Jumat, 03 Juni 2011

PASAR BEBAS PARTAI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 07/05/2011)

Sejarah partai politik (parpol) di Indonesia selalu berulang. Setiap menjelang pemilu selalu ada parpol baru yang muncul dan mencoba peruntungan untuk bersaing pada perhelatan demokrasi lima tahunan.

Kini,wajah-wajah parpol baru pun mulai menampakkan diri ke permukaan, antara lain Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Nasional Republik (Nasrep),Partai Persatuan Nasional (PPN), dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI).Tentu,hasrat politis untuk berserikat dalam parpol merupakan hak konstitusional warga negara meskipun upaya mewujudkan hasrat tersebut kerap kali tak dibarengi modal yang kompetitif.

Tipologi Parpol

Tak berlebihan jika kita sebut demokrasi kita saat ini telah menjadi pasar bebas parpol. Siapa pun dapat mendirikan parpol dan berkompetisi dalam pemilu setelah melewati berbagai syarat formal dan lolos menjadi kontestan, baik karena menyiapkan diri maupun karena keahlian para politikus meretas beragam celah aturan main yang tersedia. Pengalaman pada Pemilu 2009, dari 38 parpol yang menjadi kontestan, hanya 9 yang bisa melampaui angka parliamentary threshold (PT) 2,5% dan akhirnya menjadi penghuni rumah rakyat di Senayan. Jika kita amati,paling tidak ada empat tipologi parpol baru yang saat ini mulai beredar.

Pertama, parpol yang diinisiasi oleh elite yang tersisih dari atmosfer kekuasaan parpol besar. Partai Nasdem masuk dalam kategori ini. Sebagaimana kita ketahui, Nasdem tak terpisahkan dari sosok Surya Paloh meskipun secara formal tak diketuai langsung olehnya.Konteks kelahiran Nasdem diawali histori kontestasi Paloh vs Aburizal Bakrie dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Saat Paloh tersisih, dia mulai mengejawantahkan hasrat politisnya lewat Nasdem. Memang, secara organisasional Partai Nasdem dipimpin oleh Patrice Rio sebagai ketua dan Ahmad Rofiq sebagai sekretaris jenderal.Namun,publik juga sangat paham bahwa genealogi politik Nasdem bisa dirunut ke Paloh.

Mirip posisi SBY di awal kelahiran Partai Demokrat, tak duduk sebagai ketua umum parpol, tetapi berada di puncak hierarki kebijakan organisasi sehingga memiliki kuasa menentukan arah perjalanan parpol.Paloh dalam konteks ini sedang menjalankan two step models of leadership. Model ini digunakan untuk manajemen tes situasi dan respons khalayak dalam sebuah pasar bebas parpol yang begitu kompetitif. Jika Nasdem di kemudian hari gagal bersaing dalam pasar bebas parpol, orang diharapkan tak akan langsung menunjuk sebagai kegagalan total Paloh karena secara manajerial, organisasi ditukangi oleh orang lain.

Kedua, parpol baru yang muncul dari konflik organisasional yang menyebabkan dualisme kepengurusan. PKBI merupakan parpol produk konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan putri kedua almarhum Gus Dur,Yenny Wahid.Tertutupnya islah melahirkan keputusan pendirian parpol baru yang sama-sama akan menggarap basis masa kaum nahdliyin. Tentu, modal awal PKBI adalah reference power dari figur Gus Duryang dilekatkan dengan sosok Yenny sehingga diharapkan menjadi katalisator modal sosial, politis, dan finansial bagi ekstensi PKBI ke depan. Jika berbicara ceruk pasar kaum nahdliyin yang sangat potensial, tentu kehadiran PKBI sedikit banyaknya akan merugikan eksistensi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014.

Ketiga, parpol produk agregasi politik dari beberapa kekuatan yang telah ada sebelumnya. Partai Persatuan Nasional (PPN) merupakan hasil fusi dari 10 partai kecil. Dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik muncul sejumlah pengetatan aturan,misalnya verifikasi parpol yang harus selesai paling lambat akhir 2011, keharusan memiliki kepengurusan di 33 provinsi, 75% kabupaten/kota yang ada di provinsi, serta minimal 50% kecamatan di kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Belum lagi polemik soal peningkatan angka PT dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang dirasakan kian mengancam eksistensi parpol-parpol kecil.Maka,setelah mengalkulasi hitung-hitungan politik ke depan,10 parpol kecil itu akhirnya bersepakat melakukan fusi.

Keempat, parpol baru pengusung romantisme sejarah Orde Baru.Pasca-Reformasi selalu ada tipe parpol yang jualan utamanya adalah kedigdayaan politik Soeharto. Misalnya, menjelang Pemilu 2004, tepatnya 9 September 2002, didirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) oleh Jenderal (Purn) Hartono yang menggandeng Siti Hardijanti Rukmana sebagai salah satu deklarator. Napas serupa sepertinya kini juga ada pada parpol Nasrep dengan memosisikan Tommy Soeharto sebagai modal dasar pergerakan Nasrep.

Persaingan

Keberadaan parpol dengan identitas baru, tetapi tipologi lama ini sepertinya berat bersaing di era demokrasi pasar bebas. Pertama, munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan perilaku politik para politikus lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.Sementara parpol baru yang hadir tak memiliki cukup nilai distingtif yang bisa memberi impresi sekaligus referensi baru bagi pemilih. Kedua, parpol baru pun masih terjebak pada identifikasi citra simbolik elite daripada jejaring kader ideologis. Misalnya lebih mengedepankan nama-nama besar Surya Paloh, Yenny Wahid (Gus Dur),Tommy (Soeharto). Ketiga, regulasi yang lebih ketat baik dalam UU Parpol maupun dalam UU Pemilu.Tentu, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi parpol baru.

Peluang parpol baru memang kecil,terutama jika mereka tak mampu mentransformasikan gagasan dan hasrat politis mereka di level kerja praktis, jejaring kader dan massa mengambang, figur,sumber finansial, serta berbagai pendekatan marketing politik berbasis komunitas. Ke depan pasar bebas parpol di Indonesia seharusnya memasuki fase konsolidasi, bukan terus-menerus menjadi ajang pencarian peruntungan para petualang.●

Tulisan ini bisa diakses di web Sindo:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/397160/

Sumber gambar:

www.monitorindonesia.com

Tidak ada komentar: