Sabtu, 21 September 2013

Memahami Konvergensi Simbolik di Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5/08/2013)

Prosesi menuju pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden 2014 mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elite. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan loby politik dengan mengembangakan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elite hingga menembus jauh ke simpul-simpul suara akar rumput. Kontestasi tak cukup hanya mengandalkan terpaan media (media exposure) yang dominan di saat kampanye seperti berlangsung intensif saat ini. Butuh ketelatenan dalam menyemai konvergensi simbolik di lingkup basis-basis pemilih sehingga mereka merasakan dan memegang erat semangat kekitaan dengan sang kandidat.

Dalam pandangan Jhon F Cragan dalam Understanding Communication Theories (1998), konvergensi simbolik ini menjelaskan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Biasanya melalui tiga tahapan, yakni bagaimana seseorang datang berbagi realitas simbolik, dilanjutkan dengan penyediaan makna, emosi serta motivasi bertindak di antara mereka, terakhir pembentukan kesadaran bersama. Dengan demikian, penyatuan diri kandidat dengan basis konstituen bukan pekerjaan beberapa bulan jelang pemilu. Butuh kedekatan alamiah yang berjenjang dan berkelanjutan. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka politik akan high cost karena kandidat harus bertransaksi dengan broker suara dan calon pemilih “mata duitan”.

Idealnya, momentum “paguyuban” bukan semata permainan peran yang berorientasi akhir pada pengakuan jati diri sang kandidat untuk menjadi bintang sekaligus pemenang dalam demokrasi elektoral, melainkan secara alamiah harusnya melekat pada keseharian politisi dan partai politik. Dalam prosesi pemilu, kelompok-kelompok politik harus intensif membangun interaksi dan kerja nyata yang dapat mengikat kekitaan di basis-basis konstituen mereka. 

 Saat kondisi masyarakat tak banyak berubah dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, dari satu pemilu ke pemilu yang lain, tentu akan banyak orang yang tak percaya lagi dengan mesin partai. Insting untuk bisa hidup sejahtera dan menikmati kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain secara baik menggerakan manusia untuk merengkuh keinginanannya itu. Jika tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mencoba menghindar dari ketidaberdayaannya itu dan menciptakan berbagai opsi alternatif, misalnya berganti memilih partai lain atau golput.   
    
Konvergensi simbol akan memunculkan visi retoris dan tema fantasi. Visi retoris menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Jika partai atau kandidat mau menang, maka jawabanya tentu pada bagaimana mereka mampu meyakinkan adanya kebersamaan pandangan dengan kelompok-kelompok pemilih dan membangun mimpi bersama. Fantasi-fantasi semacam itulah yang dalam praktikknya dapat memenangkan para politisi dan partai politik dalam rivalitas Pemilu.
  
Kandidat secara substantif memang butuh sebuah mekanisme politik kekitaan. Terlebih dalam pemilu terbuka seperti yang kita jalani sekarang, maka konvergensi simbolik dengan pemilihlah yang jauh lebih berpotensi besar memenangkan kandidat baik partai maupun capres. Bukan sebuah koalisi elitis yang dapat mereduksi harapan-harapan konstituennya. Sebagai contoh nyata adalah keberadaan partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu yang terus merosot. Padahal harusnya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, partai Islam bisa meraup suara signifikan. Faktanya, partai-partai Islam tak pernah memenangi kontestasi sejak pemilu 1955.

Pada pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai Islam 43,7 % sementara gabungan partai nasionalis 51,7 %. Pada pemilu 1999 suara partai Islam 36,8 %, partai nasionalis 62,3 %. Pada pemilu  2004, partai Islam 38,1 %, partai nasionalis 59,5 %. Sementara pada pemilu 2009, partai Islam 29,16 % dan partai nasionalis 70,84 %. Di berbagai survei terkuak salah satu alasan masyarakat tidak memilih partai-partai Islam karena partai-partai tersebut tidak memiliki nilai diferensial yang meyakinkan. Identifikasi kepartaian tidak muncul meskipun partai-partai Islam tersebut “memasarkan” simbol-simbol keislaman. Artinya tidak terjadi konvergensi simbolik antara pemilih muslim dengan partai-partai Islam. Tugas partai politik dan capres yang akan bertarung di pemilu 2014 adalah membenahi pola pendekatan sporadis menjadi lebih sistematis, dari elitis menjadi komunitarian. Satu yang pasti, kekitaan tidak akan pernah muncul dari kepura-puraan dan kepalsuan tetapi dari kerja nyata dan perjuangan.***

Tidak ada komentar: