Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 7/09/2013)
Ada perhatian berbeda dari masyarakat termasuk media massa
terhadap penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 6-8 September.
Banyak kalangan menunggu, akankah PDIP mengumumkan capres mereka di
perhelatan tersebut? Wajar jika sosok capres PDIP ini menarik
diperbincangkan karena akan menentukan secara signifikan peta kekuatan
politik di Pemilu 2014.
Pilihan Momentum
Sepertinya
dalam hitung-hitungan politik, Rakernas PDIP kali ini belum akan
menyebut nama capres terlebih lengkap dengan pasangan cawapresnya. Bagi
PDIP sendiri pilihan momentum deklarasi capresnya akan menjadi salah
satu paket dalam strategi pemenangan PDIP guna merebut kekuasaan pasca
SBY. Paling tidak, ada tiga faktor yang akan dihitung cermat oleh PDIP
sebelum menentukan siapa capres mereka.
Pertama,
kontektualitas peta politik kekuatan kompetitor. PDIP sebagai salah
satu partai besar tentu memiliki pengalaman rumitnya mengelola
pergerakan beragam kekuatan yang akan dijadikan pasangan. Jalan panjang
negosiasi yang selalu menjadi zone of possible agreement (zopa)
bagi partai-partai dan kelompok kepentingan sangat berpengaruh pada
putusan paket pasangan. Berbeda kondisinya dengan Pemilu 2009, dimana
atmosfir politik partai-partai di luar PDIP sedari awal lebih cenderung
merapat ke SBY. Kini, saat Demokrat terpuruk dan SBY tak lagi
mencalonkan diri, maka komunikasi politik antar kekuatan menjadi lebih
samar, cair, dan tak terprediksi. Prabowo sangat mungkin tetap melaju
sebagai capres, tetapi Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Mahfud MD dan JK
serta sejumlah nama lain juga masih akan berhitung cermat dengan
realitas politik ke depan terutama pasca Pemilu legislatif. Sangat
mungkin di antara mereka pada akhirnya realistis dan bersedia menjadi
orang kedua mendampingi capres kekuatan lain. Inilah seni
kemungkinan-kemungkinan yang tentu juga akan dihitung oleh Mega dan
PDIP.
Kedua, PDIP
tentu juga akan menjaga momentum positif yang saat ini mereka miliki.
Momentum itu maksudnya adalah tren positif opini publik yang kerapkali
disurvei terkait dengan elektabilitas partai maupun elektabilitas capres
yang diasosiasikan dengan PDIP. Khusus untuk capres, muncul
perkembangan yang menarik dimana sosok Joko Widodo (Jokowi) selalu
menempati posisi paling tinggi dalam berbagai rilis lembaga survei.
Terlepas dari siapapun nanti yang akan dijadikan capres, PDIP memang
mendapat keuntungan dari keberadaan sosok Jokowi ini. Lihat saja, begitu
masifnya dukungan berbagai kalangan lintas kekuatan terhadap Jokowi
termasuk tren positif dalam bingkai berita media massa. Jika target PDIP
memperoleh 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR
tercapai di pemilu legislatif, tentu lebih memudahkan mereka menjalankan
skenario ideal yang dimiliki.
Ketiga,
akan ada upaya untuk melindungi sosok capres mereka dari “gerilya”
serangan negatif dan serangan hitam kekuatan lain secara dini. Saat ini,
PDIP diuntungkan karena menjadi partai di luar kekuasaan. Sehingga,
tidak terlampau eksplosifnya serangan berbagai kekuatan seperti biasanya
dialami kekuatan petahana. Tetapi, bukan berarti tidak terdapat
sejumlah celah yang bisa dimasuki pihak kompetitor untuk mendelegitimasi
PDIP dan capres yang mereka usung. Upaya mengambangkan nama, bisa juga
dipahami sebagai strategi menyamarkan kekuatan, atau paling tidak
mengalihkan sementara perhatian publik tidak pada satu nama, sambil
menunggu momentum tepat hasil berhitung cermat.
Dilematis
Tak mudah bagi internal PDIP untuk memilih Mega atau Jokowi. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power)
dari Soekarno. Oleh karenanya, Mega kerap diposisikan tak hanya sekedar
ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga
representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya. Oleh
karenanya, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini
maupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai
figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Secara
faktual, PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya
berbagai pihak baik menarik PDIP ke dalam kekuasaan, terbukti
dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.
Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi dalam organisasi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat keutuhan.
Namun kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan
keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan
afiliatif (affiliative constraints).
Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan
afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan
diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di PDIP sangat
dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh
itu. Kita melihat misalnya, dalam beberapakali konggres Megawati tampil
menjadi Ketua Umum PDIP nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara umum dianggap oleh kader sebagai penyimpang.
Kondisi
ini, tentu sangat dipahami Jokowi. Dengan demikian proses pancapresan
Jokowi hanya akan sekadar wacana dan penarik perhatian saja, jika
keputusan akhir Mega tetap akan mencalonkan dirinya sebagai “petarung
RI-1”. Jokowi merupakan sosok kader loyalis PDIP dan secara historis
tumbuh kembang karir politiknya mendapat dukungan partai ini. Sehingga
secara psikopolitis Jokowi tidak akan maju ke gelanggang pencapresan,
jika Mega tetap melenggang. Pun demikian, jika PDIP merengkuh suara
sesuai target yakni 25 persen suara sah nasional, bukan mustahil juga
Mega tergoda untuk tetap melaju dan menggandeng Jokowi sebagai calon
wakilnya.
Namun
demikian, ada baiknya PDIP juga mempertimbangkan dua hal. Pertama,
meski bukan mustahil tetapi rasanya teramat sulit untuk meraih capaian
25 persen suara sah nasional. Memang PDIP punya pengalaman mendapatkan 33,74 persen di Pemilu 1999, tetapi setelahnya partai-partai pemenang Pemilu hanya memperoleh angka 20 persenan suara. Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 hanya 21,58
persen sementara Demokrat, hanya 20,85 persen. Dengan demikian, opsi
koalisi terbatas tetap akan dihidupkan PDIP dengan catatan koalisi
terbatas tersebut tidak merusak harapan publik yang menginginkan wajah
perubahan. Kedua, terlalu beresiko jika PDIP tetap memajukan Mega
sebagai capres. Mengingat konteks historis Mega yang telah mengalami dua
kali kekalahan beruntun dalam Pemilu langsung, dan stagnannya
elektabilitas Mega di bawah figur lain seperti Jokowi dan Prabowo.
Kiranya terhormat jika Mega saat ini beralih peran dari “aktor petarung”
menjadi kingmaker, dan memfasilitasi harapan yang menyeruak di
masyarakat dengan mendorong capres transformatif dan punya rekam jejak
membanggakan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar