Sabtu, 21 September 2013

Dilema Capres PDIP

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 7/09/2013)

Ada perhatian berbeda dari masyarakat termasuk media massa terhadap penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  6-8 September. Banyak kalangan menunggu, akankah PDIP mengumumkan capres mereka di perhelatan tersebut? Wajar jika sosok capres PDIP ini menarik diperbincangkan karena akan menentukan secara signifikan peta kekuatan politik di Pemilu 2014.

Pilihan Momentum

Sepertinya dalam hitung-hitungan politik, Rakernas PDIP kali ini belum akan menyebut nama capres terlebih lengkap dengan pasangan cawapresnya. Bagi PDIP sendiri pilihan momentum deklarasi capresnya akan menjadi salah satu paket dalam strategi pemenangan PDIP guna merebut kekuasaan pasca SBY. Paling tidak, ada tiga faktor yang akan dihitung cermat oleh PDIP sebelum menentukan siapa capres mereka.

Pertama, kontektualitas peta politik kekuatan kompetitor. PDIP sebagai salah satu partai besar tentu memiliki pengalaman rumitnya mengelola pergerakan beragam kekuatan yang akan dijadikan pasangan. Jalan panjang negosiasi yang selalu menjadi zone of possible agreement (zopa) bagi partai-partai dan kelompok kepentingan sangat berpengaruh pada putusan paket pasangan. Berbeda kondisinya dengan Pemilu 2009, dimana atmosfir politik partai-partai di luar PDIP sedari awal lebih cenderung merapat ke SBY. Kini, saat Demokrat terpuruk dan SBY tak lagi mencalonkan diri, maka komunikasi politik antar kekuatan menjadi lebih samar, cair, dan tak terprediksi. Prabowo sangat mungkin tetap melaju sebagai capres, tetapi Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Mahfud MD dan JK serta sejumlah nama lain juga masih akan berhitung cermat dengan realitas politik ke depan terutama pasca Pemilu legislatif. Sangat mungkin di antara mereka pada akhirnya realistis dan bersedia menjadi orang kedua mendampingi capres kekuatan lain. Inilah seni kemungkinan-kemungkinan yang tentu juga akan dihitung oleh Mega dan PDIP.

Kedua, PDIP tentu juga akan menjaga momentum positif yang saat ini mereka miliki. Momentum itu maksudnya adalah tren positif opini publik yang kerapkali disurvei terkait dengan elektabilitas partai maupun elektabilitas capres yang diasosiasikan dengan PDIP. Khusus untuk capres, muncul perkembangan yang menarik dimana sosok Joko Widodo (Jokowi) selalu menempati posisi paling tinggi dalam berbagai rilis lembaga survei. Terlepas dari siapapun nanti yang akan dijadikan capres, PDIP memang mendapat keuntungan dari keberadaan sosok Jokowi ini. Lihat saja, begitu masifnya dukungan berbagai kalangan lintas kekuatan terhadap Jokowi termasuk tren positif dalam bingkai berita media massa. Jika target PDIP memperoleh 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR tercapai di pemilu legislatif, tentu lebih memudahkan mereka menjalankan skenario ideal yang dimiliki. 

Ketiga, akan ada upaya untuk melindungi sosok capres mereka dari “gerilya” serangan negatif dan serangan hitam kekuatan lain secara dini. Saat ini, PDIP diuntungkan karena menjadi partai di luar kekuasaan. Sehingga, tidak terlampau eksplosifnya serangan berbagai kekuatan seperti biasanya dialami kekuatan petahana. Tetapi, bukan berarti tidak terdapat sejumlah celah yang bisa dimasuki pihak kompetitor untuk mendelegitimasi PDIP dan capres yang mereka usung. Upaya mengambangkan nama, bisa juga dipahami sebagai strategi menyamarkan kekuatan, atau paling tidak mengalihkan sementara perhatian publik tidak pada satu nama, sambil menunggu momentum tepat hasil berhitung cermat. 

Dilematis   

Tak mudah bagi internal PDIP untuk memilih Mega atau Jokowi. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Oleh karenanya, Mega kerap diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya. Oleh karenanya, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Secara faktual, PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya berbagai pihak baik menarik PDIP ke dalam kekuasaan, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.


Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi dalam organisasi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat keutuhan. Namun kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).


Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Kita melihat misalnya, dalam beberapakali konggres Megawati tampil menjadi Ketua Umum PDIP nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara umum dianggap oleh kader sebagai penyimpang.


Kondisi ini, tentu sangat dipahami Jokowi. Dengan demikian proses pancapresan Jokowi hanya akan sekadar wacana dan penarik perhatian saja, jika keputusan akhir Mega tetap akan mencalonkan dirinya sebagai “petarung RI-1”. Jokowi merupakan sosok kader loyalis PDIP dan secara historis tumbuh kembang karir politiknya mendapat dukungan partai ini. Sehingga secara psikopolitis Jokowi tidak akan maju ke gelanggang pencapresan, jika Mega tetap melenggang. Pun demikian, jika PDIP merengkuh suara sesuai target yakni 25 persen suara sah nasional, bukan mustahil juga Mega tergoda untuk tetap melaju dan menggandeng Jokowi sebagai calon wakilnya.


Namun demikian, ada baiknya PDIP juga mempertimbangkan dua hal. Pertama, meski bukan mustahil tetapi rasanya teramat sulit untuk meraih capaian 25 persen suara sah nasional. Memang PDIP punya pengalaman mendapatkan 33,74 persen di Pemilu 1999, tetapi setelahnya partai-partai pemenang Pemilu hanya memperoleh angka 20 persenan suara. Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 hanya  21,58 persen sementara Demokrat, hanya 20,85 persen. Dengan demikian, opsi koalisi terbatas tetap akan dihidupkan PDIP dengan catatan koalisi terbatas tersebut tidak merusak harapan publik yang menginginkan wajah perubahan. Kedua, terlalu beresiko jika PDIP tetap memajukan Mega sebagai capres. Mengingat konteks historis Mega yang telah mengalami dua kali kekalahan beruntun dalam Pemilu langsung, dan stagnannya elektabilitas Mega di bawah figur lain seperti Jokowi dan Prabowo. Kiranya terhormat jika Mega saat ini beralih peran dari “aktor petarung” menjadi kingmaker, dan memfasilitasi harapan yang menyeruak di masyarakat dengan mendorong capres transformatif dan punya rekam jejak membanggakan. ***

Tidak ada komentar: