Sabtu, 21 September 2013

Memetakan Sosok Capres 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 16/09/2013)

Jalan panjang menuju Pemilu 2014 semakin memasuki fase-fase menentukan. Selain sibuk memanaskan mesin partai dari pusat hingga daerah, para politisi juga sibuk tebar pesona ke basis-basis pemilih untuk memperbesar peluang kemenangan di pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Hal menarik yang menjadi sorotan publik belakangan ini adalah pemetaan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Bagian ini, menonjol dalam perbincangan publik termasuk pada bingkai pemberitaan media massa. Terlebih, kini SBY tak lagi bisa menjadi “petarung” untuk jabatan RI-1 dan memungkinkan partai-partai lain untuk melakukan penjajakan serta bongkar pasang nama ideal versi mereka.


Tipologi Capres


Saat ini, sejumlah nama digadang-gadang sebagai bakal calon presiden. Sebut saja nama Jokowi, Prabowo, Hatta Radjasa, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Wiranto, Mahfud MD, Megawati, deretan nama di “etalase” konvensi Demokrat dan sejumlah nama lain. Sebagian di antara mereka sudah mendeklarasikan diri, sebagian lain sibuk melakukan loby dan negosiasi.


Jika diamati dari dimensi prosesnya, bisa terpetakan empat tipologi sosok capres yang berpotensi maju di 2014. Pertama, capres elite sentral, yakni mereka yang sedari awal seolah-olah mendapat “hak khusus” secara organisasional untuk menjadi capres partainya masing-masing. Contoh figur yang masuk tipologi ini adalah Aburizal Bakrie (ARB), Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto dan Megawati Soekarnoputri. Saat ini, mereka mengendalikan struktur utama partai dari pusat hingga daerah. Penguasaan mereka atas akses otoritatif di internal partai, mengharuskan elite-elite lain memberi legitimasi pada keinginan dan keputusan elite sentral ini. Bisa jadi sebagian di antara mereka tak sepenuhnya merepresentasikan aspirasi arus bawah, tetapi memelihara batasan afiliatif melalui kuasa hadiah (reward power) atau kuasa rujukan (referent power).  


Batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh dominan Megawati di PDIP, Prabowo di Gerindra, Wiranto di Hanura dan ARB di Golkar menyebabkan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh mereka. Pencapresan mereka nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan mereka di internal, biasanya distigmatisasikan sebagai penyimpang dan penyebab konflik internal.


Namun demikian, sangat mungkin dari deretan nama elite sentral tadi, tidak seluruhnya jadi nyapres di 2014. Misalnya, Megawati masih sangat mungkin mengubah peran dari aktor menjadi kingmaker dengan mendorong Jokowi sebagai Capres. Pun demikian dengan Hatta Radjasa dan ARB, bisa saja pascapemilu legislatif mereka berhitung cermat dan mengambil opsi lain entah sebagai calon RI-2 atau ‘investor politik’ yang berafiliasi dengan kekuatan lain guna mendorong sosok lain yang lebih berpotensi mendulang kemenangan.


Kedua, capres asosiasional, yakni figur yang lahir dari suatu mekanisme organisasional dan biasanya akan sangat terhubung erat dengan mekanisme pencapresan yang diselenggarakan partai pengusung. Misalnya capres hasil konvensi. Pemilihan capres ditentukan melalui sebuah kanal pencarian yang diinisiasi oleh partai sehingga sosok capres yang bersangkutan lebih bersifat terseleksi, bertujuan khusus dan asosiatif. Praktik konvensi yang sudah melembaga dalam aturan organisasi akan memiliki daya ikat yang kuat bagi orang-orang di struktur organisasi maupun basis konstituen partai. Jika konteksnya pemilihan dilakukan melalui konvensi, maka siapapun capres Demokrat tentunya masuk tipe ini.


Hanya masalahnya, apakah konvensi Demokrat memiliki daya ikat yang kuat? Tentu, akan sangat ditentukan oleh kualitas konvensi mereka saat ini. Sebagaimana kita ketahui, konvensi Demokrat yang selenggarakan kurang lebih 8 bulan itu, terkesan hanya menjadi etalase citra politik Demokrat daripada kanalisasi SDM terbaik partai. Di lihat konteks politiknya,  konvensi Demokrat tak berbeda dengan Golkar di tahun 2004, yakni penyelamatan partai dari masalah elektabilitas, popularitas, kesukaan dan penerimaan pemilih. Demokrat masih belum mengurusi konvensi dalam sebuah aturan main yang menjamin regularitas penyelenggaraan mekanisme ini. Konvensi baru semata “exit strategy” jelang Pemilu 2014. Selain itu, muncul skeptisme banyak kalangan terhadap cara, transparansi anggaran, dan penerimaan basis struktur partai terhadap siapapun pemenang konvensi. Wajar jika aroma konvensi Demokrat kurang menggairahkan banyak kalangan meski dikemas dengan jor-joran!


Ketiga, capres figur kontesktual. Maksudnya adalah capres potensial yang memiliki dayatarik karena kerapkali bersentuhan dengan berbagai dinamika kekinian. Rekam jejak mereka menjadi arus utama pusaran opini baik di media massa maupun sosial media. Figur seperti Jokowi, Mahfud MD, Jusuf Kalla bisa kita masukan ke dalam tipe ini. Mereka bukan figur sentral dalam jajaran partai tetapi kiprahnya masih memiliki dayatarik elektoral, sehingga sangat mungkin dipertimbangkan oleh banyak kekuatan politik yang bertarung di 2014. Masalahnya adalah belum tentu semua figur kontekstual ini mendapatkan “kendaraan” yang pas dan bisa menghantarkan mereka pada rivalitas RI-1. Meskipun rata-rata mereka adalah politisi partai, tetapi bukan pembuat kebijakan (decision maker) sehingga harus meyakinkan figur sentral di partai masing-masing untuk mendapatkan kendaraan.


Keempat, capres periferal yakni sosok pinggiran yang “jeblok” dalam perangkingan persepsi publik, tidak memiliki basis kekuatan nyata di partai politik, bukan pula orang yang memiliki basis solid di kantung-kantung pemilih. Namun demikian, mereka sangat percaya diri dan sejak awal memproklamirkan diri siap menuju RI-1. Contoh tipe ini sebut saja Rhoma Irama, Farhat Abbas dan akan banyak lagi orang yang pede nyapres meski hanya “penggembira” di sekeliling panggung utama persaingan.


Kekuatan Pemenang


Dalam tulisan R.A Dahl, Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Tentu, pemilu sebagai instrumen penting demokrasi idealnya bukan semata-mata menunjukkan wajah pongah kontestasi politik elite melainkan harus memberi impresi dan mampu menggerakan partisipasi politik warga biasa. 


Sebelum pencapresan, sebaiknya kita membaca dinamika pemilu legislatif yang menyokong capres dan cawapres. Butuh konsistensi dan persistensi partai untuk mempertahankan eksistensi mereka di Pemilu sekalipun partai bersangkutan memenangi Pemilu sebelumnya. Sebagai gambaran, pada Pemilu 1999 Golkar meraih 22,4 persen, pemilu 2004 turun menjadi 21,58 persen dan Pemilu 2009 hanya 14,45 persen. Begitupun yang dialami PDIP yang menjadi petahana seusai memenangi Pemilu 1999 dengan mengantongi 33,74 persen. Di Pemilu 2004, suara PDIP turun menjadi 18,53 persen dan di Pemilu 2009 hanya 14,03 persen. Artinya, menjadi petahana bukanlah jaminan mudahnya memenangi kontestasi. Demokrat juga berpotensi kalah telak di Pemilu 2014.

Pertarungan capres memang sedikit berbeda karena biasanya aspek figur sangat menentukan. Misalnya dalam kasus Demokrat di Pemilu 2004, meski partainya hanya memperoleh suara 7,45 persen atau 57 kursi dari 550 kursi yang disediakan di ‘Senayan’, SBY ternyata terpilih sebagai capres pemenang Pemilu. Rivalitas 2014 diprediksi akan menjadi arena pertarungan sengit, karena setiap capres memiliki peluang sama untuk mengkapitalisasi sumberdaya mereka di tengah ketiadaan figur yang benar-benar kuat seperti SBY di Pemilu 2009.


 Memang ada tren pergeseran persepsi publik tentang sosok calon pemimpin ke depan. Jika kemenangan SBY di 2004 dan 2009 lebih dikarenakan suksesnya pencitraan politik melalui berbagai simulasi realitas, kini calon pemimpin yang diharapkan adalah problem solver dan pengambil resiko yang diharapkan menjadi antitesa dari gaya kepemimpinan SBY yang nyaris tak menghasilkan banyak perubahan.

Situasi sekarang secara faktual melahirkan disonansi kognitif yang kian meluas di masyarakat. Leon Festinger dalam buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957) menyebutkan disonansi kognitif sebagai perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang tidak konsisten. Kian hari harapan untuk perubahan kian menipis sebaliknya tingkat disonansi (magnitude of dissonance) meningkat pesat, kondisi ini memunculkan harapan adanya sosok baru pembawa perubahan bagi bangsa ini. Bukan lagi sosok pesolek yang hanya pandai berwacana dan bersenandung perubahan tanpa rekam jejak memadai untuk menjadi pemimpin asketis, transformatif dan komunitarian.


Pada akhirnya, kita berharap siapapun yang akan maju ke gelanggang pertarungan 2014, adalah mereka yang pandai mengukur diri. Pantaskah mereka maju dengan modal sosial dan modal politik yang mereka miliki selama ini?  Jangan hanya semata-mata karena “syahwat” berkuasa dan egoisme pribadi mereka lari tungganglanggang ke medan perang, meski rasionalitas dan hati mereka mengatakan rakyat sama sekali sudah enggan bahkan muak berpaling kepadanya apalagi memilihnya di bilik suara! ***

Dilema Capres PDIP

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 7/09/2013)

Ada perhatian berbeda dari masyarakat termasuk media massa terhadap penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  6-8 September. Banyak kalangan menunggu, akankah PDIP mengumumkan capres mereka di perhelatan tersebut? Wajar jika sosok capres PDIP ini menarik diperbincangkan karena akan menentukan secara signifikan peta kekuatan politik di Pemilu 2014.

Pilihan Momentum

Sepertinya dalam hitung-hitungan politik, Rakernas PDIP kali ini belum akan menyebut nama capres terlebih lengkap dengan pasangan cawapresnya. Bagi PDIP sendiri pilihan momentum deklarasi capresnya akan menjadi salah satu paket dalam strategi pemenangan PDIP guna merebut kekuasaan pasca SBY. Paling tidak, ada tiga faktor yang akan dihitung cermat oleh PDIP sebelum menentukan siapa capres mereka.

Pertama, kontektualitas peta politik kekuatan kompetitor. PDIP sebagai salah satu partai besar tentu memiliki pengalaman rumitnya mengelola pergerakan beragam kekuatan yang akan dijadikan pasangan. Jalan panjang negosiasi yang selalu menjadi zone of possible agreement (zopa) bagi partai-partai dan kelompok kepentingan sangat berpengaruh pada putusan paket pasangan. Berbeda kondisinya dengan Pemilu 2009, dimana atmosfir politik partai-partai di luar PDIP sedari awal lebih cenderung merapat ke SBY. Kini, saat Demokrat terpuruk dan SBY tak lagi mencalonkan diri, maka komunikasi politik antar kekuatan menjadi lebih samar, cair, dan tak terprediksi. Prabowo sangat mungkin tetap melaju sebagai capres, tetapi Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Mahfud MD dan JK serta sejumlah nama lain juga masih akan berhitung cermat dengan realitas politik ke depan terutama pasca Pemilu legislatif. Sangat mungkin di antara mereka pada akhirnya realistis dan bersedia menjadi orang kedua mendampingi capres kekuatan lain. Inilah seni kemungkinan-kemungkinan yang tentu juga akan dihitung oleh Mega dan PDIP.

Kedua, PDIP tentu juga akan menjaga momentum positif yang saat ini mereka miliki. Momentum itu maksudnya adalah tren positif opini publik yang kerapkali disurvei terkait dengan elektabilitas partai maupun elektabilitas capres yang diasosiasikan dengan PDIP. Khusus untuk capres, muncul perkembangan yang menarik dimana sosok Joko Widodo (Jokowi) selalu menempati posisi paling tinggi dalam berbagai rilis lembaga survei. Terlepas dari siapapun nanti yang akan dijadikan capres, PDIP memang mendapat keuntungan dari keberadaan sosok Jokowi ini. Lihat saja, begitu masifnya dukungan berbagai kalangan lintas kekuatan terhadap Jokowi termasuk tren positif dalam bingkai berita media massa. Jika target PDIP memperoleh 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR tercapai di pemilu legislatif, tentu lebih memudahkan mereka menjalankan skenario ideal yang dimiliki. 

Ketiga, akan ada upaya untuk melindungi sosok capres mereka dari “gerilya” serangan negatif dan serangan hitam kekuatan lain secara dini. Saat ini, PDIP diuntungkan karena menjadi partai di luar kekuasaan. Sehingga, tidak terlampau eksplosifnya serangan berbagai kekuatan seperti biasanya dialami kekuatan petahana. Tetapi, bukan berarti tidak terdapat sejumlah celah yang bisa dimasuki pihak kompetitor untuk mendelegitimasi PDIP dan capres yang mereka usung. Upaya mengambangkan nama, bisa juga dipahami sebagai strategi menyamarkan kekuatan, atau paling tidak mengalihkan sementara perhatian publik tidak pada satu nama, sambil menunggu momentum tepat hasil berhitung cermat. 

Dilematis   

Tak mudah bagi internal PDIP untuk memilih Mega atau Jokowi. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Oleh karenanya, Mega kerap diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya. Oleh karenanya, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Secara faktual, PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya berbagai pihak baik menarik PDIP ke dalam kekuasaan, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.


Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi dalam organisasi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat keutuhan. Namun kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).


Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Kita melihat misalnya, dalam beberapakali konggres Megawati tampil menjadi Ketua Umum PDIP nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara umum dianggap oleh kader sebagai penyimpang.


Kondisi ini, tentu sangat dipahami Jokowi. Dengan demikian proses pancapresan Jokowi hanya akan sekadar wacana dan penarik perhatian saja, jika keputusan akhir Mega tetap akan mencalonkan dirinya sebagai “petarung RI-1”. Jokowi merupakan sosok kader loyalis PDIP dan secara historis tumbuh kembang karir politiknya mendapat dukungan partai ini. Sehingga secara psikopolitis Jokowi tidak akan maju ke gelanggang pencapresan, jika Mega tetap melenggang. Pun demikian, jika PDIP merengkuh suara sesuai target yakni 25 persen suara sah nasional, bukan mustahil juga Mega tergoda untuk tetap melaju dan menggandeng Jokowi sebagai calon wakilnya.


Namun demikian, ada baiknya PDIP juga mempertimbangkan dua hal. Pertama, meski bukan mustahil tetapi rasanya teramat sulit untuk meraih capaian 25 persen suara sah nasional. Memang PDIP punya pengalaman mendapatkan 33,74 persen di Pemilu 1999, tetapi setelahnya partai-partai pemenang Pemilu hanya memperoleh angka 20 persenan suara. Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 hanya  21,58 persen sementara Demokrat, hanya 20,85 persen. Dengan demikian, opsi koalisi terbatas tetap akan dihidupkan PDIP dengan catatan koalisi terbatas tersebut tidak merusak harapan publik yang menginginkan wajah perubahan. Kedua, terlalu beresiko jika PDIP tetap memajukan Mega sebagai capres. Mengingat konteks historis Mega yang telah mengalami dua kali kekalahan beruntun dalam Pemilu langsung, dan stagnannya elektabilitas Mega di bawah figur lain seperti Jokowi dan Prabowo. Kiranya terhormat jika Mega saat ini beralih peran dari “aktor petarung” menjadi kingmaker, dan memfasilitasi harapan yang menyeruak di masyarakat dengan mendorong capres transformatif dan punya rekam jejak membanggakan. ***

Memahami Konvergensi Simbolik di Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5/08/2013)

Prosesi menuju pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden 2014 mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elite. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan loby politik dengan mengembangakan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elite hingga menembus jauh ke simpul-simpul suara akar rumput. Kontestasi tak cukup hanya mengandalkan terpaan media (media exposure) yang dominan di saat kampanye seperti berlangsung intensif saat ini. Butuh ketelatenan dalam menyemai konvergensi simbolik di lingkup basis-basis pemilih sehingga mereka merasakan dan memegang erat semangat kekitaan dengan sang kandidat.

Dalam pandangan Jhon F Cragan dalam Understanding Communication Theories (1998), konvergensi simbolik ini menjelaskan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Biasanya melalui tiga tahapan, yakni bagaimana seseorang datang berbagi realitas simbolik, dilanjutkan dengan penyediaan makna, emosi serta motivasi bertindak di antara mereka, terakhir pembentukan kesadaran bersama. Dengan demikian, penyatuan diri kandidat dengan basis konstituen bukan pekerjaan beberapa bulan jelang pemilu. Butuh kedekatan alamiah yang berjenjang dan berkelanjutan. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka politik akan high cost karena kandidat harus bertransaksi dengan broker suara dan calon pemilih “mata duitan”.

Idealnya, momentum “paguyuban” bukan semata permainan peran yang berorientasi akhir pada pengakuan jati diri sang kandidat untuk menjadi bintang sekaligus pemenang dalam demokrasi elektoral, melainkan secara alamiah harusnya melekat pada keseharian politisi dan partai politik. Dalam prosesi pemilu, kelompok-kelompok politik harus intensif membangun interaksi dan kerja nyata yang dapat mengikat kekitaan di basis-basis konstituen mereka. 

 Saat kondisi masyarakat tak banyak berubah dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, dari satu pemilu ke pemilu yang lain, tentu akan banyak orang yang tak percaya lagi dengan mesin partai. Insting untuk bisa hidup sejahtera dan menikmati kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain secara baik menggerakan manusia untuk merengkuh keinginanannya itu. Jika tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mencoba menghindar dari ketidaberdayaannya itu dan menciptakan berbagai opsi alternatif, misalnya berganti memilih partai lain atau golput.   
    
Konvergensi simbol akan memunculkan visi retoris dan tema fantasi. Visi retoris menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Jika partai atau kandidat mau menang, maka jawabanya tentu pada bagaimana mereka mampu meyakinkan adanya kebersamaan pandangan dengan kelompok-kelompok pemilih dan membangun mimpi bersama. Fantasi-fantasi semacam itulah yang dalam praktikknya dapat memenangkan para politisi dan partai politik dalam rivalitas Pemilu.
  
Kandidat secara substantif memang butuh sebuah mekanisme politik kekitaan. Terlebih dalam pemilu terbuka seperti yang kita jalani sekarang, maka konvergensi simbolik dengan pemilihlah yang jauh lebih berpotensi besar memenangkan kandidat baik partai maupun capres. Bukan sebuah koalisi elitis yang dapat mereduksi harapan-harapan konstituennya. Sebagai contoh nyata adalah keberadaan partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu yang terus merosot. Padahal harusnya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, partai Islam bisa meraup suara signifikan. Faktanya, partai-partai Islam tak pernah memenangi kontestasi sejak pemilu 1955.

Pada pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai Islam 43,7 % sementara gabungan partai nasionalis 51,7 %. Pada pemilu 1999 suara partai Islam 36,8 %, partai nasionalis 62,3 %. Pada pemilu  2004, partai Islam 38,1 %, partai nasionalis 59,5 %. Sementara pada pemilu 2009, partai Islam 29,16 % dan partai nasionalis 70,84 %. Di berbagai survei terkuak salah satu alasan masyarakat tidak memilih partai-partai Islam karena partai-partai tersebut tidak memiliki nilai diferensial yang meyakinkan. Identifikasi kepartaian tidak muncul meskipun partai-partai Islam tersebut “memasarkan” simbol-simbol keislaman. Artinya tidak terjadi konvergensi simbolik antara pemilih muslim dengan partai-partai Islam. Tugas partai politik dan capres yang akan bertarung di pemilu 2014 adalah membenahi pola pendekatan sporadis menjadi lebih sistematis, dari elitis menjadi komunitarian. Satu yang pasti, kekitaan tidak akan pernah muncul dari kepura-puraan dan kepalsuan tetapi dari kerja nyata dan perjuangan.***