Senin, 16 November 2009

POLEMIK SIARAN LANGSUNG

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah Dimuat di PIKIRAN RAKYAT, Senin 16 Nopember 2009)



Di sela gonjang-ganjing kasus Anggodo yang kian hari kian pekat dengan warna konspirasi, akhir-akhir ini muncul wacana kontroversial yang dihembuskan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kontroversi itu bermula dari keinginan KPI untuk memasukan larangan siaran langsung persidangan di pengadilan ke dalam revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Siaran (P3SPS). Niat para Komisioner KPI ini, di satu sisi hendak melindungi publik agar mendapatkan informasi yang baik dan berkualitas, namun di sisi lain dapat menjadi ranjau yang membahayakan bagi substansi demokratisasi siaran dan kerja jurnalistik.


Kerancuan Wacana

Keinginan KPI melarang siaran langsung persidangan di pengadilan bermula dari penayangan sidang kesaksian Rani Juliani dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Penayangan tersebut dianggap tidak menghormati norma agama, mengusik rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.
Ada sejumlah kerancuan berpikir yang mengiringi wacana pelarangan siaran langsung tersebut. Pertama, menyangkut konteks waktu yang tidak tepat. Rencana pelarangan muncul di tengah pusaran tuntutan publik yang sedang mengarah ke berbagai kasus besar yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Prioriotas perhatian publik yang tak lagi percaya dengan independensi aparat penegakan hukum, menuntut adanya akses atas tranfaransi informasi, yang saat ini dapat mereka peroleh dari media massa. Jika revisi dilakukan sekarang-sekarang ini, akan muncul persepsi negatif terhadap KPI, bahwa lembaga ini telah berubah menjadi bagian dari gurita kekuasaan.
Jika tak cermat, pelarangan ini bisa dipersepsikan publik sebagai bagian dari skenario penyelamatan kekuasaan, sekalipun KPI tak memiliki maksud ke arah situ. Terlebih, rencananya KPI juga akan mengakomodasi desakan Komisi I DPR RI yang akan memasukan larangan menyiarkan persidangan DPR secara live ke dalam revisi P3SPS. KPI seyogianya mempertegas diri sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 2 UU No.32 tahun 2002, yakni sebagai lembaga negara yang bersifat independen. Niat baik, tidak selalu dipersepsi secara baik, jika momentumnya tidak tepat.
Kedua, dari substansi hukum kita melihat beberapa problem mandasar. Rencana pelarangan bisa bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warganegara untuk mendapatkan informasi. Dari sisi hukum media, liputan sidang oleh media massa juga sudah masuk ke dalam ranah pemberitaan atau karya jurnalistik. Dalam penyelenggaraan kerja jurnalistik, media cetak maupun media elektronika, dilindungi dari penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999 tentang Pers. Jika pun KPI tetap mau masuk ke ranah itu, mesti ada kajian mendalam dan kesepakatan bersama dengan Dewan Pers, agar kebijakannya tak berbenturan dengan kewenangan lembaga lain.
Ketiga, kerancuan menyangkut tafsir atas pelanggaran sejumlah tayangan siaran langsung. Jika tayangan dalam kasus persidangan Antasari Azhar melanggar, lantas digunakan untuk menghakimi seluruh tayangan pemberitaan langsung di pengadilan, artinya KPI telah mengeneralisasikan masalah.
Tak dimungkiri, bahwa saat meliput isu peradilan, media massa kerap terjebak menjadi alat yang mampu menciptakan a substansial risk of serious prejudice yang tak hanya mempengaruhi publik namun juga putusan pengadilan. Di negara Barat yang sangat demokratis sekalipun merasa perlu melakukan pembatasan reportase pengadilan melalui penerapan UU Contempt of Court. Contohnya, media massa di Barat hanya mempublikasikan kutipan-kutipan dari apa yang terjadi di ruang sidang, artinya hanya berkisar pada fakta semata. Di luar itu, jika media mempublikasikan perang opini dari pihak yang terkait pengadilan, misalnya pernyataan pengacara yang membela kliennya atau jaksa yang menghakimi terdakwa, dengan tujuan mempengaruhi opini publik dan keputusan hakim, maka bisa dianggap contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan).
Di Indonesia, hingga saat ini sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, hanya ada tiga perkara yang sidangnya tidak boleh disiarkan secara langsung, yaitu kasus peradilan anak, keluarga atau perceraian dan pornografi. Dengan demikian rencana KPI melarang seluruh siaran langsung persidangan di pengadilan tidak pada tempatnya. Jika siaran langsung tersebut tanpa ditambahi opini pengacara, hakim dan jaksa di luar fakta yang berkembang di pengadilan, lantas mengapa harus dilarang?



Demokratisasi Siaran

KPI terlahir dari rahim reformasi. Dalam pasal 8 ayat 1 UU No.32 tahun 2002 disebutkan KPI sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dengan demikian, KPI sejatinya mengemban harapan rakyat untuk menghadirkan demokratisasi siaran, bukan sebaliknya turut dalam parade kegiatan yang dapat mencedarai rasa keadilan masyarakat.
Revisi P3SPS boleh-boleh saja dilakukan oleh para komisioner KPI, karena hal tersebut merupakan kewenangan mereka. Namun demikian, seyogianya dalam menyusun revisi tersebut memperhatikan konteks waktu, kedalamaan telaah hukum dan peka dalam melakukan penafsiran atas substansi masalah hingga tak mencederai rakyat. Sebaiknya KPI menyusun panduan yang jelas, utuh dan komprehensif mengenai reportase pengadilan. Bukan secara tiba-tiba dan serampangan mewacanakan pelarangan siaran langsung persidangan di pengadilan tanpa basis argumentasi dan sosialisasi yang memadai. Bahkan, jika perlu KPI bersama komponen masyarakat lainnya, bisa mendorong adanya semacam UU Contempt of Court seperti di Barat, sehingga tafsir atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan media massa di pengadilan, tidak berjalan parsial.

Sabtu, 14 November 2009

AWAN HITAM PEMERINTAHAN SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini Dimuat di KORAN JAKARTA, Rabu 11/11/2009)


Di tengah turbulensi kasus ala mafioso yang diduga melibatkan Anggodo, oknum kepolisian dan kejaksaan, Presiden SBY telah resmi menjabarkan program 100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11). Pengumuman yang seyogianya penting dan ditunggu ini, bak gelembung air sabun yang hadir lantas menghilang tanpa impresi apalagi apresiasi publik yang cukup memadai. Nampak ada sikap apatis yang berkembang di masyarakat, hingga menempatkan prioritas program pemerintah bukan lagi sebagai prioritas perhatian khalayak. Tentu, hal ini menjadi sinyal buruk bagi perjalanan pemerintahan SBY jilid II yang baru seumur jagung. Jika tidak diantisipasi, dapat menjadi noktah hitam yang menempatkan SBY di titik nadir.

Lima belas program prioritas kinerja 100 hari idealnya berbanding lurus dengan langkah kongkrit yang bisa menunjukkan bahwa SBY serius membangun good and clean governance. Masyarakat tentu menyadari bahwa program 100 hari, tidak dalam konteks penuntasan segala masalah negeri ini. Namun, apapun prioritas yang dicanangkan tidak akan memberi landasan positif bagi performa pemerintahan SBY, jika tak mampu menghilangkan noktah hitam yang kini mulai menghiasi pemerintahannya. Kita melihat banyak persoalan krusial yang berpotensi mengganggu citra dan agenda kerja 100 hari.

Pertama, terjadi paradoks antara prioritas menjadikan pemberantasan mafia hukum di urutan tertinggi dengan kebijakan yang diambil. Untuk merealisasikan prioritas pemberantasan hukum, tak cukup hanya dengan menunjukkan langkah-langkah sloganistik. Misalnya, hanya dengan memperkenalkan kode GM (ganyang mafia) untuk pengaduan masyarakat mengenai mafia hukum yang akan dikirim ke PO Box 9949.

Ada banyak momentum yang sesungguhnya bisa digunakan SBY untuk menunjukkan komitmen kuat upaya pemberantasan mafia hukum, tapi tidak dioptimalkannya. Satu diantara momentum tersebut adalah kasus rekayasa hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK yang jelas-jelas menggugah perhatian sekaligus keprihatinan publik. Nampaknya sinyal yang terpancar dari SBY sangat lemah bahkan nyaris tak terdengar. Sebaliknya opini publik kian mengkristal dan keras mempertanyakan penyelsaian kasus ini.

Ibarat permainan bola, SBY menerapkan strategi grendel yang menjemukkan. Pergerakannya konservatif, tak ada terobosan bahkan cenderung berlindung di belakang tokoh-tokoh yang diterima luas oleh khalayak agar opini publik tidak langsung menghantamnya. SBY sangat sadar, kasus rekayasa hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK ini merupakan kasus krusial. Hal ini dapat menjadi kotak pandora bagi terbukanya tindakan korupsi berjamaah lainnya. Kita tentu masih ingat, saat opini publik keras menghantam SBY soal keluarnya Perpu Plt Pimpinan Sementara KPK, dengan sangat cerdik SBY membentuk Tim5 sehingga suara keras masyarakat seolah teredam sementara oleh para tokoh yang tergabung di tim ini.

Begitupun saat publik mulai menuntut langkah kongkret SBY terkait kasus kriminalisasi pimpinan KPK, strategi yang sama dilakukan SBY dengan membentuk Tim-8. Tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung di tim tersebut, harus berjibaku mengurai benang kusut kasus ini. Ujung cerita tim seperti ini pun sudah bisa diprediksi, yakni sebatas rekomendasi yang sepertinya tak akan banyak didengar oleh pihak-pihak terkait dengan kasus ini.
Inilah permainan jaga citra ala safety player yang benar-benar menjemukan. Belum genap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono berjalan, pesimisme publik kian menguat. Protes ketidakpuasan semakin aktual, dimulai dari ruang maya (virtual) seperti di Facebook, Twitter, Netlog, milist, blog hingga merebak menjadi gerakan massa di jalanan. Kini, hampir setiap hari kita saksikan demonstrasi terkait desakan penyelsaian masalah Anggodo dkk, tak hanya di Jakarta melainkan juga di kota-kota lain.

Kedua, SBY mempraktikkan presidensialisme setengah hati. Berbagai prioritas program 100 hari tidak hanya bergantung pada bagusnya konsep tapi juga pada pelaksananya. Ironis memang, presiden yang memiliki sumberdaya politik meyakinkan gagal membentuk zaken kabinet sebagai prasyarat optimalisasi program-program prioritas tadi. Seperti kita ketahui, SBY mengantongi dukungan 60,80 % suara dalam Pilpres, kurang lebih 423 anggota DPR potensial berada di belakangnya, dukungan kaum teknorat ekonomi hingga dukungan dari luar negeri terutama Amerika yang memadai. Sumberdaya politik tersebut bukannya menciptakan akselerasi, justru sebaliknya menjadi kontra produktif karena kabinet dibangun melalui politik akomodasi.

Kita menghargai pilihan SBY saat memilih para pembantunya sebagai bentuk hak prerogatif presiden sekaligus konsekuensi presidesialisme. Kita juga menaruh hormat pada pernyataan SBY beberapa waktu lalu, bahwa harus ada monoloyalitas para menteri terhadap presiden. Persoalannya, mengapa dalam praktikknya SBY tak tegas melarang para menterinya untuk merangkap jabatan di partai politik?

Prioritas Krisis

Dalam manajemen krisis seperti sekarang ini, diperlukan langkah-langkah terobosan yang harus dilakukan oleh SBY untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik pada pemerintahannya.
Pertama, ada keberanian SBY untuk menunjukkan kepada publik bahwa saat nama baik RI-1 dicemarkan SBY harus melakukan upaya hukum, jangan membiarkan kasus ini. Kedua, SBY harus menjamin bahwa hasil kerja Tim-8 tak akan sia-sia. Berbagai fakta yang nantinya akan mengerucut pada rekomendasi, jangan hanya berhenti di meja Presiden. Tim-8 bukan bekerja untuk sebuah program realityshow yang bisa meninabobokan rakyat, melainkan bertujuan menemukan kebenaran guna memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rekomendasi harus kuat dan mengikat.

Ketiga, SBY harus berani melakukan reformasi birokrasi. Oknum kepolisian dan kejaksaan yang terlibat ditindak, bahkan Kapolri dan Jaksa Agung harus diganti. SBY juga harus tegas bahwa seluruh menteri di kabinet tak boleh lagi menduakan waktu dan loyalitas mereka dengan tanggungjawab besarnya di partai politik terlebih jika masih menjabat ketua partai. Performa positif pemerintah SBY akan muncul dengan sendirinya jika citra dan agenda pemerintah SBY memberi harapan kuat akan perubahan dan tak melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.

Senin, 09 November 2009

RUANG PUBLIK KOMUNITAS VIRTUAL

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, Sabtu 7 November 2009)

Satu fenomena menarik dari kasus kriminalisasi KPK yang terjadi sekarang ini, makin menguatnya kebebasan berdemokrasi di komunitas maya (virtual). Tak disangkal lagi, fakta menunjukkan inisiatif di situs jejaring sosial facebook telah memiliki gaung tersendiri dalam memperkuat tekanan publik. Derasnya penentangan terutama pasca diperdengarkan rekaman miliki KPK di Mahkamah Konstitusi, membuat Polri menangguhkan penahanan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Hingga tulisan ini dibuat, “gerakan satu juta facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto”, sudah mencapai angka 988.000. Sangat mungkin, jumlah tersebut akan terus bertambah karena kasus ini masih berjalan, bahkan kian intensif disuarakan di komunitas virtual dan media massa. Terlebih, Polri kini melepas Anggodo dengan alasan tak punya bukti. Inilah potret ekspresi cyberdemocracy yang kian memperteguh posisi new media sebagai saluran komunikasi politik yang efektif.

Penyatuan Simbolik
Selang beberapa hari dari kemunculan “Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto”, muncul gerakan moral lain yakni “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century”. Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut, meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret ruang publik (public sphere) kontemporer yang telah mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik individu warga negara secara leluasa.
Jika kita menengok ke belakang, komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah sukses memberi tekanan pada tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional. Saat itu, muncul dukungan bagi Prita lebih dari 19.000 facebookers, melampaui target awal pembuatnya yakni 7.500 simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah menjeratnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pertanyaannya, mengapa komunitas virtual akhir-akhir ini dapat menjadi komunitas pengontrol sekaligus juga dapat menjadi kelompok penekan? Paling tidak, ada tiga hal yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama, munculnya era kesadaran kelompok public attentive yang kian adaptif dengan kemajuan ICT terutama terkait dengan dunia virtual. Menurut data statistik yang dilansir oleh http://www.checkfacebook.com/ tahun 2009, pengguna facebook di Indonesia masuk 10 besar jumlah pengguna facebook terbesar di dunia. Indonesia berada di peringkat ketujuh, mengalahkan Australia, Spanyol, dan Kolombia. Peringkat pertama dipegang Amerika Serikat (67.485.000), kemudian disusul Inggris ( 17.926.840), Kanada ( 11.515.660), Turki (11.417.400), Perancis (10.588.720), Italia (10.179.480), Indonesia (5.949.740) Australia (5.890.760), Spanyol (5.671.580) dan Kolumbia (5.206. 020).
Pengguna internet di Indonesia pun kian hari kian banyak. Menurut data dari http://www.internetworldstats.com/ tahun 2009, bahwa Indonesia kini menempati peringkat kelima di Asia dengan jumlah user 25 Juta orang di bawah Cina, Jepang, India, Korea Selatan dan masih unggul atas Vietnam, Filipina, Pakistan, Malaysia dan Taiwan. Sebagian besar penggerak jejaring sosial berasal dari generasi muda terdidik (well-educated). Mereka menjadikan perkembangan internet sebagai salah satu instrumen jejaring sosial termasuk untuk mengkritisi berbagai hal. Ada trend peningkatan signifikan dalam penggunaan situs jejaring sosial di masyarakat. Hal ini terlihat dari kian intensifnya penggunaan situs jajaring sosial yang kian beragam. Tak hanya facebook tapi juga ada 10 situs lain yang trend digunakan yakni: Twitter, Myspace, Windows Live Spaces, Friendster, Hi5, Flicker, Orkut, Flixter, Multiply dan netlog. Meski yang paling populer tentu saja adalah facebook. Dengan meningkatnya jumlah public attentive atau komunitas yang sudah berperhatian terhadap berbagai isu politik yang berkembang, maka kian hari komunitas virtual ini kian memiliki kekuatan signifikan.
Kedua, komunitas virtual itu tak terbatasi (borderless) oleh keterpisahan tempat, waktu, ideologi, status sosial ekonomi maupun pendidikan. Saat seseorang melakukan interplay dengan anggota lain di komunitas, maka hubungannya jauh lebih fleksibel karena bisa berhubungan kapan saja dan dari mana saja. Tak ada lagi zona proksemik seperti pernah digagas Edward Hall, yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm-1,2 m), jarak sosial (1,2 m -3,6 m) jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya facebook, nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti itu. Setiap anggota komunitas bisa mengekspresikan berbagai kekesalan atas upaya kriminalisasi KPK, praktik arogansi oknum polisi dan oknum kejaksaaan secara lebih bebas, fleksibel dan bisa sangat personal. Sehingga ekspresi emosi masing-masing indvidu lebih terakomodasi dibanding hanya membaca hasil reportase jurnalis media massa. Banyak diantara anggota gerakan 1 juta facebookers pendukung Hamzah dan Bibit itu, tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu secara face-to-face.
Ketiga, memungkinkan terbentuknya kesadaran kelompok terbagi (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, meciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, tema cicak vs buaya, kriminalisasi KPK, pemberantasan korupsi dll., dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran. Pada saat media massa mempublikasikan tema-tema kesadaran itu, biasanya keterhubungan individu masih bersifat artifisial. Hal itu, akan diperteguh dan lebih personal pada saat dia terhubung dengan komunitas virtualnya.

Cyberdemocracy
Tidak berlebihan jika kita menyebut fenomena komunitas virtual di web jejaring sosial seperti facebook ini sebagai bentuk kontemporer dari ruang publik (public sphere). Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas (1962), filsuf kritis generasi kedua dari aliran Frankfurt berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai ruang publik, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah sosial yang memiliki dampak luas pada khalayak. Penekanannya pada pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya.
Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika Habermas mengangkat prototype obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik, maka sekarang ini komunitas virtual dapat kita katakan sebagai ruang publik. Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan ruang publik dalam arti face-to-face sudah bergeser. Oleh karena hal tersebut, Mark Poster dalam Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere (1995) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Media massa baik cetak maupun elektronika karena alasan-alasan regulasi pasar, represi pemilik modal dan intervensi kepentingan politik negara kerap tak mampu lagi memerankan diri sebagai ruang publik secara optimal. Oleh karenanya, komunitas virtual harus tetap mampu menggerakan publik untuk senantiasa menyuarakan keadilan dan kebenaran tanpa dominasi. Sebuah wujud ekspresi dari kesadaran substantif.