Jumat, 03 Juni 2011

BEBAN DEMOKRASI ELEKTORAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 27 Mei 2011)

Banyak yang menyimpulkan demokrasi Indonesia tak pernah beranjak dari fase transisi. Setelah 13 tahun peristiwa reformasi,kita melewati tiga kali pemilihan umum (pemilu). Kekuasaan pun banyak diisi orang-orang baru meski banyak juga orang lama yang tetap melanggengkan dinasti politik mereka baik di pusat maupun di daerah.

Muncul beragam sumbatan dalam proses konsolidasi politik hingga kita tak pernah sampai pada demokrasi substansial yang diidealkan. Bahkan muncul kecenderungan kita terjebak dan berputar-putar dalam demokrasi elektoral yang kapitalistik.

Sejarah mencatat katalisator utama perubahan politik 1998 yang kita kenang sebagai peristiwa reformasi karena ada musuh bersama (common enemy) yakni Soeharto. Kekuasaan bercirikan bureaucratic polity yang diusung Soeharto telah menyebabkan pengerdilan kekuatan civil societydi Indonesia.

Dalam tulisan Karl D Jakson, Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia (1978), ciri dominan bureaucratic polity adalah mengisolir keputusan-keputusan penting hanya di lingkaran elite tertentu. Inilah zaman kegelapan demokrasi Indonesia karena semua kekuasaan tersentral pada sosok Soeharto. Setelah fase transisi itu lewat seharusnya kita memasuki babak baru yakni konsolidasi dan pelembagaan politik. Namun, hal ini tak mudah direalisasikan.Terlalu banyak hal pragmatis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam politik rendahan.

Beban Politik

Kini, gaung reformasi telah menepi,bahkan muncul kecenderungan mati suri.Tragisnya lagi, reformasi mulai dianggap gagal! Masyarakat tak merasakan ada perbaikan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan, dan perekonomian. Meminjam data hasil survei nasional Indo Barometer April–Mei 2011 membuat kita semakin miris. Sebanyak 55,4% masyarakat tidak merasakan ada perubahan kondisi bangsa sebelum dan sesudah reformasi. Hanya 31% yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei terhadap 1.200 responden di 33 provinsi ini mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi,dan hanya 29,7% yang menyatakan puas.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah munculnya kecenderungan di masyarakat yang menganggap bahwa kehidupan di era Orde Baru lebih baik dari era pascareformasi. Terlepas dari kritik banyak pihak terhadap metodologi yang tidak mengomparasikan secara apple to apple Era Reformasi dengan Orde Baru, survei Indo Barometer itu bisa menjadi semacam warning bahwa reformasi memang di titik nadir persepsi masyarakat.

Salah satu sumbatan nyata proses konsolidasi dan pelembagaan politik adalah dominannya demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik dalam sistem politik kita. Hal ini ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antarparpol guna memperebutkan pemilih melalui basis transaksional. Pemilu menjadi pasar lelang suara sehingga ongkos untuk penguasaan pemilih menjadi sangat mahal. Dana internal parpol sangat tak memadai untuk membiayai pertarungan sehingga dibutuhkan dukungan dari pihak eksternal antara lain donatur dan para investor politik. Praktik ini melahirkan perselingkuhan abadi penguasapengusaha yang kerap mereduksi kesejatian demokrasi.

Hal tersebut juga sering menjadi pembenar bagi praktik kumulasi ekonomi para politisi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks inilah, kita sering melihat peran parpol sebagai bunker bagi para koruptor. Sudah bukan rahasia bahwa BUMN, proyek-proyek kementerian, pemda-pemda, sirkulasi jabatan, dan sejumlah kerja sama dengan pihak swasta kerapkali menjadi pintu masuk tindakan korupsi para politisi maupun para broker yang berafiliasi ke parpol tertentu. Beban demokrasi elektoral kita saat ini adalah politik tersandera oleh mekanisme transaksional. Para politisi mengidentikkan politik sebagai komoditi yang punya nilai pertukaran (exchange value) dan pasar (market).

Tak heran jika sirkulasi jabatan, pemilihan kepala daerah (pilkada), pembuatan kebijakan publik,hingga anggaran menjadi produk politik yang memiliki nilai transaksional. Konsekuensi dari cara pandang politik sebagai komoditi ini melahirkan korupsi, suap, dan penyalahgunaan jabatan untuk kumulasi ekonomi yang bersifat personal maupun organisasional. Politik tak bisa melepaskan diri dari rumusan money-commodity- more money (MCM) layaknya di produk komersial. Praktik ini tak hanya menerpa parpol penguasa, tapi juga mereka yang di luar kekuasaan.

Energi bangsa ini lebih banyak tersedot ke dalam rivalitas perebutan kekuasaan dan sirkulasi jabatan, tetapi lupa bagaimana mengoptimalkan kekuasaan tersebut bagi kesejahteraan rakyat. Para elite lebih memilih ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair.Anatomi kekuasaan tetap mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.

Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Dalam memaknai demokrasi, kita kerap terjebak dalam logosentrisme. Menurut pemikir beraliran postmodernisme, Jacques Derrida, paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme yang mendewakan kata.Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, makna demokrasi lebih dari sekadar kata-kata.

Tak cukup hanya membangun reformasi melalui kata-kata dan citra, melainkan juga harus hadir dalam realita yang sesungguhnya.

Ke depan, kita tentu tak ingin demokrasi terus-menerus tersandera oleh libido kekuasaan kaum elite. Demokrasi elektoral harus memiliki sumbangsih nyata bagi perbaikan bangsa ini, bukan semata perhelatan demokrasi lima tahunan yang miskin perubahan.●

Tulisan ini bisa diakses di web SINDO

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401771/

Sumber ilustrasi gambar:

www.inilah.com

QUO VADIS REFORMASI?


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 23 Mei 2011)

Bulan Mei diidentikkan dengan reformasi, tonggak perubahan yang meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Gerakan massa waktu itu ibarat air bah yang tak terbendung rezim tiran Soeharto.

Itulah sejarah yang melahirkan euforia kebebasan. Sekarang, justru kita gelagapan menghadapi realitas reformasi yang dianggap gagal. Bangsa ini tentu kaget bukan kepalang saat Indo Barometer memublikasikan hasil survei nasional sepanjang 25 April-4 Mei, yang menyatakan 40,9 persen responden mempersepsikan Orde Baru lebih baik dari Orde Lama dan reformasi. Hanya 22,8 persen yang memilih era Reformasi sebagai yang terbaik.

Kegagalan Reformasi

Kekagetan kita tak cukup berhenti di situ. Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasakan adanya perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4 persen, hanya 31 persen masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah Reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55 persen di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7 persen saja yang menyatakan puas.

Tentu, hasil survei itu menjadi polemik. Mereka yang melihat dari cara pandang skeptis akan memunculkan pertanyaan: benarkah hasil survei itu merefleksikan pandangan umum masyarakat Indonesia?

Memang pada dasarnya studi kuantitatif itu bisa menjadi refleksi, hanya saja tak ada salahnya menggali lebih dalam metodologi yang digunakan pihak Indo Barometer. Apakah mereka sudah mengomparasikan secara apple-to-apple antara Orde Baru dengan era Reformasi. Cara pandang seperti itu sah-sah saja dilontarkan sebagai sebuah kritik metodologis.

Tetapi bagi penulis, persoalannya bukan pada debat metodologis dalam survei, melainkan pada hal yang lebih substansial, yakni menguatnya gejala kekecewaan masyarakat terhadap kaum elite, baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita raba mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi. Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan.

Elite berkuasa tetap konservatif dalam pola-pola lama seperti dipraktikkan Orde Baru. Pola lama tersebut antara lain penguasaan akses dengan cara merestriksi berbagai peluang kuatnya check and balance dalam kekuasaan. Hal ini tergambar jelas dalam pembentukan pemerintahan yang tetap mengacu pada pola korporatisme atau pembonsaian politik.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengantongi suara signifikan dalam Pemilu, tetap melanggengkan praktik koalisi besar. Akibatnya, muncul gejala obesitas kekuasaan yang membuat pemerintah tak leluasa bergerak melakukan banyak hal untuk rakyat.

Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna menyejahterakan rakyat. Pola korporatisme ini juga telah dipraktikkan Orde Baru, hanya posisi Soeharto sangat kuat karena mengendalikan tiga kekuatan utama Orde Baru hasil fusi yang dipaksakan, sementara SBY harus berkompromi dengan multipartai ekstrem. Kesamaannya adalah pada pola pengendalian kekuatan penyeimbang. SBY dan Soeharto sama-sama piawai membuat stabilitas politik dengan mengontrol kekuatan potensial.

Tentu tantangan bagi SBY lebih besar, karena terlalu banyaknya teman yang diangkut ke dalam gerbong Kabinet Indonesia Bersatu II dan kerap kali mitranya tersebut berperan ganda, yakni sebagai kawan seperjalanan sekaligus lawan yang siap menerkam. Hal ini sudah terlihat dalam kasus Hak Angket Century dan rencana Hak Angket Perpajakan. Mitra koalisi bercita rasa oposisi ini bukan tak mungkin melakukan manuver serupa di masa mendatang.

Hal lain yang membuat reformasi kita berjalan di tempat adalah politisasi hukum. Proses penegakan hukum menjadi lamban, bahkan terkadang keluar jalur dan masuk di ranah politik. Misalnya, rakyat mungkin sudah bosan melihat berbagai kasus hukum yang menguap tanpa alasan jelas. Tindakan korupsi yang dilakukan sejumlah politikus dan pejabat sangat kental dengan ciri permainan politik ketimbang penegakan hukum. Beragam kasus hukum didorong ke permukaan untuk menjadi pembuka sejumlah negosiasi dengan kekuatan lain.

Kita sudah bisa memastikan jika sebuah kasus dipetieskan, sudah barang tentu ada “zone of possible agreement” yang telah disepakati di antara sejumlah elite. Misalnya gegap gempita kasus korupsi Century, juga kasus Gayus yang hanya menyeret para “kroco”. Hukum menjadi komoditas politik yang memiliki pertukaran nilai (exchange values) dan pertukaran pasar (exchange market) bak produk komersial di pasar lelang.

Korupsi menjadi momok lain bagi jalannya agenda reformasi. Saat ini ada kecenderungan parpol tergerus habis oleh pusaran korupsi para elite yang ada di dalamnya. Budaya korupsi ini kian melembaga karena parpol harus bertarung di pemilu dan pilkada yang sangat mahal.

Ongkos demokrasi elektoral sangat tinggi akibat politik yang tak berbasis kinerja, melainkan hanya berupa transaksi menjelang pemilu. Konsekuensinya, politikus dan parpol harus bergerilya, bahkan kerap menjadi “drakula” untuk megisap banyak sumber finansial, agar bisa bertahan di medan pertempuran yang panjang dan melelahkan.

Arah ke Depan

Dalam tulisan RA Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) disebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel, yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya sangat penting dalam menentukan proses demokrasi Indonesia ke depan. Kita tak cukup lagi mengklaim sebagai negara demokrasi karena sukses menggelar pemilu secara reguler. Apatisme masyarakat akan semakin membesar jika para elite masih terbiasa melakukan korupsi dan abuse of power.

Mampukah para politikus dan parpol mentradisikan politik sehat? Politik berbasis rasionalitas bernilai yang punya perhatian pada pemberdayaan kapasitas hak-hak sipil politik masyarakat. Selain itu, ke depan kita juga perlu melakukan konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kuat. Hal itu mestinya tercermin dalam regulasi seperti dalam paket UU Politik dan pengelolaan negara, yang merujuk pada kesejahteraan rakyat. Selain juga literasi politik yang lebih baik.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/quo-vadis-reformasi/


UJIAN KREDIBILITAS DEMOKRAT


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 16 Mei 2011)

Isu tak sedap kini berhembus kencang dari tubuh Partai Demokrat. Hal ini, terkait dugaan keterlibatan Bendahara Umum dan salah satu Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat di balik kasus suap proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang. Selain itu, muncul juga isu lanjutannya bahwa kasus tersebut bergulir karena adanya konflik internal dalam kepengurusan Anas Urbaningrum.

Dugaan keterlibatan politisi dalam tindakan korupsi seolah kian memperteguh dominannya hasrat pragmatisme dalam mencari, mengelola dan mendistribusikan basis logistik politik. Sudah tak terhitung, berapa jumlah anggota DPR yang juga politisi parpol terjerembab dalam kubangan kasus korupsi. Misalnya, 25 aggota DPR secara “berjamaah” terlibat dalam kasus suap pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur BI. Selain itu, ada juga kasus suap alih fungsi hutan lindung di Riau Kepulauan dan Sumatra Selatan. Contoh-contoh tersebut, seolah memperteguh jati diri politisi yang erat beririsan dengan tindakan korupsi.

Ada hal menarik yang patut kita catat dari bergulirnya kasus ini. Modus terbanyak tindakan korupsi politisi biasanya tak semata berdiri sebagai tindakan personal melainkan punya keterhubungan dengan orang atau kelompok yang menjadi basis afiliasinya.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan, politisi yang korup terbiasa memiliki mitra “seperjuangan” baik dari sesama partai maupun lintas kekuatan. Perbedaan parpol kerap terjembatani oleh hasrat yang sama yakni kumulasi ekonomi secepat mungkin. Wajar, jika di beberapa kasus korupsi seperti dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, kita bisa melihat politisi berbeda parpol terjerat kasus serupa. Tak ada lawan dan kawan yang abadi yang abadi hanyalah kumulasi ekonomi.

Dalam kasus suap wisma atlet SEA Games ini, tentu harus ada dentifikasi yang sangat memadai terkait jejak rekam serupa. Bagaimana keterhubungan para pelaku yang tertangkap tangan KPK dengan para politisi plus jaringannya. Tak mungkin ada asap jika tak ada api.Meski pada akhirnya, ini akan menjadi ujian berat bagi proses penegakkan hukum di Indonesia.

Jika memang ada indikasi kuat keterlibatan politisi Demokrat dalam kasus ini, akankah Demokrat menjadi bunker bagi para politisinya korup? Inilah ujian kredibilitas bagi eksistensi PD sebagai partai pemenang pemilu, terlebih SBY berada di puncak hirarki organisasinya.

Sudah bukan rahasia bahwa prilaku korup para politisi ini juga terkait kebiasaan dalam demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik guna memperebutkan pemilih. Ruang pertarungan di pasar bebas parpol ini tentunya berbiaya sangat besar. Iuran internal parpol sangat tak memadai, sehingga dibutuhkan dukungan dana dari eksternal antaralain donatur, para pemodal, dan ekspansi basis-basis logistik di BUMN atau pun institusi lain yang bisa dikapitalisasi. Hal ini, telah menstimulasi beragam cara untuk korupsi. Diprediksi pola serupa akan meningkat menjelang Pemilu 2014, karena pertarungan jauh akan lebih keras di banding pemilu 2009.

Demokrat juga harus berupaya mengklarifikasi apakah benar terjadi konflik internal dalam kepengurusan Anas. Jika isu ini memang digulirkan secara sengaja oleh teman sekandang, tentu akan menjadi malapetaka bagi Demokrat ke depan. Soliditas parpol akan sangat menentukan langkah searah dalam penyiapan pertarungan besar di 2014. Publik tentu menunggu, akankah Demokrat lolos dalam ujian kredibilitasnya? ***

Ilustrasi Gambar:

www.mediaindonesia.com

PASAR BEBAS PARTAI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 07/05/2011)

Sejarah partai politik (parpol) di Indonesia selalu berulang. Setiap menjelang pemilu selalu ada parpol baru yang muncul dan mencoba peruntungan untuk bersaing pada perhelatan demokrasi lima tahunan.

Kini,wajah-wajah parpol baru pun mulai menampakkan diri ke permukaan, antara lain Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Nasional Republik (Nasrep),Partai Persatuan Nasional (PPN), dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI).Tentu,hasrat politis untuk berserikat dalam parpol merupakan hak konstitusional warga negara meskipun upaya mewujudkan hasrat tersebut kerap kali tak dibarengi modal yang kompetitif.

Tipologi Parpol

Tak berlebihan jika kita sebut demokrasi kita saat ini telah menjadi pasar bebas parpol. Siapa pun dapat mendirikan parpol dan berkompetisi dalam pemilu setelah melewati berbagai syarat formal dan lolos menjadi kontestan, baik karena menyiapkan diri maupun karena keahlian para politikus meretas beragam celah aturan main yang tersedia. Pengalaman pada Pemilu 2009, dari 38 parpol yang menjadi kontestan, hanya 9 yang bisa melampaui angka parliamentary threshold (PT) 2,5% dan akhirnya menjadi penghuni rumah rakyat di Senayan. Jika kita amati,paling tidak ada empat tipologi parpol baru yang saat ini mulai beredar.

Pertama, parpol yang diinisiasi oleh elite yang tersisih dari atmosfer kekuasaan parpol besar. Partai Nasdem masuk dalam kategori ini. Sebagaimana kita ketahui, Nasdem tak terpisahkan dari sosok Surya Paloh meskipun secara formal tak diketuai langsung olehnya.Konteks kelahiran Nasdem diawali histori kontestasi Paloh vs Aburizal Bakrie dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Saat Paloh tersisih, dia mulai mengejawantahkan hasrat politisnya lewat Nasdem. Memang, secara organisasional Partai Nasdem dipimpin oleh Patrice Rio sebagai ketua dan Ahmad Rofiq sebagai sekretaris jenderal.Namun,publik juga sangat paham bahwa genealogi politik Nasdem bisa dirunut ke Paloh.

Mirip posisi SBY di awal kelahiran Partai Demokrat, tak duduk sebagai ketua umum parpol, tetapi berada di puncak hierarki kebijakan organisasi sehingga memiliki kuasa menentukan arah perjalanan parpol.Paloh dalam konteks ini sedang menjalankan two step models of leadership. Model ini digunakan untuk manajemen tes situasi dan respons khalayak dalam sebuah pasar bebas parpol yang begitu kompetitif. Jika Nasdem di kemudian hari gagal bersaing dalam pasar bebas parpol, orang diharapkan tak akan langsung menunjuk sebagai kegagalan total Paloh karena secara manajerial, organisasi ditukangi oleh orang lain.

Kedua, parpol baru yang muncul dari konflik organisasional yang menyebabkan dualisme kepengurusan. PKBI merupakan parpol produk konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan putri kedua almarhum Gus Dur,Yenny Wahid.Tertutupnya islah melahirkan keputusan pendirian parpol baru yang sama-sama akan menggarap basis masa kaum nahdliyin. Tentu, modal awal PKBI adalah reference power dari figur Gus Duryang dilekatkan dengan sosok Yenny sehingga diharapkan menjadi katalisator modal sosial, politis, dan finansial bagi ekstensi PKBI ke depan. Jika berbicara ceruk pasar kaum nahdliyin yang sangat potensial, tentu kehadiran PKBI sedikit banyaknya akan merugikan eksistensi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014.

Ketiga, parpol produk agregasi politik dari beberapa kekuatan yang telah ada sebelumnya. Partai Persatuan Nasional (PPN) merupakan hasil fusi dari 10 partai kecil. Dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik muncul sejumlah pengetatan aturan,misalnya verifikasi parpol yang harus selesai paling lambat akhir 2011, keharusan memiliki kepengurusan di 33 provinsi, 75% kabupaten/kota yang ada di provinsi, serta minimal 50% kecamatan di kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Belum lagi polemik soal peningkatan angka PT dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang dirasakan kian mengancam eksistensi parpol-parpol kecil.Maka,setelah mengalkulasi hitung-hitungan politik ke depan,10 parpol kecil itu akhirnya bersepakat melakukan fusi.

Keempat, parpol baru pengusung romantisme sejarah Orde Baru.Pasca-Reformasi selalu ada tipe parpol yang jualan utamanya adalah kedigdayaan politik Soeharto. Misalnya, menjelang Pemilu 2004, tepatnya 9 September 2002, didirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) oleh Jenderal (Purn) Hartono yang menggandeng Siti Hardijanti Rukmana sebagai salah satu deklarator. Napas serupa sepertinya kini juga ada pada parpol Nasrep dengan memosisikan Tommy Soeharto sebagai modal dasar pergerakan Nasrep.

Persaingan

Keberadaan parpol dengan identitas baru, tetapi tipologi lama ini sepertinya berat bersaing di era demokrasi pasar bebas. Pertama, munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan perilaku politik para politikus lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.Sementara parpol baru yang hadir tak memiliki cukup nilai distingtif yang bisa memberi impresi sekaligus referensi baru bagi pemilih. Kedua, parpol baru pun masih terjebak pada identifikasi citra simbolik elite daripada jejaring kader ideologis. Misalnya lebih mengedepankan nama-nama besar Surya Paloh, Yenny Wahid (Gus Dur),Tommy (Soeharto). Ketiga, regulasi yang lebih ketat baik dalam UU Parpol maupun dalam UU Pemilu.Tentu, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi parpol baru.

Peluang parpol baru memang kecil,terutama jika mereka tak mampu mentransformasikan gagasan dan hasrat politis mereka di level kerja praktis, jejaring kader dan massa mengambang, figur,sumber finansial, serta berbagai pendekatan marketing politik berbasis komunitas. Ke depan pasar bebas parpol di Indonesia seharusnya memasuki fase konsolidasi, bukan terus-menerus menjadi ajang pencarian peruntungan para petualang.●

Tulisan ini bisa diakses di web Sindo:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/397160/

Sumber gambar:

www.monitorindonesia.com

POLEMIK CAPRES INDEPENDEN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 30 April 2011)

Akhir-akhir ini pro kontra seputar wacana calon presiden (capres) independen kembali mengemuka. Polemik tentang hal ini sesungguhnya telah mengemuka sejak Pemilu 2009 lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/02/2009) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Fadjroel Rahman, Mariana, dan Bob Ferdian.

Kini, seiring dengan rampungnya naskah amendemen kelima UUD 1945 yang dibuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), isu ini pun kembali menjadi salah satu topik utama yang menarik perhatian. Salah satu bahasan dalam naskah itu adalah usulan agar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari unsur perseorangan diakomodasi.

Konteks gagasan

Menarik untuk membaca konteks mengapa polemik ini menjadi penting dan memberi tawaran menggiurkan bagi reformulasi sistem pemilihan presiden di Indonesia. Pertama, konteks legal formalistik yang tertuang dalam konstitusi kita. Ada upaya untuk pemberian tafsir ulang atas hak-hak politik warga negara terkait dengan capres dan cawapres.

UUD 1945 pada Pasal 6A ayat 2, secara eksplisit menyatakan pasangan capres/cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan partai politik. Dasar inilah yang dijadikan rujukan MK saat memutus permohonan Fadjroel Rahman. Saat itu, Fadjroel dkk memohonkan pengujian pasal-pasal dalam UU Pilpres yang hanya memberikan kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol dan menutup hak konstitusional calon independen dalam pilpres. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9, dan seluruh muatan pasal 13 ayat 1. MK pun berpendapat, ketentuan pasal-pasal yang diuji materi dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi.

Bagi kelompok yang menginginkan diakomodasinya capres independen, termasuk yang dilakukan DPD saat ini, mencoba melihat sisi lain dari konstitusi. Misalnya, yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yakni setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, asalkan memenuhi persyaratan. Dua sisi yang seolah paradoks inilah yang dianggap membutuhkan kejelasan sehingga memerlukan langkah amendemen.

Kedua, konteks politik terkait dengan fenomena disonansi kognitif yang dialami pemilih atas tawaran parpol yang berkutat di elite yang itu-itu saja. Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan dari apa yang dipikirkan dengan realitas yang didapatkan para pemilih. Parpol di Indonesia hingga sekarang tidak memberi impresi yang memadai. Bahkan, ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsionalisasi parpol.

Apatisme publik terhadap eksistensi parpol ini semakin menjadi di saat parpol ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan. Sejak reformasi hingga sekarang, DPR sebagai representasi kiprah partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan, ternyata gagal memberi keyakinan kepada publik. Bahkan, cenderung semakin menguatkan gejala delegitimasi simbol wakil rakyat. Begitu pun kiprah parpol dalam sirkulasi elite.

Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Plato dalam mahakaryanya, Republic, pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elite. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.

Para politikus partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Kejenuhan dalam merespons calon-calon presiden parpol itulah, yang menjadi konteks mengapa gagasan capres independen yang bergulir saat ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan.

Skeptisme parpol

Saat gagasan capres independen ini bergulir, respons para politikus parpol kebanyakan skeptis, bahkan menunjukkan gejala tidak bisa menerima, padahal mereka belum membangun argumentasi yang komprehensif terkait plus minus gagasan ini. Parpol sesungguhnnya tidak perlu khawatir, jika mereka menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan menghidupkan mekanisme kompetisi serta sirkulasi elite yang benar, maka capres independen itu biasanya tak memiliki dukungan yang signifikan saat pemilu. Pengalaman di Amerika, kandidat presiden dari parpolah yang diminati dibanding kandidat independen.

Misalnya di pemilu Amerika pada 2008 lalu, kandidat presiden Partai Demokrat Barack Obama dan kandidat presiden Partai Republik Jhon McCain, jauh lebih diminati dibanding calon-calon independen yang beredar sebelum fase pemilu nasional. Misalnya, nama Ralp Nader yang berpasangan dengan Matt Gonzalez sebagai calon independen, ternyata tak menarik minat warga AS.

Para capres independen tersebut tak laku jual karena warga Amerika cenderung lebih memercayai kandidat yang berasal dari parpol. Satu mekanisme yang membuat kandidat parpol itu menarik minat pemilih adalah mekanisme konvensi.

Jalan terjal akan mengadang realisasi gagasan capres independen ini. Pertama, amendemen UUD 1945 agar bisa mengakomodasi calon nonparpol. Kedua, hal ini juga harus masuk dalam perubahan UU Pilpres. Idealnya para politikus parpol tidak menjegal gagasan ini di tengah jalan, sehingga bisa menjadi pemacu kiprah optimal parpol saat ini dan ke depan.

Tulisan ini bisa diakses di web Republika:

http://koran.republika.co.id/koran/24/134137/Polemik_Capres_Independen

Sumber gambar:

www.matanews.com

METAMORFOSIS TERORISME


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 26 April 2011)

Teroris seolah tak ada matinya. Bak pepatah lama, hilang satu tumbuh seribu. Matinya tokoh-tokoh teroris sekelas Noordin M Top, Dr Azhari, Imam Samudra dan Amrozi tak lantas mematikan jaringan aktif kaum teroris. Hingga kini, mereka tetap leluasa menjadikan Indonesia sebagai zona tindakan teror meski para pelakunya bisa jadi tak berada dalam satu jaringan yang sama. Bom buku, bom bunuh diri Mohammad Syarif, dan paket bom di jalur pipa gas sekitar Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, menjadi bukti teroris masih menjadi ancaman serius.

Jika kita melihat para pelaku teror bom buku yang ditangkap, faktanya mereka rata-rata sarjana. Bahkan yang mengagetkan, kaum teroris pun kini berupaya melibatkan jurnalis dalam desain perilaku terornya. Teroris kini berupaya mentransformasikan diri dengan menyasar lebih banyak lagi kalangan potensial di masyarakat.

Bagaimana pun, terorisme telah menjadi kejahatan utama bagi kemanusiaan. Gerakan ini laten dan bisa kembali aktual kapan pun dalam sosok serta jaringan yang sama atau pun berbeda. Doktrin ajaran tak toleran dan radikal yang meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus tindakan pragmatisnya masih tertanam di banyak kader.

Terorisme telah disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir yang keliru, kemiskinan, kelengahan pengelola dan aparatur negara, serta ketidakpedulian masyarakat. Embrio terorisme siap menetas, menjadi stelsel aktif yang mengimplementasikan semangat dan cara pandang teroris di kemudian hari. Terlebih bangsa ini kerap menjadi bangsa pelupa di tengah bekerjanya gurita para pemilik otoritas modal dan kekuasaan yang kerap dengan sengaja membuat proyek lupa. Satu kasus sengaja didorong ke permukaan untuk menutupi kasus-kasus lain yang mengancam si pemilik otoritas. Sehingga, masyarakat masuk ke dalam dimensi lupa yang sengaja diciptakan dan dilembagakan.

Kita perlu mewaspadai transformasi terorisme baik di level gagasan ideologis, spirit gerakan radikal maupun pola dan sosok pelakunya. Terlebih jika mereka memiliki role model yang keliru tentang konsep diri “pejuang”, “syuhada”, “pembawa kebenaran”, “imam atau amir” dan lain sebagainya. Kini, bisa jadi teroris tak semata faktual melainkan juga simbolis. Artinya, teroris tak hanya ada dalam realitasnya sebagai pribadi, tetapi juga menjadi kesadaran kelompok terbagi yang penetratif ke berbagai kalangan potensial seperti kaum muda. Sungguh berbahaya jika terorisme telah mengalami konvergensi simbolis di berbagai kelompok masyarakat.

Menurut Ernest Bormann dalam John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998) menyatakan, konvergensi simbolis ini merupakan kekuatan komunikasi dibalik penciptaan kesadaran umum (realitas simbolis) yang disebut sebagai visi retoris. Menyediakan sebuah drama dalam bentuk cara pandang, ideologi, dan paradigma berpikir.

Jika cara pandang menghalalkan bom bunuh diri, membunuh atau menebar teror menjadi kesadaran kelompok bersama, maka terorisme akan sangat berbahaya karena satu tahap lagi akan memanen banyak pelaku organik tindakan teror.

Teror dan Media

Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin masif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisasi dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan.

Oleh karenanya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatis. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi kejadian sangat luar biasa (extra ordinary news). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity, yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa.

Mereka sangat sadar bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya diliput media. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional. Bagi para pelaku, bukan hanya sekadar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional, dan situasi yang serba tak menentu.

Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustrasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detail dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan peristiwa extra ordinary seperti pemboman.

Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tak terjebak oleh keinginan para pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tak mengembus-embuskan asumsi- asumsi liar tanpa bukti memadai. Memori publik diingatkan pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005), bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (2009) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya.

Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya, sehingga kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.

Opini publik seputar tindakan kaum teroris dapat berjalan liar, yang kemudian menjadi bola api yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu, perlu kearifan semua pihak terutama para elite politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror.

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=81054

Sumber Karikatur :

Karya Herpri Yanto di www.humorreview.blogspot.com

DILEMA KONSOLIDASI DEMOKRASI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 28 April 2011)


Polemik seputar wacana peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) kian mengerucut ke angka kompromistik. Rapat pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Senin (4/4), akhirnya menyepakati angka 3 persen dalam draf RUU Pemilu Legislatif. Sebagaiman kita ketahui, batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen. Dengan ketentuan ini, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Angka 2,5 persen tersebut kemudian diusulkan oleh beberapa parpol untuk naik. Alasannya, demi konsolidasi dan pemapanan demokrasi di Indonesia.

Sebelumnya, sempat muncul empat polarisasi usulan. Pertama, usulan peningkatan menjadi 5 persen yang didukung Golkar, dan PDIP. Kedua, usulan untuk tetap 2,5 persen yang didukung oleh Hanura, Gerindra, PPP, PKB dan PAN. Ketiga, 3 hinga 4 persen yang diusung PKS. Terakhir, usulan 4 persen yang terlontar dari Demokrat. Memang polemik soal peningkatan PT untuk konsolidasi demokrasi ini, menjadi dilema tersendiri bagi para politisi di DPR, mengingat banyaknya desakan untuk mengakomodir kepentingan parpol dalam konfigurasi kekuasaan legislatif di periode mandatang.

Angka Kompromistik

Merujuk ke pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu ada sembilan parpol yang lolos ke parlemen, antara lain Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen). Jika data tersebut menjadi dasar prediksi perolehan suara di Pemilu 2014, maka angka PT 5 persen akan melahirkan penyusutan jumlah parpol di DPR menjadi hanya 5 atau 6 parpol saja. Tentu, wacana ini akan sangat ditentang oleh parpol-parpol kecil yang sekarang tak terakomodasi di DPR sekaligus juga mendapat resistensi dari parpol papan tengah yang gamang dan belum percaya diri bisa meningkatkan suara melebihi ambang batas 5 persen.

Proses loby dalam penyusunan ambang batas ini memang cukup krusial bagi eksistensi parpol-parpol papan tengah di DPR. Sehingga, wajar jika polarisasi dan perdebatan seputar rencana peningkatan PT ini menjadi satu di antara prioritas pertarungan di DPR. Langkah Baleg DPR yang memutuskan angka 3 persen untuk masuk ke dalam draf RUU Pemilu Legislatif ini bisa dibaca sebagai arah kompromositik di antara parpol-parpol penghuni Senayan. Dengan angka tersebut, kemungkinan 9 parpol yang ada sekarang masih memiliki peluang besar kembali menghuni “rumah rakyat” di Senayan pasca Pemilu 2014.


Tentu, masih ada peluang dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif ini, karena momentum perdebatan masih terbuka lebar di rapat paripurna DPR masa persidangan IV 2010-2011, Mei mendatang . Hanya saja, inisiasi ini juga menjadi penanda nyata bahwa sepertinya usulan dan keinginan sebagian pihak untuk melakukan penyederhanaan parpol kian sulit memperoleh dukungan dari parpol-parpol yang ada parlemen.

Penyederhanaan

Logika peningkatan angka PT bisa diposisikan sebagai konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kian mapan. Bukti paling kongkritnya adalah bagaimana menyederhanakan sistem multipartai ekstrem yang ada sekarang menjadi multipartai sederhana. PT tentu saja bukan alat untuk pemberangusan eksistensi parpol dan kesempatan orang berserikat, berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan sebagaimana diatur oleh Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945. Sejatinya keinginan berserikat itu tetap diakui dan diakomodir. Hanya dalam praktik berdemokrasi, tentu ada pilihan-pilihan desain institusional dan tipe kekuasaan yang disepakati.

Kita telah bersepakat dengan desain presidensialisme. Pilihan ini, bukan persoalan benar atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia. Sudah menjadi fakta politik, bahwa persandingan antara presidensialisme dengan multipartai ekstrem hanya akan melahirkan sejumlah paradoks. Problem utamanya adalah pada penguatan dan pelembagaan politik akibat carut-marutnya multipartaisme.

Formula kompromistik angka PT menjadi 3 persen hanya menaikan setengah persen saja dari ambang batas di Pemilu 2009. Itu artinya, konfigurasi
kekuatan politik yang akan ada di DPR periode mendatang tak akan jauh berbeda dari komposisi sekarang. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa langkah kompromistik ini tidak mengacu pada upaya perbaikan dan cita-cita penyederhanaan, melainkan lebih pada pelanggengan kekuatan parpol pengisi parlemen seperti yang ada sekarang.

Padahal, jika dinaikan menjadi 4 atau 5 persen, maka kemungkinan Pemilu 2014 akan kian menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di DPR. Model PT ini, sekali lagi bukan mengamputasi parpol secara semena-mena, melainkan uji publik melalui kontestasi Pemilu yang terbuka. Sehingga semakin ke depan kita akan semakin menikmati atmosfir demokrasi yang solid dan kuat, dengan polarisasi yang tidak begitu kompleks.

Harapan kita, pembahasan revisi terkait angka PT yang diakomodir dalam revisi UU Pemilu Legislatif ini, akan memberi dorongan bagi kiprah parpol yang lebih berdaya guna dan bernilai guna pada sistem politik kita. Sekaligus, juga memiliki variabel yang ketat untuk menyeleksi parpol berdasarkan suara yang mereka peroleh di Pemilu. Bukan melalui cara-cara kompromistik yang kerap berujung kesia-sian dan kian menjauhkan kita dari keinginan melakukan konsolidasi demokrasi melalui penataan sistem kepartaian dan pemilu.

Tentu, harus ada solusi untuk mengatasi suara rakyat yang akan hangus jika terjadi peningkatan angka PT. Menurut penulis, skema stambush accord atau kesepakatan penggabungan suara bisa dipertimbangkan. Di Pemilu 2009 kemarin, stambush accord baru dipraktikkan di daerah tingkat I dan II. Solusi lain adalah diakomodasinya gagasan penggabungan parpol baik dalam format fusi maupun konfederasi. Masing-masing format penggabungan parpol tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Jalan terjal menghadang, karena tradisi kepartaian di Indonesia yang sangat pekat dengan basis transaksional dibanding basis ideologi dan platform organisasi. Sudah saatnya regulasi soal pemilu, kita dorong menuju penyederhanaan politik bukan terus menerus berada dalam labirin demokrasi yang menyesatkan. Tentu peningkatan angka PT bukan satu-satunya alat konsolidasi demokrasi. Namun demikian, menjadi salah satu penanda nyata bahwa politik kita sedang menuju arah yang benar dan memberi harapan.***

Sumber photo:
www.okezone.com