Senin, 11 Februari 2008

OBAMA DAN PERUBAHAN


Oleh : Gun Gun Heryanto*
(Telah dipublikasikan di Harian SINDO, Jum'at, 15 Februari 2008)


Mengamati rivalitas antar kandidat Presiden AS saat ini, menyuguhkan gambaran yang cukup berbeda dengan pemilihan presiden sebelum-sebelumnya. Andai saja, hasil ”Super Tuesday” atau pemilihan pendahuluan serentak di 24 negara bagian pada 5 Februari lalu memberi hasil perbedaan yang signifikan di kubu Partai Demokrat, entah itu Hillary atau Obama yang memenangkannya, maka seolah-olah Amerika tinggal menunggu waktu pengukuhan seorang demokrat memimpin kembali negeri Paman Sam ini. Penandaan power pada citra politik Jhon McCain, Mitt Romey, Huckabee dan Ron Paul tidak semengkilap Obama dan Hillary. Citra personal Obama yang akan menjadi kulit hitam pertama atau Hillary yang akan menjadi perempuan pertama Presiden Amerika jika terpilih sama-sama menjadi titik episentrum resonanasi politik demokrat di pemilihan presiden Amerika kali ini.
Indikator-indikator objektif yang biasanya menjadi kompas bagi kecenderungan pemilih Amerika, seperti situasi ekonomi yang kacau balau di bawah George W Bush yang Republikan, kebijakan high cost serta berdarah-darah di Irak dan Afghanistan yang menjadi killing field bagi banyak prajurit Amerika pun tak terelakan lagi menjadi isu negatif yang tak menguntungkan siapapun calon Republikan.
Hanya saja, pertempuran seru yang menyedot energi, uang puluhan juta US Dolar, harapan sekaligus prestis di kubu Partai Demokrat hingga kini belum usai. Obama dan Hillary kokoh memancang tiang kemenangan masing-masing di aras dukungan pemilih yang memang secara nyata menunjukkan betapa sama-sama kuatnya mereka, hingga keduanya tak dapat memperluas jarak kemenangan yang signifikan satu dari yang lainnya.
Penanda Power
Hasil ”Super Tuesday” Hillary menang di delapan negara bagian yaitu Arkansas, Arizona, New York, New Jersey, California, Massachusets, Oklahoma dan Tennesee. Sementara Obama menang di 13 negara bagian yakni Illinois, Alabama, Alaska, Colorado, Connecticut, Delaware, Georgia, Idaho, Kansas, Minnesota, Missouri, North Dakota dan Utah.
Hilllary mengantongi 1.021 delegasi lebih banyak dari Obama yang mengumpulkan 933 delegasi meskipun negara bagian yang ‘ditaklukan’ Obama lebih banyak dari Hillary. Kemenangan sementara Hillary ini, tentunya tak terlepas dari sumbangsih tiga wilayah yang memiliki jumlah delegasi lebih banyak yakni California, New Jersey dan New York.
Lantas, usaikah perang antara mantan First Lady dengan politisi muda kulit hitam kharismatik ini? Jalan panjang masih terbentang. Kemenangan Hillary atas Obama tidaklah signifikan. Hasil tadi paling tidak menunjukkan kepada publik bahwa pertama, demokrat memiliki kandidat yang secara faktual sangat diminati. Demokrat membutuhkan minimum 2.025 delegasi dari 4.049 delegasi pada konvensi nasional partai agar dapat menjadi kandidat resmi partai untuk pemilu nasional. Hillary dan Obama masih sama-sama memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan penduhuluan yang masih akan berlangsung di beberapa negara bagian. Antaralain, Negara Bagian Maine pada 10 Februari, dan di sekitar 24 negara bagian lainnya hingga pertengahan bulan Juni.
Kedua, hasil kemenangan Obama dari aspek jangkauan wilayah yang lebih luas dari Hillary yakni memenangi 13 negara bagian, masih menjadi penanda bahwa power Obama lebih marata di banding Hillary yang hanya memanangi 8 wilayah. Artinya, kemenangan ”Super Tuesday” 5 Februari, tidaklah mutlak menjadi penanda akhir kedigdayaan Obama menuju kursi Amerika-1. Masih sangat mungkin, impresi menawan politisi yang sempat tinggal di Jakarta ini bisa meraup kemenangan di negara-negara bagian yang belum melakukan pemilihan pendahuluan.
Pencitraan Obama
Jika mengamati figur Obama di era industri pencitraan, yang menuntut perpaduan antara pesona diri, pengemasan isu dan kebijakan, serta keterampilan mengartikulasikan pesan politik, nampak jelas Obama lebih memadai dibanding Hillary.
Obama nampak telah berhasil mengkostruksi dirinya sebagai kandidat yang cerdas, simbol pluralisme ras, etnik dan antargolongan (karena dirinya adalah prototype warga kulit hitam, mimiliki label nama muslim, nenek moyangnya berasal dari Kenya dan sempat beberapa tahun tinggal di Indonesia). Selain itu, tampilan diri obama di media massa dan ruang-ruang publik juga simpatik, energik dan secara serius menapaki jejang karir politik dengan segenap kemampuan dirinya bukan karena dorongan kekuatan referensi (reference power). Bahkan jika kita amati, Obamalah yang berhasil merangkum strategi ’sihir’ kampanye media dari presiden-presiden yang sukses sebelumnya.
Spontanitas Obama yang cerdas dalam menjawab pertanyaan publik mengingatkan kita pada konsep pionir kampanye media milik Eisonhower yang pada saaat pemilihan presiden tahu 1952 berhasil menang atas Adlai Stevenson melalui konsep’unique selling proposition’. Ketegasan Obama mengungkap kebijakan menolak perang berdarah-darah di Irak, mengingatkan kita pada konsep kampanye Lyndon Johnson melawan kandidat sayap-kanan Republik Barry Goldwater tahun 1964. Iklan politik ’Daisy’ milik Jhonson pada waktu itu secara tegas dan eksplisit menolak penggunaan nuklir atau kekerasan berdarah-darah di Kremlin. Jhonson pun memenangi pertarungan karena ketagasannya ini.
Sosok masa lalu dirinya yang masuk dalam kategori pinggiran tapi independen dan relatif bersih, mengingkatkan kita pada konstruksi citra diri Jimi Carter si petani kacang dari Georgia Peanut Farm yang karena citra low profile dan independensinya ini sukses menjadi presiden di tahun 1976. Belakangan, slogan kampanye Obama yang banyak menghipnotis pemilih Amerika adalah slogan ”Change” . Slogan ini berupaya mengasosiasikan diri Obama yang ingin membawa Amerika ke era baru perubahan. Slogan ”Change” ini secara faktual sangat digandrungi oleh kaum muda, kelompok terdidik dan kaum kritis. Ini tentu saja mengingatkan kita pada suksesnya Bill Clinton pada tahu 1992, yang waktu itu juga mengusung slogan ”change” dan konsepnya ”a time for change” hingga mengalahkan George Bush yang berkuasa sejak 1988.
Soal kecerdasan Hillary juga tak terbantahkan karena konstruksi sosok dia sejak muda adalah orang pintar, energik, memiliki banyak pengalaman karena mendampingi suaminya Bill Clinton saat memerintah sebagai Presiden. Istri yang tegar dan konsisten menemani suami, meski Bill Clinton sempat hampir memporak-porandakan biduk rumah tangga mereka akibat skandalnya dengan Monica Lewinsky.
Citra yang belakangan serius dikonstruksi oleh penasehat kampanye media adalah isu Gender, karena Hillarylah yang memiliki kans mungubah sejarah AS yakni sebagai Presiden wanita AS pertama. Namun demikian, Hillary tidak bisa mengkonstruksi citra lebih dari itu. Bahkan ada kecenderungan citra Hillary terlampau terbebani oleh sejarah (terutama saat episode dia harus menemani skandal demi skandal yang menimpa Bill Clinton). Di berbagai media muncul kecenderungan asumsi bahwa Hillary di beberapa kesempatan tidak jujur terhadap berbagai isu yang menjadi pertanyaan publik. Selain juga ada kekhawatiran intervensi atau asistensi berlebihan yang sangat mungkin dilakukan oleh Bill Clinton. Isu inilah yang beberapa waktu lalu mencuatkan sebutan sinis untuk Hillary yakni ’Billary’.
Hillary atau Obama kah yang nantinya akan mewakili demokrat dalam Pemilu Nasional? Tentu saja masih harus menunggu waktu. Jika Obama menang, tentu jauh akan lebih mudah mengalahkan McCain dibanding melawan lawan sekandang yakni Hillary. Tapi jika pun Hillary yang melenggang ke pemilu nasional, Obama telah sukses menjadikan pemilu presiden AS menarik diperbincangkan dan sosoknya mampu memberi resonansi dan simbolisasi perubahan Amerika.