Sabtu, 29 Maret 2008

PILKADA MEDIA DAN CITRA POLITIK

Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Selasa 6 Juli 2005)

Demam Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi yang menyelenggarakan perhelatan demokrasi di tingkatan lokal ini. Pertarungan membangun citra kian hingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Di era industri komunikasi yang ditandai dengan maju pesatnya industri media massa, hampir mustahil seorang politisi yang hendak berlaga, menafikan hubungan baik dengan media. Semakin dia mampu menguasai dan memiliki akses atas media, maka akan semakin kuat daya tarik dia dalam mempersuasi khalayak.

Media Relations
Era dukun dan paranormal sepertinya sudah lewat. Kini para calon kepala daerah cenderung lebih rasional. Mereka banyak memanfaatkan pendekatan mass marketing of politic. Menampilkan citra baik, melalui berbagai teknik persuasi politik, antaralain melalui iklan politik, retorika politik dan propaganda. Selain juga memperkuat analisis jaringan komunikasi, pemetaan kantong-kantong pemilih, segmentasi kampanye, serta prediksi suara dan popularitas. Wajar jika untuk memperkuat semua ini, banyak para calon kepala daerah yang menyewa konsultan politik untuk mengemas diri si calon dan tim suksesnya sebelum berlaga di waktu kampanye dan pemilihan.
Satu fenomena yang menarik dari perhelatan Pilkada yang saat ini berlangsung di berbagai daerah di tanah air, adalah peranan penting yang dimainkan media massa lokal maupun nasional. Persuasi yang kuat membutuhkan pemilihan media yang tepat, sepertinya rumusan seperti itulah yang kini banyak dipraktikkan para calon kepala daerah. Hal ini sangat wajar, terlebih jika kita menyadari makna penting persuasi itu sendiri. Menurut Erwin P Bettinghaus (1973), persuasi merupakan usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Tentunya gradasi intensitas komunikasinya tak hanya meyampaikan fakta sesperti halnya di level pemberitahuan dan penjelasan, melainkan juga memperkuat unsur bujukan.
Fenomena pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. Bahkan, bisa kita katakan kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden secara langsung tahun lalu, merupakan keberhasilan publisitas melalui media. Bangsa Indonesia seolah terbius dengan sosok SBY yang berhasil dikonstruksi secara apik melalui tampilan media. Tentunya, kesuksesan inilah yang mengilhami para kontestan di daerah untuk juga memanfaatkan media. Wajar jika perhelatan Pilkada pun memberi rezeki nomplok bagi para pengelola media. Tim sukses ramai memasang iklan besar-besaran dengan kontrak tayang relatif intensif. Tak ketinggalan, banyak media yang secara sengaja menjual sebagian besar kolom, rubrik ataupun program kepada para calon. Artinya, Pilkada turut menjadi momentum akumulasi keuntungan bagi media.
Koran, majalah, tabloid, radio dan TV terutama di wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada, habis-habisan menjadi “ranah pertarungan” berbagai kekuatan ekonomi dan politik. Tak jarang, di beberapa daerah muncul kecenderungan media massa lokal yang sebelum Pilkada menampilkan diri sebagai media independen, tapi saat Pilkada berlangsung menjadi sangat bias, memihak dan tak mengindahkan etika jurnalistik.

Kekuatan Media
Media di manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita” (Tuchman, 1980). Wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa munguasai media maka akan menguasai dunia”. Dalam konteks Pilkada tentu saja, siapa yang mengusai opini publik melalui media massa maka biasanya berpotensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang.
Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content), dikategorikan sebagai simbolic reality.
Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu (subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat .

Social Surveillance
Mengingat pentingnya Pilkada dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi keuntungan dari perhelatan kolosal Pilkada ini. Meski pun tak bisa melepaskan diri dari anasir kelompok kepentingan yang bertarung di Pilkada, media seyogyanya tetap mengedepankan pertanggung jawaban sosial. Artinya media dalam arti pers tak hanya melakukan kerja komodifikasi. Komodifikasi dalam pandangan ekonomi-politik Vincent Mosco (1996) mengacu pada proses mentransformasikan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) atau nilai yang didasarkan pasar.
Dalam perannya sebagai “mata” dan “telinga”, pers seyogyanya terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D. Laswell adalah sebagai Pengawas sosial (social surveillance). Hal ini merujuk pada upaya penyebaran informasi dan iterpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan (dalam Bryson,L.).
Satu di antara pemain kunci yang sesungguhnya dapat mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi alat kontrol yang cukup efektif.
Minimal ada tiga potensi yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. Pertama, pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi wilayah liputannya. Para jurnalis lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka ulas secara lebih detil. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih besar. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal menjadi sangat terbatas. Kalau pun ada, hanya sebatas isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
Kedua, akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama. Ketiga, seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan sistem manajemen modern. Terlebih dengan terkoneksinya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar.
Tentunya, media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi, distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial dan demokratisasi di Indonesia.


Daftar Rujukan
Berger, Peter L, and Thomas Luckman (1967), The Social Construction of Reality, New York : Anchors Book

Tuchman, Gaye, (1991), Qualitative Methods in the Study of News, in Jensen, K.B., and Jankowski, N.W. (ed.), A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research, London and New York : Routledge

Laswel, Harold D., dari Bryson, L. (1964), The Communication of Ideas, Cooper Square Publisher : New York

Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London, New Delhi: SAGE Publication, 1996

Kamis, 27 Maret 2008

MEMBACA GAYA KOMUNIKASI POLITIK GUS DUR

Oleh : Gun Gun Heryant0

Mengamati sosok Gus Dur, membuka peluang bagi munculnya multi tafsir atas berbagai gaya yang ditampilkannya. Misalnya saja, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidak cocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Perbedaan dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku.
Sikap politik Gus Dur yang lentur, menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat membaca skenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga. Pada saat dirinya tidak lolos menjadi calon Presiden pada pemilihan Presiden secara langsung akibat persyaratan yang dibuat KPU, Gus Dur memilih untuk Golput. Secara bersamaan dia juga merestui pasangan Wiranto-Solahuddin untuk didukung kaum Nahdliyin. Dengan tegas, dia menyatakan tidak akan bekerjasama dengan Megawati karena dianggap telah melakukan kesalahan konstitusional.
Namun, lagi-lagi Gus Dur melakukan hal yang tak terduga, setelah Pemilihan Umum presiden putaran pertama yang berlangsung 5 Juli lalu menempatkan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Megawati sebagai kandidat yang akan maju ke putaran ke dua, seolah tanpa beban Gus Dur kembali bertemu dan berdialog dengan Megawati. Begitu juga sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain, semacam Amien Rais. Meskipun sering bersebrangan, Gus Dur secara pribadi tetap bisa berhubungan baik. Misalnya, terlihat saat Amien Rais bersama-sama dengan Gus Dur menonton pagelaran wayang dengan dalang Ki Kenthus di rumah Gus Dur di wilayah Ciganjur.
Gaya komunikasi politik Gus Dur, memang unik dan cukup berbeda dengan kebanyakan tokoh politik lain di Indonesia. Dia seringkali membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk yang bagi sebagian orang dianggap sebagai isu sensistif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark diri Gus Dur. Misalnya saja, secara terbuka Gus Dur sangat agresif meminta agar KPU dibubarkan. Dia mengkritik bahwa KPU di bawah Nazaruddin Syamsudin banyak melakukan tindak penyelewengan terhadap rambu undang-undang yang disepakati. Di berbagai forum dialog, Gus Dur secara lugas seringkali berkomunikasi secara terbuka. Termasuk misalnya, saat dia mengkritik Sultan Hamengku Buwono X, sosok simbol tatakrama jawa yang jarang tersentuh kritik.
Dari berbagai fenomena yang menyatu dengan diri dan kpribadian Gus Dur tersebut, menarik jika kita mencoba untuk masuk menelaah lebih jauh gaya komunikasi politik Gus Dur. Tentu saja, yang tahu persis akan hal ini adalah diri Gus Dur sendiri, akan tetapi kita mencoba untuk mendeskripsikannya dari perspektif kajian komunikasi politik.


Komunikasi Politik

Komunikasi politik merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju (1997), apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding). Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.
Gabriel Almond berpendapat, bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kalimat Almond (1960) sendiri :

All of the functions performed in the political system-political sosialization and recrutment, interest articulations, interest aggregations, rule making, rule applications, and rule adjudication- are performed by means of communications.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
Secara harpiah, komunikasi (communication) berasal dari kata latin communis yang berarti “sama” (William Gordon, 1978) atau communicare yang berarti membuat sama atau to make common (Judy Person, 1979). Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan atau saling berbagi informasi, gagasan dan sikap (Wilbur Schramm,1974) . Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar Noer, sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.
Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik kiranya mengkaji komunikasi politik dari Maswadi Ra’uf. Menurutnya, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Telaah atas substansi komunikasi politik, selalu menempatkan rumusan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, baik dilevel orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan mempertahankan kekuasaan (Maswadi Ra'up, 1993).
Gus Dur sebagai tokoh nasional merupakan representasi satu kekuatan nyata dalam peta politik nasional. Tidak hanya karena Gus Dur menjadi motor penggerak mesin politik PKB, akan tetapi lebih dari itu, sosok Gus Dur merupakan sosok penuh kharisma di kalangan kaum Naddliyin. Sumberdaya politik Gus Dur (political resource) sangat tinggi, sehingga dia sanggup menjadi katalisator berbagai pilihan politik NU. Dalam konteks itulah Gus Dur faham betul, pemanfaatan komunikasi politik dengan berbagai kekuatan yang ada.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Sehingga, kalau kita perhatikan betul, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai dikursus di publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi publik untuk mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang demokratis pula. Bertemunya Gus Dur dengan beragam orang dan kekuatan politik, bisa mengundang tafsir bahwa gaya politik Gus Dur adalah politik akomodasi.
Padahal, sesungguhnya komunikasi politik Gus Dur menekankan pada pengkoordinasian tata nilai politik yang diinginkan. sehingga mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa. Memang tidak bisa dinafikan bahwa Gus Dur juga seringkali melakukan mobilisasi sosial guna memperoleh dukungan, kepatuhan dan integrasi politik. Suatu hal yang lumrah, karena dalam konstelasi nasional Gus Dur tidak lagi menjadikan wilayah kultural sebagai basis perjuangannya. Gus Dur kini lebih banyak berada di ranah politik praktis, sehingga sudah semestinya Gus Dur melakukan sosialisasi sikap dan pilihan politiknya, melakukan rekrutmen politik, merumuskan kepentingan, mengagregasi kepentingan seoptimal mungkin melalui sayap politiknya (PKB) dan mempengaruhi pembuatan serta penerapan aturan yang nantinya akan dipakai oleh masyarakat.

Perlu diberi catatan, pengharapan politik rakyat pasca Pemilu 2004 ini adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar bagi siapapun pemimpin Indonesia. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Ada tiga jenis kecenderungan yang menunjukan arah perbuatan seseorang yakni kepercayaan, nilai dan pengharapan (Dan Nimmo, 1995). Dengan demikian jika bangsa Indonesia memiliki pengharapan akan perubahan, maka perubahan tersebut harus dikonsolidasikan dengan baik. Maka wajarlah jika Gus Dur bertemu banyak tokoh yang berpotensi ikut megadakan perubahan, dia juga mengkritik banyak orang sebagai bentuk kontrol atas kehati-hatian arah perubahan Indonesia di masa depan.

Perbedaan Pendekatan

Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”, “Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan, terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya diri meski seringkali melawan mainstream publik.
Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting. Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung. Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.

Gaya Gus Dur

Secara umum ada dua kecenderungan gaya komunikasi yang dilakukan Gus Dur. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara equivocal. Meminjam istilah teori Janet Beaving Bavelas, komunikasi equivocal berarti pesan-pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak berterus terang (Stephen W Littlejohn, 1999). Penerima pesan harus menduga artinya daripada menangkapnya secara langsung. Dalam politik sebagai Art of possibility, equivocal terkadang perlu.
Hal ini memang menjadi kebiasaan lama Gus Dur, sehingga langkah-langkahnya tidak mudah diprediksikan oleh lawan politiknya. Namun gaya seperti ini juga seringkali menjadi masalah, ketika hal itu menyangkut kebijakan mengenai hajat hidup orang banyak. Seperti saat Gus Dur menjadi presiden, banyak kebijakannya yang equivocal sehingga tidak tersosialisasikan dengan baik. Substansi kiprah Gus Dur dilihat dari pengalaman-pengalaman masa lalu sangat pro rakyat dan demokrasi, hanya saja sebagian rakyat seringkali tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan. Sehingga bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan muncul asumsi bahwa Gus Dur adalah simbol ketidak konsistenan (Hamid Awaludin, Harian Umum Kompas 13 Juli 2004).
Kedua, gaya komunikasi Gus Dur seringkali agresif. Hal ini menarik dikaji dari konsep agresif Dominick A. Ifante yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Ifante, 1996). Terutama, berkaitan dengan dua sifat agresi yang dominan pada diri Gus Dur. Kedua sifat itu ialah kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Lihat saja polemik Gus Dur mengenai TAP MPR No.VII/2000 pasal 7 ayat (3) dan pasal 3 ayat (3) tentang pengangkatan dan pemberhentian kapolri. Polemik tentang TAP MPR No. 25, alasan pemecatan beberapa mentri, pernyataan mengenai permintaan penagguhan pemeriksaan beberapa konglemerat, gonjang-ganjing dekrit, golput di Pemilu Presiden 2004 dan masih banyak contoh lainnya.
Sementara keagresifan verbal, seringkali identik dengan gaya komunikasi Gus Dur sebelum, selama maupun sesudah dia jadi presiden. Sifat ini adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal Gus Dur biasanya berupa ledekan emosional yang bisa menghasilkan kemarahan bagi pihak yang dituju. Biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan tertentu, misalnya saat Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhakn shock terapi bagi orang dan kekuatan politik besar tertentu.
Ketiga, dalam keadaan normal sebenarnya Gus Dur adalah tipe rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan dua kutub ekstrim noble selves dan rhetorical reflector. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat . Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dengan penerimaan ide-ide secara meluas. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai sosok yang pluralis, sehingga lebih banyak diterima oleh berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun ras.


Daftar Pustaka
1. Redi Panuju, Sistem Komunikasi Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 115).
2. Gabriel A Almond, Introductions : A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond & James S. Coleman (ed.), The Politics of the Developing Areas, (Princeton University, 1960), hlm. 45
3. William Gordon, Communications : Personal and Public (Sherman Oaks, CA : Alfred, 1978) hlm. 28
4. Judy C Person dan Paul E Nelson, Undestanding and Sharing : an Introductions to Speech Communications, (Dubuque, Lowa : Wm. Brown, 1979), hlm. 3
5. Wilbur Schramm, How Communications Work, dalam Jean M Civikly (ed.), Message, (New York : Random House, 1974) hlm. 11
6. Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali, 1983), hlm. 6.
7. Maswadi Ra’uf dan Mappan Nasrun (ed.), Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : PT. Gramedia, 1993), hlm. 32.
8. Dan Nimmo, Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan dan Media, Tjun Sumarna (terj.) (Bandung : Rosdakarya), hlm. 11-12.
9. James C. McCroskey,”The Communications Apprehentions Perspektive, dalam J.A Daly and J.C McCroskey, Avoiding Communications : Shyness, Reticence, and Communication Apprehantion, (Baverly Hills, CA : Sage, 1984) hlm. 13-38.
10. Dalam Stephen W Littlejohn, Theories of Human Relations, Sixth Editions, (Albuquerque, New Mwxico : 1999) hlm. 106
12. Hamid Awaludin (Kompas, Selasa 13 Juli 20040)
13. Dominick A. Ifante and Andrew S. Rancer, Argumentativeness and Verbal Agressivness: A Review of Recent Theory and Research, In Communication Yearbook 19, ed. Brant R. Burleson (Thousand Oaks, CA : Sage, 1996)

MEDIA MASSA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh : Gun Gun Heryanto

Siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia. Rumusan ini sering kita dengar, menggambarkan betapa pentingnya peran media dalam proses produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan serta kekuasaan dewasa ini. Hal ini semakin nyata dengan munculnya era kebebasan informasi dimana media menjadi sangat kuat dan berpengaruh. Untuk itu tepat kiranya sebelum membicarakan media di level mikro yang sangat teknis (penulisan berita, tajuk, feature dll), kita bahas terlebih dahulu level makronya (menyangkut ideologi, idealisme, peran serta fungsinya) terutama dalam kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat.

Media Massa dan Konstruksi Sosial
Pekerjaan media massa sebenarnya adalah mempublikasikan hasil reportasenya kepada khalayak. Oleh karenanya media selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksikan realitas. Yakni menyusun fakta yang dikumpulkan ke dalam satu bentuk laporan jurnalistik. Karena sifat dan fakta redaksionalnya menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi , tidak berlebihan bila dikatakan seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality).
Dalam kinerjanya, para wartawan dibekali oleh bermacam tuntutan jurnalisme (Agus Sudibyo dkk, 2001) . Pertama tuntutan teknis. Sebuah laporan seyogyanya mempunyai kelengkapan berita yang terangkum dalam rumusan 5W + 1 H dan mengupayakan pemberitaan yang cover both side atau cover all side. Kedua, tuntutan idealisme , dimana pers dituntut untuk bersikap obyektif dan memperjuangkan kebenaran. Komponen obyektivitas pemberitaan itu sendiri, seperti dirumuskan J. Westershal (lihat McQuail :1987), mencakup faktor faktualitas yang mengandung nilai kebenaran dan relevan, serta faktor impartialitas yang mencerminkan keseimbangan dan netralitas.
Faktualitas mengacu pada bentuk laporan tentang peristiwa dan pernyataan yang dapat dicek kebenarannya kepada sumber berita. Kriteria kebenaran meliputi kelengkapan informasi, akurasi dan tidak menyalaharahkan laporan. Nilai relevansi berkaitan dengan seleksi informasi yang signifikan bagi khalayak.
Impartialitas adalah sikap netral dalam penyajian dan seimbang dalam penyajian fakta antara yang pro dan kontra. Keseimbangan juga berkaitan dengan pemberian waktu, ruang, dan penekanan yang proporsional oleh media.
Ketiga, tuntutan pragmatisme. Ini terkait erat dengan dinamika internal dan eksternal sebuah media. Diakui atau tidak, setiap media memiliki kepentingan-kepentingan tertentu entah itu dari dari segi ekonomi, politik, ideologi atau apapun namanya. Dalam konteks ini, pembuatan berita tidak sekedar mengkonstruksikan realitas, tetapi juga dipercaya membungkus satu atau sejumlah kepentingan. Dalam dunia jurnalistik, langkah ini dikenal dengan politik mengemas (political framing) berita dengan hasil akhir adalah sebuah wacana.

Fungsi Sosial Media Massa
Pembahasan mengenai fungsi sosial media sebenarnya sudah sejak lama dibahas. Seperti pendapat yang dikemukakan Harold D Laswell (1946), bahwa media memiliki tiga (3) fungsi sosial.
•Fungsi pengawasan sosial (social surveillance) yakni upaya penyebaran informasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
•Fungsi korelasi sosial (social correlation) merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan antar kelompok sosial atau antar pandangan dengan tujuan konsensus.
•Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari sati kelompok ke kelompok lainnya.
Dalam perkembangannya pembicaraan tentang fungsi media massa banyak yang membaginya menjadi : fungsi edukasi, fungsi advokasi (kontrol sosial), fungsi entertainment. Media dianggap mampu mengemban fungsi edukasi karena informasi yang ditampilkan mampu memproduksi bahkan mereproduksi pengetahuan. Advokasi oleh media mengandung arti media sebagai wach dog yang siap menjaga masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan yang merugikan. Sementara dengan fungsi entertainmentnya media diharapkan kreatif dan inovatif dalam menyediakan kebutuhan hiburan bagi masyarakat.
Untu menjalankan fungsi-fungsi sosialnya seperti diatas, tentu saja secara normatif diperlukan prinsip-prinsip dasar yang penting diperhatikan (lihat McQuail (1987 : 125) :
• Kebebasan dan Independensi. Dalam suatu negara yang demokratis media massa sudah seharusnya memiliki kebebasan dan independensi dengan tidak adanya kontrol atau pengendalian formal atas media khususnya isi redaksional. Dengan demikian praktek pembredelan pers oleh pihak pemerintah tidak dibenarkan. Sebagai ilustrasi di Indonesia seringkali kebebasan pers ini terpasung dalam kebijakan penguasa yang otoriter.
• Ketertiban dan solidaritas. Penjabarannya isi media seyogyanya menghindari hal-hal yang dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat (SARA), mengeliminir meluasnya prilaku menyimpang (perkelahian, narkoba dll.) serta hal-hal lain yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban sosial. Dilain pihak media juga harus memperhatikan solidaritas sosial.
• Keanekaragaman dan Akses. Media sudah seharusnya mereflekasikan pluralitas opini. Keragaman yang bersifat repleksif ini, menunjuk pada adanya keterbukaan akses yang sama bagi berbagai pihak yang berkepentingan tanpa sikap diskriminatif.
• Objektivitas dan kualitas informasi. Konsep obyektivitas dalam pemberitaan mencakup dua komponen pokok yakni faktualitas dan impartialitas. Hanya dengan objektivitaslah akan muncul kualitas informasi.

Kemungkinan Penyimpangan
Dalam proses pemberdayaan masyarakat, seringkali terjadi penyimpangan yang dilakukan media yang oleh Paul Johnson (1997 : 103) disebutnya “Seven Deadly Sins” :
• Distorsi informasi : lazimnya dengan menambah atau mengurangi informasi, akibatnya maknanya berubah.
• Dramatisasi fakta palsu : dapat dilakukan dengan memberikan ilustrasi secara verbal, auditif ataupun visual yang berlebihan mengenai suatu objek.
• Menggangu privacy : hal ini dilakukan melalui peliputan yang melanggar hal-hal pribadi narasumber.
• Pembunuhan karakter : dilakukan dengan cara terus menerus menonjolkan sisi buruk individu/kelompok/organisasi tanpa menampilkan secara berimbang dengan tujuan membangun citra negatif yang menjatuhkan.
• Eksploitasi seks : media menampilkan seks sebagai komoditas secara serampangan tanpa memperhatikan batasan norma dan kepatutan.
• Meracuni pikiran anak-anak : eksploitasi kesadaran berpikir anak yang diarahkan secara tidak normal pada hal-hal yang tidak mendidik.
• Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power) : Media menyalahgunakan kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik dalam suatu praktek mass deception ( pembohongan massa).

Tanggung Jawab Sosial Media
Saat ini banyak praktisi media berasumsi bahwa media harus dihargai sebagai self regulating marketplace of ideas (Gun Gun Heryanto : 2002). Ide yang merupakan bagian dari prinsip dasar kapitalisme. Menekankan pada regulasi pasar yang terbuka, kompetitif serta mengatur dirinya sendiri. Hal ini juga sebenarnya harus dicermati secara kritis, karena akan banyak kepentingan ekonomi-politik yang masuk dan mempengaruhi kualitas suatu media. Dampak negatif dari media berada dalam suatu bisnis yang bebas seperti berkurangnya jumlah media yang independen atau sikap masa bodoh terhadap pemberdayaan khalayak harus diminimilisir.
Media yang memberdayakan masyarakat sudah semestinya merujuk pada gagasan normatif dari social responsibility theory. Menurut gagasan teori itu, media sudah seharusnya memenuhi kewajiban kepada masyarakat dengan pemenuhan profesionalisme penginformasian, kebenaran, akurasi, objektivitas dan keseimbangan. Media juga menolak apapun yang mengarahkan pada kejahatan, kekerasan, ketidakteraturan sosial dan pelanggaran atas minoritas. ***

SUMBER RUJUKAN

Sudibyo, Agus., Ibnu Hamad, M. Qodari, Kabar-kabar Kebencian : Prasangka Agama di Media Massa, Jakarta : Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 2001

McQuail, D., Mass Communication Theory : an Introduction, Beverly Hills, California : Sage Publication, 1987

Jhonson, Paul., The Media and Truth : Is There a Moral Duty ?, an Article in Mass Media : Annual Editions, 97/98, Connecticut : Dushkin/ McGraw Hill, 1997

Heryanto, Gun Gun., Nasionalisme dan Politik Ekonomi Media Massa, Sinar Harapan, Senin 20 Mei 2002