Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini Telah dipublikasikan di SINDO, 29 Desember 2012)
Sebagai catatan akhir tahun 2012, komunikasi politik kaum elite yang
penuh paradoks masih dominan mewarnai media massa kita. Secara umum,
masih ada perulangan pola, yakni para elite terutama politisi dan
birokrat lintas kekuatan lebih banyak melakukan pendekatan hype politic.
Caranya, mereka membuat gaduh media untuk memalingkan perhatian
khalayak pada bingkai kepentingan si aktor sekaligus menjadi pesan,
persuasi, tekanan, dan ancaman bagi kawan dan lawan politik
mereka.Proses komunikasi politik masih berorientasi kepentingan elite,
dan hanya menyisakan sedikit saja ‘oase’ bagi kepentingan literasi
politik warga.
Rasionalitas Naratif
Seorang teoretikus paradigma naratif, Walter Fisher (1987), menulis
tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua
cerita memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai.Dia
mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni
koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).Koherensi
akan muncul saat si komunikator yang membangun dan mengembangkan
narasi dapat menyajikannya dengan runtut dan konsisten.
Dia tidak meninggalkan detail-detail penting dan tidak pula
mengontradiksikan satu bagian narasi dengan narasi lain di konteks
berbeda. Adapun prinsip kebenaran memiliki makna reliabilitas dari
sebuah cerita. Dalam konteks ini, pernyataan komunikator
merepresentasikan secara akurat realitas sosial. Kedua prinsip
rasionalitas naratif ini kerap kali tidak kita temukan dalam bangunan
narasi para politisi.
Teramat sulit mencari politisi di negeri ini yang membangun narasi
mereka secara ajek! Satu narasi yang mereka sodorkan ke publik kerap
kontradiktif dengan narasi sebelum atau sesudahnya, terutama di
substansi penting dari pesan. Belum lagi bicara soal tautan kebenaran
dari apa yang mereka narasikan dengan realitas yang dirasakan
masyarakat.
Kita mencatat sepanjang tahun ini banyak pidato dan paparan dalam
bentuk lain yang disampaikan para politisi, tetapi hanya sedikit yang
memberi kesan sekaligus perhatian masyarakat. SBY sebagai presiden yang
diberi mandat kekuasaan dua periode,misalnya, di berbagai kesempatan
menyatakan akan melakukan bersih-bersih diinternalPartaiDemokratyang
menyokong kekuasaannya.
Tetapi, nyata-nyata sepanjang tahun 2012 beberapa elite partainya
justru jatuh ke kubangan kasus korupsi.Nazaruddin,Angelina Sondakh,Andi
Alifian Mallarangeng merupakan puncak gunungesdaripersoalankorupsi
yang membelit partai ini. SBY pun mencoba membangun persepsi positif di
forum silaturahmi nasional Partai Demokrat yang digelar 14-15
Desember.
Narasi yang dibangun untuk menciptakan persepsi positif itu antara
lain terlihat dari permintaan maaf SBY atas tindakan tak baik para
kader Demokrat. Selain itu, SBY juga meminta agar Demokrat menggunakan
dana halal dalam menghadapi Pemilu 2014. Di saat bersamaan,SBY coba
mendistribusikan masalah ke partai lain.
Misalnya,dengan mengatakan jangankan Demokrat yang baru berusia 11
tahu, partai-partai lain yang usianya puluhan tahun pun tak luput dari
kesalahan.Ini logika komparatif yang dibangun untuk membangun persepsi
bahwa kesalahan yang dilakukan kader Demokrat sesuatu yang sebenarnya
lumrah dan biasa terjadi di partai politik.
Dalam konteks kepentingan si aktor, tentu narasi ini berupaya
mengubah kuadran opini publik dari negatif ke netral ke positif. Logika
yang sama dibuat dan dikomparasikan para elite Demokrat saat
membandingkan antara korupsi di tubuh partainya dan korupsi di
partaipartai lain. Lagi-lagi, tujuannya sudah bisa ditebak: komparasi
yang diharapkan memecah perhatian publik dari fokus ke tindakan korupsi
di tubuh Demokrat ke banyak partai.
Apa yang dilakukan oleh para elite Demokrat tentu bisa dimaklumi
dalam konteks perang opini publik antarkekuatan. Tetapi sebagai partai
berkuasa dan menarasikan diri akan melakukan bersih-bersih, seharusnya
Demokrat juga menjadi contoh tindakan preventif dalam pemberantasan
korupsi di internal kader.
Jangan sampai untuk kesekian kalinya setelah kader Demokrat
dinyatakan tersangka di KPK atau penegak hukum lain baru mereka teriak
akan bersih- bersih (lagi!). Narasi seperti ini tentu hanya akan
menjadi seremoni dan formalismu tanpa tautan kebenaran. Wajar jika
publik secara sinis ”menghukum” narasi kampanye Demokrat pada Pemilu
2009 menjadi ”katakan tidak pada (hal) korupsi!”
Tautan Realitas
Sepanjang 2012 kita juga disuguhi gelembung politik para elite.
Dahlan Iskan menyerang DPRterkaitpernyataannya tentang sejumlah oknum
wakil rakyat yang meminta upeti dari sejumlah BUMN. Publik sempat
terkesima dengan keberanian seorang Dahlan dan respons positif pun
sempat mengemuka baik di media arus utama maupun di sosial media agar
Dahlan mau buka-bukaan.
Tetapi, seiring waktu, narasi yang dibangun Dahlan tergerus di level
koherensi struktural (structural coherence) dan koherensi material
(material coherence). Ketika narasi membingungkan karena satu bagian
tak tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tak jelas,
maka narasi tersebut kekurangan koherensi struktural.
Sementara jika narasi si aktor yang kita dengar berbedabeda, kita
cenderung tak akan mempercayainya lagi karena cerita itu akan dianggap
memiliki kekurangan koherensi material. Harapan publik terhadap Dahlan
saat dia mengeluarkan narasi soal upeti untuk oknum DPR, tentu
ketegasan, kelugasan,kejelasan sekaligus keberanian untuk
mengungkapnya.
Tetapi Dahlan beberapa kali inkonsisten dalam menyebut sejumlah nama
anggota DPR,bahkan hingga sekarang kasus ini pun menjadi
antiklimaks,tidak jelas! Demikian pula dengan Serangan Dipo Alam yang
tak kalah garang.Dia membangun narasi seputar praktik kongkalikong
pembahasan anggaran di sejumlah kementrian.Belakangan, kementrian itu
disinyalir Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, dan Kementrian
Pertahanan.
Langkah Dipo satu tahap di atas Dahlan karena dia menyodorkan
datanya ke KPK. Lantas bagaimana akhir ceritanya? Lagilagi publik
menunggu dan sampai sekarang tak ada kejelasan. Kuatkah data yang
disodorkan Dipo ke KPK menjadi bukti hukum? Atau, jangan-jangan
datangnya Dipo ke KPK hanya bagian dari panggung depan dramaturgi,bahwa
seolah-olah sudah konsisten menautkan narasi dengan tindakan nyata
pemberantasan korupsi, padahal tak lebih dari sekadar simulasi
realitas.
Nyatanya,sejumlah kementrian yang disebut Dipo juga tetap adem ayem,
dan perlahan narasi Dipo pun nampak menepi dan sepi. Saat
berkomunikasi, seharusnya para elite memahami bahwa narasi yang
dibangunnya secara perlahan dan pasti akan menyumbang koherensi
karakter si aktor saat dia bernarasi di kemudian hari. Akan
dipercayakah si elite oleh publik? Tentu,publik memiliki catatan dan
memori dari sekian narasi si elite yang berserakan di media dan
mengomparasikannya dengan realitas yang mereka temukan.Tak selamanya
publik bodoh dan diam!
Tulisan ini bisa diakses di web Sindo
http://www.seputar-indonesia.com/news/paradoks-komunikasi-elite
Tidak ada komentar:
Posting Komentar