Rabu, 30 Desember 2009

PANGGUNG SUARA TUHAN


INI CATATAN AKHIR TAHUN 2009 BID KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu 30 Desember 2009)

Tak dapat dimungkiri bahwa residu politik tanpa kearifan telah melembagakan dan melegitimasi perilaku para elite sepanjang tahun 2009. Wajah politik berbalut ke-aku-an dan rasionalitas pragmatis kian kokoh di puncak hierarki birokrasi dan elite di lingkaran kekuasaan. Penanda paling nyata dari fenomena tersebut tentunya adalah pemapanan realitas “seolah-olah” yang telah sukses menjadi apa yang oleh Umberto Eco dalam bukunya Travels in Hyperreality (1990) dikategorikan sebagai the absolute fake atau kepalsuan yang absolut. Saat kontestasi citra usai seiring berakhirnya pemilu,simulasi realitas kepalsuan melalui politik kosmetik yang disuguhkan elite pelakon, perlahan tapi pasti, sirna dan berganti wajah bopeng politik ala Machiavelli. Suara rakyat pun bergema dalam situasi paradoksal di tahun ini dan kembali memberi pesan kuat kepada para pemangku kekuasaan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).

Lubang Hitam

Rakyat Indonesia telah memandatkan kekuasaan kepada SBY-Boediono meskipun tanpa garansi memadai apakah pemerintahan SBY jilid dua ini akan bekerja optimal untuk sang pemilik mandat. Itulah konsekuensi dari praktik demokrasi di negeri yang elitenya senantiasa nyaman jika rakyat selalu tunakuasa.Sejumlah lubang hitam mulai tampak menganga sejak SBY-Boediono dilantik menjadi presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2009.

Pertama, sejak awal, pemerintahan ini telah sukses mereduksi kesejatian oposisi. Koalisi tambun yang digalang secara sadar dan berdasarkan pada hitungan matematis ala pemenang tak cukup menyisakan energi kaum oposan untuk berdiri dalam fragmentasi politik di luar kekuasaan. Upaya menarik simpulsimpul elite partai ke dalam kekuasaan telah menciptakan pengarusutamaan kekuasaan mirip Orde Baru.Kesepakatan politik PKB, PAN, PKS, Golkar,Demokrat dengan sen-dirinya menjadi rahim yang memungkinkan praktik politik oligarki.

Dalam situasi seperti itu, komunikasi politik tak lagi berpola horizontal. Padahal konsolidasi demokrasi yang baik hanya akan terjadi jika dalam sistem itu ada mekanisme check and balance.Sementara hal itu hanya akan tumbuh saat oposisi bisa berdiri sama tinggi dengan penguasa. Dengan mengantongi 423 suara di DPR, sementara oposisi hanya 137 suara, pupus sudah potensi oposisi yang diidamkan. Akibatnya rakyat tak lagi menggantungkan asa ke Senayan, melainkan mulai menggelorakan semangat oposisi parlemen jalanan untuk mengontrol kekuasaan SBY.

Kedua, SBY gagal mengembangkan komunikasi yang transformasional. Seorang pemimpin yang sukses, salah satu indikatornya, adalah dia mampu menunjukkan harapan masa depan melalui penanda yang disuguhkan hari ini. Kita mencatat selama 2009,sejumlah penyataan di luar pakem politik harmoni yang biasanya menjadi ciri khas SBY mengemuka ke ruang publik. Tentu kita masih ingat, pascaperistiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott 17 Juli 2009, SBY dengan lantang menuduh ada pihak-pihak yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden. Andaipun dia memiliki data intelijen soal dirinya yang menjadi sasaran rencana kekerasan, konteks waktu dan tempat pernyataan tersebut tidaklah tepat. Terbukti, peristiwa tersebut hanya menimbulkan kegaduhan publik.

Kita juga tentu masih ingat pernyataan SBY dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Demokrat 6 Desember lalu.SBY secara eksplisit menuduh akan ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya pada momentum Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember. Lagi-lagi pernyataan gaduh SBY ini tak terbukti dan hanya menyisakan pertanyaan di benak kita, ada apa dengan SBY?

Pesan yang bisa kita baca dari komunikasi politik yang dibangun SBY sekarang baru bersifat sloganistik. Misalnya dengan membuat 3 tagline, pertama change and continuity, kedua debottlenecking,acceleration and enhancement, ketiga unity, together we can. Begitu pun saat membuat program prioritas 100 hari pemerintahannya SBY membuat slogan Ganyang Mafia (GM). Sebuah bentuk komunikasi miskin substansi karena kita baru bisa merasakan visi itu sekadar ilusi. Di saat slogan itu dipublikasikan, bagaimana SBY menjawab rasa penasaran publik atas kasus Anggodo dan Anggoro yang kian hening dan menepi dari pusat perhatian? Bahkan, bukan tidak mungkin mereka masuk dalam kategori orang-orang yang tak tersentuh oleh slogan itu.

Ketiga, SBY selama tahun ini telah gamang memosisikan diri dalam hubungan antarlembaga. Kasus yang menunjukkan lambannya sikap SBY ini terbukti dalam koordinasi penyelesaian konflik KPK dan Polri. Bagaimana kasus ini menguras energi dan perhatian publik yang luar biasa, salah satunya karena SBY “terpenjarakan” oleh citra. Kita tentu memahami keinginan SBY untuk tidak bertindak keliru.Terlebih jika kita memahami hal ini dari perspektif mutual interdependence Vilfredo Pareto dalam tulisannya The Circultion of the Elite yang menganggap perubahan di setiap bagian memengaruhi bagian-bagian lain dan akan mengakibatkan produksi perubahan di bagianbagian itu.

Di sinilah letak kepercayaan publik dalam pemilu, yakni bagaimana caranya SBY piawai menghadirkan terobosan dalam berbagai perubahan tapi juga tidak lamban. Praktik “membeli waktu” tentu bisa dipahami dalam strategi soft depend mechanism, tetapi jika melihat dampak konflik ini pada percepatan kemajuan Indonesia, maka SBY sudah barang tentu mulai kehilangan momentum pengharapan publik. Buktinya saat Presiden SBY resmi menjabarkan program 100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11), nyaris tanpa impresi, apalagi apresiasi publik yang cukup memadai.

Power of the Year

Jika akhir tahun biasanya ada penahbisan sosok menjadi people of the year, penulis justru tertarik mengapresiasi fenomena menguatnya suara publik pada 2009 sebagai fenomena power of the year. Tahun ini menjadi panggung menggeliatnya kembali suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Selalu ada hikmah dari setiap krisis yang muncul. Jika kita mendefinisikan krisis dalam terminologi Gramscian misalnya seperti ditulis oleh Marc Raboy dan Bernard Dagenais dalam buku Introduction: Media and the Politic of Crisis,hal itu menunjukkan situasi di mana golongan yang sedang berkuasa (the rulling class) tidak lagi dapat mengontrol secara wajar manuver dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh berbagai elemen kekuatan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, yang patut diwaspadai adalah kembalinya cara represif untuk mempertahankan kekuasaan.

Suara publik telah menunjukkan kedigdayaannya dalam kasus cicak versus buaya, begitu pun dalam kasus Prita Mulyasari.Suara “Tuhan” di belakang perjuangan Candra-Hamzah telah mampu memorak- porandakan arogansi kekuasaan. Begitu pun dalam kasus Prita, suara “Tuhan” telah mengejewantahkan dirinya menjadi kekuatan dahsyat saat berhadapan dengan kekuasaan korporasi yang kerap tak peduli dengan nasib kelompok kaum pinggiran. Fenomena baru yang layak dicatat sebagai gerakan sosial politik baru di Indonesia pada 2009 adalah demokrasi online.

Inilah fenomena yang disebut oleh Mark Poster (1995) sebagai cyberdemocracy yang tumbuh menjadi harapan akan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi. Sebelumnya, kita tak pernah membayangkan jejaring sosial seperti facebook dan twitter terbukti mampu menggerakkan konsolidasi suara publik sekaligus menjadi peneguh aktualnya sikap oposisi di kehidupan nyata.Gerakan sosial politik di ruang virtual ini seharusnya dipahami oleh para penguasa sebagai sinyal bahwa rakyat tak sepenuhnya tunakuasa. Jika rakyat mulai bersatu, tak dapat disangkal lagi suara rakyat itu akan menjadi suara Tuhan yang tak bisa lagi dimanipulasi, apalagi dikebiri.(*)

Penulis adalah: Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia :http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/293841/

Kamis, 24 Desember 2009

MORATORIUM KONFLIK ELIT


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika, Senin 21 Desember 2009)


Inilah negeri dengan stok konflik elite yang tak ada habisnya. Saat konflik pimpinan KPK vs Polri meredup dari bingkai berita media, muncullah konflik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati vs Abu Rizal Bakrie dan Pansus Hak Angket Bank Century. Pernyataan Sri Mulyani di harian The Wall Street Journal, edisi Kamis (10/12), menjadi genderang perang sekaligus sinyal kuat bahwa tak semua elite penyokong pemerintah berada dalam kuadran yang sama. Langkah ritmis koalisi tambun kian menunjukkan gejala ambivalensi. Mungkinkah ini penanda bahwa prioritas program 100 hari Pemerintahan SBY terancam karam?


Konteks Polemik


Hal menarik dari perspektif komunikasi politik dalam mengamati polemik yang kian hari kian eskalatif ini adalah konteks bagaimana pesan dibuat dan didistribusikan kepada publik. Agresivitas verbal Sri Mulyani di media massa itu tentu tak muncul dalam ruang hampa, melainkan berbalut banyak faktor dalam dimensi masa lalu, sekarang dan masa mendatang. Inilah konflik yang merepresentasikan krisis dalam manajemen koalisi yang baru seumur jagung.Konteks masa lalu yang tak mungkin penulis nafikan dalam membaca variabel konflik ini adalah relasi antagonistik yang terbangun di antara Sri Mulyani dengan Ical. Paling tidak kita bisa menyebutkan empat momentum masa lalu yang menabur konflik di antara kedua elite ini. Keempat momen ini sebenarnya sudah ramai menjadi bahan gunjingan sekaligus berita di berbagai media massa.


Pertama, Sri Mulyani meminta pencabutan penghentian sementara (suspen) perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Padahal, Ical menghendaki perdagangan saham PT Bumi Resources dihentikan sementara untuk menghindari penurunan lebih jauh karena terimbas sentimen negatif pasar global.


Kedua, Sri Mulyani meminta pencekalan beberapa eksekutif Grup Bakrie yang akan bepergian ke luar negeri setelah beberapa perusahaan tambang batu bara menolak membayar royalti kepada pemerintah.


Ketiga, penolakan Sri Mulyani atas keinginan Bakrie membeli 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Sri Mulyani yang saat itu menjabat Plt Menko Perekonomian, meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara.


Keempat, Sri Mulyani dianggap sebagai pejabat yang berani menyimpulkan semua dampak kerugian semburan lumpur Lapindo harus ditanggung Bakrie selaku pemilik, karena peristiwa tersebut merupakan akibat kesalahan manusia. Dari gambaran tadi, bisa kita nyatakan bahwa potensi konflik memang sudah bersemayam dalam relasi kuasa di antara mereka.


Konteks saat ini, Sri Mulyani sedang dirundung masalah terkait dengan kebijakannya mengenai pengucuran dana talangan Bank Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun. Dia harus berhadapan dengan Pansus Hak Angket Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dan notabene merupakan elite Golkar, partai yang saat ini dinakhodai Ical. Sri Mulyani secara eksplisit menyatakan Ical tak senang kepadanya dan dia tak berharap orang-orang di Golkar akan berlaku adil dan baik hati dengannya selama penyelidikan.Sri mulyani menganggap apa yang akan dilakukan Panitia Hak Angket Bank Century DPR merupakan upaya mendiskreditkan dirinya. Inilah variabel tekanan yang begitu kuat menghantam Sri Mulyani, sehingga menjadi situasi dinamis yang kian mempertajam konflik. Momentum inilah yang memaksa Sri Mulyani harus membuat klarifikasi resmi Minggu (13/12), guna menjawab beberapa serangan terbuka anggota Pansus Hak Angket DPR yang mengarah ke dia.


Konteks ke depan, Sri Mulyani menganggap bahwa dia dan Boediono menjadi sasaran bidik dari banyak pihak. Hal terpahit yang sangat mungkin mereka terima adalah nonaktif dari jabatannya masing-masing. Prediksi masa mendatang yang tak diinginkannya inilah, yang menyebabkan Sri Mulyani menerapkan strategi verbal agresif sebagai strategi perang terbuka terhadap Ical dan Pansus Hak Angket Century lebih khusus lagi terhadap para politisi Golkar yang ada di situ.


Perang Terbuka


Sekali perang terbuka, maka sejak saat itulah konflik berada di ranah publik. Terlebih konteks yang menjadi saluran distribusi pesan Sri Mulyani adalah media massa internasional. Tentu, bukan tanpa alasan memilih Wall Street Journal sebagai media untuk membentuk opini publik dan membuka diskursus. Konteks komunikasi yang dapat kita baca adalah Sri Mulyani butuh gaung atau resonansi yang memadai guna pembentukan opini publik. Inilah ciri perlawanan dari birokrat yang tak memiliki basis massa yang kuat. Biasanya tipe-tipe birokrat seperti ini menggunakan media massa sebagai saluran utama komunikasi politiknya daripada persuasi atau negosiasi informal di belakang layar.


Paling tidak ada empat hal yang patut kita perhatikan sebagai dampak konflik elite ini. Pertama, akan terganggunya prioritas program 100 hari pemerintahan. Jika konflik elite sambung-menyambung tak ada hentinya, residu dari kondisi ini sudah pasti adalah energi negatif yang sangat mungkin menjadi racun bagi optimalisasi kinerja. Saat elite menjadikan konflik sebagai motif penting untuk perilaku mereka, mekanisme ini akan menuntun perilaku dan sikap serupa. Inilah yang dalam komunikasi perspektif interaksi simbolik dari George Herbert Mead disebut sebagai prediksi pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy), pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang berperilaku sedemikian rupa. Semakin banyak elite yang menjadikan konflik sebagai motif, maka konfliklah yang akan 'mengatur' jalan dominan para elite dalam kabinet, bukan optimalisasi kerja. Saat ini, kita pesimis sinyal produktivitas kerja bisa ditunjukkan Pemerintahan SBY dalam masa 100 hari. Performa politik pemerintahan SBY terganggu dengan banyaknya konflik elite yang mengemuka belakangan ini.


Kedua, akan menjadi situasi dilematis bagi SBY dan partai demokrat dalam membangun pola koalisi yang berkelanjutan dengan mitra koalisinya. Konflik elite ini sangat mungkin menjadi bahan evaluasi koalisi dan relasi kuasa antara Golkar dan Demokrat ke depan. Sekali lagi, pola koalisi yang dibangun para elite kita pada dasarnya rentan dengan perpecahan karena kerap munculnya motif rasional pragmatis di antara mereka saat menemukan momentum dalam situasi penuh paradoks seperti sekarang ini. Kita tahu, bahwa saat Sri Mulyani dan Boediono menjadi sasaran, tentu hal ini menohok eksistensi Pemerintahan SBY. Golkar, bagaimanapun, merupakan kekuatan menentukan di DPR, sehingga konflik elite ini akan menempatkan Demokrat dan SBY dalam pilihan sulit.


Ketiga, sangat mungkin menjadi momentum bagi naiknya daya tawar partai tertentu dalam negosiasi jabatan di lingkaran kekuasaan. Hal ini sesungguhnya yang kita khawatirkan, tekanan para politisi di pansus lebih diarahkan pada pencapaian target melengserkan orang tertentu dibanding kesungguhan mereka dalam mengungkap secara tuntas dan utuh kasus Bank Century.


Keempat, dalam skala makro akan memengaruhi citra dan iklim investasi di Indonesia. Semakin buruk citra dan iklim investasi, upaya menjadikan Indonesia semakin kuat di bidang ekonomi hanyalah mimpi belaka. Terlebih, jika elite yang terlibat konflik adalah orang yang sekarang menjadi gatekeeper informasi dan kebijakan bidang ekonomi.


Tulisan ini bisa diakses di:


Sabtu, 12 Desember 2009

KOMUNIKASI CURIGA GAYA SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, 10 Desember 2009)


Ironis, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pernyataan SBY menyambut Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember 2009. Yudhoyono membenamkan diri dalam polemik yang bersumber dari kecurigaan akan adanya potensi pelanggaran serius bagi rezim kekuasaannya.
Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-3 Partai Demokrat di Jakarta (6/12), Yudhoyono secara eksplisit menuduh akan ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya. Kecurigaan itu kian dramatis dengan adanya tekanan mental bagi para tokoh dan penggiat gerakan ekstraparlementer agar tidak menjadikan momentum ini sebagai ajang delegitimasi wibawa dan otoritas pemerintahannya.
Yudhoyono kian berubah, pakem politik harmoni yang biasanya menjadi andalan praktik negosiasi kehormatannya bergeser menjadi valensi pelanggaran yang ditandai dengan kecurigaan dan mengarah ke tudingan.

Fragmentasi Politik

Penulis tidak menghendaki presiden yang dipilih melalui Pemilu demokratis, ternyata tak cukup memberi impresi kuat akan penguatan demokratisasi. Sejak mandat disematkan, kabinet dibentuk, dan program dicanangkan, maka semestinya sejak itu pula presiden sadar bahwa kekuatan tak akan pernah seragam. Fragmentasi politik akan terjadi sebagai konsekuensi kita memilih sistem demokrasi. Aneh jika Presiden SBY menjadikan kecurigaan dan tudingan sebagai instrumen negosiasi kehormatan. Yudhoyono tidak lagi mengembangkan sensitivitas retoris justru sebaliknya kian melakukan pengarusutamaan otoritas. Pernyataan SBY ini dilihat dari perspektif komunikasi politik sangatlah kontraproduktif bagi upaya mengawal rancang bangun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II.
Pertama, disadari atau tidak, konteks pernyataan SBY ini akan selalu dikaitkan dengan peringatan Hari Antikorupsi Dunia. Presiden mengagetkan publik dengan dugaan serta kecurigaan akan adanya sekelompok orang yang siap berbuat makar. Sebuah tuduhan khas laporan intelejen.
Dampaknya pernyataan itu menuai kritik, hingga membuat situasi kian tak menentu. Seharusnya Yudhoyono menunjukkan sekurang-kurangnya sikap tegas apa yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan tindakan korupsi. Misalnya terkait dengan kasus yang melibatkan Anggoro, Anggodo dan kasus Bank Century.
Kedua, jika penulis amati substansi pesan yang dipolemikan oleh SBY pun memunculkan sejumlah persoalan. Misalnya, pesan SBY bahwa dalam jangka pendek ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya dari kursi presiden, merupakan wujud dari kekhawatiran berlebihan.
Kelompok oposisional memang ada, namun menuduh hendak menjatuhkan pemerintahan tentu lahir dari kesimpulan yang simplikatif dan terkesan fobia. Pesan lain, menuduh ada upaya menghancurkan nama baik Partai Demokrat di muka rakyat agar pada Pemilu 2014 dilupakan. Mengaitkan peristiwa dinamis yang sarat dengan fragmentasi saat ini ke prosesi Pemilu 2014 terlalu prematur. Tak sepenuhnya fitnah dan pembunuhan karakter bisa mempengaruhi tingkat elektabilitas partai, sedangkan Pemilunya sendiri masih lima tahun mendatang.
Yudhoyono dalam pernyataannya seolah meyakinkan bahwa dia memiliki pengetahuan yang relatif lengkap tentang apa, siapa dan sasarannya apa dari mereka yang hendak melakukan gerakan ekstra parlementer 9 Desember. Jika SBY benar-benar sebagai presiden yang demokratis, tak seharusnya dia mencurigai tokoh dan penggiat gerakan 9 Desember. Bagimana pun sebuah negara yang kuat itu akan lahir dari bekerjanya mekanisme check and balance.
Ketiga, dari sudut prosedur komunikasi politik yang dibangun, juga turut menyumbang masalah. Khusus menyangkut isu-isu krusial seperti kecurigaan adanya rencana makar, seharusnya presiden melakukan test the water dengan cara mengefektifkan pernyataan resmi melalui Juru Bicara Kepresidenan atau melalui menteri terkait. Semakin banyak pernyataan presiden yang kontroversial dan langsung dipaparkan sendiri, maka perlahan tapi pasti akan terjadi “pembusukan politik” bagi presiden. Kita bisa menyebutkan contoh pernyataan kontroversial SBY, antaralain pada 17 Juli 2009 di Istana Negara soal teroris; pernyataan pada 4 Desember 2009 di awal Sidang Kabinet Paripurna dan pernyataan pada 6 Desember di acara Rapimnas Partai Demokrat di JHCC mengenai rencana Gerakan 9 Desember 2009.
Mangamati situasi SBY saat ini, mengingatkan kita pada saat-saat menjelang kejatuhan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden. Rekaman persitiwa historis tersebut bukan berarti kita berharap SBY akan lengser seperti halnya Gus Dur, melainkan ada beberapa hal yang dapat kita ambil pelajarannya agar tak terulang.
Salah satu pelajaran berharga adalah kemauan mendengarkan suara publik. Kita sangat respek dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur soal demokrasi, begitu pun langkah reformasi birokrasi yang sudah mencoba dilakukannya. Hanya saja, Gus Dur juga manusia yang punya kelemahan. Saat Gus Dur berencana mengeluarkan dekrit, suara publik keras menentangnya. Maka tatkala Gus Dur tetap memaksakannya dia pun harus turun dari jabatannya. Suara publik seyogianya didengar dan disalurkan hingga menjadi modal dukungan, bukan sebaliknya kita mengais masalah dari hal tersebut.
Terlepas dari konteks politik saat itu, satu hal yang pasti bahwa pelanggaran atas harapan publik kerap menimbulkan situasi yang “membahayakan” bagi eksistensi aktor politik. Dalam Expectancy Violations Theory (teori pelanggaran harapan) dari Judee Burgoon, pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain misalnya bagaimana Yudhoyono menampilkan pernyataan kepada khalayak.
Kini, teori ini relevan untuk mengkaji aspek komunikasi terutama saat norma-norma komunikasi dilanggar. Memang pelanggaran itu sendiri bisa dipandang sebagai hal yang positif atau negatif, tergantung pada persepsi khalayak.
Yudhoyono seyogianya menyadari salah satu rumusan yang khas dalam komunikasi bahwa saat dia mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan harapan publik, maka sangatlah mungkin muncul valensi pelanggaran. Hal ini terkait dengan penilaian positif atau negatif dari sebuah prilaku yang tidak terduga. Menurut Burgoon dan Hale dalam bukunya Nonverbal expectancy violations (1988), valensi pelanggaran singkatnya adalah para komunikator berusaha untuk menginterpretasi makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak.
Pernyataan Yudhoyono di Rapimnas ke-3 Partai Demokrat, telah melahirkan interpretasi makna negatif khalayak yang lebih dominan. Jika Yudhoyono terus melangsungkan pernyatan-pernyataan curiga terhadap gerakan ekstraparlementer maka bukan mustahil ini menjadi momentum konsolidasi kekuatan opisisi dan sangat mungkin apa yang dikhawatirkan SBY sekarang-sekarang ini bisa benar-benar aktual. ***

Selasa, 08 Desember 2009

MOMENTUM HAK ANGKET


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Telah dimuat di Harian SINDO, 3/12/2009)



Politik tak lepas dari momentum, ruang waktu yang menjadi penanda kapan dan bagaimana kepentingan diartikulasikan. Situasi dinamis yang senantiasa menjadi rumusan paling absah dalam meracik strategi politik para aktor.


Momentum inilah yang kini dimiliki DPR. Lembaga politik ini secara resmi telah mengesahkan hak angket untuk pengusutan kasus Bank Century pada sidang paripurna 1 Desember lalu.Pengumuman siapa saja yang masuk menjadi panitia hak angket Bank Century rencananya diumumkan pada Jumat (4/12). Inilah kali pertama mereka mencoba melintasi fragmentasi kekuatan politik yang ada, dalam satu bingkai kasus besar yang sama setelah dilantik menjadi anggota DPR periode 2009–2014.


Modal Dukungan


Hak angket Bank Century, jika dikelola dengan baik dan memenuhi harapan publik, tentu akan menjadi momentum bagi reformulasi citra dan kehormatan anggota DPR. Paling tidak terdapat empat modal utama yang kini dimiliki DPR agar senantiasa mau dan mampu menjaga kualitas pansus hak angket Century ini.


Pertama, tercapainya dukungan luas di internal anggota DPR. Setelah Tim 9 meretas jalan guna memperoleh dukungan,kini mayoritas anggota DPR, termasuk dari Partai Demokrat, telah mendukung, meskipun dengan motif yang berbeda-beda. Dukungan ini menjadi modal awal yang penting dalam menjaga setiap tahapan kerja pansus yang diprediksi akan berjalan panjang dan alot.


Kedua, munculnya dukungan dari tokoh masyarakat, kelompok penekan (pressure group), serta kelompok kepentingan (interest group).Para inisiator cukup sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati, A Syafii Maarif,Hasyim Muzadi,Din Syamsuddin, dll, yang secara gamblang menyatakan dukungan mereka atas upaya pengusutan hak angket Bank Century. Dukungan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak) dan organisasi intra maupun ekstra kampus pun kian hari kian masif dan intensif.


Ketiga, modal publisitas yang memadai dari media massa dan media jejaring sosial (social network). Kita melihat ada kecenderungan persepsi positif dari berbagai media massa,baik cetak, elektronik, maupun new media (internet) terkait dengansetiappemberitaan mengenai hak angket Bank Century ini. Modal opini publik ini tak bisa dianggap remeh,karena berbagai news framing yang dikemas dan didistribusikan oleh media berpengaruh dalam menaikkan dan menurunkan citra seseorang atau sekelompok orang.Begitu pun kohesivitas dalam berbagai situs jejaring sosial seperti di Facebook dan Twitter cenderung lebih banyak mendukung hak angket Bank Century.Muncul fenomena konvergensi simbolik di antara sesama pengguna situs jejaring sosial, hingga mereka lebih diperteguh untuk bersama-sama dalam gerakan memberi dukungan misalnya terlihat dalam grup facebook “1.000.000 Pendukung Hak Angket Century”.


Keempat, adanya peneguhan (reinforcement) atas dugaan ketidakberesan dalam kasus Bank Century dari temuan audit investigatif BPK serta laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). BPK menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses penetapan dan penyaluran dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sementara PPATK hingga Senin (23/11) sudah menerima 50 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari 10 penyedia jasa keuangan.Temuan dan laporan tersebut memperteguh para pendukung hak angket Bank Century untuk menempatkan hal ini sebagai prioritas agenda kerja.


Dialektika Rasional


Jalan panjang dan terjal masih akan dilalui Pansus Hak Angket Bank Century.Oleh karena itu saatnya para pendukung mengoptimalkan peran-peran mereka.Terkait dengan hal ini,ada sejumlah catatan yang perlu penulis sampaikan kepada para anggota DPR pendukung hak angket Bank Century.


Pertama, jangan biarkan momentum kasus ini lewat tanpa hasil apa pun. Jika DPR mampu membuka ini, maka rakyat akan memberi apresiasi yang sangat positif.Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh para pendukung hak angket Bank Century.Terlebih jika mengacu pada aturan tentang hak angket, Pasal 181 UU No 27/2009 tentang MPR,DPR dan DPD.Pasal tersebut menyatakan bahwa panitia angket melaporkan pelaksanaan tugas kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari. Buktikan bahwa dalam waktu dua bulan ada kemajuan signifikan dalam mengurai benang kusut aliran dana Bank Century ini.


Kedua, harus hatihati dalam menyeleksi siapa saja yang layak menjadi anggota pansus pelaksanaan hak angket yang menurut UU No 27/2009 maksimal 30 orang dan keanggotaannya diatur secara proporsional. Jika skema proporsional dipahami dalam konteks kuantitas, maka sudah barang tentu Partai Demokrat akan memperoleh jatah 8 orang,Golkar 6 orang,PDIP 5 orang,PKS 3 orang.PAN,PPP,dan PKB masing-masing mendapat jatah 2 orang; Gerindra dan Hanura masing-masing satu orang.Dengan demikian pertarungan dalam penguasaan pimpinan pansus akan menjadi hal yang strategis guna mengawal keberlangsungan hak angket ini ke depan.Keseluruhan anggota pansus mesti figur yang tidak menimbulkan resistensi di masyarakat. Itu penting untuk menunjukkan bahwa pansus akan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat, bukan parodi yang telah diatur oleh sutradara.


Ketiga, sebaiknya pansus nanti bisa lebih produktif bekerja mengungkap kasus ini. DPR hingga saat ini masih memiliki track recordyang kurang mengesankan mengenai hal ini.Sebagai catatan dalam menjalankan fungsi pengawasan, misalnya, DPR periode 2004–2009 tampak kedodoran.Hanya ada dua hak angket yang cukup tuntas, yaitu hak angket kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan hak angket kasus penjualan tanker Pertamina. Padahal, tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan.Kondisi yang sama terjadi dalam hak interpelasi.


Dari 9 hak interpelasi yang dibuat, hanya 4 yang tuntas,yakni persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Faktor-faktor potensial yang memungkinkan jadi penghambat produktivitas antara lain kapasitas anggota pansus tidak mumpuni dalam masalah yang ditangani, tidak adanya political will untuk menuntaskan masalah,serta munculnya resistensi publik atas orang-orang “titipan” yang mungkin akan menyelinap dalam pansus. Keempat, jangan sampai para pendukung hak angket Bank Century tergoda dalam jebakan pragmatisme politik.


Bisa saja mereka mendukung karena sekadar ingin menjadikan pejabat-pejabat tertentu sebagai sasaran bidik,hingga menaikkan posisi tawar kelompok mereka dalam lingkar kekuasaan atau memunculkan peluang praktik suap. Jika motif rasional-pragmatis ini yang dipertontonkan,tentu saja citra DPR akan makin terpuruk. Padahal,harapan kita tentu saja hak angket Century ini bisa menjadi kotak pandora bagi persoalan terkait lainnya. Dalam mengemban tugasnya nanti Pansus sudah pasti akan berada dalam situasi yang tidak linear, bahkan penuh kontradiksi. Menurut Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam Relating: Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini akan banyak melahirkan sudut pandang yang saling menandingi satu sama lain di setiap kontradiksi. Dalam konteks ini, seluruh anggota pansus harus mampu berkomunikasi dengan banyak pihak untuk mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-kontradiksi yang muncul.Hanya saja, jangan sampai negosiasi mengarah pada penggembosan pansus, melainkan berupaya memperkuat dan mempertajam temuan data.


Dalam perspektif dialektis ada empat elemen penting. Pertama, adanya totalitas hubungan antara orang-orang di pansus hak angket Bank Century dengan publik yang menuntut keterbukaan. Kedua, adanya kemampuan mengelola kontradiksi, yakni merujuk pada manajemen prilaku oposisional yang tak akan pernah bisa terhindarkan. Sangat mungkin pansus disusupi oleh orang-orang yang sengaja membuat kasus ini menjadi tidak jelas. Ketiga, harus adanya pergerakan yang dinamis atau senantiasa berproses untuk menemukan banyak hal baru yang akan mematangkan temuan data pansus. Terakhir, praxis artinya terkait dengan keputusan yang harus dibuat guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.(*)

REFORMULASI CITRA POLRI


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Jurnal Nasional, 24/11/2009)


Situasi nasional yang berkembang akhir-akhir ini, telah menempatkan institusi Polri di titik nadir pencitraan. Tak disangkal lagi, Polri kini semakin tersudut di tengah derasnya terpaan opini publik yang datang bergelombang. Pada HUT ke-64 Korps Brimob, di Depok, Sabtu (14/11) Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri menyatakan citra Polri sebagai aparat penegak hukum sedang diuji oleh publik. Tekanan dipastikan semakin menguat pasca pengumuman langkah Presiden SBY terkait dengan rekomendasi final Tim-8. Hal ini disebabkan Polri turut berada di titik episentrum masalah. Butuh sebuah langkah cepat untuk melakukan reformulasi citra Polri di mata publik, jika institusi ini tak ingin lumpuh layu di tengah labirin yang seolah tak berujung.


Krisis Komunikasi


Di luar persoalan hukum yang kian rumit, Polri kini mengalami krisis yang harus segera diatasi yakni krisis komunikasi. Berbagai persoalan kian kusut masai karena tak ada sebuah pengelolaan strategi komunikasi yang memadai. Orientasi proses komunikasi yang berupaya menciptakan good will (niat baik) dan mutual understanding (pemahaman bersama), nyaris tak nampak diorganisasikan dengan baik . Alih-alih menyelsaikan masalah dengan pendekatan komunikasi strategik, para pejabat Polri pun justru terjebak pada berbagai tindakan blunder yang kontraproduktif bagi upaya meminimalisir opini negatif.


Pertama, krisis citra dipicu oleh pernyataan Kabareskrim Komjen Susno Duadji yang dengan sukses telah menciptakan labelling negatif bagi insitusi Polri. Istilah cicak versus buaya telah melahirkan oposisi biner. Oposisi yang menekankan pada kemampuan bahasa dalam menghantarkan makna guna menstrukturkan realitas. Makna yang distrukturkan tersebut, telah mengidentifikasi polri dengan buaya dan KPK dengan cicak. Pemilahan yang mungkin tidak disadari oleh pembuat pesannya akan memiliki dampak masif. Label cicak vs buaya yang dikonstruksi tadi, memancing pihak lain untuk mempraktikkan teknik name calling. Teknik ini, biasanya dilakukan dengan memberi sebuah label buruk. Tujuannya, agar orang atau institusi yang dituju tak lagi memperoleh dukungan khalayak tanpa terlebih dahulu memeriksa keakuratan maksud di balik label itu. Buaya diidentikkan dengan binatang kuat, buas, pemangsa dan tak kenal kompromi. Sementara cicak diidentikkan dengan binatang kecil, lemah, dan tak membahayakan. Mengasosiasikan korps Polri dengan buaya tentu saja tidak tepat, karena Polri sejatinya terlahir sebagai pengayom masyarakat. Dalam komunikasi ada rumusan sekali kata atau kalimat terucap maka dia akan bersifat Irreferesible. Artinya, sesuatu yang telah terjadi tidak akan bisa ditarik kembali.


Kedua, langkah tidak tepat juga dilakukan Polri dalam konteks media relation. Hal ini misalnya terjadi pada proses pemanggilan dua media massa nasional oleh Bareskrim, Jum’at (20/11). Meski pihak Mabes Polri sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Humas Inspektur Jenderal Nanan Soekarna telah meluruskan bahwa pemanggilan kedua media tersebut untuk tujuan melengkapi keterangan guna memproses Anggodo sebagai tersangka. Niat baik tidak selalu mencitrakan positif jika momentumnya tidak tepat. Di tengah sorotan tajam dari berbagai pihak, upaya Polri memanggil media terkait dengan pemublikasian rekaman Anggodo, jelas-jelas akan memancing kecurigaan adanya upaya kriminalisasi pers.


Ketiga, krisis citra juga muncul akibat kurang sensitifnya pejabat Polri dalam memahami relevansi pesan dengan konteks yang menjadi setting dimana pesan itu harus muncul. Misalnya, sungguh tidak tepat jika Kapolri di ruang sidang Komisi III, pada 5 November lalu menyebut inisial “N” dalam perkara Bibit-Chandra. Sosok tersebut diduga kuat oleh publik yakni intelektual muslim terkemuka, Nurcholish Madjid. Mengapa harus membuka informasi sensitif ini di lembaga politis? Keempat, tidak memadainya alasan yang diterima publik dalam pengaktifan kembali Susno Duadji sebagai Kabareskrim. Publik banyak berharap, salah satu pintu masuk mengurai benang kusut permasalahan hukum dalam kasus Bibit-Chandra dan isu Bank Century ini ialah melalui pejabat-pejabat Polri yang saat ini tidak sedang dalam sorotan publik. Dengan demikian, untuk memunculkan kepercayaan dan harapan, butuh figur yang tak sedang mengalami resistensi.


Langkah Komunikatif


Institusi Polri tentu saja harus diselamatkan, sama halnya dukungan untuk penyelamatan KPK dan kejaksaan. Bagaimanapun ketiga institusi ini penting dan menjadi pilar proses demokrasi di negeri ini. Tak ada kata terlambat bagi Polri untuk melakukan reformulasi citra lembaga. Bisa saja orang mengatakan yang terpenting saat ini adalah penyelsaian masalah hukum. Kita juga sepakat, bahwa di sebuh negara hukum maka segala penyelsaian terlebih menyangkut hak-hak sipil politik warganegara, perlindungan uang negara dan eksistensi lembaga-lembaga negara, maka hukumlah solusinya. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Penyelsaian hukum butuh difasilitasi oleh rasa saling percaya, saling memahami, niat baik untuk bekerjasama dan tentunya adalah hubungan baik yang efektif. Itu semua akan diperoleh melalui komunikasi. Ada tiga hal yang mesti dilakukan para petinggi Polri sebagai solusi dari perspektif komunikasi.


Pertama, para petinggi Polri harus menyadari dan mengimplementasikan tipe diri komunikator yang memiliki sensitivitas retoris (rhetorically sensitive). Merujuk pada pendapat Roderick P Hart (dalam Littlejohn, Theories of Human Communication, 1999: 103) tipe rhetorically sensitive ini berupaya mewujudukan kepentingan sendiri, orang lain, dan sikap situasional. Sebagai individu dan bagian korps, para petinggi Polri tentu punya kepentingan, tetapi juga harus mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. Dengan kepekaan terhadap situasi, maka Polri akan mampu mengembangkan pemahaman bersama.


Kedua, secara halus dan cerdik mengefektikan kembali teknik plain folk. Teknik ini membuat identifikasi bahwa Polri akan selalu menjadi bagian dari rakyat. Ada baiknya, tak cukup berhenti pada upaya identifikasi yang sifatnya artifisial, Polri juga seyogianya dapat menunjukkan bahwa institusinya memang memiliki niat kuat untuk membuat kebijakan-kebijakan pro masyarakat.


Ketiga, memperbaiki hubungan dengan media massa. Para pejabat Polri mesti selalu menyadari bahwa opini publik itu selalu merupakan respon aktif masyarakat, dikonstruksi dan akan senantiasa menyumbang citra. Tak ada opini publik yang muncul secara natural. Oleh karenanya, posisi media menjadi sangat strategis untuk memfasilitasi manajemen kesan (impression management) bagi citra positif Polri saat ini dan di masa mendatang.


***Tulisan di atas bisa diakses di:

ADA APA DENGAN POLRI?


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, 23/11/2009)


Cerita soal Polri seolah tak ada habisnya. Sambung menyambung menjadi satu dalam pola relasi antagonistis dengan publik. Sukses memperkenalkan tema drama episode cicak vs buaya, berlanjut dengan “opera sabun” di Komisi III DPR-RI, muncul lagi dalam kemasan “reality show” bergenre melankolis ala “tukar nasib” yang secara apik telah diperankan Kabareskrim (masih) Komjen Susno Duadji. Drama belum klimaks karena ke depan masih ada beberapa scene yang siap tayang terutama pasca kejelasan sikap SBY terkait dengan rekomandasi final Tim-8.


Entah karena tuntutan skenario yang harus memberi terapi kejut pada publik hingga news framing (bingkai berita) media tak lagi di kuadran isu yang sama, atau karena benar-benar naif tidak memahami cara mengelola manajemen krisis, Polri kembali melakukan blunder. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dua koran nasional yang memiliki reputasi baik oleh Bareskrim, Jum’at (20/11) jelas-jelas memperburuk citra Polri. Publik pun seolah tak perlu logika mendalam untuk menjawab pertanyaan, ada apa dengan Polri?


Tindakan Artifisial


Senja kala Polri telah tiba. Butuh energi yang luar biasa untuk mengerek layar penanda akhir cerita panggung pertunjukkan agar tak segera turun dan menutupi muka lembaga ini. Alih-alih mempertahankan citra positif, Polri justru terjerembab atau menjerembabkan diri ke dalam kubangan polemik yang kian hari hari kian meluluhlantakkan kehormatan, kepercayaan dan kridibilitas korps ini. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dilihat dari aspek apapun merupakan tindakan artifisial, tidak strategis dan cenderung menciptakan masalah baru.


Pertama, terdapat lompatan logika (logical jumping) antara niat yang dikemukakan secara verbal tulis maupun lisan oleh pihak Mabes Polri, dengan konsistensi proses pemanggilan serta pilihan argumentasi yang disuguhkan kepada publik. Tak terdapat cukup irisan antara rangkaian proses dengan peneguhan logika pemanggilan kedua media nasional ini. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna menjelaskan dalam beberapa kali wawancara di media bahwa niat pemanggilan bukan untuk tujuan kriminalisasi pers, melainkan untuk memperkuat bukti penyidikan polisi guna menjadikan Anggodo sebagai tersangka meskipun pun niat ini kemudian diralat menjadi terkait dengan upaya menjadikan Anggodo sebagai terlapor. Konteks di balik ini, tak terhindarkan isu yang merebak kuat bahwa pemanggilan tersebut semula terkait dengan pengaduan Anggodo dan Bonaran Situmeang ke kepolisian. Dari aspek proses, terdapat jejak rekam yang ganjil. Pemanggilan tertulis, sempat dibatalkan oleh pihak Polri secara lisan, kemudian dipanggil lagi secara lisan. Hal ini menunjukkan keraguan. Proses pemeriksaaannya bukan projustisia, hingga out put-nya hanya dimintai keterangan, bukan untuk BAP melainkan sekedar dituangkan dalam berita acara interview. Subtansi pertanyaan, hanya berkisar seputar pemuatan dan pemberitaan transkip rekaman percakapan Anggodo yang diperdengarkan di MK. Jika untuk tujuan itu, hanya dengan melihat dan mendokumentasikan berita yang telah dimuat di kedua koran itu pun sesungguhnya Polri sudah bisa menjawab apa yang mereka tanyakan. Sebuah prosesi yang menghadirkan logika dangkal terutama jika dibanding dengan citra negatif yang harus Polri tanggung setelah pemanggilan kedua media itu.


Kedua, konteks momentum yang tidak tepat. Polri akhir-akhir ini dalam sorotan tajam publik. Pemilahan (oposisi) biner antara buaya sebagai representasi kelompok berkuasa dan “pemangsa” di satu sisi dengan cicak sebagai representasi kelompok kecil dan lemah di sisi lainnya telah menempatkan desakan yang masif, keras dan mulai mengkristal menjadi kekuatan potensial dan aktual. Seharusnya di tengah situasi seperti ini, Polri membangun komunikasi yang persuasif, terorganisasi dan bersifat mengurangi ketidakpastian serta ketidaknyamanan. Bukan sebaliknya, menciptakan prahara baru yang merangsang antipati terhadap institusi Polri. Pemanggilan media massa ini sangat riskan dalam konteks opini publik. Siapa pun pengkaji komunikasi politik menyadari betapa pentingnya mengelola opini publik. Dan Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1989) menyebutkan opini publik itu sebagai respon aktif masyarakat terhadap suatu persoalan yang memiliki dampak luas pada khalayak, dikonstruksi melalui interpretasi pribadi dan menyumbang citra. Dengan demikian, nyaris tak ada opini publik yang natural, melainkan selalu berupa realitas simbolik yang dibentuk dan dimaknai kemudian didistribusikan ke publik hingga akan berpengaruh pada citra.


Media massa tentu saja memiliki kekuatan dalam penyiapan, pembentukan dan pendistribusian informasi yang menjadi bahan mentah opini publik. Sehingga siapapun yang bermaksud mengganggu imparsialitas dan otonomi kebebasan media, dalam waktu singkat akan memperoleh penentangan luas. Opini publik sama halnya dengan senjata. Jika senjata api dapat membunuh orang lain dengan pelurunya, maka opini publik media dapat membunuh seseorang melalui delegitimasi citranya.


Demokratik-Partisipan


Keliru besar jika praktik pemanggilan pers di era demokratis sekarang ini masih dilandasi niatan untuk membatasi, mengintervensi terlebih jika niatnya mau mengkriminalisasikan pers atas produk hasil kerja para jurnalis. Pembatasan media jelas tidak senapas bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warganegara untuk mendapatkan informasi. Dalam penyelenggaraan kerja jurnalistik, media cetak maupun media elektronika, dilindungi dari penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999 tentang Pers.


Pers tidak pada tempatnya dikebiri, justru sebaliknya harus didorong ke arah pembentukan media demokratik-partisipan. Menurut Denis McQuail dalam Mass Communication Theory (1989), titik sentral media demokratik partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik. Ini tentu saja ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi dalam kelompok masyarakat bersekala kecil, kelompok dan kepentingan sub budaya. Prinsip paling nyata dari media demokratik-partisipan ialah organisasi dan isi media seyogianya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau menjadi subordinat dalam pengendalian birokrasi negara. Polri tak bisa memaksakan penyeragaman opini melalui penertiban, pemanggilan atau pembredelan media massa.


James Curran dalam bukunya The Liberal Theory of Press Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam upaya pengembangan demokrasi. Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian, media menjadi panggung atau ruang publik (public sphere) demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar yang berlabihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum. Dalam konteks ini, ada upaya mensistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah mempertimbangkan apa-apa yang dipikiran dan dikehendaki oleh rakyat. Misalnya dalam kasus sikap SBY atas rekomendasi Tim-8, maka media wajar jika menurunkan berita yang keras dan cenderung advokatif untuk meminta SBY bersikap tegas, transparan dan memerhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Keempat, media bisa mendidik warganegara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan dalam pemilihan umum. Ini artinya, media harus turut serta dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warge negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Terakhir, media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. ***


Tulisan ini bisa diakses di: