereka sangat berbeda. Ini semua tentu saja harus dihindari dalam kesempatan debat capres tanggal 25 Juni dan 2 Juli. “Manusia Setengah Dewa” yang diharapkan Iwan Fals dalam liriknya adalah pemimpin yang mampu mengurai benang kusut permasalahan negeri ini melalui kinerja yang kongkrit, jelas, terukur dan terencana. ***


Tulisan ini bisa diakses di Web Pikiran Rakyat:


Sabtu, 20 Juni 2009

MEMENANGKAN DEBAT CAPRES


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, Kamis 18 Juni 2009)


Tiga calon presiden (capres) di Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 siap diuji gagasan serta pemikirannya dalam debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU akan menyelenggarakan debat capres pada 18 Juni, 25 Juni, dan 2 Juli, sedangkan cawapres dilaksanakan pada 23 dan 30 Juni. Debat merupakan momentum persuasi dari para capres untuk meyakinkan bahwa mereka layak menjadi pemenang. Debat akan berpengaruh pada politik pencitraan para capres. Ekspresi komunikasi dan wawasan para capres akan dilihat dan didengar oleh khalayak sehingga sangat mungkin untuk menaikkan atau menurunkan tingkat elektabilitas capres. Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan publik adalah retorika para capres. Retorika sebagai seni berbicara akan memberi kesan kemampuan kandidat dalam menangani persoalan substantif yang mereka janjikan.Para kandidat memiliki empat pilihan tipologi retorika saat berdebat. Pertama, tipe impromptu yang mengungkapkan gagasan secara spontan, fleksibel, dan berorientasi pada orisinalitas forum. Tipe ini kekurangannya pada susunan kalimat dan logika berpikir yang kurang sistematis. Kedua, tipe manuskrip atau paparan yang berorientasi pada naskah yang telah dipersiapkan. Jika ini dilakukan capres dalam debat, sangat pasti dia akan menjemukan. Ketiga, tipe memoriter, yakni capres memilih untuk berdebat dengan mengandalkan pada hapalan-hapalan, bukan pada penguasaan yang mendalam. Hal ini tentu akan mencelakakan kandidat, terlebih jika apa yang dihapalkan lupa atau tidak memahami konteks dari persoalan yang sesungguhnya. Keempat, tipe ekstemporer, yakni capres telah mempersiapkan outline dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Dengan outline itulah capres mengelaborasi berbagai dinamisasi diskusi sehingga mampu meyakinkan pihak lain bahwa dirinya mampu menjelaskan. Dari keempat tipologi itu, tentu akan terlihat capres mana yang mampu menguasai forum sehingga bisa menjadi salah satu indikator yang dapat terbaca.


Basis Rasionalitas

Indikator kedua yang dapat dinilai oleh khalayak tentu saja adalah rasionalitas. Dalam konteks ini, diperlukan skema berpikir yang logis, proporsional, analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah ketimbang sekadar berorientasi citra. Hal pertama yang harus dibangun adalah meyakinkan publik mengenai basis orientasi rasionalitas dari para capres dalam berpolitik. Merujuk pada tradisi neo-Weberian, rasionalitas terbagi ke dalam rasionalitas substantif dan rasionalitas instrumental. Rasionalitas substantif menghayati keterlibatan politik sebagai bagian pelaksanaan prinsip, keyakinan, atau idealisme tertentu. Berpolitik menjadi bagian integral identitas luhur dirinya yang tak bisa begitu saja dikorbankan menjadi sekadar instrumen reproduksi. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi berwujud sebagai cara (means) sekaligus tujuan (ends).Di lain pihak, terdapat rasionalitas instrumental yang memahami aktivitas berpolitik lebih sebagai pragmatisme memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Karena itu, bangunan rasionalitas ini lebih mendasarkan diri pada kalkulasi, taktik, strategi, kontrol, dan dominasi untuk menghasilkan keefektifan serta efisiensi. Prioritasnya hasil yang paling maksimal, yakni kemenangan kontestasi, meski harus mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan menjatuhkan pihak lain.Kedua rasionalitas tersebut tidaklah dikotomis (dualisme), melainkan berada dalam suatu kontinum. Masing-masing ada secara bersama, namun kadar pengaruhnya berbeda-beda, bergantung pada pilihan para capres yang bertarung. Tentu saja, dalam debat tersebut, para capres harus mampu menunjukkan kepada khalayak bahwa kadar rasionalitas substantifnya lebih tinggi dibanding rasionalitas instrumental yang ada pada dia. Potensi emansipatoris dari rasionalitas itu, oleh Jurgen Habermas, disebut sebagai rasionalitas komunikatif. Dalam debat, seluruh jargon besar sloganistik yang elitis seperti selama ini banyak dikemukakan mereka sudah harus beralih pada indikator-indikator nyata. Debat mampu menghadirkan apa dan bagaimana program masing-masing capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan.


”Rhetorically Sensitive”

Indikator ketiga yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan para capres yang akan berdebat adalah sensitivitas retoris. Sebagai konsekuensi dari terlibatnya capres dalam perdebatan, harus ada kesiapan mental untuk dikritik oleh capres lain. Oleh karena itu, sangat tidak pada tempatnya jika para capres didominasi sifat agresi yang berlebihan.Dominic Ifanta, dalam bukunya Argumentativness and Verbal Agressivness (1996), mengemukakan ada dua sifat agresi yang seyogianya dikendalikan. Terlebih dalam suatu perdebatan di muka umum yang ditayangkan oleh media massa. Kedua sifat itu ialah kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak pihak lain untuk berdebat mengenai topik-topik yang kontroversial. Sementara keagresifan verbal adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar. Hanya saja, agresi verbal ini biasanya juga menyertakan taktik penghinaan, kata-kata ancaman, dan ledekan emosional yang dapat menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, menyakiti perasaan, dan reaksi negatif lainnya. Debat mengenai isu-isu kontroversial tentu tak akan terhindarkan dari perdebatan. Hanya saja, jangan sampai capres terjabak pada agresi verbal yang menyudutkan pihak lain melalui ancaman, ledekan emosional, lebih-lebih mempermalukan capres lain. Perilaku seperti itu justru akan menjadi efek bumerang berkurangnya simpati khalayak.Dalam debat, para capres harus mengesankan diri sebagai tipe komunikator yang memiliki sensitivitas retoris. Menurut Darnell dan Wayne Brockriede yang merujuk pada pendapat Roderick P Hart (1972), ada tiga tipe umum komunikator. Pertama, tipe noble selves. Tipe yang mengagungkan ideal personal tanpa kemampuan beradaptasi. Menggap dirinya superior, sehingga sulit menerima kritik. Kedua, tipe rhetorically reflector, yakni innividu-individu yang membentuk dirinya pada keinginan orang lain tanpa keberatan-keberatan personal. Inilah tipe capres yang mudah ditumpangi pihak-pihak lain. Sementara tipe rhetorically sensitive merupakan tipe yang mau mendengar dan menerima masukan. Berupaya mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional, sehingga mampu menciptakan kesepahaman.

Jumat, 12 Juni 2009

KAMPANYE TRANSFORMASIONAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Surabayapost, Kamis 4 Juni 2009)



Musim kampanye Pilpres telah tiba. Berbagai alat peraga yang menampilkan dukungan kepada tiga pasangan capres dan cawapres kembali akan meriahkan berbagai area publik kita. Keadaaan ini akan berlangsung selama 32 hari dari 2 Juni hingga 4 Juli mandatang. Gegap gempita rapat umum selama 24 hari juga mau tidak mau akan menyemarakan pesta demokrasi ini. Selain rapat umum, kampanye juga mengatur debat capres sebanyak tiga kali yakni pada 18 Juni, 25 Juni dan 2 Juli. Sementara debat antar cawapres dirancang pada 23 Juni dan 30 Juni. Setiap pasangan capres-cawapres berkesempatan delapan kali rapat umum di setiap provinsi sesuai waktu yang telah ditetapkan.


Komunikasi Persuasif


Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik. Sebagai upaya memersuasi pemilih (voter), agar pada saat pencontrengan pasangan kandidat yang berkampanye mendapatkan dukungan dari banyak kalangan. Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja adalah persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan oleh para kandidat mulai dari iklan di berbagai media massa hingga loby dan negosiasi. Jika kita identifikasi paling tidak ada 4 saluran yang biasanya digunakan sebagai saluran kampanye. Pertama saluran face-to-face informal. Saluran ini menggunakan pendekatan intimacy dimana proses kampanye biasanya banyak menggunakan konteks komunikasi interpersonal. Dengan demikian mekanisme persuasi langsung, loby dan negosiasi biasanya menjadi strategi dominan dalam saluran ini.
Kedua, saluran struktur sosial tradisional. Saluran ini biasanya dengan menggunakan status sosial figur yang ada di masyarakat. Misalnya senioritas dalam hirarki organisasi, ketokohan, figur dalam basis tradisional, politik patron-client. Ini merupakan pendekatan yang mangsuamsikan two step flow communication, dimana kandidat berkampanye mempengaruhi tokoh yang sacara status sosial memiliki pengaruh di masyarakat dengan harapan tokoh tersebut kemudian menjadi significant others atau elit opinion yang dapat memperteguh pemilih untuk mencontreng kandidat yang bersangkutan. Dalam konteks itulah mengapa para kandidat ramai-ramai sowan ke para kiyai pesantren, para habib majlis ta’lim, para tetua adat atau ketua-ketua komunitas etnis. Ini
Ketiga, saluran input. Ini merupakan saluran yang memanfaatkan berbagai pihak yang biasanya memberikan masukan (input) politik. Dalam konteks ini misalnya melalui penguasaan atau hubungan baik dengan interest group seperti organisasi NU dan Muhammadiyah, dengan pressure group seperti kalangan LSM yang mau mendukung. Begitu pun dengan kalangan cerdik-cendikia di kampus yang dapat mendongkrak popularitas para kandidat. Akhir-akhir ini, realitas politik kita misalnya diramaikan oleh peringatan harla, muktamar, atau deklarasi berbagai ormas. Sepertihalnya kemarin terlihat di peringatan Milad PMII di Jakarta yang dihadiri SBY, atau acaranya Al-Wasliyah yang dihadiri Yusuf Kalla. Acara-acar itu, tak sekedar seremonial melainkan sudah berbentuk artikulasi politik untuk mendukung capres dan cawapres tertentu.
Keempat adalah saluran media massa. Ini merupakan saluran yang memiliki peran signifikan. Media dengan segenap variannya dapat membentuk opini publik yang positif atau sebaliknya menjatuhkan citra yang telah dibangun dengan susah payah. Oleh karenanya media relation menjadi satu diantara pendekatan modern dalam kampanye kontemporer. Media tak hanya instrumen ampuh yang berperan dalam pembentukan opini publik, tetapi juga saluran yang tepat untuk publisitas. Dalam literatur komunikasi, publisitas dimaknai sebagai how to make a popularity.

Model Ostergaard


Kampanye yang baik tentu saja adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Kampanye jika mau sukses maka harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan hanya berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanyelah momentum yang tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan di masyarakat.
Kedua, adalah pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, lagi-lagi riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknis pelaksanaaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolalaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan mempengaruhi aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat untuk terjadinya perubahan perilaku. Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika yang sloganistik. Pemilih tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan ”lebih cepat lebih baik dengan hati nurani rakyat” atau ”politik santun dan bermartabat!” atau ”membangun ekonomi kerakyatan” dll. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Sehingga berbagai rincian program itu dapat menarik dunia luar dan menjadi bagian utuh dari kesadaran khalayak atau apa yang Walter Lipman tulis sebagai the world outside and pictures in our head.
Ketiga, adalah tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini evaluasi diarahkan pada keefektifan kampanye dalam menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap pra kampanye. Kampanye dengan demikian bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik. Melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih.


Berbasis Komunitas


Kampanye transformasional bisa mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi penanganan masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.
Biasanya, sebuah kampanye menjadi transformasional selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas, misalnya dilakukan oleh tim sukses pasangan capres dan cawapres mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama, pendekatan community relation yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka. Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena. Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya melalui pendidikan politik atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Kampanye dengan pendekatan komunitas ini seyogianya dilakukan oleh para kandidat capres dan cawapres, sehingga prosesi kampanye dapat mewujud dalam bentuk yang lebih transformasional.


Bisa Diakses di: