Sabtu, 29 Desember 2012

PARADOKS KOMUNIKASI ELITE

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini Telah dipublikasikan di SINDO, 29 Desember 2012)

Sebagai catatan akhir tahun 2012, komunikasi politik kaum elite yang penuh paradoks masih dominan mewarnai media massa kita. Secara umum, masih ada perulangan pola, yakni para elite terutama politisi dan birokrat lintas kekuatan lebih banyak melakukan pendekatan hype politic.

Caranya, mereka membuat gaduh media untuk memalingkan perhatian khalayak pada bingkai kepentingan si aktor sekaligus menjadi pesan, persuasi, tekanan, dan ancaman bagi kawan dan lawan politik mereka.Proses komunikasi politik masih berorientasi kepentingan elite, dan hanya menyisakan sedikit saja ‘oase’ bagi kepentingan literasi politik warga.

Rasionalitas Naratif

Seorang teoretikus paradigma naratif, Walter Fisher (1987), menulis tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua cerita memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai.Dia mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).Koherensi akan muncul saat si komunikator yang membangun dan mengembangkan narasi dapat menyajikannya dengan runtut dan konsisten.

Dia tidak meninggalkan detail-detail penting dan tidak pula mengontradiksikan satu bagian narasi dengan narasi lain di konteks berbeda. Adapun prinsip kebenaran memiliki makna reliabilitas dari sebuah cerita. Dalam konteks ini, pernyataan komunikator merepresentasikan secara akurat realitas sosial. Kedua prinsip rasionalitas naratif ini kerap kali tidak kita temukan dalam bangunan narasi para politisi.

Teramat sulit mencari politisi di negeri ini yang membangun narasi mereka secara ajek! Satu narasi yang mereka sodorkan ke publik kerap kontradiktif dengan narasi sebelum atau sesudahnya, terutama di substansi penting dari pesan. Belum lagi bicara soal tautan kebenaran dari apa yang mereka narasikan dengan realitas yang dirasakan masyarakat.

Kita mencatat sepanjang tahun ini banyak pidato dan paparan dalam bentuk lain yang disampaikan para politisi, tetapi hanya sedikit yang memberi kesan sekaligus perhatian masyarakat. SBY sebagai presiden yang diberi mandat kekuasaan dua periode,misalnya, di berbagai kesempatan menyatakan akan melakukan bersih-bersih diinternalPartaiDemokratyang menyokong kekuasaannya.

Tetapi, nyata-nyata sepanjang tahun 2012 beberapa elite partainya justru jatuh ke kubangan kasus korupsi.Nazaruddin,Angelina Sondakh,Andi Alifian Mallarangeng merupakan puncak gunungesdaripersoalankorupsi yang membelit partai ini. SBY pun mencoba membangun persepsi positif di forum silaturahmi nasional Partai Demokrat yang digelar 14-15 Desember.

Narasi yang dibangun untuk menciptakan persepsi positif itu antara lain terlihat dari permintaan maaf SBY atas tindakan tak baik para kader Demokrat. Selain itu, SBY juga meminta agar Demokrat menggunakan dana halal dalam menghadapi Pemilu 2014. Di saat bersamaan,SBY coba mendistribusikan masalah ke partai lain.

Misalnya,dengan mengatakan jangankan Demokrat yang baru berusia 11 tahu, partai-partai lain yang usianya puluhan tahun pun tak luput dari kesalahan.Ini logika komparatif yang dibangun untuk membangun persepsi bahwa kesalahan yang dilakukan kader Demokrat sesuatu yang sebenarnya lumrah dan biasa terjadi di partai politik.

Dalam konteks kepentingan si aktor, tentu narasi ini berupaya mengubah kuadran opini publik dari negatif ke netral ke positif. Logika yang sama dibuat dan dikomparasikan para elite Demokrat saat membandingkan antara korupsi di tubuh partainya dan korupsi di partaipartai lain. Lagi-lagi, tujuannya sudah bisa ditebak: komparasi yang diharapkan memecah perhatian publik dari fokus ke tindakan korupsi di tubuh Demokrat ke banyak partai.

Apa yang dilakukan oleh para elite Demokrat tentu bisa dimaklumi dalam konteks perang opini publik antarkekuatan. Tetapi sebagai partai berkuasa dan menarasikan diri akan melakukan bersih-bersih, seharusnya Demokrat juga menjadi contoh tindakan preventif dalam pemberantasan korupsi di internal kader.

Jangan sampai untuk kesekian kalinya setelah kader Demokrat dinyatakan tersangka di KPK atau penegak hukum lain baru mereka teriak akan bersih- bersih (lagi!). Narasi seperti ini tentu hanya akan menjadi seremoni dan formalismu tanpa tautan kebenaran. Wajar jika publik secara sinis ”menghukum” narasi kampanye Demokrat pada Pemilu 2009 menjadi ”katakan tidak pada (hal) korupsi!”

Tautan Realitas

Sepanjang 2012 kita juga disuguhi gelembung politik para elite. Dahlan Iskan menyerang DPRterkaitpernyataannya tentang sejumlah oknum wakil rakyat yang meminta upeti dari sejumlah BUMN. Publik sempat terkesima dengan keberanian seorang Dahlan dan respons positif pun sempat mengemuka baik di media arus utama maupun di sosial media agar Dahlan mau buka-bukaan.

Tetapi, seiring waktu, narasi yang dibangun Dahlan tergerus di level koherensi struktural (structural coherence) dan koherensi material (material coherence). Ketika narasi membingungkan karena satu bagian tak tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tak jelas, maka narasi tersebut kekurangan koherensi struktural.

Sementara jika narasi si aktor yang kita dengar berbedabeda, kita cenderung tak akan mempercayainya lagi karena cerita itu akan dianggap memiliki kekurangan koherensi material. Harapan publik terhadap Dahlan saat dia mengeluarkan narasi soal upeti untuk oknum DPR, tentu ketegasan, kelugasan,kejelasan sekaligus keberanian untuk mengungkapnya.

Tetapi Dahlan beberapa kali inkonsisten dalam menyebut sejumlah nama anggota DPR,bahkan hingga sekarang kasus ini pun menjadi antiklimaks,tidak jelas! Demikian pula dengan Serangan Dipo Alam yang tak kalah garang.Dia membangun narasi seputar praktik kongkalikong pembahasan anggaran di sejumlah kementrian.Belakangan, kementrian itu disinyalir Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, dan Kementrian Pertahanan.

Langkah Dipo satu tahap di atas Dahlan karena dia menyodorkan datanya ke KPK. Lantas bagaimana akhir ceritanya? Lagilagi publik menunggu dan sampai sekarang tak ada kejelasan. Kuatkah data yang disodorkan Dipo ke KPK menjadi bukti hukum? Atau, jangan-jangan datangnya Dipo ke KPK hanya bagian dari panggung depan dramaturgi,bahwa seolah-olah sudah konsisten menautkan narasi dengan tindakan nyata pemberantasan korupsi, padahal tak lebih dari sekadar simulasi realitas.

Nyatanya,sejumlah kementrian yang disebut Dipo juga tetap adem ayem, dan perlahan narasi Dipo pun nampak menepi dan sepi. Saat berkomunikasi, seharusnya para elite memahami bahwa narasi yang dibangunnya secara perlahan dan pasti akan menyumbang koherensi karakter si aktor saat dia bernarasi di kemudian hari. Akan dipercayakah si elite oleh publik? Tentu,publik memiliki catatan dan memori dari sekian narasi si elite yang berserakan di media dan mengomparasikannya dengan realitas yang mereka temukan.Tak selamanya publik bodoh dan diam!

Tulisan ini bisa diakses di web Sindo
http://www.seputar-indonesia.com/news/paradoks-komunikasi-elite

ANDI DAN ELEGI KEKUASAAN


OLEH: GUN GUN HERYANTO
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran SINDO, 8 Desember 2012)


Satu lagi politisi Partai Demokrat tersandung kasus hukum. Andi Alfian Mallarangeng resmi menjadi tersangka KPK dalam kasus Hambalang. Dia akan menjalani hari-hari berat dan terjal yang tak semata dirasakan dirinya melainkan juga keluarga bahkan partai tempat dia bernaung saat ini.Mendapat label sebagai tersangka kejahatan yang masuk kategori top hate crime tentu bukan semata mengubah citra kekinian Andi dari positif ke negatif, melainkan juga bisa mengoyak reputasi cemerlang yang sudah lama membentang dalam karir politik dan profesionalnya.

Kekuasaan untuk kesekian kalinya menjadi elegi atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita terutama bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengendalikan kuasa di genggamannya.

 Imparsialitas KPK

Jika pun harus ada pihak yang patut diapresiasi dalam penetapan Andi sebagai tersangka, maka KPK lah yang patut mendapatkannya. Sejarah telah ditorehkan KPK, karena baru kali ini sejak lembaga ad hoc untuk penumpasan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) berupa korupsi ini berdiri di Indonesia, ada seorang menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka. Paling tidak, upaya ini menunjukkan secara gamblang niat baik KPK untuk tidak melakukan obstruction of juctice. Dalam konteks penegakkan hukum, obstruction of juctice menyebabkan pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para ”Al Capone”  yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum, tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai pelaku bahkan otak tindakan korupsi. Mereka inilah yang kerap dilabeli sebagai The Untouchable.

Sudah terlalu lama publik skeptis dengan reputasi para penegak hukum. Sehingga proses-proses hukum yang sekarang berjalan di KPK seolah menjadi ’oase’ dalam pemberantasan korupsi. Kasus simulator SIM yang melibatkan bintang dari Polri, penanganan kasus suap Hartati Murdaya dan kini kasus Hambalang yang sudah menyentuh Andi, menjadi indikator menggeliatnya KPK. Indonesia cukup lama menyia-nyiakan kesempatan good governance dan clean government pasca reformasi bergulir 1998. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sukses melahirkan sejumlah perangkat hukum guna meminimalisir tindakan korupsi. Perang melawan korupsi telah dimasukkan ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Secara legal formalistik Indonesia turut menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 7 Tahun 2006 dan menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Sebelum itu, karena praktik korupsi yang merajalela, Indonesia juga dengan gagah berani melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tentu kelahiran KPK bukan karena alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa. Dalam membangun reputasi kelembagaan sangat penting bagi KPK untuk menunjukkan imparsialitas sekaligus profesionalitas mereka dalam bekerja termasuk saat mereka harus berhadap-hadapan dengan orang yang sedang dalam kekuasaan seperti dalam kasus Hambalang.

Dampak Politis

Penetapan tersangka tentu buka  akhir cerita bagi Andi. Dalam negara hukum, Andi masih memiliki peluang untuk melakukan pembelaan-pembelaan. Tapi juga tak bisa dinafikan, proses panjang di domain hukum yang akan dijalani Andi tak lagi bisa menghindar dari anasir politik yang melingkupinya. Andi adalah Menteri Pemuda dan Olahraga  Kabinet Indonesia Indonesia Bersatu (KIB) II (22 Oktober 2009-7 Desember 2012), dia juga menjadi orang yang sangat dekat dengan SBY sejak Andi menjadi Juru Bicara Kepresidenan (21 Oktober 2004-22 Oktober 2009).

Integrasi vertikal Andi  ke kekuasaan bisa dibilang berjalan mulus. Dimulai dari kampus, menjadi anggota KPU,  staf ahli Menteri Negara Otonomi Daerah, sempat mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan bersama Prof. DR. Ryaas Rasyid pada tahun 2002, hingga akhirnya terlibat dalam pemenangan SBY dan menjadi bagian dari partai Demokrat. Pasca kekalahannya dari Anas Urbaningrum di Konggres Bandung pada 2010, Andi pun diposisikan sebagai Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Sayang karir mengilat dari Andi, kini harus terjun bebas bahkan berada di titik nadir citra politiknya. Sudah konsekuensi dalam rimba politik, saat aktor terjerembab ke kubangan kasus korupsi, maka karir yang dibina sejak lama akan porak-poranda seketika. Paling tidak ada 3 dampak politis yang bisa menjadi bola liar setelah Andi ditetapkan sebagai tersangka.

Pertama, status Andi akan semakin membenamkan citra dan reputasi Partai Demokrat di mata khalayak. Meski Andi tidak sejak awal di PD, tetapi metamorfosis Andi menjadi elite PD menyebabkan partai pemenang pemilu ini turut berada di tengah pusaran prahara politik Andi. Untuk kesekian kalinya politisi muda potensial di tubuh PD terlibat kasus yang skala pemberitaanya luar biasa. Setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, kini Andi menjadi bagian dari masalah dan pastinya turut menyumbang bingkai berita negatif bagi eksistensi PD yang sedang menyiapkan diri menuju kontestasi 2014.

Kedua, bola liar kasus Andi juga akan menyumbang citra negatif bagi eksistensi pemerintahan SBY. Sejak memerintah, SBY kerapkali mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan itikad baik memimpin upaya-upaya pemberantasan korupsi. Namun demikian, justru aktor-aktor yang telibat dalam sejumlah tindakan korupsi juga kerap berasal dari orang-orang dekat SBY sendiri. Tentu, ini menjadi tamparan sekaligus tantangan bagi SBY baik sebagai orang yang mengendalikan pemerintahan saat ini, maupun sebagai orang yang berada di puncak hirarki otoritas Partai Demokrat.

Ketiga, penetapan Andi sebagai tersangka juga bisa menjadi pintu masuk pengembangan kasus ini ke anak tangga berikutnya. Lazimnya, modus korupsi politik itu tak pernah dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan dilakukan oleh satu stelsel aktif secara “berjamaah”. Kerap muncul esprit de corps dari para pelaku korupsi politik dengan cara saling melindungi.  Tetapi biasanya, pertahanan mereka akan bobol dengan sendirinya, jika kekitaan di antara mereka tercerai berai akibat skenario penyelamatan diri masing-masing. ***

http://www.seputar-indonesia.com/news/andi-dan-elegi-kekuasaan

"CYBERDEMOCRACY" DARI DKI


Oleh: Gun Gun Heryanto
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian KOMPAS, 8 Desember 2012)

Salah satu topik hangat di jejaring sosial yang ramai dibicarakan dan mengundang polemik masyarakat adalah aksi Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang mengunggah rapat-rapatnya dengan jajaran birokrat Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI ke YouTube.

Video rapat Basuki dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) misalnya sudah dilihat lebih dari 1,2 juta netizen. Hingga tulisan ini dibuat (25/11), video tersebut disukai oleh 14.610  netizen sementara yang tak suka hanya 213. Ada juga video rapat Basuki dengan Dinas Perhubungan, silaturahmi dengan jajaran PNS, dan sejumlah rapat dengan pejabat teras di lingkungan Pemprov DKI.

Benarkah ini penanda dimulainya Jakarta baru yang transparan?  Demokrasi yang mulai adaptif dengan pemanfaatan dunia siber sebagai saluran informasi sekaligus terobosan mengubah wajah kekuasaan.

Birokrasi Partisipatoris

Pasangan Jokowi (Widodo)-Basuki terpilih dari sebuah pilkada yang demokratis. Ekspektasi publik luar biasa tinggi, sehingga banyak pihak menanti cara-cara yang tidak biasa dalam menahkodai pemprov DKI yang lama menjadi birokrasi elitis.

Salah satu kelemahan elementer dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih adalah soal akses informasi untuk publik. Misalnya soal anggaran mulai dari perencanaan, distribusi dan alokasi hingga evaluasi pelaksanaannya.

Ketertutupan informasi merupakan pintu masuk kleptokrasi. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Istilah kleptokrasi sendiri dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi sambil memegang jabatan publik.

Kleptokrasi menjadi mapan bahkan memberi imunitas bagi para pelakunya karena ditopang oleh rezim tertutupan informasi. Birokrasi elitis menjadi benteng pertahanan kokoh para koruptor yang bersembunyi di balik sejumlah aturan dan protokoler yang menjauh dari partisipasi publik. Singkatnya, kebijakan publik yang lahir dari sistem oligarki benar-benar menjadi cara jitu para koruptor untuk bancakan uang rakyat setiap saat.

Jokowi-Basuki tentu sangat sadar bahwa modal sosial yang sekaligus menjadi modal politik mereka hingga mampu menjadi pemimpin DKI adalah kepercayaan publik. Wajar jika tantangan paling nyata bagi mereka saat ini adalah mengelola harapan publik dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang mereka miliki untuk menunaikan janji-janji kampanye secara bertahap.

Politik sangat berkaitan erat dengan persepsi publik, sehingga Jokowi-Ahok harus pandai-pandai mengelola persepsi publik tentang mereka. Tentu, bukan pencitraan yang artifisial, melainkan realisasi program kerja jangka pendek, menengah dan panjang yang bisa dirasakan kehadiran dan kemanfaatannya untuk warga Jakarta. Birokrasi tak lagi elitis melainkan partisipatoris.

Media Sosial
Satu terobosan di fase awal kepempimpinan Jokowi-Ahok adalah pemanfaatan media sosial dalam mendekonstruksi birokrasi elitis. Warga dengan mudah mengakses informasi rapat-rapat Jokowi-Ahok via YouTube. Tindakan ini awalnya tentu membuat beberapa pihak tidak nyaman. Hal lumrah karena setiap cara dan pendekatan baru pasti membawa ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Ada tiga hal yang patut diapresiasi dari tindakan pemprov DKI menyebar video rapat-rapat mereka ke media sosial.

Pertama, media sosial menjadi pilihan tepat di tengah keterbatasan ruang media arus utama seperti tv, radio, koran, majalah dan lain-lain. Kita sangat paham, media arus utama punya logik pasarnya sendiri, sehingga tak mungkin memublikasikan seluruh kegiatan birokrasi secara rinci. Selain faktor ekonomi politik, media arus utama juga akan sangat mempertimbangkan hirarki pengaruh yang lazimnya ada pada mereka.

Pamella J. Shoemaker dan Stephen D.Reese dalam Mediating The Message (1996) mencatat, level-level pengaruh tersebut dimulai dari level individual seperti latar belakang dan kepentingan jurnalis; rutinitas media; organisasional seperti kepentingan pemilik; extra media seperti negara, pengiklan dan kelempok penekan; serta level ideologi yang kerap menjadi faktor makro yang berpengaruh pada isi media.  Dengan memanfaatkan YouTube durasi panjang rapat-rapat Jokowi-Ahok dengan jajaran birokrat Pemprov DKI bisa dinikmati oleh warga bukan hanya di DKI, tetapi di Indonesia dan di luar negeri. Hal ini relevan dengan karakteristik dunia siber yang interaktif, multimedia dan tak terbatas. Peluang ini ditangkap secara cerdas oleh Jokowi-Ahok untuk memberi akses informasi untuk publik.

Kedua, menjadi bagian dari literasi politik untuk warga. Berbagi informasi perihal kinerja birokrasi melalui media yang familiar dengan warga memenuhi salah satu unsur pengarusutamaan literasi politik. Catherine Macrae dalam Political Literacy Resource Pack (2006) menggarisbawahi bahwa literasi politik merupakan bauran kompleks dari praktik sosial yang memungkinkan orang menjadi warganegara yang aktif dan efektif. Warga dilengkapi pengetahuan, skill dan kesempatan bersikap dalam kaitannya dengan politik lokal, nasional bahkan internasional.

 Di Jakarta, penyebaran informasi lewat media sosial sudah tepat karena banyak warga yang adaptif dengan komunikasi berbasis web. 2.0 ini. Selain sebagai konsumen informasi,  netizen juga kerapkali menjadi produsen gagasan yang disebar ke komunitas virtual mereka. Terlebih saat ini kita juga dimudahkan oleh dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), dan Graphical Worlds. Proses berbagi informasi berjalan sangat cepat karena dari YouTube, misalnya, informasi bisa diterukan ke situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Fenomena inilah yang kerap disebut sebagai generasi ketiga komunikasi politik setelah era retorika politik dan media arus utama.

Ketiga, transparansi Jokowi-Ahok melalui media sosial ini merupakan peran birokrasi dalam mewujudkan cyberdemocracy. Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif.

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Tentu warga juga harus kritis, terutama menyangkut konsistensi mereka dalam hal transfaransi. Jangan sampai gebrakan ini hanya memalingkan perhatian publik di awal masa jabatan mereka atau sekedar menjadi skenario pencitraan yang sifatnya dangkal. Kita harus memberi waktu yang cukup untuk menguji kesungguhan mereka, sambil memperkuat simpul-simpul warga yang lebih berdaya secara bersama-sama. ***

SELEB GAYA BEBAS


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah SINDO Weekly, Edisi 29 Nop-6 Des 2012)

Panggung politik kian berwarna. Sejumlah selebritas turut serta dalam pusaran kontestasi demokrasi elektoral. Tak hanya berebut jabatan legislatif seperti ramai terjadi di Pemilu 2009, melainkan juga berupaya melakukan integrasi vertikal pada jabatan eksekutif baik di daerah maupun nasional. Pilkada Jawa Barat yang akan di gelar awal 2013 menjadi salah satu contoh aktual melimpahnya semangat kaum selebritas menjajal ‘tuah’ popularitas yang mencoba mereka konversikan menjadi elektabilitas.

Kenapa Selebritas?
Tiga dari lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat adalah artis dan mantan artis. Sebut saja nama Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka dan Deddy Mizwar. Sebelumnya, Deddy Dores juga telah mencoba peruntungan di Pilkada Jabar meskipun pencalonannya layu sebelum berkembang. Dalam beberapa hari ini, jagat politik juga diramaikan pernyataan kesiapan Raja Dangdut Rhoma Irama untuk pencapresan 2014. Kesiapan Rhoma bertarung di 2014, kian menambah daftar panjang kaum selebritas yang punya keinginan bertransformasi menjadi elite kekuasaan. Tren keterlibatan mereka seolah meneguhkan asumsi ketersediaan ceruk bagi kelompok selebritas menjadi “petarung”.

Fenomena ini diperkuat kesuksesan beberapa figur selebritas yang hijrah ke dunia politik. Sebut saja Rano Karno (Wakil Gubernur Provinsi Banten), Zumi Zola (Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi), Dicky Candra ( pernah menjadi Wakil Bupati Garut dari jalur independen meski akhirnya Dicky mengundurkan diri dan kembali ke habitat senimannya). Belum lagi, sejumlah nama selebritas yang pada Pemilu 2009 sukses menyandang status terhormat sebagai wakil rakyat baik di DPR Pusat maupun daerah.

Panggung hiburan dan panggung politik sama-sama menuntut citra, reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain di luar substansi peran dan tanggung jawab publik masing-masing. Lantas salahkah jika para artis ini terlibat di panggung politik? Tentu tidak! Partisipasi politik merupakan hak setiap warga negara. Terlabih, jika para selebritas itu sejak awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson dalam buku No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries, menyebutan fokus utama partisipasi politik adalah usaha untuk mempengaruhi “alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat” .

Jika para seleb ini melewati proses dengan sungguh-sungguh dan memiliki track record yang mumpuni menuju pencalonan dirinya, maka partisipasi politik mereka layak diapresiasi. Begitu pun sebaliknya, jika partisipasi mereka sekedar “panggung sandiwara” berbekal nama dan popularitas tanpa paham ranah permainannya, maka tentu saja mereka hanya akan menjadi ornamen penghias suasana atau pelengkap penderita saja. Paling bagus mereka hanya akan berfungsi sebagai mesin efektif pendulang suara (vote getter) di saat pemilu berlangsung.

Sebenarnya, tak mengagetkan jika akhir-akhir ini para selebritas beramai-ramai masuk bursa pencalonan. Mereka biasanya memiliki kelebihan dalam proses peneguhan (reinforce) imitasi prilaku. Proses ini tercipta melalui pengkondisian instrumental (instrumental conditioning) pada pemilih. Dalam dunia politik, secara teknis pengkondisian instrumental dilakukan melalui dua prilaku imitasi.  Pertama, stimulasi lingkungan yang sama sehingga individu memberi respon yang sama (same behahior). Politik dan hiburan sama-sama menciptakan mekanisme yang terpola sehingga khalayak memiliki prilaku serupa. Kesadaran khalayak sering dimanipulasi sehingga relevan dengan apa yang diinginkan oleh aktor.  Dalam konteks inilah, posisi selebritas menjadi daya tarik tersendiri terutama dalam meneguhkan pilihan pemilih melalui rangsangan popularitas yang mereka miliki, terlebih jika literasi politik yang berlangsung di daerah tersebut minim.

Kedua, pencocokan perilaku individu sedekat mungkin dengan perilaku orang lain. Biasanya hal ini melalui sosok figur atau tokoh yang lazimnya dinamakan proses copying. Para selebritas biasanya menjadi rule model yang familiar dalam kesadaran simbolik khalayak. Tak heran jika dunia hiburan mengenal fans club. Khalayak  sangat lekat dengan sosok Deddy Mizwar dalam perannya di film “Naga Bonar” maupun sinetron “Kiamat Sudah Dekat”,  atau Dede Yusuf yang membintangi salah satu merk obat sakit kepala dan Rieke ‘Oneng’ dalam “Bajaj Bajuri”. Sehingga, saat selebritas mencalonkan diri, kesadaran simbolik pemilih di fans club-nya sangat mungkin menyumbang perolehan suara pasangannya.

Namun demikian, pengkondisian instrumental seperti ini lambat tapi pasti akan mengalami degradasi. Kemasan simbolis para selebritas tersebut tak lagi berfungsi sebagai pendongkrak suara. Bahkan bisa menjadi boomerang bagi pasangan kandidat yang bersangkutan, jika kemasan dan positioning diri si artis tidak tepat, karena bagaimana pun rakyat akan memilih dan mengkritisi sosok mereka. Kini, strategi politik pencitraan tak lagi hanya menekankan pada unsur attractiveness, melainkan juga pada kompetensi sosok si artis untuk membawa khalayak pemilih dimana dia mencalonkan diri menuju kehidupan yang lebih baik.

Rekam Jejak Kandidat
Banyak selebritas yang mengalami lompatan politik (political jumping) dalam rekam jejak politiknya. Keraguan muncul tidak dalam konteks mempertanyakan wawasan yang dia miliki, melainkan lebih pada historisitas interaksi diri selebritas dengan realitas politik praktis sebelum dia mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Deddy Mizwar, Dicky Candra, Primus Yustisio, Eko Patrio, Deddy Dores, Rachel Maryam misalnya, bisa menjadi contoh metamorfosis yang terkesan tiba-tiba, tanpa diperkuat oleh pendalaman peran politik mereka sebelumnya. Jika menggunakan istilah di dunia film, kondisi ini ibarat aktor yang sedang memainkan sebuah peran tanpa penghayatan yang memadai. Menjadi kepala daerah tentu saja lebih kompleks dan lebih beresiko dari hanya sekedar berperan dalam film atau sinetron. Pemimpin akan menjadi nahkoda sebuah daerah dan bertanggungjawab atas seluruh warga masyarakat di daerah tersebut.

Sebagai perbandingan dengan tokoh di negara lain yang sukses menuju kursi presiden dari panggung hiburan, sebut saja nama Ronald Wilson Reagan (Amerika Serikat) dan Joseph Estrada (Filipina).  Reagan (1911-2004) adalah artis Hollywood yang sukses membintangi sejumlah film antaralain Knute Rockne All American, King Row, Hellcats of the Navy, Bedtime for Bonzo dll., sehingga namanya tercatat di Hollywood Walk of Fame di 6374 Hollywood Boulevard.

Jauh sebelum dia mancalonkan diri sebagai Capres dalam Nominasi Partai Republik pada tahun 1980, dia pernah menjadi Gubernur California yang ke-33 (1967-1975). Perjalanannya memenangi konvensi partai pun tidak mudah, tercatat dia pernah dua kali gagal menjadi Capres Republik, yakni pada tahun 1968 dan 1976. Rekam jejak sebagai selebritas yang berpolitik sangat kentara, sejak dia menjadi anggota liberal demokrat yang mendukung new deal-nya Franklin Delano Roosevelt, kemudian berubah secara bertahap menjadi konservatif sosial, hingga tahun 1964 menjadi pendukung berat Republikan konservatif Barry Goldwater.

Jejak rekam Joseph Estrada, artis yang telah membintangi lebih dari 120 ini jauh sebelum menjadi Wakil Presiden (1992-1998) dan Presiden (1998), telah memulai karir politiknya sejak tahun 1969 dan terus mengasah talenta politiknya hingga terpilih menjadi anggota senat pada 1987. Begitupun yang dijalani Arnold Schawarzeneger lama sebelum mencalonkan diri sebagai Gubernur California, dia telah aktif sebagai Republikan.

Dengan demikian, rekam jejak politik inilah yang menjadi salah satu titik lemah sebagian selebritas kita. Ketergantungan parpol pada sosok selebritas di era demokrasi elektoral juga patut dikritisi. Krisis figur yang punya nilai jual di parpol membuktikan gagalnya proses kaderisasi.

JAKARTA BARU DAN TRANSPARANSI 2.0


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO pada 27 Nop 2012)

Hal menarik di fase awal kepemimpinan Jokowi- Ahok di DKI adalah gebrakan mereka mewujudkan Jakarta Baru seperti mereka janjikan saat kampanye pilkada beberapa waktu lalu.Tak mudah memang mengurai benang kusut persoalan Ibu Kota.

Birokrasi kerap menjadi taman labirin di mana warga DKI kerap berputarputar tak tahu jalan keluar yang tepat. Kini, Jokowi-Ahok telah memulai perjalanan panjang dan terjal, sekaligus mengambil tantangan kerasnya atmosfer kekuasaan.

Menyinergikan Peran

Prematur jika mengatakan Jokowi-Ahok sukses mewujudkan Jakarta Baru! Namun, beberapa indikator awal membuat lampu harapan yang lama redup dan nyaris gelap gulita mulai menyala—meski masih remang-remang. Sinergi gaya kepemimpinan dua sosok baru di puncak birokrasi DKI inilah yang menghidupkan asa perubahan. Jokowi menekankan pada kesantunan, politik harmoni, mengembangkan komunikasi interaksional, dan menjadi simbolisasi dari pemimpin low profile.

Adapun Ahok melengkapinya dengan gaya koboi atau seperti yang sering dia sebut sendiri, yakni gaya “bad cop” dalam mengurusi para birokrat di Balai Kota yang sudah lama menjadi mesin birokrasi elitis dan kerap untouchable dari warga DKI sendiri.Jokowi fokus membangun komunikasi melalui pendekatan humanistik dengan publik eksternal seperti bertemu warga kumuh di bantaran kali, penghuni rusun, pasar-pasar,terminal,juga para gubernur dari pemerintah-pemerintah daerah sekitar.

Ahok lain lagi, sibuk berjibaku mengeluarkan jurus verbal agresif, pendekatan komunikasi transaksional, bahkan psywar dengan publik internal seperti jajaran dinas di lingkungan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI. Ibarat permainan bola, Jokowi menjadi striker yang setiap saat harus bermanuver kreatif tetapi cantik,Ahok seperti pemain bertahan yang menjadi garda pertahanan birokrasi agar tak mudah dijebol para “penguasa kegelapan”.

Tentu Jokowi-Ahok bukan dewa, bukan pula superman! Mereka hanya dua manusia biasa yang dituntut bekerja dengan cara-cara yang tidak biasa. Ini pun menjadi tanggung jawab mereka berdua karena secara sadar dan sukarela mereka menerima penahbisan diri sebagai pemimpin Ibu Kota dengan kompleksitas persoalan.

Ada tiga level tantangan Jokowi-Ahok yang wajib mereka urai. Di level makro tantangan bagi Jokowi adalah mengubah watak sekaligus wajah kepemimpinan Pemprov DKI yang elitis-birokratis ke teknokratis-humanis. Jika para elite di Pemprov DKI memiliki komitmen pada good governance dan clean government, langkah teknis beragam program oleh seluruh staf Pemprov DKI dan rekanan dari pihak swasta akan bermuara pada output yang sama: kebermanfaatan birokrasi untuk warga Jakarta.

Di level mezo ada empat tantangan utama, yakni soal transparansi pemerintahan,pola komunikasi birokrasi dengan warga Jakarta, pola hubungan antara Pemprov DKI dengan pemerintahan pusat dan pemerintah-pemerintah daerah sekitar,serta relasi kuasa antara Jokowi-Ahok dengan DPRD DKI.

Tantangan di level mikro, terkait hal-hal teknis berbagai kerja leading sector seperti transportasi publik,penanganan ketertiban umum,pendidikan, kesehatan,dan lain-lain. Apakah “blusukannya” Jokowi seperti saat ini merupakan bagian dari reality show seperti dituduhkan salah satu anggota DPRD DKI tempo hari?

Mungkinkah gaya verbal agresif yang dipertontonkan Ahok di rapatrapat yang diunggah ke YouTube itu juga bagian politik pencitraan? Tentu pertanyaan tersebut akan lebih mudah mereka jawab jika keduanya fokus pada kualitas proses berbasis kinerja dengan skala prioritas yang jelas plus strategi mengomunikasikannya kepada khalayak luas. Jokowi-Ahok tidak lagi dalam posisi campaigning, melainkan governing.

Karena itu, perannya tidak lagi berwacana dan berjanji terlebih dalam skala mikro, melainkan harus mendesain kebijakan umum yang properbaikan untuk warga DKI.Kinerja mereka harus berorientasi pada key performance index (KPI) yang bisa diraba, dirasakan sekaligus dinikmati warga DKI. Rumusannya mudah, jika apa yang dilakukan Jokowi- Ahok ini hanya temporer, sekadar euforia,dan tidak menunjukkan tren positif dalam jangka pendek, menengah,danpanjang tentu tidak keliru jika kita mengategorikannya sebagai pencitraan belaka.

Risikonya, jika ini yang terjadi, figur Jokowi- Ahok akan terjebak pada lingkaran setan hiperealitas politik citra. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas.

Strategi YouTube

Jika melihat kiprahnya di fase awal, pasangan Jokowi- Ahok ini memang menjanjikan. Mereka mulai menjawab tantangan di level makro dan mezo, yakni mendekonstruksi birokrasi elitis menjadi lebih partisipatoris. Mereka mengembangkan komunikasi yang intensif dengan warga, pemerintah daerah sekitar, pemerintahan pusat,DPRD dan yang paling menarik sekaligus mampu memalingkan perhatian publik adalah mulai terasanya semangat transparansi.

Warga terbelalak saat rapat-rapat Ahok dengan jajaran birokrat Pemprov DKI diunggah ke YouTube dan bisa ditonton oleh warga DKI.Hingga Jumat (23/11), video rapat Ahok dengan Dinas PU, misalnya, sudah dilihat oleh 1,2 juta netizen.Video tersebut disukai oleh 14.610 netizen, yang tak suka hanya 213.Demikian pula rapat Ahok dengan Dinas Perhubungan dan silaturahmi Ahok dengan jajaran PNS di lingkungan Pemprov DKI menjadi buah bibir.

Pemanfaatan media sosial seperti ini menjadi terobosan cerdas. Pertama, media sosial bisa menjadi solusi keterbatasan media mainstream seperti televisi, koran, majalah, radio dll. Media mainstream punya keterbatasan rubrik atau air time dalam memublikasikan informasi secara detail.

Kedua, tindakan ini kontekstual dengan perkembangan saat ini, yakni era migrasi dari web 1.0 ke web 2.0. Blumler dan Kavanagh (1999) menyebut melimpahnya informasi via internet ini sebagai third age of political communication. Setelah era retorika politik dan era media mainstream memang demokrasi via online memainkan peran signifikan.

Ciri web 2.0,di mana netizen bukan lagi sematamata konsumen media melainkan berperan ganda sebagai konsumen sekaligus produsen, menyebabkan akses informasi kian mudah,murah dan cepat. Warga DKI dengan cepat merespons video-video Ahok di YouTube sehingga sukses menciptakan atmosfer partisipatoris minimal di level kesadaran diskursif warga.

Ketiga, transparansi 2.0 ala Ahok ini bisa menjadi shock therapy bagi para pemain yang nyaman dengan rezim ketertutupan informasi di lingkungan birokrasi. Akses informasi untuk publik via media sosial yang diinisiasi Jokowi- Ahok ini bisa menjadi salah satu upaya memutus praktik korupsi politik yang menjadi pintu masuk kleptokrasi.Mata rantai kongkalikong antara para pejabat eksekutif, legislatif, dan pengusaha kotor akan memuai dan putus jika birokrasi transparan dan akuntabel.

Transparansi 2.0 penting sebagai bagian dari literasi politik warga. Akses informasi tak sekadar memberi pengetahuan, tapi juga sikap politik warga agar mereka berpartisipasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika konsisten dilakukan dan turut menjadi akselerator perbaikan pemerintahan, bukan mustahil transparansi 2.0 ala Jokowi-Ahok ini bisa menjadi model nasional.

Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/news/jakarta-baru-dan-tranfaransi-20

GELEMBUNG POLITIK KAUM ELITE

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan pada 27 November 2012)

Atmosfer pertarungan politik 2014 sudah kian terasa. Eskalasi konflik antar-elite semakin gegap gempita mulai dari ruang media hingga situs jejaring sosial. Beragam strategi manajemen konflik dipraktikkan guna mengokohkan eksistensi aktor yang pada saat bersamaan menjadi alat delegitimasi lawan politiknya.

Pengujung 2012 ini menjadi momentum beragam parpol memanaskan mesin politik mereka sekaligus mencari sebanyak mungkin peluang guna publikasi politik kepada khalayak. Salah satu yang menonjol belakangan fenomena bubble politic yang secara sengaja ditiupkan para elite guna memalingkan perhatian masyarakat pada isu-isu stratagis.

Modus Lama

Meniup gelembung politik merupakan modus lama untuk mengonstruksi realitas. Langkah ini tentunya dirancang secara sadar dan terorganisasi untuk memengaruhi persepsi khalayak sehingga intersubjektivitas yang dibangun antarsesama bisa terbentuk atau bahkan dimanipulasi sesuai dengan keinginan aktor.

Sebagian besar sangat paham bahwa yang dominan dalam politik adalah persepsi publik sehingga beragam operasi untuk mengendalikan opini menjadi sangat penting.

Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka The Agenda Setting Function of Mass Media yang dipublikasikan Public Opiniom Quarterly pada 1972 mengungkapkan bahwa media memberi tekanan pada suatu peristiwa, akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Perspektif agenda setting memandang media massa melakukan to tell what to think about. Artinya, membentuk persepsi khalayak tentang sesuatu yang dianggap penting. Upaya para politikus untuk mengendalikan opini tersebut mendapat konteks penjelasannya. Contoh, mereka yang di Senayan kini sibuk mengangkat kembali “zombie” Century ke permukaan.

Mereka menginisiasi hak menyatakan pendapat (HMP) dan menabuh genderang perang untuk orang lingkar istana, seperti Wakil Presiden Boediono yang saat Kasus Century meledak menjabat Gubernur Bank Indonesia.

HMP sepertinya akan dijadikan permainan politik baru sekaligus alat sandera hingga 2014. Jika para anggota DPR serius menggunakan HMP tentu sudah mereka lakukan tahun 2009 setelah hak angket tentang dana talangan Bank Century. Semua ingat, saat Pansus Century terbentuk dan menjadi panggung para politisi di DPR, maka yang diuntungkan hanyalah kaum elite yang terlibat dalam skenario kompromi.

Selain memunculkan para pesohor politik yang hampir setiap hari mendapat ruang pemberitaan media, goreng-menggoreng Century juga sukses menjadi alat tekan bagi Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat untuk menjalankan negosiasi. Ini telah dibuktikan dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) dan mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku menteri keuangan sebagai win-win solutions yang berujung dengan Opsi C pada Rabu, 3 Maret 2010.

Lantas apa yang didapat publik setelah gegap gempita Pansus Century tersebut? Tidak ada! Para politisi hanya melempar rekomendasi setengah hati dan bola panas pun dipindah ke KPK. Sejak itu, para politisi membiarkan kasus Century digerus kemunculan sejumlah isu lain yang menutup perhatian publik.

Seperti diduga sebelumnya, Century pun kembali "dijual" oleh para politisi yang kebetulan juga banyak menjadi news framing media. Tentu, modus agenda setting itu jelas, yakni tindakan para politisi yang dibingkai lewat media berorientasi pada efek langsung dan lanjutan (subsequent effects).

Efek langsung berkaitan dengan ada tidaknya isu Century dalam agenda khalayak (pengenalan). Kalayak memlihak isu yang terpenting (salience). Kemudian isu tersebut diranking responden dan dilihat kesesuaiannya dengan peringkat media.

Sementara itu, subsequent effects berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang kasus Century dan tindakan khalayak agar bersikap seperti yang diinginkan politisi. Singkatnya, serangkaian fakta menunjukkan niat politisi mengangkat lagi Century patut dikritisi, bukan dalam konteks menyelesaikan kasus ini, melainkan dalam upaya maksimalisasi agenda setting mereka agar memiliki momentum bermanuver di tengah polemik isu yang mereka naikkan.

Lepas dari berani-tidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus Century hingga menyentuh orang atau sekelompok individu yang untouchable, tetapi ini jauh lebih baik jika tetap ditangani lembaga tersebut. Hanya memang butuh sebuah inisiasi dari berbagai gerakan civil society untuk mendorong KPK tak ragu melangkah. Berbagai fakta dalam perjalanan KPK menunjukkan institusi ini masih menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum yang relatif masih dipercaya.

Di tengah nada sumbang atas keberanian KPK mengusut megaskandal Century, publik sebaiknya mengambil perannya sendiri dengan mendorong KPK untuk tetap pada komitmennya menuntaskan Century. Opini publik yang terserak jika sudah solid dan konsolidatif akan menjadi tsunami politik bagi orang atau institusi mana pun.

Masih ingat gerakan “Selamatkan KPK” dalam kasus simulator SIM di tubuh Polri. Saat opini publik menjadi menggelombang, presiden dan Polri sekalipun tak punya pilihan, kecuali harus mengikuti tuntutan publik. Elizabeth Noelle-Neumann melalui tulisannya The Spiral of Silence (1984) mengasumsikan bila opini mayoritas terbentuk, maka pendapat minoritas cenderung diam atau menyesuaikan.

Kalaupun Century mau diangkat lagi dan serius dituntaskan, publik perlu mendukung di ranah hukum agar tidak dibajak dan dijadikan komoditas di panggung politik kaum elite.

News Maker

Tak hanya kasus Century, gelembung politik juga mencuat dari sejumlah figur pejabat publik. Nama Dahlan Iskan, Dipo Alam, dan Mahfud MD secara bergantian menjadi news maker di berbagai media. Pernyataan mereka sensasional sehingga turut menyuplai berita seksi di media massa. Dahlan Iskan menyerang DPR terkait pernyataanya tentang sejumlah oknum wakil rakyat yang memeras BUMN. Serangan Dipo Alam tak kalah garang. Dia sangat yakin adanya praktik kongkalikong pembahasan anggaran di sejumlah lembaga seperti Kementerian Pertanian, Perdagangan, dan Pertahanan.

Sementara itu, Mahfud menohok istana terkait dengan pemberian grasi oleh Presiden SBY kepada Meirika Franola (Ola). Mahfud MD menduga mafia narkoba sudah masuk istana. Pernyataan yang membuat geram orang-orang di lingkaran SBY seperti Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, yang sangat berkeberatan dan merasa terhina dengan pernyataan tersebut.

Terlepas dari beragam konteks dan tujuan pernyataan ketiga pejabat publik tersebut, yang jelas lontaran itu ditangkap khalayak luas. Ketiganya memicu polemik dan menyeret energi kreatif bangsa ini pada pusaran konflik elitis. Konflik itu lumrah karena relasi kuasa antar-elite kerap memosisikan mereka berseberangan dengan sejumlah pihak.

Namun, mereka juga tidak bisa semena-mena memberi "pepesan kosong" pada publik sebab taruhannya kredibilitas, akuntabilitas, serta profesionalitas selaku pejabat publik.

Dahlan Iskan wajib membuka secara terang benderang anggota DPR yang dituduh minta upeti ke BUMN. Kasus ini tak cukup hanya diselesaikan Badan Kehormatan DPR. Mereka harus dilaporkan ke penegak hukum.

Dipo Alam juga tak cukup hanya mengeluarkan serangan. Dia memang sudah ke KPK menyerahkan laporan, tetapi terlalu prematur bagi publik untuk mengapresiasinya. Benarkah laporan Dipo ke KPK dibarengi bukti-bukti yang kuat ataukah hanya menjadikan panggung? Tentu ini akan terjawab setelah laporan Dipo ditindaklanjuti KPK.

Mahfud jangan berkelit bahwa pernyataanya sekadar analisis sehingga tidak memerlukan pembuktian. Pernyataan para pejabat publik sepatutnya bukan pesan asal bunyi, tapi perpaduan antara kejelasan, tanggung jawab, dan visi kenegarawanan.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106575

MENGELOLA HARAPAN PUBLIK


 Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 6 Oktober 2012)

Secara resmi, pasangan Foke-Nara tidak menggugat hasil Pilkada DKI ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, pada Oktober ini, Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama akan dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Setelah melalui proses pilkada yang panjang, akhirnya pasangan itu secara resmi ditetapkan KPU DKI sebagai pemenang.

Rapat pleno rekapitulasi suara KPU DKI, Jumat (28/9), menetapkan Jokowi-Basuki mendapat 2.472.130 suara (53,82 persen) dari suara sah, sementara pasangan Foke-Nara mendapat suara 2.120.815 (46,18 persen). Tak ada waktu bagi Jokowi-Basuki untuk larut dalam euforia kemenangan karena tugas berat harus dihadapi sejak hari pertama mereka bertugas di Ibu Kota.

Hierarki Tantangan

Tantangan terbesar keduanya adalah mengelola harapan publik yang begitu membubung. Berbagai citra (current image) Jokowi yang terkonstruksi selama kampanye sebagai fi gur populis, humanis, low profile, bersih, pekerja keras, dan berpengalaman akan mulai diverifi kasi dan dikonfi rmasi setiap saat sepanjang lima tahun ke depan.

Citra itu menjadi semakin berat saat warga DKI begitu merindukan perubahan (cukup cepat). Citra akan bersanding erat dengan harapan (wish image). Posisi ini membuat Jokowi tidak hanya harus mau dan mampu bekerja keras, tetapi juga cerdas dan cepat. Kerja keras dibutuhkan untuk mewujudkan setiap janji kampanye dalam beragam program pemerintahan. Kerja cerdas penting dalam konteks skala prioritas untuk memosisikan kepemimpinannya on the track menuju pemenuhan harapan publik yang tinggi.

Di banyak kasus, pemimpin populis yang terpilih, harapan publik secepat kilat menguap dan tergantikan skeptisme karena tak mampu membangun impresi memadai di paro pertama momentum kekuasaannya. Saat kepercayaan memudar drastis, pemimpin tersebut mengalami kendala, bahkan kesenjangan, psiko-politis dalam menjalankan program-program yang dicanangkannya. Ada hierarki tantangan yang harus menjadi catatan Jokowi dalam mengelola harapan publik, mulai dari level ma k r o , mezo, hingga level mikro.

Di level makro, tantangannya adalah mengubah watak sekaligus wajah kepemimpinan pemerintahan Provinsi DKI yang elitis-birokratis ke teknokratikhumanis. Untuk ini, Jokowi tidak terlampau susah mewujudkan karena sudah lama dipraktikkan di Solo. Tantangannya, konsistensi untuk menjadikan seluruh elite di birokrasi Pemprov DKI bekerja melayani warga dengan pendekatan-pendekatan profesional, humanis, tanggap, bersih, dan transparan.

Hal itu tentu terkait dengan stigma warga yang sudah lama melekat bahwa Pemprov DKI sangat elitis dan birokratis. Asumsinya, jika para elite di Pemprov DKI memiliki komitmen pada good dan clean government, pelaksanaan beragam program oleh seluruh staf Pemprov DKI dan juga rekanan dari pihak swasta akan bermuara pada output yang sama, kebermanfaatan birokrasi untuk warga Jakarta.

Di level mezo, ada banyak tantangan. Di antaranya problem transparansi yang indikatornya keterbukaan informasi publik seperti besaran anggaran dan kegunaannya. Kemudian pola komunikasi birokrasi dengan warga Jakarta. Kesenjangan komunikasi kerap melahirkan prasangka buruk, kekecewaan, bahkan tentangan yang kurang proporsional.

Hal itu terkait dengan beragam informasi yang seharusnya disampaikan Pemprov DKI secara strategis, terencana, t e r b u k a , dan berkelanjutan yang dalam praktiknya justru kabur dan distorsif. Lalu pola hubungan antara Pemrov DKI dan pemerintah pusat, serta pemda-pemda sekitar. Pada periodeperiode sebelumnya, ini menjadi salah satu tantangan nyata dan menjadi kendala optimalisasi kerja gubernur.

Lainnya, relasi kuasa antara Jokowi- Basuki dan DPRD DKI. Suka tidak suka, salah satu tantangan adalah kekuatan politik di DPRD. Jika patokannya kekuatan pendukung pilkada, modal utama dukungan keduanya ada pada PDIP dan Gerindra. Tetapi tentu saja politik itu selalu dinamis, masih terbuka lebar kesempatan membangun komunikasi politik dengan partai-partai yang bukan pengusung utamanya.

Hanya, gubernur dan wakil juga jangan sampai terjebak pada skenario membangun harmoni dengan DPRD dan larut dalam skema pragmatisme kaum elite legislatif. Jika pun ada relasi antagonistik antara Jokowi-Basuki dengan DPRD saat mereka ingin merealisasikan beragam program populisnya, tentu rasionalitas warga harus tetap menjadi acuan utama. Opini publik akan membangun cara dan logikanya sendiri dalam menginisiasi dukungan terhadap pemimpin mereka yang secara faktual memiliki komitmen pada perbaikan Jakarta.

Di level mikro, terkait hal-hal teknis berbagai kerja leading sector seperti transportasi publik, penanganan ketertiban umum, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal ini tentu saja berkaitan dengan operasionalisasi program yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta.

Tentu, karena kompleksnya persoalan Jakarta, tidak mungkin seluruh masalah bisa diurai dengan cepat. Tapi warga tetap membutuhkan bukti kampanye "Jakarta Baru" yang selama ini digelorakan.

Disonansi Kognitif

Jika harapan publik tidak terkelola dengan baik, dikhawatirkan muncul desonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982), disonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi.

Pengetahuan, pendapat, keyakinan, atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi. Tidak konsistennya antara yang dipikirkan dan yang dirasakan atau dialami menyebabkan kekecewaan, bahkan frustrasi.

Dalam konteks pilkada DKI, jika masyarakat memahami Jokowi-Basuki terpilih dalam satu mekanime demokratis dan diasumsikan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan para elite partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan warga.

Ini merupakan keadaan psikologis tidak menyenangkan yang timbul saat pemilih mengalami konfl ik dua kognisi antara pengetahuan mengenai pentingnya mewujudkan partisipasi politik warga dalam pilkada dan ketidakyakinan akan kualitas pilihan. Kondisi ini yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger disebut sebagai inkonsistensi logis.

Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik, bisa menyebabkan warga apatis, bahkan apolitis, di kemudian hari. Pemilu seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna. Dia harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk warga yang rasional, berdaya, dan memiliki daya tawar.

Bibit keraguan atas langkah mulus kepemimpinan Jokowi-Basuki pun mulai tebersit ketika belum dilantik pun, elite partai-partai pendukung utama, PDIP dan Gerindra, terlibat dalam debat kusir. Mereka bertanya siapa yang paling berhak mendapat free ride publicity dari kemenangan pilkada. Jika benar kedua partai ini kapok berkoalisi, secara psiko-politis tentu juga akan menambah beban gubernur dan wakil.

Mengingat tantangan keduanya amat berat, seluruh komponen seperti warga dan media massa juga harus memberi ruang dan waktu untuk optimal mengelola harapan publik. Seluruh program yang sudah dalam ingatan dan catatan media selama kampanye satu per satu harus direalisasikan! Ini pertaruhan, karena kalau Jokowi-Basuki yang terpilih secara demokratis saja gagal, entah harapan apa lagi yang nanti tersisa pada warga Jakarta.

Sumber tulisan:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102343

KAMPANYE DI MEDIA PENYIARAN


 Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 21 September 2012)

Tahapan partai politik saat ingin ikut pemilu adalah melakukan kampanye. Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye pemilu kerap menjadi titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga.

Hal utama yang sering kali menjadi persoalan pada fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan kesepakatan aturan main.
Demokratisasi tidak hanya penting dalam memosisikan hak memilih dan dipilih, melainkan juga dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilunya. Salah satu tahapan tersebut adalah kampanye pemilu, terutama hubungannya dengan pemanfaatan media massa secara adil dan demokratis.

Pemilu 2014

UU Pemilu No 8 Tahun 2012 menyatakan kampanye pemilu legislatif dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir tiga hari jelang pencontrengan. Masa kampanye pemilu rencananya berlangsung kurang lebih 15-16 bulan sejak pengumuman verifikasi parpol oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika asumsi waktu berjalan mulus, rentang masa kampanye pemilu legislatif 2014 lebih panjang dari pemilu 2009. Saat itu, kampanye berlangsung sembilan bulan, yakni 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009.

Hal berbeda dari penyelenggaraan pemilu 2009 terkait dengan masa kampanye melalui media massa. Untuk Pemilu 2014, kampanye melalui media cetak dan elektronik ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang, artinya tiga hari sebelum pencontrengan.

Sementara pada Pemilu 2009, iklan melalui media massa bisa dilakukan tiga hari setelah peserta pemilu ditetapkan sebagai kontestan, seperti halnya metode pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, serta pemasangan alat peraga di tempat umum.
Sekilas tampak ada kemajuan, karena seolah-olah waktu siaran untuk iklan kampanye pemilu di media massa kita berkurang.

Tetapi jika kita kaji secara faktual, aturan main ini dibuat seolah untuk dilanggar semua kontestan pemilu. Banyak partai, terlebih yang memiliki media, jauh-jauh hari mengoptimalkan media sebagai instrumen kampanye dan propaganda, bahkan jauh sebelum tahapan pemilu berlangsung.
Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam Persuasive Communication Campaign (1993), bahwa kampanye merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan.

Dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai tindakan persuasif, bisa dimaklumi jika kampanye memang sedari awal berorientasi pada empat hal.

Pertama, berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat, atau gagasan yang disodorkan. Kedua, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata.

Ketiga, mendramatisasi gagasan-gagasan yang disampaikan sehingga mengundang mereka untuk terlibat, baik secara simbolis maupun praktis sesuai tujuan kampanye. Keempat, menggunakan kekuatan media massa dalam menggugah kesadaran masyarakat sehingga mengubah perilaku pemilih (voter behavior).
Pesatnya perkembangan industri media massa membuat partai politik memunculkan banyak strategi yang erat kaitannya dengan media. Para pengusaha-politikus melakukan penetrasi melalui penguasaan media.

Hal ini mengemuka pada fase pemilu 2009 dan kian kokoh jelang pemilu 2014. MNC Group, Media Group, Viva Group, dan lain-lain merupakan contoh pengendalian media oleh politikus pengusaha yang sekaligus menjadi pengendali utama partai politik. Dengan demikian, media menjadi arena pertarungan baru yang tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan sudah sangat eksplosif dan eksploitatif.

Lihat saja baku hantam pada kasus restitusi pajak PT Bhakti Investama, Lumpur Lapindo, Hambalang, Wisma Atlet, dan skandal Century. Media di bawah pengendalian pemilik, mengonstruksi, merekonstruksi, dan mendistribusikan political news framing yang menohok kredibilitas kompetitor sekaligus mengeliminasi opini negatif yang tertuju pada kekuatan politik mereka masing-masing.

Proporsionalitas Siaran

Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 ini ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika.
Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal larangan menjual blocking segment dan/atau blocking time, dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.

Sementara di Pasal 97 batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif 10 spot berdurasi paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye. Sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.Namun ada beberapa hal mendasar yang perlu dikritik untuk mendapatkan perhatian kita bersama.

Pertama, semakin terabaikannya peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam kegiatan kampanye pemilu. Jika di UU No 10 Tahun 2008, KPI bisa menjatuhkan sanksi kepada media penyiaran yang melanggar aturan kampanye maka di UU No 8 Tahun 2012 sanksi itu hanya mungkin diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota itu pun hanya kepada partai yang menjadi kontestan pemilu saja.

Posisi KPI hanya disebut di Pasal 100 dalam bahasa normatif, yakni pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu.
Kedua, kalimat di dalam UU No 8 Tahun 2012 terutama terkait dengan penggunaan jam tayang masih sangat normatif. Redaksi kalimat “memberi alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang” adalah rumusan yang normatif dan multiinterpretasi.

Ini senada dengan Pedoman Perilaku Penyiaran Bab XXIX Tahun 2012 dari KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada yang salah satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional.

Perlu ada pengaturan lebih operasional mengenai durasi tayangan iklan, running text, superimpose, jual waktu siar dalam program, siaran jajak pendapat, dan jenis siaran lainnya yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung.

Oleh karena itu, sangat diperlukan perangkat peraturan KPU dan KPI yang tegas, detail, operasional, dan mengikat sesuai dengan porsi lembaga masing-masing tetapi bersinergi untuk menjaga kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Frekuensi siaran adalah milik publik, karena itu lembaga siaran tidak bisa sewenang-wenang menggunakan waktu siar sebagai alat kampanye, propaganda, bahkan hegemoni opini publik.

Dinamika industri media saat ini menyebabkan harapan terwujudnya demokratisasi siaran sirna! Politikus-pengusaha berada di puncak hierarki media. Dampaknya, bingkai pemberitaan di level dan isu tertentu sangat mungkin disesuaikan dengan keinginan pemilik.

G20S/DKI ?


  
Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO pada 17 September 2012)

Suhu politik di Jakarta kian eskalatif dan mencapai titik kulminasinya pada 20 September. Rivalitas yang terkonsentrasi pada dua kandidat calon gubernur-wakil gubernur, yakni pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Basuki, menyebabkan gerilya pencarian dukungan kian ketat.

Hari pencoblosan akan menjadi momentum menentukan untuk DKI lima tahun ke depan. Meskipun, titik panas Pilkada diprediksi belum akan berakhir meski sudah diketahui siapa pemenangnya di hari menentukan tersebut.

Modus Gerakan

Kalau kita buat pemetaan dalam konteks komunikasi politik, paling tidak ada tiga modus aktivitas dominan yang dilakukan para kandidat dan para pendukungnya jelang babak akhir Pilkada DKI. Pertama, sangat intensifnya aktivitas political publicity dengan cara memanfaatkan beragam momentum dan isu guna memersuasi pemilih.Modus ini dipakai kedua kandidat dengan titik tekan yang cukup berbeda.

Pasangan Foke-Nara tampak lebih banyak memanfaatkan free ride publicity,yakni dengan menyinergikan beragam eventyang digelar pihak ketiga dan mengasosiasikan Foke-Nara dengan basis pemilih dari organisasi atau figur politik level elite yang berhasil dilibatkannya. Misalnya, dia sangat ngotot menguasai gerbong-gerbong parpol yang kalah di putaran pertama sekaligus memanfaatkan efek domino koalisi besar tersebut guna memersuasi basis pemilih partai bersangkutan. Foke-Nara melibatkan peran organisasi massa dan keagamaan secara lebih eksplosif.

Terlihat dari beragam brosur, spanduk, rilis media berisi dukungan yang deras bermunculan jelang putaran kedua. Pasangan ini mengombinasikan strategi tadi dengan paid-publicity melalui pembelian banyak ruang publikasi di media massa. Meski strategi tersebut dalam hal-hal tertentu juga dilakukan Jokowi-Basuki, secara dominan pasangan penantang ini lebih menekankan pure publicity.Yang menjadi menu utama bauran pemasaran dari brand pasangan ini justru terletak pada sosok Jokowi sendiri. Gaya low profile Jokowi dengan segala macam kesan protagonisnya di media massa dan situs jejaring sosial inilah yang lebih dikedepankan.

Saat isu SARA dan segala macam kampanye penyerangan, baik kampanye negatif maupun kampanye hitam, berembus kencang ke pasangan ini, Jokowi hadir sebagai formula penetral sekaligus kerap sukses membalikkan serangan menjadi peneguh identitas politisnya sebagai sang penantang yang membawa harapan. Tanpa mengecilkan kontribusi Basuki, memang figur Jokowilah yang menjadi simpul kekuatan pasangan kandidat ini. Sedikit berbeda dengan pasangan Foke-Nara yang harus berjibaku dengan stigma negatif dan relasi antagonis dengan media, Jokowi jelang putaran kedua lebih banyak menjaga konsistensi hubungan baik sekaligus meneguhkan sosoknya sebagai media darling.

Kedua adalah operasi propaganda. Ini biasanya operasi yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir, bentuknya manipulasi psikologis untuk melegitimasi propagandis sekaligus mendelegitimasi lawan. Contoh propaganda tersebut adalah penyebaran video di YouTube yang sifatnya intimidatif. Teknik propaganda cardstacking banyak dilakukan guna menimbulkan efek domino dari satu pesan atau tindakan agar membentuk atau mengarahkan kekitaan yang dimanipulasi secara psikologis.

Dari beragam isu propaganda yang mencuat pra-masa kampanye putaran kedua, lebih tepatnya lagi di antara 11 Juli hingga akhir Agustus, posisi Jokow-Ahok yang paling diuntungkan dalam banyak pemberitaan media. Terlepas dari siapa yang melancarkan serangan propaganda tersebut, tampak tidak banyak mengubah persepsi para pemilih Jokowi-Basuki di putaran pertama,bahkan muncul peluang pasangan ini mengapitalisasi isu dengan memosisikan diri mereka sebagai korban operasi propaganda. Ketiga, kampanye negatif (negative campaign).

Kampanye jenis ini menyerang kandidat lain dengan sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi. Dengan cara menampilkan fakta-fakta pendukung yang menjadi titik lemah dari kandidat lawan. Kedua kubu melancarkan operasi kampanye negatif yang hampir sama, misalnya menyerang rekam jejak masing-masing selama menjadi birokrat seputar isu korupsi, pelayanan publik, prestasi, dan orientasi kekuasaan.

Lagi-lagi di sisi ini pun kubu Foke-Nara memang jauh lebih berjibaku karena stigma kegagalan yang telanjur dilekatkan pada periode pertama kekuasaan Foke. Termasuk serangan menohok yang dilakukan Wakil Gubernur Prijanto yang cukup membahayakan posisi keterpilihannya di putaran kedua.

Kalkulasi Akhir

Sulit memprediksi siapa yang akan memenangi pertarungan di Pilkada DKI. Beberapa lembaga survei memang sudah merilis bahwa perburuan suara akan sangat ketat dan pemenang hanya unggul tipis dari rivalnya. Survei Soegeng Sarjadi School for Government (SSSG) memprediksi Jokowi- Basuki memperoleh 36,74% unggul tipis dari Foke-Nara yang diprediksi mengantongi 29,47%.

Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan majalah Tempo memprediksi 44,7% untuk Foke-Nara dan 45,6% untuk Jokowi-Basuki. Di banyak diskusi, muncul analisis menarik bahwa pemenang Pilkada DKI kali ini akan ditentukan oleh G20S/DKI (Gerakan 20 September Pilkada DKI). Maksudnya, siapapun yang mampu memalingkan perhatian kelompok pemilih yang belum memutuskan (undecided voters) inilah yang akan menang di akhir perburuan suara. Sebagai landasan kalkulasi politik, kita bisa melihat peta putaran pertama terlebih dahulu.

Jokowi-Ahok di putaran pertama mengantongi 42,60% dan Foke-Nara 32,05%,sisanya adalah pemilih kandidat lain sebesar 23,35%. Di luar itu, ada kelompok yang tidak berpartisipasi dalam putaran pertama sebesar 36,38%. Prototipe pemilih akan teridentifikasi menjadi tiga. Pertama, loyalis kedua pasangan yang konfigurasinya tidak berbeda jauh seperti putaran pertama. Kedua, kelompok swing voters, artinya di putaran pertama mereka memilih kandidat gubernur lain dan di putaran kedua harus menentukan pilihan baru.

Angka yang diperebutkan kurang lebih 23%an.Meski Foke-Nara menguasai gerbong dan elit partai,belum tentu berimbas pada kesamaan pandangan dengan basis akar rumput partai-partai yang dikuasainya. Mereka juga belum tentu memilih pasangan Jokowi-Basuki, seperti tergambar dari kelompok pemilih kandidat independen yang banyak menyatakan tidak berminat memilih di putaran kedua. Ini ceruk cair yang akan diperebutkan kedua pasangan. Ketiga,kelompok yang sama sekali belum memutuskan pilihan karena beragam pertimbangan.

Komposisi tipe ketiga ini biasanya diisi oleh kelompok pemilih yang secara kelas sosial ekonomi dan pendidikan berasal dari kelas menengah atas. Jikapun mereka memilih, sikap mereka akan ditentukan di pengujung waktu tanggal pemilihan. Kelompok ini pula yang sebelumnya menjadi kunci kemenangan Jokowi-Basuki di putaran pertama. Dengan demikian, asumsi bahwa putaran kedua akan ditentukan oleh G20S/DKI sepertinya akan terkonfirmasi. Selamat memilih warga Jakarta!

LANGKAH MUNDUR PILGUB


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 15 Agustus 2012)

Salah satu kontroversi yang saat ini terus menggelinding menjadi bola panas di DPR adalah rencana mengembalikan pemilihan gubernur (pilgub) ke DPRD. Hal tersebut masuk ke dalam RUU Pilkada yang sedang intensif dibahas DPR.

Jika konsep pemerintah ini disetujui DPR, peserta pilgub mengacu ke Pasal 11 RUU Pilkada tersebut. Calon hanya dari usulan fraksi atau gabungan fraksi di DPRD Provinsi. Ide ini memiliki banyak kerancuan logika sekaligus berpotensi memutar bandul perjalanan demokrasi ke era ketertutupan seperti pada Orde Baru.

Paradoks

Argumen para pendukung RUU tersebut menimbulkan sejumlah paradoks. Misalnya, gubernur merangkap kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas muncul implikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara risiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding pemilihan bupati atau wali kota. Untuk membuat masuk akal argumentasi ini, biasanya merujuk pada proses implementasi otonomi daerah (otda) yang basis utamanya di level kabupaten dan kota.

Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otda tentu sangat rancu, mencoba menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otda, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi.

Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada aspek administrasi dan politik. Dalam perspektif desentralisasi administrasi, memungkinkan transfer tanggung jawab administratif dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas sampai terendah dalam hierarki teritorial.

Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu tandanya pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala daerah yang dikehendaki rakyat.

Hal ini akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput. Dalam konteks inilah, pilkada harus dipahami sebagai alat pemberian legitimasi rakyat kepada pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang berisiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.

Pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi baik finansial maupun sosialnya. Ini dianggap sebagai salah satu penyebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain. Apakah benar, mengembalikan pilgub ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi, mekanisme pemilihan oleh DPRD justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti kandidat ke partai-partai yang berkuasa di DPRD bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.

Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekadar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) Orde Baru. Dalam demokrasi perwakilan, kepala daerah dan wakilnya memang dipilih DPRD, sementara saat ini, demokrasi bersumber langsung pada pilihan rakyat.

Menekan biaya finansial bisa saja dibuat pengetatan aturan dalam proses pilkada, baik bagi penyelenggara pemilu maupun para kandidat, sementara mengurangi biaya sosialnya pilkada harus diselenggarakan mereka yang kredibel, independen, serta dibuat aturan yang jelas dan transparan.

Satu lagi yang harus diingat sejak lahirnya UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah direvisi ketentuan penyelenggara pemilu dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 32 tahun 2002 menempatkan pilkada dalam domain pemerintahan daerah, sementara UU No 22 tahun 2007 menempatkan pilkada dalam domain pemilu.

Konsekuensinya KPU dengan berbagai tugas dan kewajibannya memiliki independensi menyelenggarakan pilkada. Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD tentu akan menjadi blunder karena menempatkan pemilihan kepala daerah dalam domain politik legislator. Ini menambah keruwetan karena harus ada penyelarasan dengan pembahasan revisi UU No 22 tahun 2007 yang kini juga sedang berlangsung di DPR.

Pemilihan gubernur oleh DPRD bisa menyuburkan kembali kartelisasi politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka. Menurut Dan Slater dalam tulisannya "Indonesia's Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition" (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan kolusi demokrasi (collusive democracy).

Pemilihan oleh DPRD juga bisa memupuk feodalisasi politik karena tak terhindarinya restu para pemilik otoritas yang berada di puncak hierarki kekuasaan parpol. Pilkada langsung oleh warga, jauh lebih menarik dan lebih menjanjikan demokratisasi dibanding langkah mundur pemilihan gubernur.

Pupusnya Independen

Pemilihan gubernur oleh DPRD juga mengancam keberadaan calon-calon independen. UU No 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua dari UU No 32 tahun 2004 memberikan revisi substansial terhadap proses pilkada dengan mengakomodasi calon independen. Meski di banyak daerah calon independen kalah, mekanisme ini memberi ruang ekspresi demokrasi bagi masyarakat.

Hal ini menjadi sangat sulit dilakukan saat pemilihan dikembalikan ke DPRD yang notabene adalah representasi partai-partai politik. Bisa saja peluang kandidat independen untuk mendaftar masih terbuka berdasarkan UU baru nanti, tetapi nyaris mustahil kekuatan fraksi-fraksi di DPRD berminat memilihnya. Hal ini jelas-jelas kemunduran dalam demokrasi elektoral.

Eksistensi kandidat independen sesungguhnya bagus dan menyehatkan guna memacu partai-partai politik agar lebih kompetitif. Selain itu, kandidat independen juga menyediakan opsi berbeda bagi warga negara yang skeptis terhadap peran parpol. Pemilih membutuhkan figur yang didorong warga sendiri secara bersama-sama.

Pilkada DKI bisa menjadi contoh meskipun kandidat independen itu tidak menang, tetapi memberi literasi politik kepada partai-partai dan juga warga bahwa harus ada keseriusan dalam pencalonan kandidat yang akan mengemban amanah sebagai kepala daerah. Memang, dalam sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia hingga kini, tercatat baru ada 10 pasang kandidat independen yang memenangi pilkada.

Sudah dapat diraba apatisme publik kini semakin menjadi dan merata di hampir seluruh daerah. Kekecewaan publik tersebut dipicu perilaku parpol yang ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan yang korup dan tidak memberi ruang sedikit pun bagi perjuangan politik yang benar-benar pro rakyat.

Partai apa pun nyaris berperilaku sama dengan mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya. Mereka juga mengamankan berbagai akses ke sumber-sumber keuangan. Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Untuk itu, dibutuhkan keberadaan kandidat independen guna memperbanyak opsi calon dalam praktik demokrasi.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/98263

Sabtu, 04 Agustus 2012

RONDE FINAL PILKADA DKI

Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 2 Agustus 2012

Rivalitas pasangan Jokowi- Basuki dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli di Pilkada DKI kian eskalatif menjelang putaran kedua pada 20 September. Beragam strategi pemenangan dilakukan kedua kubu, dari cara-cara rasional berbasis data dan program hingga cara emosional berbasis isu sektarianisme.


Tak dimungkiri, putaran kedua selalu punya atmosfernya sendiri. Selain dibutuhkan kemampuan mengelola sumber daya politik, setiap kandidat juga wajib memiliki mental juara mengingat rivalitas akan mencapai titik kulminasinya. Hal menarik dari rivalitas mereka sekarang ini adalah membaca peta kekuatan politik masing-masing dan kemungkinan- kemungkinan skema strategi yang dilakukan menuju ronde final.

Strategi Foke 

Ada beberapa strategi yang sepertinya akan dijalankan tim pemenangan pasangan Foke-Nara menuju putaran kedua. Pertama, di level elite partai tentu pasangan ini akan sangat ngotot menerapkan strategi penguasaan partai-partai dengan konsep blocking seperti yang pernah dilakukan Foke-Prijanto pada Pilkada DKI 2007. Sekarang, Foke-Nara intensif melobi dan melakukan negosiasi guna membangun koalisi besar.

Dalam skema ini PKS, PPP, PAN, Demokrat, Golkar dan PKB sangat mungkin merapat ke kubu Foke-Nara. Peran para elite Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai masing-masing sepertinya lebih mudah memberi endorsement ke Foke-Nara. Dukungan partai-partai koalisi pendukung pemerintahan SBY ini diprediksi lebih mudah menyatu dengan Foke-Nara bukan karena kesamaan platform, terlebih ideologi; melainkan lebih karena alasan taktis-pragmatis, yakni pertimbangan elektoral 2014.

Sangat mungkin dibangun semacam sentimen asal bukan PDIP dan Gerindra karena saat ini keduanya jelas-jelas adalah representasi kekuatan nonkekuasaan dan berpotensi meroket pada Pemilu 2014. Tentu jika Jokowi-Basuki menang di Pilkada DKI akan menjadi faktor pengatrol popularitas sekaligus elektabilitas partai-partai pengusungnya. Bahkan sangat mungkin Jokowi juga menjadi calon potensial dari PDIP untuk presiden di masa mendatang.

Selain itu, ada pertimbangan taktis-pragmatis bagi para kandidat jalur partai yang sudah mengeluarkan biaya politik selama putaran pertama. Prediksi penulis, yang paling siap meraup mesin pemenangan partai-partai yang tidak lolos di putaran pertama ini adalah Foke-Nara karena mereka memiliki sumber daya finansial lebih baik dibanding pasangan Jokowi-Basuki. Kedua, skema memaksimalkan attacking campaign bahkan sangat mungkin menerapkan teknik propaganda.

Dalam konteks ini yang dipakai adalah teknik name calling, yakni memberi label buruk pada lawan. Isu sektarian akan meningkat bahkan diprediksi semakin eksplosif terlebih ada momentum Ramadan. Misalnya, isu agama dan etnis bisa menjadi peluru tembak yang mudah diarahkan untuk membidik pasangan Jokowi-Basuki, terutama di level akar rumput pemilih. Di saat bersamaan, tim sukses Foke lebih berpeluang menggunakan teknik plain folks.

Teknik ini biasanya digunakan dengan cara mengimbau pemilih bahwa Foke merupakan bagian utuh dari komunitas-komunitas utama Jakarta, sehingga komunitas tersebut bisa bersama-sama dalam kerja kolaboratif yang mendongkrak perolehan suara Foke. Isu pribumi dan pendatang masih mungkin diterapkan untuk memantik konvergensi simbolik dari semangat kekitaan.

Strategi Jokowi 

Bagi pasangan Jokowi- Basuki, ada beberapa strategi yang paling mungkin mereka lakukan. Pertama, pasangan ini akan terus memainkan keuntungan psikopolitis yang diraihnya lewat kemenangan di putaran pertama. Dalam tradisi elektoral, biasanya muncul bandwagon effect, yakni pemilih cenderung akan memilih kandidat yang sedang leading dan dianggap berpotensi menang. Kemenangan 11 Juli bisa memiliki multiplier effect pada perilaku pemilih di putaran kedua.

Sehingga, kubu Jokowi-Basuki akan mengoptimalkan betul publisitas politik hasil putaran pertama untuk menaikkan dukungan. Kedua, Jokowi akan merangkul kelompok pemilih yang belum berpartisipasi dalam pilkada putaran pertama. Meski strategi ini juga pasti akan dilakukan oleh kubu Foke-Nara. Kalau kita telaah dalam sejarah golput di Indonesia, mereka rata-rata kelompok yang apolitis, bahkan kritis, terhadap kekuatan status quo.

Jika pun mereka harus memilih, cenderung akan menyalurkan suaranya pada sosok yang properubahan. Jumlah mereka yang belum berpartisipasi di putaran pertama ada 36,38%. Ketiga, Jokowi-Basuki paling berpotensi melakukan strategi attacking campaign dengan cara intensif mengungkap kegagalan Foke di periode pertama kekuasaannya. Diakui atau tidak, Jokowi sangat terbantu dengan kuatnya current image kegagalan Foke mengurus Jakarta.

Citra negatif yang secara faktual menjadi beban politik paling berat dalam mengatrol keterpilihan Foke di putaran kedua nanti. Keempat, basis massa kandidat independen yang cenderung kritis terutama di basis pemilih Faisal-Biem. Kemungkinan besar mereka tidak akan diarahkan oleh kandidat independen yang kalah di putaran pertama, karena sifat konstituennya yang cair dan kritis.

Namun, konsituen kandidat independen ini cenderung menghendaki perubahan, sehingga yang berpotensi bisa merangkulnya adalah kubu Jokowi-Basuki. Kita bisa mengambil contoh dari putaran pertama, swing voter yang jumlahnya plus minus 26%, banyak yang masuk ke Jokowi sehingga menjadi penentu kemenangan putaran pertama. Kelima, Jokowi akan memanfaatkan cairnya pemilih di basis-basis utama partai politik.

Kita bisa lihat, betapa keroposnya Partai Golkar dan Demokrat di putaran pertama. Keterikatan emosional berbasis nilai-nilai kekitaan di partai memudar dan cenderung tergantikan oleh kekuatan figur calon gubernur. Dalam konteks inilah posisi Jokowi-Basuki memiliki peluang. Dari peta kekuatan di atas, sesungguhnya kedua belah pihak masih berpeluang menang di putaran kedua.

Memang, peluang Jokowi lebih besar selama dia tetap sabar, tidak terlena euforia kemenangan, dan konsisten menjaga basis-basis massa pemilih yang berkontribusi pada kemenangannya di putaran pertama. Putaran kedua bukan semata perang penguasaan akses ke partai atau elite yang menjadi significant others pemilih, melainkan juga ke simpul-simpul utama pemilih yang sekarang menjadi area terbuka bagi “peperangan” kedua kandidat.

SAATNYA WARGA DKI MEMUTUSKAN

Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 10 Juli 2012

Tibalah saatnya warga Jakarta memilih. Ini bukan semata urusan warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos kandidat, melainkan lebih dari itu, yakni momentum aktualisasi kadaulatan warga yang siap diamanahkan kepada satu di antara enam pasang kandidat yang bertarung memperebutkan posisi DKI11.

Fase pencitraan dengan segala jenis pendekatan persuasifnya sudah usai. Besok merupakan tanggal pemungutan. Ini saat penentuan dan keputusan (pilihan) warga akan membawa arah perjalanan Jakarta lima tahun ke depan.

Partisipasi

Pilkada DKI kali ini dari sudut alternatif kandidat jauh lebih menarik daripada 2007. Saat itu, warga Jakarta hanya memiliki sedikit opsi, yakni pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Kemenangan terlalu mudah diprediksi karena kekuatan partai politik mengelompok berlebihan di kubu Fauzi Bowo.

Wajar jika banyak warga Jakarta saat itu menjadi hopeless. Hal ini bisa dilihat dari angka golongan putih (golput/tidak menggunakan hak pilih) yang tinggi. Warga Jakarta yang memilih hanya 65,41 persen dari 5,7 juta pemegang hak pilih yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 3,7 juta pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya.

Kini, ada empat pasang kandidat dari partai politik dan dua independen. Tidak main-main, yang bertarung pun partai-partai besar sehingga media kerap menyebutnya sebagai clash of the titans! Kandidat independen pun mencatatkan sejarahnya karena mampu menginisiasi kemandirian dukungan hingga tetap melaju ke tahap pencalonan dan ronde final pemilihan.

Atmosfer berbeda ini sepatutnya menarik minat warga Jakarta untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan jumlah 6.983.693 pemilih, sangat mungkin ada perubahan!

Dalam konteks Jakarta sekarang, golput tidaklah strategis karena perubahan tidak akan muncul jika warga selalu apatis atau skeptis. Dengan beragam latar belakang kandidat, sudah sepatutnya warga memiliki sikap yang jelas demi Jakarta yang lebih baik. Tapi, tentu pilihan warga Jakarta harus rasional karena satu suara akan menentukan nasib DKI satu periode kekuasaan.

Herbert McClosky dalam buku lawasnya Internal Encyclopedia of the Social Sciences (1972: 252) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela warga masyarakat di mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Harus digarisbawahi bahwa simpul kekuatan partisipasi politik adalah kegiatan sukarela! Supremasi warga negara itu kedaulatan! Karena itu, warga harus menjaga dan memandatkannya pada orang yang tepat dan benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, serta profesionalitas dalam penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi pada warga.

Sepatutnya warga mendatangi satu di antara 15.059 TPS dan secara rasional menentukan pilihan mereka secara sukarela. Terlalu naif sekaligus berisiko jika warga menukarkan suaranya hanya dengan sedikit uang atau hadiah lainnya. Selain tidak akan berarti apa-apa, pilihan yang dijalani secara tidak sukarela karena tindakan voter buying ini juga merusak kualitas demokrasi. Dalam jangka panjang, imbas memilih pemimpin yang salah akan merugikan hak-hak sipil politik warga Jakarta.

Warga Berdaya

Seribu satu cara kerap dilakukan para kontestan, terutama yang memiliki akses ke kekuasaan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadai beberapa hal. Pertama, mobilisasi masa melalui jalur-jalur birokrasi. Ini modus yang kerap digunakan banyak incumbent. Secara formal tidak akan tampak, tapi kalau diteliti secara saksama, kerap terjadi mobilisasi yang bersifat masif dan sistemik oleh aparat birokrasi.

Kedua, sangat mungkin juga warga diintimidasi dalam pilkada. Jika di zaman Orde Baru intimidasi dilakukan militer, sekarang modus seperti ini kerap dimainkan ormas-ormas berbasis etnis yang dikendalikan kandidat yang bertarung. Ini pun biasanya penetratif hingga ke simpul suara. Warga yang disasar oleh intimidasi ini biasanya bukan kelas menengah atas yang secara sosiologis sudah menjadi masyarakat kritis, melainkan warga pinggiran yang dalam hal-hal tertentu masih lekat dengan budaya paguyuban dan kerap berafiliasi dengan figur-figur sentral di tempat tinggalnya.

Ketiga adalah serangan fajar yang menohok kebutuhan warga secara langsung. Biasanya dilakukan secara door-to-door dan melibatkan banyak pemain yang sehari-hari biasanya adalah orang-orang yang sangat dikenal warga. Bahkan, di antara para pemain itu significant others bagi para pemilih.

Warga bisa saja menikmati asupan yang tidak seberapa itu atau sebagian lagi merasa tidak enak, ewuh pekewuh dengan para senior dan orang yang dihormatinya. Segelintir elite yang secara struktur sosial tradisional berpengaruh biasanya banyak yang tergoda memerankan diri sebagai broker suara!

Warga DKI sebaiknya lebih berdaya untuk mandiri menentukan pilihannya karena bagaimana pun DKI adalah barometer Indonesia. Kota dengan APBD tahun 2012 mencapai 36 triliun rupiah ini layaknya dipimpin orang yang memiliki tiga kriteria utama. Pertama, yang akan memimpin DKI itu sedari awal harusnya orang yang punya asketisme politik. Dia menjadi gubernur bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bersama-sama.

Ini penting menjadi kriteria pertama karena masalah utama kompleksitas persoalan di DKI dan juga di negara ini adalah korupsi politik atau kejahatan kerah putih yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan membentuk imunitas kelompok untouchble. Oleh karenanya, calon yang tidak terbebani partai politik dan cukong-cukong dalam pencalonannya layak mendapat apresiasi sekaligus dukungan warga.

Kedua, masyarakat membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak semata ngotot menjaga citra sekarang (current image), tetapi juga memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah bukan penambah keruwetan DKI. Siapa pun yang pernah diberi mandat kekuasaan untuk mengelola DKI dan ternyata gagal seharusnya tidak dipilih lagi karena jelas-jelas akan merugikan warga.

Ketiga adalah kandidat yang memiliki kemampuan menumbuhkan kembali semangat komunitarianisme yang humanis. Ini simpul dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang sudah lama tercabut dari warga Jakarta. Pengusaha besar menjadi "predator" usaha kecil-menengah.

Kelompok elite mengisap warga biasa. Tata kota menghamba pada kuasa uang dan nilai etika tak lagi bermakna. Semoga pemimpin baru DKI memiliki jiwa transformatif, humanis, dan merekatkan kembali semangat komunitarianisme.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/95284

ETIKA LEMBAGA SURVEI

Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 6 Juli 2012

Setiap pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu muncul polemik terkait publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik. Tren kehadiran lembaga survei ini kian menyemarakan demokrasi elektoral di Indonesia. Nyaris setiap saat media massa, menjadi saluran publikasi hasil riset dari lembaga berbeda-beda. Hasil riset pun kini kecenderungnnya menjadi tema utama pemberitaan yang tentunya memengaruhi diskursus masyarakat. Karena posisinya yang kian strategis dalam bingkai pemberitaan media (media news framing) inilah, lembaga survei wajib memerhatikan sejumlah nilai etis kerja profesional mereka.

Gelombang Survei

Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik.

Tentu untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi  survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk juga prilaku pemilih.
Dalam bacaan penulis paling tidak ada 3 gelombang eksistensi lembaga survei di Indonesia.  

Pertama, gelombang sentralisasi dimana hampir seluruh aktivitas survei dikelola dan dalam pengendalian pemerintah. Fase ini berlangsung di era Orde Baru. Inisiator awal lembaga survei jenis ini adalah Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta, Departemen Penerangan yang lahir Oktober 1968. Salah satu kontribusi lembaga survei ini di Pemilu, bisa kita lacak misalnya dalam publikasi hasil survei terkait pemilu 1971. Saat itu, hasil survei menunjukkan Golkar diprediksi memenangi 37,7 persen suara dalam Pemilu. Pemerintah sangat represif mengendalikan hasil survei di luar mainstream, salah satu korbannya adalah PT. Suvei Business Research Indonesia (Suburi) yang tak bisa bertahan lama. Baru tahun 1985, media berpartisipasi melakukan aktivitas riset antaralain dilakukan oleh Majalah Tempo dan Kompas yang melakukan survei terkait antusiasme kalangan muda dalam Pemilu 1987.

Kedua, gelombang konsolidasi awal. Ini diawali pada tahun 1999, sesaat setalah reformasi bergulir dan memberi ruang ekspresi berdemokrasi kepada berbagai kekuatan di Indonesia. Kita mencatat sejumlah aktivitas survei mulai eksis, antaralain Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Intenational Foundation for Elections Systems (IFES), selain juga aktivitas survei yang dilakukan kampus-kampus dan media massa. Di Fase ini meskipun aktivitas survei sudah ramai, tetapi belum mengerucut pada spesifikasi profesional sebagai lembaga survei.

Ketiga, gelombang komodifikasi survei. Fase ini ditandai dengan hubungan yang sangat erat antar lembaga-lembaga survei dengan media massa. Tahun 2004 survei-survei lebih maju dari sudut metodologi, tidak hanya pre-election, melainkan juga election survey seperti exit-poll ataupun quick count. Saat itu ada kurang lebih 7 lembaga survei yakni: IFES, LP3ES, International Republican Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Sugeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Reasearch Institute, Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan (Balitbang PDIP).

Banyak lembaga survei yang sukses dalam riset-riset mereka sehingga keberadaannya kian dibutuhkan. Terlebih sejak Pemilu 2004, pemilu digelar secara langsung baik untuk pemilihan legislatif, pilpres maupun pilkada.  Sepanjang 2005-2008 saja terdapat 492 pilkada yang dilakukan di kabupaten/kota dan provinsi, sementara tahun 2009/2010 ada sekitar 246 Pilkada. Lembaga-lembaga survei sukses menjadi trend setter sejumlah isu dan berbagai media pun sangat antusias mengomodifikasi hasil survei tersebut di halaman atau program siaran utama mereka.

Survei Pemilu

Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu. Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembaga survei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orang atau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral.

Sangat terbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung. Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisa saja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya sangat penting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligus operasionalisasinya di lapangan.

Di level publikasi hasil survei juga kerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingat keterbatasan rubrik  atau air time, serta agenda  setting yang menjadi pilihan mereka. Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil.  Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.

Untuk itu perlu standar publikasi penyajian hasil riset di media. Di Amerika misalnya ada Standar penulisan yang direkomendasikan oleh National Council on Public Polls (NCPP), maupun standar minimum American Association for Public Opinion Research (AAPOR).  Untuk itu, di Indonesia juga perlu adanya asosiasi profesional lembaga survei yang kuat dan kredibel. Masalahnya sudahkah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) ini bisa diterima lembaga-lembaga survei kita? Atau baru sekedar pertarungan prestise dan lahan antar lembaga survei besar yang sudah ada saat ini? Ke depan lembaga survei perlu terus membenahi profesionalitasnya, jika tidak ingin terjebak menjadi “tukang” dalam pemenangan! 

Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/508850/

Sumber foto:
www.inilah.com