Rabu, 30 Desember 2009

PANGGUNG SUARA TUHAN


INI CATATAN AKHIR TAHUN 2009 BID KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu 30 Desember 2009)

Tak dapat dimungkiri bahwa residu politik tanpa kearifan telah melembagakan dan melegitimasi perilaku para elite sepanjang tahun 2009. Wajah politik berbalut ke-aku-an dan rasionalitas pragmatis kian kokoh di puncak hierarki birokrasi dan elite di lingkaran kekuasaan. Penanda paling nyata dari fenomena tersebut tentunya adalah pemapanan realitas “seolah-olah” yang telah sukses menjadi apa yang oleh Umberto Eco dalam bukunya Travels in Hyperreality (1990) dikategorikan sebagai the absolute fake atau kepalsuan yang absolut. Saat kontestasi citra usai seiring berakhirnya pemilu,simulasi realitas kepalsuan melalui politik kosmetik yang disuguhkan elite pelakon, perlahan tapi pasti, sirna dan berganti wajah bopeng politik ala Machiavelli. Suara rakyat pun bergema dalam situasi paradoksal di tahun ini dan kembali memberi pesan kuat kepada para pemangku kekuasaan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).

Lubang Hitam

Rakyat Indonesia telah memandatkan kekuasaan kepada SBY-Boediono meskipun tanpa garansi memadai apakah pemerintahan SBY jilid dua ini akan bekerja optimal untuk sang pemilik mandat. Itulah konsekuensi dari praktik demokrasi di negeri yang elitenya senantiasa nyaman jika rakyat selalu tunakuasa.Sejumlah lubang hitam mulai tampak menganga sejak SBY-Boediono dilantik menjadi presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2009.

Pertama, sejak awal, pemerintahan ini telah sukses mereduksi kesejatian oposisi. Koalisi tambun yang digalang secara sadar dan berdasarkan pada hitungan matematis ala pemenang tak cukup menyisakan energi kaum oposan untuk berdiri dalam fragmentasi politik di luar kekuasaan. Upaya menarik simpulsimpul elite partai ke dalam kekuasaan telah menciptakan pengarusutamaan kekuasaan mirip Orde Baru.Kesepakatan politik PKB, PAN, PKS, Golkar,Demokrat dengan sen-dirinya menjadi rahim yang memungkinkan praktik politik oligarki.

Dalam situasi seperti itu, komunikasi politik tak lagi berpola horizontal. Padahal konsolidasi demokrasi yang baik hanya akan terjadi jika dalam sistem itu ada mekanisme check and balance.Sementara hal itu hanya akan tumbuh saat oposisi bisa berdiri sama tinggi dengan penguasa. Dengan mengantongi 423 suara di DPR, sementara oposisi hanya 137 suara, pupus sudah potensi oposisi yang diidamkan. Akibatnya rakyat tak lagi menggantungkan asa ke Senayan, melainkan mulai menggelorakan semangat oposisi parlemen jalanan untuk mengontrol kekuasaan SBY.

Kedua, SBY gagal mengembangkan komunikasi yang transformasional. Seorang pemimpin yang sukses, salah satu indikatornya, adalah dia mampu menunjukkan harapan masa depan melalui penanda yang disuguhkan hari ini. Kita mencatat selama 2009,sejumlah penyataan di luar pakem politik harmoni yang biasanya menjadi ciri khas SBY mengemuka ke ruang publik. Tentu kita masih ingat, pascaperistiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott 17 Juli 2009, SBY dengan lantang menuduh ada pihak-pihak yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden. Andaipun dia memiliki data intelijen soal dirinya yang menjadi sasaran rencana kekerasan, konteks waktu dan tempat pernyataan tersebut tidaklah tepat. Terbukti, peristiwa tersebut hanya menimbulkan kegaduhan publik.

Kita juga tentu masih ingat pernyataan SBY dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Demokrat 6 Desember lalu.SBY secara eksplisit menuduh akan ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya pada momentum Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember. Lagi-lagi pernyataan gaduh SBY ini tak terbukti dan hanya menyisakan pertanyaan di benak kita, ada apa dengan SBY?

Pesan yang bisa kita baca dari komunikasi politik yang dibangun SBY sekarang baru bersifat sloganistik. Misalnya dengan membuat 3 tagline, pertama change and continuity, kedua debottlenecking,acceleration and enhancement, ketiga unity, together we can. Begitu pun saat membuat program prioritas 100 hari pemerintahannya SBY membuat slogan Ganyang Mafia (GM). Sebuah bentuk komunikasi miskin substansi karena kita baru bisa merasakan visi itu sekadar ilusi. Di saat slogan itu dipublikasikan, bagaimana SBY menjawab rasa penasaran publik atas kasus Anggodo dan Anggoro yang kian hening dan menepi dari pusat perhatian? Bahkan, bukan tidak mungkin mereka masuk dalam kategori orang-orang yang tak tersentuh oleh slogan itu.

Ketiga, SBY selama tahun ini telah gamang memosisikan diri dalam hubungan antarlembaga. Kasus yang menunjukkan lambannya sikap SBY ini terbukti dalam koordinasi penyelesaian konflik KPK dan Polri. Bagaimana kasus ini menguras energi dan perhatian publik yang luar biasa, salah satunya karena SBY “terpenjarakan” oleh citra. Kita tentu memahami keinginan SBY untuk tidak bertindak keliru.Terlebih jika kita memahami hal ini dari perspektif mutual interdependence Vilfredo Pareto dalam tulisannya The Circultion of the Elite yang menganggap perubahan di setiap bagian memengaruhi bagian-bagian lain dan akan mengakibatkan produksi perubahan di bagianbagian itu.

Di sinilah letak kepercayaan publik dalam pemilu, yakni bagaimana caranya SBY piawai menghadirkan terobosan dalam berbagai perubahan tapi juga tidak lamban. Praktik “membeli waktu” tentu bisa dipahami dalam strategi soft depend mechanism, tetapi jika melihat dampak konflik ini pada percepatan kemajuan Indonesia, maka SBY sudah barang tentu mulai kehilangan momentum pengharapan publik. Buktinya saat Presiden SBY resmi menjabarkan program 100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11), nyaris tanpa impresi, apalagi apresiasi publik yang cukup memadai.

Power of the Year

Jika akhir tahun biasanya ada penahbisan sosok menjadi people of the year, penulis justru tertarik mengapresiasi fenomena menguatnya suara publik pada 2009 sebagai fenomena power of the year. Tahun ini menjadi panggung menggeliatnya kembali suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Selalu ada hikmah dari setiap krisis yang muncul. Jika kita mendefinisikan krisis dalam terminologi Gramscian misalnya seperti ditulis oleh Marc Raboy dan Bernard Dagenais dalam buku Introduction: Media and the Politic of Crisis,hal itu menunjukkan situasi di mana golongan yang sedang berkuasa (the rulling class) tidak lagi dapat mengontrol secara wajar manuver dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh berbagai elemen kekuatan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, yang patut diwaspadai adalah kembalinya cara represif untuk mempertahankan kekuasaan.

Suara publik telah menunjukkan kedigdayaannya dalam kasus cicak versus buaya, begitu pun dalam kasus Prita Mulyasari.Suara “Tuhan” di belakang perjuangan Candra-Hamzah telah mampu memorak- porandakan arogansi kekuasaan. Begitu pun dalam kasus Prita, suara “Tuhan” telah mengejewantahkan dirinya menjadi kekuatan dahsyat saat berhadapan dengan kekuasaan korporasi yang kerap tak peduli dengan nasib kelompok kaum pinggiran. Fenomena baru yang layak dicatat sebagai gerakan sosial politik baru di Indonesia pada 2009 adalah demokrasi online.

Inilah fenomena yang disebut oleh Mark Poster (1995) sebagai cyberdemocracy yang tumbuh menjadi harapan akan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi. Sebelumnya, kita tak pernah membayangkan jejaring sosial seperti facebook dan twitter terbukti mampu menggerakkan konsolidasi suara publik sekaligus menjadi peneguh aktualnya sikap oposisi di kehidupan nyata.Gerakan sosial politik di ruang virtual ini seharusnya dipahami oleh para penguasa sebagai sinyal bahwa rakyat tak sepenuhnya tunakuasa. Jika rakyat mulai bersatu, tak dapat disangkal lagi suara rakyat itu akan menjadi suara Tuhan yang tak bisa lagi dimanipulasi, apalagi dikebiri.(*)

Penulis adalah: Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia :http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/293841/

Tidak ada komentar: