Sabtu, 29 Desember 2012

"CYBERDEMOCRACY" DARI DKI


Oleh: Gun Gun Heryanto
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian KOMPAS, 8 Desember 2012)

Salah satu topik hangat di jejaring sosial yang ramai dibicarakan dan mengundang polemik masyarakat adalah aksi Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang mengunggah rapat-rapatnya dengan jajaran birokrat Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI ke YouTube.

Video rapat Basuki dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) misalnya sudah dilihat lebih dari 1,2 juta netizen. Hingga tulisan ini dibuat (25/11), video tersebut disukai oleh 14.610  netizen sementara yang tak suka hanya 213. Ada juga video rapat Basuki dengan Dinas Perhubungan, silaturahmi dengan jajaran PNS, dan sejumlah rapat dengan pejabat teras di lingkungan Pemprov DKI.

Benarkah ini penanda dimulainya Jakarta baru yang transparan?  Demokrasi yang mulai adaptif dengan pemanfaatan dunia siber sebagai saluran informasi sekaligus terobosan mengubah wajah kekuasaan.

Birokrasi Partisipatoris

Pasangan Jokowi (Widodo)-Basuki terpilih dari sebuah pilkada yang demokratis. Ekspektasi publik luar biasa tinggi, sehingga banyak pihak menanti cara-cara yang tidak biasa dalam menahkodai pemprov DKI yang lama menjadi birokrasi elitis.

Salah satu kelemahan elementer dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih adalah soal akses informasi untuk publik. Misalnya soal anggaran mulai dari perencanaan, distribusi dan alokasi hingga evaluasi pelaksanaannya.

Ketertutupan informasi merupakan pintu masuk kleptokrasi. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Istilah kleptokrasi sendiri dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi sambil memegang jabatan publik.

Kleptokrasi menjadi mapan bahkan memberi imunitas bagi para pelakunya karena ditopang oleh rezim tertutupan informasi. Birokrasi elitis menjadi benteng pertahanan kokoh para koruptor yang bersembunyi di balik sejumlah aturan dan protokoler yang menjauh dari partisipasi publik. Singkatnya, kebijakan publik yang lahir dari sistem oligarki benar-benar menjadi cara jitu para koruptor untuk bancakan uang rakyat setiap saat.

Jokowi-Basuki tentu sangat sadar bahwa modal sosial yang sekaligus menjadi modal politik mereka hingga mampu menjadi pemimpin DKI adalah kepercayaan publik. Wajar jika tantangan paling nyata bagi mereka saat ini adalah mengelola harapan publik dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang mereka miliki untuk menunaikan janji-janji kampanye secara bertahap.

Politik sangat berkaitan erat dengan persepsi publik, sehingga Jokowi-Ahok harus pandai-pandai mengelola persepsi publik tentang mereka. Tentu, bukan pencitraan yang artifisial, melainkan realisasi program kerja jangka pendek, menengah dan panjang yang bisa dirasakan kehadiran dan kemanfaatannya untuk warga Jakarta. Birokrasi tak lagi elitis melainkan partisipatoris.

Media Sosial
Satu terobosan di fase awal kepempimpinan Jokowi-Ahok adalah pemanfaatan media sosial dalam mendekonstruksi birokrasi elitis. Warga dengan mudah mengakses informasi rapat-rapat Jokowi-Ahok via YouTube. Tindakan ini awalnya tentu membuat beberapa pihak tidak nyaman. Hal lumrah karena setiap cara dan pendekatan baru pasti membawa ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Ada tiga hal yang patut diapresiasi dari tindakan pemprov DKI menyebar video rapat-rapat mereka ke media sosial.

Pertama, media sosial menjadi pilihan tepat di tengah keterbatasan ruang media arus utama seperti tv, radio, koran, majalah dan lain-lain. Kita sangat paham, media arus utama punya logik pasarnya sendiri, sehingga tak mungkin memublikasikan seluruh kegiatan birokrasi secara rinci. Selain faktor ekonomi politik, media arus utama juga akan sangat mempertimbangkan hirarki pengaruh yang lazimnya ada pada mereka.

Pamella J. Shoemaker dan Stephen D.Reese dalam Mediating The Message (1996) mencatat, level-level pengaruh tersebut dimulai dari level individual seperti latar belakang dan kepentingan jurnalis; rutinitas media; organisasional seperti kepentingan pemilik; extra media seperti negara, pengiklan dan kelempok penekan; serta level ideologi yang kerap menjadi faktor makro yang berpengaruh pada isi media.  Dengan memanfaatkan YouTube durasi panjang rapat-rapat Jokowi-Ahok dengan jajaran birokrat Pemprov DKI bisa dinikmati oleh warga bukan hanya di DKI, tetapi di Indonesia dan di luar negeri. Hal ini relevan dengan karakteristik dunia siber yang interaktif, multimedia dan tak terbatas. Peluang ini ditangkap secara cerdas oleh Jokowi-Ahok untuk memberi akses informasi untuk publik.

Kedua, menjadi bagian dari literasi politik untuk warga. Berbagi informasi perihal kinerja birokrasi melalui media yang familiar dengan warga memenuhi salah satu unsur pengarusutamaan literasi politik. Catherine Macrae dalam Political Literacy Resource Pack (2006) menggarisbawahi bahwa literasi politik merupakan bauran kompleks dari praktik sosial yang memungkinkan orang menjadi warganegara yang aktif dan efektif. Warga dilengkapi pengetahuan, skill dan kesempatan bersikap dalam kaitannya dengan politik lokal, nasional bahkan internasional.

 Di Jakarta, penyebaran informasi lewat media sosial sudah tepat karena banyak warga yang adaptif dengan komunikasi berbasis web. 2.0 ini. Selain sebagai konsumen informasi,  netizen juga kerapkali menjadi produsen gagasan yang disebar ke komunitas virtual mereka. Terlebih saat ini kita juga dimudahkan oleh dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), dan Graphical Worlds. Proses berbagi informasi berjalan sangat cepat karena dari YouTube, misalnya, informasi bisa diterukan ke situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Fenomena inilah yang kerap disebut sebagai generasi ketiga komunikasi politik setelah era retorika politik dan media arus utama.

Ketiga, transparansi Jokowi-Ahok melalui media sosial ini merupakan peran birokrasi dalam mewujudkan cyberdemocracy. Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif.

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Tentu warga juga harus kritis, terutama menyangkut konsistensi mereka dalam hal transfaransi. Jangan sampai gebrakan ini hanya memalingkan perhatian publik di awal masa jabatan mereka atau sekedar menjadi skenario pencitraan yang sifatnya dangkal. Kita harus memberi waktu yang cukup untuk menguji kesungguhan mereka, sambil memperkuat simpul-simpul warga yang lebih berdaya secara bersama-sama. ***

Tidak ada komentar: