Rabu, 30 Desember 2009

PANGGUNG SUARA TUHAN


INI CATATAN AKHIR TAHUN 2009 BID KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu 30 Desember 2009)

Tak dapat dimungkiri bahwa residu politik tanpa kearifan telah melembagakan dan melegitimasi perilaku para elite sepanjang tahun 2009. Wajah politik berbalut ke-aku-an dan rasionalitas pragmatis kian kokoh di puncak hierarki birokrasi dan elite di lingkaran kekuasaan. Penanda paling nyata dari fenomena tersebut tentunya adalah pemapanan realitas “seolah-olah” yang telah sukses menjadi apa yang oleh Umberto Eco dalam bukunya Travels in Hyperreality (1990) dikategorikan sebagai the absolute fake atau kepalsuan yang absolut. Saat kontestasi citra usai seiring berakhirnya pemilu,simulasi realitas kepalsuan melalui politik kosmetik yang disuguhkan elite pelakon, perlahan tapi pasti, sirna dan berganti wajah bopeng politik ala Machiavelli. Suara rakyat pun bergema dalam situasi paradoksal di tahun ini dan kembali memberi pesan kuat kepada para pemangku kekuasaan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).

Lubang Hitam

Rakyat Indonesia telah memandatkan kekuasaan kepada SBY-Boediono meskipun tanpa garansi memadai apakah pemerintahan SBY jilid dua ini akan bekerja optimal untuk sang pemilik mandat. Itulah konsekuensi dari praktik demokrasi di negeri yang elitenya senantiasa nyaman jika rakyat selalu tunakuasa.Sejumlah lubang hitam mulai tampak menganga sejak SBY-Boediono dilantik menjadi presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2009.

Pertama, sejak awal, pemerintahan ini telah sukses mereduksi kesejatian oposisi. Koalisi tambun yang digalang secara sadar dan berdasarkan pada hitungan matematis ala pemenang tak cukup menyisakan energi kaum oposan untuk berdiri dalam fragmentasi politik di luar kekuasaan. Upaya menarik simpulsimpul elite partai ke dalam kekuasaan telah menciptakan pengarusutamaan kekuasaan mirip Orde Baru.Kesepakatan politik PKB, PAN, PKS, Golkar,Demokrat dengan sen-dirinya menjadi rahim yang memungkinkan praktik politik oligarki.

Dalam situasi seperti itu, komunikasi politik tak lagi berpola horizontal. Padahal konsolidasi demokrasi yang baik hanya akan terjadi jika dalam sistem itu ada mekanisme check and balance.Sementara hal itu hanya akan tumbuh saat oposisi bisa berdiri sama tinggi dengan penguasa. Dengan mengantongi 423 suara di DPR, sementara oposisi hanya 137 suara, pupus sudah potensi oposisi yang diidamkan. Akibatnya rakyat tak lagi menggantungkan asa ke Senayan, melainkan mulai menggelorakan semangat oposisi parlemen jalanan untuk mengontrol kekuasaan SBY.

Kedua, SBY gagal mengembangkan komunikasi yang transformasional. Seorang pemimpin yang sukses, salah satu indikatornya, adalah dia mampu menunjukkan harapan masa depan melalui penanda yang disuguhkan hari ini. Kita mencatat selama 2009,sejumlah penyataan di luar pakem politik harmoni yang biasanya menjadi ciri khas SBY mengemuka ke ruang publik. Tentu kita masih ingat, pascaperistiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott 17 Juli 2009, SBY dengan lantang menuduh ada pihak-pihak yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden. Andaipun dia memiliki data intelijen soal dirinya yang menjadi sasaran rencana kekerasan, konteks waktu dan tempat pernyataan tersebut tidaklah tepat. Terbukti, peristiwa tersebut hanya menimbulkan kegaduhan publik.

Kita juga tentu masih ingat pernyataan SBY dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Demokrat 6 Desember lalu.SBY secara eksplisit menuduh akan ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya pada momentum Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember. Lagi-lagi pernyataan gaduh SBY ini tak terbukti dan hanya menyisakan pertanyaan di benak kita, ada apa dengan SBY?

Pesan yang bisa kita baca dari komunikasi politik yang dibangun SBY sekarang baru bersifat sloganistik. Misalnya dengan membuat 3 tagline, pertama change and continuity, kedua debottlenecking,acceleration and enhancement, ketiga unity, together we can. Begitu pun saat membuat program prioritas 100 hari pemerintahannya SBY membuat slogan Ganyang Mafia (GM). Sebuah bentuk komunikasi miskin substansi karena kita baru bisa merasakan visi itu sekadar ilusi. Di saat slogan itu dipublikasikan, bagaimana SBY menjawab rasa penasaran publik atas kasus Anggodo dan Anggoro yang kian hening dan menepi dari pusat perhatian? Bahkan, bukan tidak mungkin mereka masuk dalam kategori orang-orang yang tak tersentuh oleh slogan itu.

Ketiga, SBY selama tahun ini telah gamang memosisikan diri dalam hubungan antarlembaga. Kasus yang menunjukkan lambannya sikap SBY ini terbukti dalam koordinasi penyelesaian konflik KPK dan Polri. Bagaimana kasus ini menguras energi dan perhatian publik yang luar biasa, salah satunya karena SBY “terpenjarakan” oleh citra. Kita tentu memahami keinginan SBY untuk tidak bertindak keliru.Terlebih jika kita memahami hal ini dari perspektif mutual interdependence Vilfredo Pareto dalam tulisannya The Circultion of the Elite yang menganggap perubahan di setiap bagian memengaruhi bagian-bagian lain dan akan mengakibatkan produksi perubahan di bagianbagian itu.

Di sinilah letak kepercayaan publik dalam pemilu, yakni bagaimana caranya SBY piawai menghadirkan terobosan dalam berbagai perubahan tapi juga tidak lamban. Praktik “membeli waktu” tentu bisa dipahami dalam strategi soft depend mechanism, tetapi jika melihat dampak konflik ini pada percepatan kemajuan Indonesia, maka SBY sudah barang tentu mulai kehilangan momentum pengharapan publik. Buktinya saat Presiden SBY resmi menjabarkan program 100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11), nyaris tanpa impresi, apalagi apresiasi publik yang cukup memadai.

Power of the Year

Jika akhir tahun biasanya ada penahbisan sosok menjadi people of the year, penulis justru tertarik mengapresiasi fenomena menguatnya suara publik pada 2009 sebagai fenomena power of the year. Tahun ini menjadi panggung menggeliatnya kembali suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Selalu ada hikmah dari setiap krisis yang muncul. Jika kita mendefinisikan krisis dalam terminologi Gramscian misalnya seperti ditulis oleh Marc Raboy dan Bernard Dagenais dalam buku Introduction: Media and the Politic of Crisis,hal itu menunjukkan situasi di mana golongan yang sedang berkuasa (the rulling class) tidak lagi dapat mengontrol secara wajar manuver dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh berbagai elemen kekuatan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, yang patut diwaspadai adalah kembalinya cara represif untuk mempertahankan kekuasaan.

Suara publik telah menunjukkan kedigdayaannya dalam kasus cicak versus buaya, begitu pun dalam kasus Prita Mulyasari.Suara “Tuhan” di belakang perjuangan Candra-Hamzah telah mampu memorak- porandakan arogansi kekuasaan. Begitu pun dalam kasus Prita, suara “Tuhan” telah mengejewantahkan dirinya menjadi kekuatan dahsyat saat berhadapan dengan kekuasaan korporasi yang kerap tak peduli dengan nasib kelompok kaum pinggiran. Fenomena baru yang layak dicatat sebagai gerakan sosial politik baru di Indonesia pada 2009 adalah demokrasi online.

Inilah fenomena yang disebut oleh Mark Poster (1995) sebagai cyberdemocracy yang tumbuh menjadi harapan akan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi. Sebelumnya, kita tak pernah membayangkan jejaring sosial seperti facebook dan twitter terbukti mampu menggerakkan konsolidasi suara publik sekaligus menjadi peneguh aktualnya sikap oposisi di kehidupan nyata.Gerakan sosial politik di ruang virtual ini seharusnya dipahami oleh para penguasa sebagai sinyal bahwa rakyat tak sepenuhnya tunakuasa. Jika rakyat mulai bersatu, tak dapat disangkal lagi suara rakyat itu akan menjadi suara Tuhan yang tak bisa lagi dimanipulasi, apalagi dikebiri.(*)

Penulis adalah: Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia :http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/293841/

Kamis, 24 Desember 2009

MORATORIUM KONFLIK ELIT


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika, Senin 21 Desember 2009)


Inilah negeri dengan stok konflik elite yang tak ada habisnya. Saat konflik pimpinan KPK vs Polri meredup dari bingkai berita media, muncullah konflik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati vs Abu Rizal Bakrie dan Pansus Hak Angket Bank Century. Pernyataan Sri Mulyani di harian The Wall Street Journal, edisi Kamis (10/12), menjadi genderang perang sekaligus sinyal kuat bahwa tak semua elite penyokong pemerintah berada dalam kuadran yang sama. Langkah ritmis koalisi tambun kian menunjukkan gejala ambivalensi. Mungkinkah ini penanda bahwa prioritas program 100 hari Pemerintahan SBY terancam karam?


Konteks Polemik


Hal menarik dari perspektif komunikasi politik dalam mengamati polemik yang kian hari kian eskalatif ini adalah konteks bagaimana pesan dibuat dan didistribusikan kepada publik. Agresivitas verbal Sri Mulyani di media massa itu tentu tak muncul dalam ruang hampa, melainkan berbalut banyak faktor dalam dimensi masa lalu, sekarang dan masa mendatang. Inilah konflik yang merepresentasikan krisis dalam manajemen koalisi yang baru seumur jagung.Konteks masa lalu yang tak mungkin penulis nafikan dalam membaca variabel konflik ini adalah relasi antagonistik yang terbangun di antara Sri Mulyani dengan Ical. Paling tidak kita bisa menyebutkan empat momentum masa lalu yang menabur konflik di antara kedua elite ini. Keempat momen ini sebenarnya sudah ramai menjadi bahan gunjingan sekaligus berita di berbagai media massa.


Pertama, Sri Mulyani meminta pencabutan penghentian sementara (suspen) perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Padahal, Ical menghendaki perdagangan saham PT Bumi Resources dihentikan sementara untuk menghindari penurunan lebih jauh karena terimbas sentimen negatif pasar global.


Kedua, Sri Mulyani meminta pencekalan beberapa eksekutif Grup Bakrie yang akan bepergian ke luar negeri setelah beberapa perusahaan tambang batu bara menolak membayar royalti kepada pemerintah.


Ketiga, penolakan Sri Mulyani atas keinginan Bakrie membeli 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Sri Mulyani yang saat itu menjabat Plt Menko Perekonomian, meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara.


Keempat, Sri Mulyani dianggap sebagai pejabat yang berani menyimpulkan semua dampak kerugian semburan lumpur Lapindo harus ditanggung Bakrie selaku pemilik, karena peristiwa tersebut merupakan akibat kesalahan manusia. Dari gambaran tadi, bisa kita nyatakan bahwa potensi konflik memang sudah bersemayam dalam relasi kuasa di antara mereka.


Konteks saat ini, Sri Mulyani sedang dirundung masalah terkait dengan kebijakannya mengenai pengucuran dana talangan Bank Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun. Dia harus berhadapan dengan Pansus Hak Angket Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dan notabene merupakan elite Golkar, partai yang saat ini dinakhodai Ical. Sri Mulyani secara eksplisit menyatakan Ical tak senang kepadanya dan dia tak berharap orang-orang di Golkar akan berlaku adil dan baik hati dengannya selama penyelidikan.Sri mulyani menganggap apa yang akan dilakukan Panitia Hak Angket Bank Century DPR merupakan upaya mendiskreditkan dirinya. Inilah variabel tekanan yang begitu kuat menghantam Sri Mulyani, sehingga menjadi situasi dinamis yang kian mempertajam konflik. Momentum inilah yang memaksa Sri Mulyani harus membuat klarifikasi resmi Minggu (13/12), guna menjawab beberapa serangan terbuka anggota Pansus Hak Angket DPR yang mengarah ke dia.


Konteks ke depan, Sri Mulyani menganggap bahwa dia dan Boediono menjadi sasaran bidik dari banyak pihak. Hal terpahit yang sangat mungkin mereka terima adalah nonaktif dari jabatannya masing-masing. Prediksi masa mendatang yang tak diinginkannya inilah, yang menyebabkan Sri Mulyani menerapkan strategi verbal agresif sebagai strategi perang terbuka terhadap Ical dan Pansus Hak Angket Century lebih khusus lagi terhadap para politisi Golkar yang ada di situ.


Perang Terbuka


Sekali perang terbuka, maka sejak saat itulah konflik berada di ranah publik. Terlebih konteks yang menjadi saluran distribusi pesan Sri Mulyani adalah media massa internasional. Tentu, bukan tanpa alasan memilih Wall Street Journal sebagai media untuk membentuk opini publik dan membuka diskursus. Konteks komunikasi yang dapat kita baca adalah Sri Mulyani butuh gaung atau resonansi yang memadai guna pembentukan opini publik. Inilah ciri perlawanan dari birokrat yang tak memiliki basis massa yang kuat. Biasanya tipe-tipe birokrat seperti ini menggunakan media massa sebagai saluran utama komunikasi politiknya daripada persuasi atau negosiasi informal di belakang layar.


Paling tidak ada empat hal yang patut kita perhatikan sebagai dampak konflik elite ini. Pertama, akan terganggunya prioritas program 100 hari pemerintahan. Jika konflik elite sambung-menyambung tak ada hentinya, residu dari kondisi ini sudah pasti adalah energi negatif yang sangat mungkin menjadi racun bagi optimalisasi kinerja. Saat elite menjadikan konflik sebagai motif penting untuk perilaku mereka, mekanisme ini akan menuntun perilaku dan sikap serupa. Inilah yang dalam komunikasi perspektif interaksi simbolik dari George Herbert Mead disebut sebagai prediksi pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy), pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang berperilaku sedemikian rupa. Semakin banyak elite yang menjadikan konflik sebagai motif, maka konfliklah yang akan 'mengatur' jalan dominan para elite dalam kabinet, bukan optimalisasi kerja. Saat ini, kita pesimis sinyal produktivitas kerja bisa ditunjukkan Pemerintahan SBY dalam masa 100 hari. Performa politik pemerintahan SBY terganggu dengan banyaknya konflik elite yang mengemuka belakangan ini.


Kedua, akan menjadi situasi dilematis bagi SBY dan partai demokrat dalam membangun pola koalisi yang berkelanjutan dengan mitra koalisinya. Konflik elite ini sangat mungkin menjadi bahan evaluasi koalisi dan relasi kuasa antara Golkar dan Demokrat ke depan. Sekali lagi, pola koalisi yang dibangun para elite kita pada dasarnya rentan dengan perpecahan karena kerap munculnya motif rasional pragmatis di antara mereka saat menemukan momentum dalam situasi penuh paradoks seperti sekarang ini. Kita tahu, bahwa saat Sri Mulyani dan Boediono menjadi sasaran, tentu hal ini menohok eksistensi Pemerintahan SBY. Golkar, bagaimanapun, merupakan kekuatan menentukan di DPR, sehingga konflik elite ini akan menempatkan Demokrat dan SBY dalam pilihan sulit.


Ketiga, sangat mungkin menjadi momentum bagi naiknya daya tawar partai tertentu dalam negosiasi jabatan di lingkaran kekuasaan. Hal ini sesungguhnya yang kita khawatirkan, tekanan para politisi di pansus lebih diarahkan pada pencapaian target melengserkan orang tertentu dibanding kesungguhan mereka dalam mengungkap secara tuntas dan utuh kasus Bank Century.


Keempat, dalam skala makro akan memengaruhi citra dan iklim investasi di Indonesia. Semakin buruk citra dan iklim investasi, upaya menjadikan Indonesia semakin kuat di bidang ekonomi hanyalah mimpi belaka. Terlebih, jika elite yang terlibat konflik adalah orang yang sekarang menjadi gatekeeper informasi dan kebijakan bidang ekonomi.


Tulisan ini bisa diakses di:


Sabtu, 12 Desember 2009

KOMUNIKASI CURIGA GAYA SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, 10 Desember 2009)


Ironis, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pernyataan SBY menyambut Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember 2009. Yudhoyono membenamkan diri dalam polemik yang bersumber dari kecurigaan akan adanya potensi pelanggaran serius bagi rezim kekuasaannya.
Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-3 Partai Demokrat di Jakarta (6/12), Yudhoyono secara eksplisit menuduh akan ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya. Kecurigaan itu kian dramatis dengan adanya tekanan mental bagi para tokoh dan penggiat gerakan ekstraparlementer agar tidak menjadikan momentum ini sebagai ajang delegitimasi wibawa dan otoritas pemerintahannya.
Yudhoyono kian berubah, pakem politik harmoni yang biasanya menjadi andalan praktik negosiasi kehormatannya bergeser menjadi valensi pelanggaran yang ditandai dengan kecurigaan dan mengarah ke tudingan.

Fragmentasi Politik

Penulis tidak menghendaki presiden yang dipilih melalui Pemilu demokratis, ternyata tak cukup memberi impresi kuat akan penguatan demokratisasi. Sejak mandat disematkan, kabinet dibentuk, dan program dicanangkan, maka semestinya sejak itu pula presiden sadar bahwa kekuatan tak akan pernah seragam. Fragmentasi politik akan terjadi sebagai konsekuensi kita memilih sistem demokrasi. Aneh jika Presiden SBY menjadikan kecurigaan dan tudingan sebagai instrumen negosiasi kehormatan. Yudhoyono tidak lagi mengembangkan sensitivitas retoris justru sebaliknya kian melakukan pengarusutamaan otoritas. Pernyataan SBY ini dilihat dari perspektif komunikasi politik sangatlah kontraproduktif bagi upaya mengawal rancang bangun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II.
Pertama, disadari atau tidak, konteks pernyataan SBY ini akan selalu dikaitkan dengan peringatan Hari Antikorupsi Dunia. Presiden mengagetkan publik dengan dugaan serta kecurigaan akan adanya sekelompok orang yang siap berbuat makar. Sebuah tuduhan khas laporan intelejen.
Dampaknya pernyataan itu menuai kritik, hingga membuat situasi kian tak menentu. Seharusnya Yudhoyono menunjukkan sekurang-kurangnya sikap tegas apa yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan tindakan korupsi. Misalnya terkait dengan kasus yang melibatkan Anggoro, Anggodo dan kasus Bank Century.
Kedua, jika penulis amati substansi pesan yang dipolemikan oleh SBY pun memunculkan sejumlah persoalan. Misalnya, pesan SBY bahwa dalam jangka pendek ada gerakan tertentu yang ingin menggoyang dan menjatuhkan dirinya dari kursi presiden, merupakan wujud dari kekhawatiran berlebihan.
Kelompok oposisional memang ada, namun menuduh hendak menjatuhkan pemerintahan tentu lahir dari kesimpulan yang simplikatif dan terkesan fobia. Pesan lain, menuduh ada upaya menghancurkan nama baik Partai Demokrat di muka rakyat agar pada Pemilu 2014 dilupakan. Mengaitkan peristiwa dinamis yang sarat dengan fragmentasi saat ini ke prosesi Pemilu 2014 terlalu prematur. Tak sepenuhnya fitnah dan pembunuhan karakter bisa mempengaruhi tingkat elektabilitas partai, sedangkan Pemilunya sendiri masih lima tahun mendatang.
Yudhoyono dalam pernyataannya seolah meyakinkan bahwa dia memiliki pengetahuan yang relatif lengkap tentang apa, siapa dan sasarannya apa dari mereka yang hendak melakukan gerakan ekstra parlementer 9 Desember. Jika SBY benar-benar sebagai presiden yang demokratis, tak seharusnya dia mencurigai tokoh dan penggiat gerakan 9 Desember. Bagimana pun sebuah negara yang kuat itu akan lahir dari bekerjanya mekanisme check and balance.
Ketiga, dari sudut prosedur komunikasi politik yang dibangun, juga turut menyumbang masalah. Khusus menyangkut isu-isu krusial seperti kecurigaan adanya rencana makar, seharusnya presiden melakukan test the water dengan cara mengefektifkan pernyataan resmi melalui Juru Bicara Kepresidenan atau melalui menteri terkait. Semakin banyak pernyataan presiden yang kontroversial dan langsung dipaparkan sendiri, maka perlahan tapi pasti akan terjadi “pembusukan politik” bagi presiden. Kita bisa menyebutkan contoh pernyataan kontroversial SBY, antaralain pada 17 Juli 2009 di Istana Negara soal teroris; pernyataan pada 4 Desember 2009 di awal Sidang Kabinet Paripurna dan pernyataan pada 6 Desember di acara Rapimnas Partai Demokrat di JHCC mengenai rencana Gerakan 9 Desember 2009.
Mangamati situasi SBY saat ini, mengingatkan kita pada saat-saat menjelang kejatuhan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden. Rekaman persitiwa historis tersebut bukan berarti kita berharap SBY akan lengser seperti halnya Gus Dur, melainkan ada beberapa hal yang dapat kita ambil pelajarannya agar tak terulang.
Salah satu pelajaran berharga adalah kemauan mendengarkan suara publik. Kita sangat respek dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur soal demokrasi, begitu pun langkah reformasi birokrasi yang sudah mencoba dilakukannya. Hanya saja, Gus Dur juga manusia yang punya kelemahan. Saat Gus Dur berencana mengeluarkan dekrit, suara publik keras menentangnya. Maka tatkala Gus Dur tetap memaksakannya dia pun harus turun dari jabatannya. Suara publik seyogianya didengar dan disalurkan hingga menjadi modal dukungan, bukan sebaliknya kita mengais masalah dari hal tersebut.
Terlepas dari konteks politik saat itu, satu hal yang pasti bahwa pelanggaran atas harapan publik kerap menimbulkan situasi yang “membahayakan” bagi eksistensi aktor politik. Dalam Expectancy Violations Theory (teori pelanggaran harapan) dari Judee Burgoon, pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain misalnya bagaimana Yudhoyono menampilkan pernyataan kepada khalayak.
Kini, teori ini relevan untuk mengkaji aspek komunikasi terutama saat norma-norma komunikasi dilanggar. Memang pelanggaran itu sendiri bisa dipandang sebagai hal yang positif atau negatif, tergantung pada persepsi khalayak.
Yudhoyono seyogianya menyadari salah satu rumusan yang khas dalam komunikasi bahwa saat dia mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan harapan publik, maka sangatlah mungkin muncul valensi pelanggaran. Hal ini terkait dengan penilaian positif atau negatif dari sebuah prilaku yang tidak terduga. Menurut Burgoon dan Hale dalam bukunya Nonverbal expectancy violations (1988), valensi pelanggaran singkatnya adalah para komunikator berusaha untuk menginterpretasi makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak.
Pernyataan Yudhoyono di Rapimnas ke-3 Partai Demokrat, telah melahirkan interpretasi makna negatif khalayak yang lebih dominan. Jika Yudhoyono terus melangsungkan pernyatan-pernyataan curiga terhadap gerakan ekstraparlementer maka bukan mustahil ini menjadi momentum konsolidasi kekuatan opisisi dan sangat mungkin apa yang dikhawatirkan SBY sekarang-sekarang ini bisa benar-benar aktual. ***

Selasa, 08 Desember 2009

MOMENTUM HAK ANGKET


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Telah dimuat di Harian SINDO, 3/12/2009)



Politik tak lepas dari momentum, ruang waktu yang menjadi penanda kapan dan bagaimana kepentingan diartikulasikan. Situasi dinamis yang senantiasa menjadi rumusan paling absah dalam meracik strategi politik para aktor.


Momentum inilah yang kini dimiliki DPR. Lembaga politik ini secara resmi telah mengesahkan hak angket untuk pengusutan kasus Bank Century pada sidang paripurna 1 Desember lalu.Pengumuman siapa saja yang masuk menjadi panitia hak angket Bank Century rencananya diumumkan pada Jumat (4/12). Inilah kali pertama mereka mencoba melintasi fragmentasi kekuatan politik yang ada, dalam satu bingkai kasus besar yang sama setelah dilantik menjadi anggota DPR periode 2009–2014.


Modal Dukungan


Hak angket Bank Century, jika dikelola dengan baik dan memenuhi harapan publik, tentu akan menjadi momentum bagi reformulasi citra dan kehormatan anggota DPR. Paling tidak terdapat empat modal utama yang kini dimiliki DPR agar senantiasa mau dan mampu menjaga kualitas pansus hak angket Century ini.


Pertama, tercapainya dukungan luas di internal anggota DPR. Setelah Tim 9 meretas jalan guna memperoleh dukungan,kini mayoritas anggota DPR, termasuk dari Partai Demokrat, telah mendukung, meskipun dengan motif yang berbeda-beda. Dukungan ini menjadi modal awal yang penting dalam menjaga setiap tahapan kerja pansus yang diprediksi akan berjalan panjang dan alot.


Kedua, munculnya dukungan dari tokoh masyarakat, kelompok penekan (pressure group), serta kelompok kepentingan (interest group).Para inisiator cukup sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati, A Syafii Maarif,Hasyim Muzadi,Din Syamsuddin, dll, yang secara gamblang menyatakan dukungan mereka atas upaya pengusutan hak angket Bank Century. Dukungan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak) dan organisasi intra maupun ekstra kampus pun kian hari kian masif dan intensif.


Ketiga, modal publisitas yang memadai dari media massa dan media jejaring sosial (social network). Kita melihat ada kecenderungan persepsi positif dari berbagai media massa,baik cetak, elektronik, maupun new media (internet) terkait dengansetiappemberitaan mengenai hak angket Bank Century ini. Modal opini publik ini tak bisa dianggap remeh,karena berbagai news framing yang dikemas dan didistribusikan oleh media berpengaruh dalam menaikkan dan menurunkan citra seseorang atau sekelompok orang.Begitu pun kohesivitas dalam berbagai situs jejaring sosial seperti di Facebook dan Twitter cenderung lebih banyak mendukung hak angket Bank Century.Muncul fenomena konvergensi simbolik di antara sesama pengguna situs jejaring sosial, hingga mereka lebih diperteguh untuk bersama-sama dalam gerakan memberi dukungan misalnya terlihat dalam grup facebook “1.000.000 Pendukung Hak Angket Century”.


Keempat, adanya peneguhan (reinforcement) atas dugaan ketidakberesan dalam kasus Bank Century dari temuan audit investigatif BPK serta laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). BPK menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses penetapan dan penyaluran dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sementara PPATK hingga Senin (23/11) sudah menerima 50 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari 10 penyedia jasa keuangan.Temuan dan laporan tersebut memperteguh para pendukung hak angket Bank Century untuk menempatkan hal ini sebagai prioritas agenda kerja.


Dialektika Rasional


Jalan panjang dan terjal masih akan dilalui Pansus Hak Angket Bank Century.Oleh karena itu saatnya para pendukung mengoptimalkan peran-peran mereka.Terkait dengan hal ini,ada sejumlah catatan yang perlu penulis sampaikan kepada para anggota DPR pendukung hak angket Bank Century.


Pertama, jangan biarkan momentum kasus ini lewat tanpa hasil apa pun. Jika DPR mampu membuka ini, maka rakyat akan memberi apresiasi yang sangat positif.Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh para pendukung hak angket Bank Century.Terlebih jika mengacu pada aturan tentang hak angket, Pasal 181 UU No 27/2009 tentang MPR,DPR dan DPD.Pasal tersebut menyatakan bahwa panitia angket melaporkan pelaksanaan tugas kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari. Buktikan bahwa dalam waktu dua bulan ada kemajuan signifikan dalam mengurai benang kusut aliran dana Bank Century ini.


Kedua, harus hatihati dalam menyeleksi siapa saja yang layak menjadi anggota pansus pelaksanaan hak angket yang menurut UU No 27/2009 maksimal 30 orang dan keanggotaannya diatur secara proporsional. Jika skema proporsional dipahami dalam konteks kuantitas, maka sudah barang tentu Partai Demokrat akan memperoleh jatah 8 orang,Golkar 6 orang,PDIP 5 orang,PKS 3 orang.PAN,PPP,dan PKB masing-masing mendapat jatah 2 orang; Gerindra dan Hanura masing-masing satu orang.Dengan demikian pertarungan dalam penguasaan pimpinan pansus akan menjadi hal yang strategis guna mengawal keberlangsungan hak angket ini ke depan.Keseluruhan anggota pansus mesti figur yang tidak menimbulkan resistensi di masyarakat. Itu penting untuk menunjukkan bahwa pansus akan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat, bukan parodi yang telah diatur oleh sutradara.


Ketiga, sebaiknya pansus nanti bisa lebih produktif bekerja mengungkap kasus ini. DPR hingga saat ini masih memiliki track recordyang kurang mengesankan mengenai hal ini.Sebagai catatan dalam menjalankan fungsi pengawasan, misalnya, DPR periode 2004–2009 tampak kedodoran.Hanya ada dua hak angket yang cukup tuntas, yaitu hak angket kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan hak angket kasus penjualan tanker Pertamina. Padahal, tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan.Kondisi yang sama terjadi dalam hak interpelasi.


Dari 9 hak interpelasi yang dibuat, hanya 4 yang tuntas,yakni persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Faktor-faktor potensial yang memungkinkan jadi penghambat produktivitas antara lain kapasitas anggota pansus tidak mumpuni dalam masalah yang ditangani, tidak adanya political will untuk menuntaskan masalah,serta munculnya resistensi publik atas orang-orang “titipan” yang mungkin akan menyelinap dalam pansus. Keempat, jangan sampai para pendukung hak angket Bank Century tergoda dalam jebakan pragmatisme politik.


Bisa saja mereka mendukung karena sekadar ingin menjadikan pejabat-pejabat tertentu sebagai sasaran bidik,hingga menaikkan posisi tawar kelompok mereka dalam lingkar kekuasaan atau memunculkan peluang praktik suap. Jika motif rasional-pragmatis ini yang dipertontonkan,tentu saja citra DPR akan makin terpuruk. Padahal,harapan kita tentu saja hak angket Century ini bisa menjadi kotak pandora bagi persoalan terkait lainnya. Dalam mengemban tugasnya nanti Pansus sudah pasti akan berada dalam situasi yang tidak linear, bahkan penuh kontradiksi. Menurut Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam Relating: Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini akan banyak melahirkan sudut pandang yang saling menandingi satu sama lain di setiap kontradiksi. Dalam konteks ini, seluruh anggota pansus harus mampu berkomunikasi dengan banyak pihak untuk mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-kontradiksi yang muncul.Hanya saja, jangan sampai negosiasi mengarah pada penggembosan pansus, melainkan berupaya memperkuat dan mempertajam temuan data.


Dalam perspektif dialektis ada empat elemen penting. Pertama, adanya totalitas hubungan antara orang-orang di pansus hak angket Bank Century dengan publik yang menuntut keterbukaan. Kedua, adanya kemampuan mengelola kontradiksi, yakni merujuk pada manajemen prilaku oposisional yang tak akan pernah bisa terhindarkan. Sangat mungkin pansus disusupi oleh orang-orang yang sengaja membuat kasus ini menjadi tidak jelas. Ketiga, harus adanya pergerakan yang dinamis atau senantiasa berproses untuk menemukan banyak hal baru yang akan mematangkan temuan data pansus. Terakhir, praxis artinya terkait dengan keputusan yang harus dibuat guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.(*)

REFORMULASI CITRA POLRI


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian Jurnal Nasional, 24/11/2009)


Situasi nasional yang berkembang akhir-akhir ini, telah menempatkan institusi Polri di titik nadir pencitraan. Tak disangkal lagi, Polri kini semakin tersudut di tengah derasnya terpaan opini publik yang datang bergelombang. Pada HUT ke-64 Korps Brimob, di Depok, Sabtu (14/11) Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri menyatakan citra Polri sebagai aparat penegak hukum sedang diuji oleh publik. Tekanan dipastikan semakin menguat pasca pengumuman langkah Presiden SBY terkait dengan rekomendasi final Tim-8. Hal ini disebabkan Polri turut berada di titik episentrum masalah. Butuh sebuah langkah cepat untuk melakukan reformulasi citra Polri di mata publik, jika institusi ini tak ingin lumpuh layu di tengah labirin yang seolah tak berujung.


Krisis Komunikasi


Di luar persoalan hukum yang kian rumit, Polri kini mengalami krisis yang harus segera diatasi yakni krisis komunikasi. Berbagai persoalan kian kusut masai karena tak ada sebuah pengelolaan strategi komunikasi yang memadai. Orientasi proses komunikasi yang berupaya menciptakan good will (niat baik) dan mutual understanding (pemahaman bersama), nyaris tak nampak diorganisasikan dengan baik . Alih-alih menyelsaikan masalah dengan pendekatan komunikasi strategik, para pejabat Polri pun justru terjebak pada berbagai tindakan blunder yang kontraproduktif bagi upaya meminimalisir opini negatif.


Pertama, krisis citra dipicu oleh pernyataan Kabareskrim Komjen Susno Duadji yang dengan sukses telah menciptakan labelling negatif bagi insitusi Polri. Istilah cicak versus buaya telah melahirkan oposisi biner. Oposisi yang menekankan pada kemampuan bahasa dalam menghantarkan makna guna menstrukturkan realitas. Makna yang distrukturkan tersebut, telah mengidentifikasi polri dengan buaya dan KPK dengan cicak. Pemilahan yang mungkin tidak disadari oleh pembuat pesannya akan memiliki dampak masif. Label cicak vs buaya yang dikonstruksi tadi, memancing pihak lain untuk mempraktikkan teknik name calling. Teknik ini, biasanya dilakukan dengan memberi sebuah label buruk. Tujuannya, agar orang atau institusi yang dituju tak lagi memperoleh dukungan khalayak tanpa terlebih dahulu memeriksa keakuratan maksud di balik label itu. Buaya diidentikkan dengan binatang kuat, buas, pemangsa dan tak kenal kompromi. Sementara cicak diidentikkan dengan binatang kecil, lemah, dan tak membahayakan. Mengasosiasikan korps Polri dengan buaya tentu saja tidak tepat, karena Polri sejatinya terlahir sebagai pengayom masyarakat. Dalam komunikasi ada rumusan sekali kata atau kalimat terucap maka dia akan bersifat Irreferesible. Artinya, sesuatu yang telah terjadi tidak akan bisa ditarik kembali.


Kedua, langkah tidak tepat juga dilakukan Polri dalam konteks media relation. Hal ini misalnya terjadi pada proses pemanggilan dua media massa nasional oleh Bareskrim, Jum’at (20/11). Meski pihak Mabes Polri sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Humas Inspektur Jenderal Nanan Soekarna telah meluruskan bahwa pemanggilan kedua media tersebut untuk tujuan melengkapi keterangan guna memproses Anggodo sebagai tersangka. Niat baik tidak selalu mencitrakan positif jika momentumnya tidak tepat. Di tengah sorotan tajam dari berbagai pihak, upaya Polri memanggil media terkait dengan pemublikasian rekaman Anggodo, jelas-jelas akan memancing kecurigaan adanya upaya kriminalisasi pers.


Ketiga, krisis citra juga muncul akibat kurang sensitifnya pejabat Polri dalam memahami relevansi pesan dengan konteks yang menjadi setting dimana pesan itu harus muncul. Misalnya, sungguh tidak tepat jika Kapolri di ruang sidang Komisi III, pada 5 November lalu menyebut inisial “N” dalam perkara Bibit-Chandra. Sosok tersebut diduga kuat oleh publik yakni intelektual muslim terkemuka, Nurcholish Madjid. Mengapa harus membuka informasi sensitif ini di lembaga politis? Keempat, tidak memadainya alasan yang diterima publik dalam pengaktifan kembali Susno Duadji sebagai Kabareskrim. Publik banyak berharap, salah satu pintu masuk mengurai benang kusut permasalahan hukum dalam kasus Bibit-Chandra dan isu Bank Century ini ialah melalui pejabat-pejabat Polri yang saat ini tidak sedang dalam sorotan publik. Dengan demikian, untuk memunculkan kepercayaan dan harapan, butuh figur yang tak sedang mengalami resistensi.


Langkah Komunikatif


Institusi Polri tentu saja harus diselamatkan, sama halnya dukungan untuk penyelamatan KPK dan kejaksaan. Bagaimanapun ketiga institusi ini penting dan menjadi pilar proses demokrasi di negeri ini. Tak ada kata terlambat bagi Polri untuk melakukan reformulasi citra lembaga. Bisa saja orang mengatakan yang terpenting saat ini adalah penyelsaian masalah hukum. Kita juga sepakat, bahwa di sebuh negara hukum maka segala penyelsaian terlebih menyangkut hak-hak sipil politik warganegara, perlindungan uang negara dan eksistensi lembaga-lembaga negara, maka hukumlah solusinya. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Penyelsaian hukum butuh difasilitasi oleh rasa saling percaya, saling memahami, niat baik untuk bekerjasama dan tentunya adalah hubungan baik yang efektif. Itu semua akan diperoleh melalui komunikasi. Ada tiga hal yang mesti dilakukan para petinggi Polri sebagai solusi dari perspektif komunikasi.


Pertama, para petinggi Polri harus menyadari dan mengimplementasikan tipe diri komunikator yang memiliki sensitivitas retoris (rhetorically sensitive). Merujuk pada pendapat Roderick P Hart (dalam Littlejohn, Theories of Human Communication, 1999: 103) tipe rhetorically sensitive ini berupaya mewujudukan kepentingan sendiri, orang lain, dan sikap situasional. Sebagai individu dan bagian korps, para petinggi Polri tentu punya kepentingan, tetapi juga harus mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. Dengan kepekaan terhadap situasi, maka Polri akan mampu mengembangkan pemahaman bersama.


Kedua, secara halus dan cerdik mengefektikan kembali teknik plain folk. Teknik ini membuat identifikasi bahwa Polri akan selalu menjadi bagian dari rakyat. Ada baiknya, tak cukup berhenti pada upaya identifikasi yang sifatnya artifisial, Polri juga seyogianya dapat menunjukkan bahwa institusinya memang memiliki niat kuat untuk membuat kebijakan-kebijakan pro masyarakat.


Ketiga, memperbaiki hubungan dengan media massa. Para pejabat Polri mesti selalu menyadari bahwa opini publik itu selalu merupakan respon aktif masyarakat, dikonstruksi dan akan senantiasa menyumbang citra. Tak ada opini publik yang muncul secara natural. Oleh karenanya, posisi media menjadi sangat strategis untuk memfasilitasi manajemen kesan (impression management) bagi citra positif Polri saat ini dan di masa mendatang.


***Tulisan di atas bisa diakses di:

ADA APA DENGAN POLRI?


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, 23/11/2009)


Cerita soal Polri seolah tak ada habisnya. Sambung menyambung menjadi satu dalam pola relasi antagonistis dengan publik. Sukses memperkenalkan tema drama episode cicak vs buaya, berlanjut dengan “opera sabun” di Komisi III DPR-RI, muncul lagi dalam kemasan “reality show” bergenre melankolis ala “tukar nasib” yang secara apik telah diperankan Kabareskrim (masih) Komjen Susno Duadji. Drama belum klimaks karena ke depan masih ada beberapa scene yang siap tayang terutama pasca kejelasan sikap SBY terkait dengan rekomandasi final Tim-8.


Entah karena tuntutan skenario yang harus memberi terapi kejut pada publik hingga news framing (bingkai berita) media tak lagi di kuadran isu yang sama, atau karena benar-benar naif tidak memahami cara mengelola manajemen krisis, Polri kembali melakukan blunder. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dua koran nasional yang memiliki reputasi baik oleh Bareskrim, Jum’at (20/11) jelas-jelas memperburuk citra Polri. Publik pun seolah tak perlu logika mendalam untuk menjawab pertanyaan, ada apa dengan Polri?


Tindakan Artifisial


Senja kala Polri telah tiba. Butuh energi yang luar biasa untuk mengerek layar penanda akhir cerita panggung pertunjukkan agar tak segera turun dan menutupi muka lembaga ini. Alih-alih mempertahankan citra positif, Polri justru terjerembab atau menjerembabkan diri ke dalam kubangan polemik yang kian hari hari kian meluluhlantakkan kehormatan, kepercayaan dan kridibilitas korps ini. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dilihat dari aspek apapun merupakan tindakan artifisial, tidak strategis dan cenderung menciptakan masalah baru.


Pertama, terdapat lompatan logika (logical jumping) antara niat yang dikemukakan secara verbal tulis maupun lisan oleh pihak Mabes Polri, dengan konsistensi proses pemanggilan serta pilihan argumentasi yang disuguhkan kepada publik. Tak terdapat cukup irisan antara rangkaian proses dengan peneguhan logika pemanggilan kedua media nasional ini. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna menjelaskan dalam beberapa kali wawancara di media bahwa niat pemanggilan bukan untuk tujuan kriminalisasi pers, melainkan untuk memperkuat bukti penyidikan polisi guna menjadikan Anggodo sebagai tersangka meskipun pun niat ini kemudian diralat menjadi terkait dengan upaya menjadikan Anggodo sebagai terlapor. Konteks di balik ini, tak terhindarkan isu yang merebak kuat bahwa pemanggilan tersebut semula terkait dengan pengaduan Anggodo dan Bonaran Situmeang ke kepolisian. Dari aspek proses, terdapat jejak rekam yang ganjil. Pemanggilan tertulis, sempat dibatalkan oleh pihak Polri secara lisan, kemudian dipanggil lagi secara lisan. Hal ini menunjukkan keraguan. Proses pemeriksaaannya bukan projustisia, hingga out put-nya hanya dimintai keterangan, bukan untuk BAP melainkan sekedar dituangkan dalam berita acara interview. Subtansi pertanyaan, hanya berkisar seputar pemuatan dan pemberitaan transkip rekaman percakapan Anggodo yang diperdengarkan di MK. Jika untuk tujuan itu, hanya dengan melihat dan mendokumentasikan berita yang telah dimuat di kedua koran itu pun sesungguhnya Polri sudah bisa menjawab apa yang mereka tanyakan. Sebuah prosesi yang menghadirkan logika dangkal terutama jika dibanding dengan citra negatif yang harus Polri tanggung setelah pemanggilan kedua media itu.


Kedua, konteks momentum yang tidak tepat. Polri akhir-akhir ini dalam sorotan tajam publik. Pemilahan (oposisi) biner antara buaya sebagai representasi kelompok berkuasa dan “pemangsa” di satu sisi dengan cicak sebagai representasi kelompok kecil dan lemah di sisi lainnya telah menempatkan desakan yang masif, keras dan mulai mengkristal menjadi kekuatan potensial dan aktual. Seharusnya di tengah situasi seperti ini, Polri membangun komunikasi yang persuasif, terorganisasi dan bersifat mengurangi ketidakpastian serta ketidaknyamanan. Bukan sebaliknya, menciptakan prahara baru yang merangsang antipati terhadap institusi Polri. Pemanggilan media massa ini sangat riskan dalam konteks opini publik. Siapa pun pengkaji komunikasi politik menyadari betapa pentingnya mengelola opini publik. Dan Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1989) menyebutkan opini publik itu sebagai respon aktif masyarakat terhadap suatu persoalan yang memiliki dampak luas pada khalayak, dikonstruksi melalui interpretasi pribadi dan menyumbang citra. Dengan demikian, nyaris tak ada opini publik yang natural, melainkan selalu berupa realitas simbolik yang dibentuk dan dimaknai kemudian didistribusikan ke publik hingga akan berpengaruh pada citra.


Media massa tentu saja memiliki kekuatan dalam penyiapan, pembentukan dan pendistribusian informasi yang menjadi bahan mentah opini publik. Sehingga siapapun yang bermaksud mengganggu imparsialitas dan otonomi kebebasan media, dalam waktu singkat akan memperoleh penentangan luas. Opini publik sama halnya dengan senjata. Jika senjata api dapat membunuh orang lain dengan pelurunya, maka opini publik media dapat membunuh seseorang melalui delegitimasi citranya.


Demokratik-Partisipan


Keliru besar jika praktik pemanggilan pers di era demokratis sekarang ini masih dilandasi niatan untuk membatasi, mengintervensi terlebih jika niatnya mau mengkriminalisasikan pers atas produk hasil kerja para jurnalis. Pembatasan media jelas tidak senapas bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warganegara untuk mendapatkan informasi. Dalam penyelenggaraan kerja jurnalistik, media cetak maupun media elektronika, dilindungi dari penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999 tentang Pers.


Pers tidak pada tempatnya dikebiri, justru sebaliknya harus didorong ke arah pembentukan media demokratik-partisipan. Menurut Denis McQuail dalam Mass Communication Theory (1989), titik sentral media demokratik partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik. Ini tentu saja ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi dalam kelompok masyarakat bersekala kecil, kelompok dan kepentingan sub budaya. Prinsip paling nyata dari media demokratik-partisipan ialah organisasi dan isi media seyogianya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau menjadi subordinat dalam pengendalian birokrasi negara. Polri tak bisa memaksakan penyeragaman opini melalui penertiban, pemanggilan atau pembredelan media massa.


James Curran dalam bukunya The Liberal Theory of Press Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam upaya pengembangan demokrasi. Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian, media menjadi panggung atau ruang publik (public sphere) demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar yang berlabihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum. Dalam konteks ini, ada upaya mensistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah mempertimbangkan apa-apa yang dipikiran dan dikehendaki oleh rakyat. Misalnya dalam kasus sikap SBY atas rekomendasi Tim-8, maka media wajar jika menurunkan berita yang keras dan cenderung advokatif untuk meminta SBY bersikap tegas, transparan dan memerhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Keempat, media bisa mendidik warganegara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan dalam pemilihan umum. Ini artinya, media harus turut serta dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warge negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Terakhir, media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. ***


Tulisan ini bisa diakses di:


Senin, 16 November 2009

POLEMIK SIARAN LANGSUNG

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah Dimuat di PIKIRAN RAKYAT, Senin 16 Nopember 2009)



Di sela gonjang-ganjing kasus Anggodo yang kian hari kian pekat dengan warna konspirasi, akhir-akhir ini muncul wacana kontroversial yang dihembuskan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kontroversi itu bermula dari keinginan KPI untuk memasukan larangan siaran langsung persidangan di pengadilan ke dalam revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Siaran (P3SPS). Niat para Komisioner KPI ini, di satu sisi hendak melindungi publik agar mendapatkan informasi yang baik dan berkualitas, namun di sisi lain dapat menjadi ranjau yang membahayakan bagi substansi demokratisasi siaran dan kerja jurnalistik.


Kerancuan Wacana

Keinginan KPI melarang siaran langsung persidangan di pengadilan bermula dari penayangan sidang kesaksian Rani Juliani dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Penayangan tersebut dianggap tidak menghormati norma agama, mengusik rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.
Ada sejumlah kerancuan berpikir yang mengiringi wacana pelarangan siaran langsung tersebut. Pertama, menyangkut konteks waktu yang tidak tepat. Rencana pelarangan muncul di tengah pusaran tuntutan publik yang sedang mengarah ke berbagai kasus besar yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Prioriotas perhatian publik yang tak lagi percaya dengan independensi aparat penegakan hukum, menuntut adanya akses atas tranfaransi informasi, yang saat ini dapat mereka peroleh dari media massa. Jika revisi dilakukan sekarang-sekarang ini, akan muncul persepsi negatif terhadap KPI, bahwa lembaga ini telah berubah menjadi bagian dari gurita kekuasaan.
Jika tak cermat, pelarangan ini bisa dipersepsikan publik sebagai bagian dari skenario penyelamatan kekuasaan, sekalipun KPI tak memiliki maksud ke arah situ. Terlebih, rencananya KPI juga akan mengakomodasi desakan Komisi I DPR RI yang akan memasukan larangan menyiarkan persidangan DPR secara live ke dalam revisi P3SPS. KPI seyogianya mempertegas diri sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 2 UU No.32 tahun 2002, yakni sebagai lembaga negara yang bersifat independen. Niat baik, tidak selalu dipersepsi secara baik, jika momentumnya tidak tepat.
Kedua, dari substansi hukum kita melihat beberapa problem mandasar. Rencana pelarangan bisa bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warganegara untuk mendapatkan informasi. Dari sisi hukum media, liputan sidang oleh media massa juga sudah masuk ke dalam ranah pemberitaan atau karya jurnalistik. Dalam penyelenggaraan kerja jurnalistik, media cetak maupun media elektronika, dilindungi dari penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999 tentang Pers. Jika pun KPI tetap mau masuk ke ranah itu, mesti ada kajian mendalam dan kesepakatan bersama dengan Dewan Pers, agar kebijakannya tak berbenturan dengan kewenangan lembaga lain.
Ketiga, kerancuan menyangkut tafsir atas pelanggaran sejumlah tayangan siaran langsung. Jika tayangan dalam kasus persidangan Antasari Azhar melanggar, lantas digunakan untuk menghakimi seluruh tayangan pemberitaan langsung di pengadilan, artinya KPI telah mengeneralisasikan masalah.
Tak dimungkiri, bahwa saat meliput isu peradilan, media massa kerap terjebak menjadi alat yang mampu menciptakan a substansial risk of serious prejudice yang tak hanya mempengaruhi publik namun juga putusan pengadilan. Di negara Barat yang sangat demokratis sekalipun merasa perlu melakukan pembatasan reportase pengadilan melalui penerapan UU Contempt of Court. Contohnya, media massa di Barat hanya mempublikasikan kutipan-kutipan dari apa yang terjadi di ruang sidang, artinya hanya berkisar pada fakta semata. Di luar itu, jika media mempublikasikan perang opini dari pihak yang terkait pengadilan, misalnya pernyataan pengacara yang membela kliennya atau jaksa yang menghakimi terdakwa, dengan tujuan mempengaruhi opini publik dan keputusan hakim, maka bisa dianggap contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan).
Di Indonesia, hingga saat ini sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, hanya ada tiga perkara yang sidangnya tidak boleh disiarkan secara langsung, yaitu kasus peradilan anak, keluarga atau perceraian dan pornografi. Dengan demikian rencana KPI melarang seluruh siaran langsung persidangan di pengadilan tidak pada tempatnya. Jika siaran langsung tersebut tanpa ditambahi opini pengacara, hakim dan jaksa di luar fakta yang berkembang di pengadilan, lantas mengapa harus dilarang?



Demokratisasi Siaran

KPI terlahir dari rahim reformasi. Dalam pasal 8 ayat 1 UU No.32 tahun 2002 disebutkan KPI sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dengan demikian, KPI sejatinya mengemban harapan rakyat untuk menghadirkan demokratisasi siaran, bukan sebaliknya turut dalam parade kegiatan yang dapat mencedarai rasa keadilan masyarakat.
Revisi P3SPS boleh-boleh saja dilakukan oleh para komisioner KPI, karena hal tersebut merupakan kewenangan mereka. Namun demikian, seyogianya dalam menyusun revisi tersebut memperhatikan konteks waktu, kedalamaan telaah hukum dan peka dalam melakukan penafsiran atas substansi masalah hingga tak mencederai rakyat. Sebaiknya KPI menyusun panduan yang jelas, utuh dan komprehensif mengenai reportase pengadilan. Bukan secara tiba-tiba dan serampangan mewacanakan pelarangan siaran langsung persidangan di pengadilan tanpa basis argumentasi dan sosialisasi yang memadai. Bahkan, jika perlu KPI bersama komponen masyarakat lainnya, bisa mendorong adanya semacam UU Contempt of Court seperti di Barat, sehingga tafsir atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan media massa di pengadilan, tidak berjalan parsial.

Sabtu, 14 November 2009

AWAN HITAM PEMERINTAHAN SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini Dimuat di KORAN JAKARTA, Rabu 11/11/2009)


Di tengah turbulensi kasus ala mafioso yang diduga melibatkan Anggodo, oknum kepolisian dan kejaksaan, Presiden SBY telah resmi menjabarkan program 100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11). Pengumuman yang seyogianya penting dan ditunggu ini, bak gelembung air sabun yang hadir lantas menghilang tanpa impresi apalagi apresiasi publik yang cukup memadai. Nampak ada sikap apatis yang berkembang di masyarakat, hingga menempatkan prioritas program pemerintah bukan lagi sebagai prioritas perhatian khalayak. Tentu, hal ini menjadi sinyal buruk bagi perjalanan pemerintahan SBY jilid II yang baru seumur jagung. Jika tidak diantisipasi, dapat menjadi noktah hitam yang menempatkan SBY di titik nadir.

Lima belas program prioritas kinerja 100 hari idealnya berbanding lurus dengan langkah kongkrit yang bisa menunjukkan bahwa SBY serius membangun good and clean governance. Masyarakat tentu menyadari bahwa program 100 hari, tidak dalam konteks penuntasan segala masalah negeri ini. Namun, apapun prioritas yang dicanangkan tidak akan memberi landasan positif bagi performa pemerintahan SBY, jika tak mampu menghilangkan noktah hitam yang kini mulai menghiasi pemerintahannya. Kita melihat banyak persoalan krusial yang berpotensi mengganggu citra dan agenda kerja 100 hari.

Pertama, terjadi paradoks antara prioritas menjadikan pemberantasan mafia hukum di urutan tertinggi dengan kebijakan yang diambil. Untuk merealisasikan prioritas pemberantasan hukum, tak cukup hanya dengan menunjukkan langkah-langkah sloganistik. Misalnya, hanya dengan memperkenalkan kode GM (ganyang mafia) untuk pengaduan masyarakat mengenai mafia hukum yang akan dikirim ke PO Box 9949.

Ada banyak momentum yang sesungguhnya bisa digunakan SBY untuk menunjukkan komitmen kuat upaya pemberantasan mafia hukum, tapi tidak dioptimalkannya. Satu diantara momentum tersebut adalah kasus rekayasa hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK yang jelas-jelas menggugah perhatian sekaligus keprihatinan publik. Nampaknya sinyal yang terpancar dari SBY sangat lemah bahkan nyaris tak terdengar. Sebaliknya opini publik kian mengkristal dan keras mempertanyakan penyelsaian kasus ini.

Ibarat permainan bola, SBY menerapkan strategi grendel yang menjemukkan. Pergerakannya konservatif, tak ada terobosan bahkan cenderung berlindung di belakang tokoh-tokoh yang diterima luas oleh khalayak agar opini publik tidak langsung menghantamnya. SBY sangat sadar, kasus rekayasa hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK ini merupakan kasus krusial. Hal ini dapat menjadi kotak pandora bagi terbukanya tindakan korupsi berjamaah lainnya. Kita tentu masih ingat, saat opini publik keras menghantam SBY soal keluarnya Perpu Plt Pimpinan Sementara KPK, dengan sangat cerdik SBY membentuk Tim5 sehingga suara keras masyarakat seolah teredam sementara oleh para tokoh yang tergabung di tim ini.

Begitupun saat publik mulai menuntut langkah kongkret SBY terkait kasus kriminalisasi pimpinan KPK, strategi yang sama dilakukan SBY dengan membentuk Tim-8. Tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung di tim tersebut, harus berjibaku mengurai benang kusut kasus ini. Ujung cerita tim seperti ini pun sudah bisa diprediksi, yakni sebatas rekomendasi yang sepertinya tak akan banyak didengar oleh pihak-pihak terkait dengan kasus ini.
Inilah permainan jaga citra ala safety player yang benar-benar menjemukan. Belum genap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono berjalan, pesimisme publik kian menguat. Protes ketidakpuasan semakin aktual, dimulai dari ruang maya (virtual) seperti di Facebook, Twitter, Netlog, milist, blog hingga merebak menjadi gerakan massa di jalanan. Kini, hampir setiap hari kita saksikan demonstrasi terkait desakan penyelsaian masalah Anggodo dkk, tak hanya di Jakarta melainkan juga di kota-kota lain.

Kedua, SBY mempraktikkan presidensialisme setengah hati. Berbagai prioritas program 100 hari tidak hanya bergantung pada bagusnya konsep tapi juga pada pelaksananya. Ironis memang, presiden yang memiliki sumberdaya politik meyakinkan gagal membentuk zaken kabinet sebagai prasyarat optimalisasi program-program prioritas tadi. Seperti kita ketahui, SBY mengantongi dukungan 60,80 % suara dalam Pilpres, kurang lebih 423 anggota DPR potensial berada di belakangnya, dukungan kaum teknorat ekonomi hingga dukungan dari luar negeri terutama Amerika yang memadai. Sumberdaya politik tersebut bukannya menciptakan akselerasi, justru sebaliknya menjadi kontra produktif karena kabinet dibangun melalui politik akomodasi.

Kita menghargai pilihan SBY saat memilih para pembantunya sebagai bentuk hak prerogatif presiden sekaligus konsekuensi presidesialisme. Kita juga menaruh hormat pada pernyataan SBY beberapa waktu lalu, bahwa harus ada monoloyalitas para menteri terhadap presiden. Persoalannya, mengapa dalam praktikknya SBY tak tegas melarang para menterinya untuk merangkap jabatan di partai politik?

Prioritas Krisis

Dalam manajemen krisis seperti sekarang ini, diperlukan langkah-langkah terobosan yang harus dilakukan oleh SBY untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik pada pemerintahannya.
Pertama, ada keberanian SBY untuk menunjukkan kepada publik bahwa saat nama baik RI-1 dicemarkan SBY harus melakukan upaya hukum, jangan membiarkan kasus ini. Kedua, SBY harus menjamin bahwa hasil kerja Tim-8 tak akan sia-sia. Berbagai fakta yang nantinya akan mengerucut pada rekomendasi, jangan hanya berhenti di meja Presiden. Tim-8 bukan bekerja untuk sebuah program realityshow yang bisa meninabobokan rakyat, melainkan bertujuan menemukan kebenaran guna memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rekomendasi harus kuat dan mengikat.

Ketiga, SBY harus berani melakukan reformasi birokrasi. Oknum kepolisian dan kejaksaan yang terlibat ditindak, bahkan Kapolri dan Jaksa Agung harus diganti. SBY juga harus tegas bahwa seluruh menteri di kabinet tak boleh lagi menduakan waktu dan loyalitas mereka dengan tanggungjawab besarnya di partai politik terlebih jika masih menjabat ketua partai. Performa positif pemerintah SBY akan muncul dengan sendirinya jika citra dan agenda pemerintah SBY memberi harapan kuat akan perubahan dan tak melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.

Senin, 09 November 2009

RUANG PUBLIK KOMUNITAS VIRTUAL

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, Sabtu 7 November 2009)

Satu fenomena menarik dari kasus kriminalisasi KPK yang terjadi sekarang ini, makin menguatnya kebebasan berdemokrasi di komunitas maya (virtual). Tak disangkal lagi, fakta menunjukkan inisiatif di situs jejaring sosial facebook telah memiliki gaung tersendiri dalam memperkuat tekanan publik. Derasnya penentangan terutama pasca diperdengarkan rekaman miliki KPK di Mahkamah Konstitusi, membuat Polri menangguhkan penahanan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Hingga tulisan ini dibuat, “gerakan satu juta facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto”, sudah mencapai angka 988.000. Sangat mungkin, jumlah tersebut akan terus bertambah karena kasus ini masih berjalan, bahkan kian intensif disuarakan di komunitas virtual dan media massa. Terlebih, Polri kini melepas Anggodo dengan alasan tak punya bukti. Inilah potret ekspresi cyberdemocracy yang kian memperteguh posisi new media sebagai saluran komunikasi politik yang efektif.

Penyatuan Simbolik
Selang beberapa hari dari kemunculan “Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto”, muncul gerakan moral lain yakni “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century”. Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut, meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret ruang publik (public sphere) kontemporer yang telah mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik individu warga negara secara leluasa.
Jika kita menengok ke belakang, komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah sukses memberi tekanan pada tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional. Saat itu, muncul dukungan bagi Prita lebih dari 19.000 facebookers, melampaui target awal pembuatnya yakni 7.500 simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah menjeratnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pertanyaannya, mengapa komunitas virtual akhir-akhir ini dapat menjadi komunitas pengontrol sekaligus juga dapat menjadi kelompok penekan? Paling tidak, ada tiga hal yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama, munculnya era kesadaran kelompok public attentive yang kian adaptif dengan kemajuan ICT terutama terkait dengan dunia virtual. Menurut data statistik yang dilansir oleh http://www.checkfacebook.com/ tahun 2009, pengguna facebook di Indonesia masuk 10 besar jumlah pengguna facebook terbesar di dunia. Indonesia berada di peringkat ketujuh, mengalahkan Australia, Spanyol, dan Kolombia. Peringkat pertama dipegang Amerika Serikat (67.485.000), kemudian disusul Inggris ( 17.926.840), Kanada ( 11.515.660), Turki (11.417.400), Perancis (10.588.720), Italia (10.179.480), Indonesia (5.949.740) Australia (5.890.760), Spanyol (5.671.580) dan Kolumbia (5.206. 020).
Pengguna internet di Indonesia pun kian hari kian banyak. Menurut data dari http://www.internetworldstats.com/ tahun 2009, bahwa Indonesia kini menempati peringkat kelima di Asia dengan jumlah user 25 Juta orang di bawah Cina, Jepang, India, Korea Selatan dan masih unggul atas Vietnam, Filipina, Pakistan, Malaysia dan Taiwan. Sebagian besar penggerak jejaring sosial berasal dari generasi muda terdidik (well-educated). Mereka menjadikan perkembangan internet sebagai salah satu instrumen jejaring sosial termasuk untuk mengkritisi berbagai hal. Ada trend peningkatan signifikan dalam penggunaan situs jejaring sosial di masyarakat. Hal ini terlihat dari kian intensifnya penggunaan situs jajaring sosial yang kian beragam. Tak hanya facebook tapi juga ada 10 situs lain yang trend digunakan yakni: Twitter, Myspace, Windows Live Spaces, Friendster, Hi5, Flicker, Orkut, Flixter, Multiply dan netlog. Meski yang paling populer tentu saja adalah facebook. Dengan meningkatnya jumlah public attentive atau komunitas yang sudah berperhatian terhadap berbagai isu politik yang berkembang, maka kian hari komunitas virtual ini kian memiliki kekuatan signifikan.
Kedua, komunitas virtual itu tak terbatasi (borderless) oleh keterpisahan tempat, waktu, ideologi, status sosial ekonomi maupun pendidikan. Saat seseorang melakukan interplay dengan anggota lain di komunitas, maka hubungannya jauh lebih fleksibel karena bisa berhubungan kapan saja dan dari mana saja. Tak ada lagi zona proksemik seperti pernah digagas Edward Hall, yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm-1,2 m), jarak sosial (1,2 m -3,6 m) jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya facebook, nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti itu. Setiap anggota komunitas bisa mengekspresikan berbagai kekesalan atas upaya kriminalisasi KPK, praktik arogansi oknum polisi dan oknum kejaksaaan secara lebih bebas, fleksibel dan bisa sangat personal. Sehingga ekspresi emosi masing-masing indvidu lebih terakomodasi dibanding hanya membaca hasil reportase jurnalis media massa. Banyak diantara anggota gerakan 1 juta facebookers pendukung Hamzah dan Bibit itu, tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu secara face-to-face.
Ketiga, memungkinkan terbentuknya kesadaran kelompok terbagi (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, meciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, tema cicak vs buaya, kriminalisasi KPK, pemberantasan korupsi dll., dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran. Pada saat media massa mempublikasikan tema-tema kesadaran itu, biasanya keterhubungan individu masih bersifat artifisial. Hal itu, akan diperteguh dan lebih personal pada saat dia terhubung dengan komunitas virtualnya.

Cyberdemocracy
Tidak berlebihan jika kita menyebut fenomena komunitas virtual di web jejaring sosial seperti facebook ini sebagai bentuk kontemporer dari ruang publik (public sphere). Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas (1962), filsuf kritis generasi kedua dari aliran Frankfurt berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai ruang publik, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah sosial yang memiliki dampak luas pada khalayak. Penekanannya pada pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya.
Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika Habermas mengangkat prototype obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik, maka sekarang ini komunitas virtual dapat kita katakan sebagai ruang publik. Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan ruang publik dalam arti face-to-face sudah bergeser. Oleh karena hal tersebut, Mark Poster dalam Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere (1995) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Media massa baik cetak maupun elektronika karena alasan-alasan regulasi pasar, represi pemilik modal dan intervensi kepentingan politik negara kerap tak mampu lagi memerankan diri sebagai ruang publik secara optimal. Oleh karenanya, komunitas virtual harus tetap mampu menggerakan publik untuk senantiasa menyuarakan keadilan dan kebenaran tanpa dominasi. Sebuah wujud ekspresi dari kesadaran substantif.

Selasa, 20 Oktober 2009

PERFORMA SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa, 20 Oktober 2009)


Sisi lain yang menarik kita perbincangkan di luar hiruk-pikuk pembentukan kabinet baru adalah sosok SBY sendiri, terkait dengan performa (performance) pemerintahannya ke depan. Pelantikan Presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober, menjadi penanda paling nyata bahwa Indonesia kini secara faktual maupun legal telah memiliki kembali pemimpin nasional. Inilah produk dari suatu mekanisme demokrasi prosedural yang disepakati dan berjalan di negeri ini. SBY kini nampak lebih percaya diri, karena memiliki sumberdaya politik yang jauh lebih memadai. Inilah momentum politik SBY jilid dua yang sekaligus menjadi pembuktian apakah SBY mampu mencatatkan dirinya sebagai presiden yang sukses di republik ini.

Sumber daya Politik

Dilihat dari perspektif sumberdaya politik (political resources), posisi SBY di awal periode kedua ini sungguh kuat. Hal ini bisa kita simak dari berbagai indikator. Pertama, dia telah mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power) sebagai produk dari Pemilu presiden langsung. Dengan modal kemenangan melalui Pemilu satu putaran ini, menjadi sinyal kuat bahwa rakyat masih memberikan kepercayaan pada SBY.

Kedua, SBY akan ditopang oleh kekuatan besar di DPR. Perkembangan terakhir, lima pimpinan partai politik dari PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat dan PKB, resmi menandatangani kontrak politik untuk mendukung pemerintahan SBY, Kamis (15/10). Partai Golkar juga sudah secara resmi menyatakan berkoalisi dengan pemerintahan SBY. Dengan demikian, langkah SBY ke depan menjadi ringan karena 423 suara di DPR akan berada di belakangnya. Jika pun PDI-P, Gerindra dan Hanura menyatu dalam barisan oposisi, maka suara mereka hanya berjumlah 137 suara. Ironisnya lagi, mereka yang berpotensi menjadi barisan oposisi pun kian menunjukkan orientasi akomodasi politik dan belum menjadi kekuatan oposisi yang konsolidatif.

Ketiga, SBY didukung oleh barisan teknokrat terutama bidang ekonomi yang tentunya dipimpin oleh Boediono. Situasi matahari kembar di pemerintahan seperti pernah dialami saat SBY bersanding dengan JK tak akan dialaminya lagi. Bahkan, di beberapa peristiwa, nampak policy JK lebih dominan. Sementara Boediono adalah ekonom yang memiliki pengalaman dalam mendesain kebijakan ekonomi, bidang yang memang menjadi kebutuhan sekaligus titik lemah SBY. Hal ini bisa terlihat dari tugas pertama yang diberikan SBY kepada Boediono, yakni menyusun program 100 hari pemerintahannya. Boediono dan teknokrat lainnya dalam pemerintahan ke depan tentu akan menjadi kekuatan politik tersendiri bagi SBY.

Keempat, dukungan dan pengakuan luar negeri terutama AS yang memadai. Nyaris tak ada resistensi negara-negara lain, terhadap sosok dan kiprah SBY setelah terpilih sebagai presiden untuk periode ke dua. Bahkan, Obama dalam kapasitasnya sebagai Presiden AS telah memberi selamat kepada SBY, jauh-jauh hari sebelum pengumuman resmi KPU diumumkan. Ini menjadi sinyal kuat, bahwa SBY diterima AS dan juga komunitas internasional pada umumnya.

Citra dan Agenda

Dalam menjaga performa tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan carapandang masyarakat atas sosok SBY dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata SBY ke depan. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi.

Bercermin pada periode pemerintahannya yang pertama, kita melihat kecenderungan citra SBY yang dari tahun ke tahun menurun. Meskipun, untuk persoalan elektabilitas, SBY tetap unggul di banding kandidat lain yang bertarung di Pemilu 2009 lalu. Meminjam Data dari hasil riset Lembaga Survey Indonesia (LSI), pada Tahun 2004 atau awal-awal pemerintahannya, persentase kepuasan publik atas duet SBY-JK itu 80 persen. Dua tahun kemudian, kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden masih 67 %, sementara untuk JK 62 %. Memasuki tahun ketiga, popularitas SBY menurun lagi tepatnya 49,7 % sementara JK 46,9 %. Di penghujung pemerintahannya, SBY terbantu dengan proses pemasaran politik yang sangat intensif oleh dirinya sendiri, tim sukses dan konsultan kampanye, hingga popularitasnya kembali meningkat dan memenangi pemilu.

Hal lain yang menentukan performa SBY ke depan adalah menyangkut agenda kerja. Terdapat sejumlah masalah krusial yang mesti diprioritaskan SBY. Pertama, masalah kemiskinan. Menurut Data BPS Maret 2008, Angka kemiskinan Indonesia mencapai 35 juta jiwa atau 15.4%. SBY-Boediono tentunya harus memiliki formula yang tepat agar 35 juta jiwa tadi dapat hidup layak.

Kedua, persoalan akut menyangkut pengangguran. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk yang menggangur di Indonesia pada tahun 2008 adalah 8.4%. Ini berarti ada sekitar 9 juta penganggur.

Ketiga, harus menunjukkan kepada publik bahwa program-program SBY tidaklah identik dengan neolib yang selama ini dialamatkan kepada mereka. Tiga program pokok ekonomi neolib yakni privatisasi BUMN, liberalisasi di berbagai sektor penting, dan menggantungkan pembangunan pada utang luar negeri harus dijawab melalui berbagai kebijakan nyata.

Keempat, memprioritaskan penanganan kasus HAM, kasus korupsi dan reformasi birokrasi. Selamat bekerja SBY-Boediono!


Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:


ICAL DAN MASA DEPAN GOLKAR




Oleh: Gun Gun Heryanto




(Tulisan ini telah dimuat di Harian Jurnal Nasional, Jum’at Oktober 2009)




Aburizal Bakrie yang kerap dipanggil Ical akhirnya tampil sebagai pemenang dalam perhelatan demokrasi partai berlambang beringin. Ical mengantongi 296 suara mengungguli rival terberatnya Surya Paloh dengan 240 suara. Sebuah rivalitas yang mempertontonkan tak hanya adu kualitas individu kandidat, melainkan juga prestis, gelontoran uang dan manajemen dukungan. Dengan kemenangan Ical tersebut, dapat ditebak orientasi partai ini ke depan. Bukan menjadi partai di luar kekuasaan seperti terbersit dalam keinginan Jusuf Kalla dalam pidato pembukaan Munas ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru Riau, melainkan akan kembali melanjutkan tradisi politik lama, yakni menjadi bagian dari kekuasaan.


Kunci Kemenangan

Membaca kemenangan Ical, dapat kita identifikasi sejumlah faktor yang menjadi penentu kemenangannya. Pertama, Ical tak dimungkiri memiliki magnet reward power. Diantara kandidat lain yang bertarung, Ical nampak yang paling eksplosif mengemas politik "hadiah" ini bagi para elit Golkar yang memiliki hak suara. Kita bisa mengambil contoh, kemasan janji Ical yang akan menyediakan dana 1 Triliun bagi institusi Golkar jika ia terpilih, jelas menggiurkan banyak pihak. Paket jualan kesan ini, sangat mendongkrak pencitraan politik Ical sebagai sosok paling mumpuni untuk menahkodai Golkar yang dalam tradisinya sarat dengan politik transaksional.
Kecakapan dan kecukupan materi dianggap sebagai prasyarat mutlak untuk mengembalikan kejayaan Golkar di masa depan. Munas menjadi ajang politik transaksional antar kandidat dengan para elit Golkar pemilik suara sah. Berhembus khabar, 1 suara dinegosiasikan antara 500 juta hingga 1 Milyar Rupiah. Sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh kandidat yang tak memiliki kantong tebal seperti Yuddy Chrisnandi. Meski pun Surya Paloh dan Tommy memiliki sumber "gizi" yang memadai, nampaknya mereka tak seroyal Ical.
Kedua, faktor akses ke kekuasaan. Di banding dengan tiga kandidat lain, hanya Ical yang paling memiliki akses ke SBY. Surya Paloh jauh-jauh hari telah menyatakan ingin mengembalikan kejayaan Golkar bahkan jika perlu berada di luar kekuasaan. Jejak rekam Surya Paloh yang turut mendukung pencalonan JK sebagai presiden pun menjadi cerita tersendiri. Di Banyak tempat kampanye, Surya Paloh seakan yakin bahwa Golkar tak mesti sejalan dengan pemerintahan SBY.
Jika dianalisis, terdapat benang merah yang sama antara subtansi pemikiran JK saat pidato pembukaan Munas, dengan pernyataan-pernyataan Surya Paloh. Terlebih, di arena munas Surya Paloh sempat bertemu empat mata dengan JK. Ini menunjukkan bandul dukungan JK sebenarnya bergerak ke arah Surya Paloh. Namun, dalam tradisi Golkar bukan tokoh yang menjadi simpul pengikat suara melainkan kekuasaan. Siapa pun yang lebih memiliki akses ke kekuasaan biasanya cenderung diamini. Kita tentu ingat, meski pun konstribusi Akbar Tanjung dalam membawa Golkar dari kehancuran pasca reformasi 1998 sangat besar, kenyataanya Akbar tak mampu melawan kedigdayaan JK yang saat itu menggenggam akses kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian, loyalitas elit Golkar pemilik suara sah dalam Munas tidak dalam konteks loyalitas pada tokoh melainkan pada representasi akses kekuasaan itu. Tumbangnya Surya Paloh sekaligus menunjukkan kekalahan JK dalam munas. Ketiga, adalah terpaan media (media exposure). Dari empat kandidat, hanya Ical dan Surya Paloh yang intensif menggunakan pengaruh pencitraan dirinya melalui media massa yang mereka kuasai. Ical misalnya, begitu gencar memanfaatkan TVOne dan ANTV sementara Surya Paloh mengendalikan Metro TV dan Media Indonesia. Selain tentu saja mereka juga jor-joran kampanye melalui media-media lain yang satu group atau di luar group medianya.
Namun, jika kita perhatikan intensitas pembingkaian pemberitaan (political news framing) Ical jauh di atas rata-rata Surya Paloh. Ical misalnya, tanpa ragu menjadikan waktu primetime TVOne untuk menyiarkan secara live pernyataan dukungan para pimpinan DPD layaknya tayangan kenegaraan. Idealitas bahwa media mesti imparsial telah runtuh. Ini menguatkan tesis Pamella Shoemaker dalam bukunya Mediating the Message (1996) bahwa isi media tak akan bisa independen dan lepas dari anasir pengaruh individu pekerja media, rutinitas media, kebijakan organisasional seperti kepentingan pemilik, ekstra media dan ideologi. Dengan memiliki saham di TVOne dan ANTV serta kemampuan untuk membeli rubrik dan jam tayang media lain, maka wajar jika sosok Ical semakin berkibar. Hal ini sekali lagi menunjukkan, kandidat sadar benar bahwa media memiliki posisi penting dalam menjemput kemenangannya.
Masa Depan Golkar

Kemenangan Ical dalam konteks Golkar ke depan dapat kita maknai dalam dua hal. Pertama, mimpi untuk memperkuat proses demokrasi melalui efektifnya kekuatan check and balance pupus sudah. Partai beringin ke depan tentu akan merindangi pemerintahan SBY-Boediono. Di bawah Ical, kekuatan Golkar di parlemen maupun di luar akan kembali padu dengan kekuasaan. Ciri menonjol politik transaksional berbungkus politik harmoni kian melembagakan citra Golkar sebagai partai kekuasaan. Dalam bahasa Ical "Golkar mandiri bersama SBY".
Padahal, setelah Golkar kalah dalam kontestasi Pemilu 2009, muncul banyak harapan pada Golkar, PDIP dan Gerindra untuk bisa padu menjadi kekuatan oposisi di DPR. Sehingga, demokrasi di Indonesia akan tumbuh kian sehat karena signifikannya kekuatan pengontrol. Kemenangan Ical dalam hal ini, bisa juga dimaknai dalam konteks kian kokohnya sumberdaya politik SBY di periode kedua pemerintahannya, karena lewat Ical SBY bisa mengendalikan Golkar.
Kedua, mekanisme regenarasi kepemimpinan Golkar ternyata belum mampu menghadirkan suatu proses yang transformasional. Artinya, belum mampu menghadirkan sosok kuat yang inspiratif dan mampu menjadi peneguh kesadaran kelompok (shared group conciousness). Figur yang bisa menjadikan Golkar kuat, mandiri serta mampu mencetak kader-kader ideologis bukan kader-kader pragmatis.
Penataan Lembaga
Tugas Ical menahkodai partai Golkar tidaklah mudah. Sejumlah persoalan menempatakan Golkar dalam situasi yang kompleks. Paling tidak terdapat tiga hal krusial yang mesti segera di atasi oleh Ical. Pertama, menyangkut basis gerakan partai Golkar ke depan. Bagaimana rapuhnya nilai-nilai normatif yang menjadi pengikat kepaduan (cohesivness) di tubuh Golkar. Contoh terdekat, kader Golkar tak solid dalam pemenangan Pemilu Legislatif maupun Pilpres. Hal ini sangat mungkin, karena tak adanya nilai kesadaran kelompok (shared group conciousness). Bukan sebaliknya menjadikan pragmatisme sebagai landasan kelompok, sehingga dari satu era ke era politik lain, Golkar selalu menjadi partai yang menggantungkan diri pada kekuasaan.
Kedua, tugas besar Ical adalah konsolidasi partai dari pusat hingga daerah. Hal ini yang nampak kedodoran di era kepemimpinan JK. Ada baiknya dalam konteks ini, Ical bisa mengambil contoh dari apa yang telah dilakukan oleh Akbar Tanjung yang rajin turun ke bawah. Kekuatan Partai Golkar bukan terletak pada pengurus DPP, melainkan pada kader-kader di daerah. Jika Ical mampu membingkainya dengan baik, maka tentu akan menjadi satu diantara faktor sukses kepemimpinanya ke depan.

Ketiga, Ical harus membangun kepercayaan bangsa Indonesia secara umum kepada partai beringin ini. Tak disangkal, Golkar berada di titik nadir dalam hal kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada kerja nyata yang sistematik dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas sehingga Ical dapat menunjukkan bahwa Golkar masih layak dipertimbangkan sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan civil society di Indonesia.




Tulisan ini bisa juga diakses di web Harian Jurnas berikut ini:




Kamis, 08 Oktober 2009

MANAJEMEN KEHORMATAN DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, Kamis 8 Oktober 2009)


Prosesi penahbisan anggota DPR 2009-2014 sudah berlalu. Dari komposisinya, background, patron politik, dan lain-lain masih bercita rasa sama seperti DPR sebelumnya. Sebagai fakta politik, para anggota DPR baru itu terpilih dalam pesta demokrasi, patut kita hargai. Bagaimanapun, secara normatif, eksistensi lembaga ini penting dan kita butuhkan dalam memperkuat demokratisasi di negeri ini meski secara prosedural, fungsionalisasi lembaga ini kerap ambigu, terutama saat mereka harus benar-benar melayani rakyat yang diwakilinya. DPR sebagai lembaga politik, dalam praktiknya tidak lepas dari anasir kepentingan politik, baik individual maupun partai politik. Dengan demikian, model komunikasi transaksional yang menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran, bahkan suara dan kehormatan dirinya menjadi bagian yang mapan terpola dalam aktivitas sehari-hari di gedung parlemen. Formula politik sebagai “seni kemungkinan” mengarahkan setiap individu untuk lihai kapan harus melakukan akomodasi, dominasi, hingga berbagai strategi kolaborasi.DPR periode 2004-2009 masih meninggalkan jejak rekam citra buram. Pertama, citra lembaga DPR masih lekat dengan persepsi masyarakat sebagai lembaga korup. Catatan dari berbagai laporan menunjukkan kurang lebih ada sembilan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Kedua, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR periode lalu tampak kedodoran. Hanya ada dua hak angket yang tuntas, yaitu hak angket kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus penjualan tanker Pertamina. Padahal tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan. Kondisi yang sama terjadi dalam hak interpelasi. Dari sembilan hak interpelasi yang dibuat, hanya empat yang tuntas. Yakni, persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Ketiga, dalam konteks fungsi legislasi pun cukup menyedihkan. Sejumlah UU produk DPR menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat. Ada lima belas UU yang diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Memang tak dinafikan, secara kuantitatif terdapat sekitar 183 RUU dari 284 RUU Rencana Program Legislasi Nasional 2005-2009 yang sudah disahkan. Namun coba kita amati lagi secara mendalam, hampir separo dari RUU yang berhasil disahkan itu terkait dengan ratifikasi perjanjian internasional, pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, soal anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pengaturan soal pembentukan daerah otonom baru. Secara substansi belum menunjukkan kecemerlangan DPR karena sebagian besar RUU tadi masih berkutat pada hal-hal rutin dan formalistik. Dalam konteks legislasi ini, citra DPR pun masih diperparah dengan pembahasan RUU yang mengancam demokratisasi seperti RUU Rahasia Negara. Indikasinya, jika tidak terdapat penentangan yang luar biasa dari para tokoh nasional dan kalangan media massa, bukan mustahil “monster” atas nama rahasia negara itu disahkan di injury time masa bakti DPR.


Politik Dasamuka?

Kita tentu berharap DPR baru punya komitmen untuk menjaga kehormatan diri dan lembaganya.Wajah anggota DPR sebagai wakil rakyat yang melekat pada diri dan fungsinya harus benar-benar dihayati dan dikendalikan seoptimal mungkin. Bukan sebaliknya, para anggota DPR mempertontonkan praktik politik Dasamuka.Dalam dunia pewayangan, Dasamuka merupakan tokoh yang populer dengan nama Rakhwana. Dia adalah raja Alengka yang digambarkan sebagai sosok raksasa bermuka sepuluh lengkap dengan 20 tangan yang dimilikinya. Penggambaran itu menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas karena selalu ingin diposisikan sebagai kesatria besar. Nama “Rahwana” sendiri memiliki arti “(ia) yang raungannya dahsyat”. Watak politik Dasamuka bercirikan dominatif dan berupaya menempatkan kekuasaan secara penuh dalam kendalinya. Dalam cerita wayang, digambarkan bagaimana Rahwana berambisi menancapkan kekuasaannya di tiga dunia dengan melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura-rakshasa-dety-danawa), dan makhluk surgawi. Ciri lain politik Dasamuka adalah kerap tak mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam pencapaian keinginannya. Perilaku politiknya dikendalikan oleh kesombongan dan kemauan yang tak terbatas tadi. Penulis tidak mengharapkan perilaku anggota DPR baru seperti watak Dasamuka. DPR merupakan lembaga yang lahir dari rahim demokrasi. Sehingga sangat tidak tepat jika para anggota DPR mendominasi atau bahkan menyubordinasikan rakyat yang diwakilinya hanya karena sindrom kekuasaan. Salah satu bukti, mereka tidak berwatak dominatif, harus senantiasa terbuka untuk mau mendengar berbagai tuntutan dan dukungan yang berkembang di masyarakat. DPR bukan lembaga di bawah kekuasaan eksekutif, juga bukan di bawah partai politik, melainkan sebuah dewan terhormat yang semestinya bisa melahirkan berbagai kebijakan umum yang terhormat pula dengan perilaku yang seyogianya dibalut oleh nilai-nilai etis dan moralitas.


DPR ke Depan

Ke depan, anggota DPR, meminjam pendapat John Van Mannen dan Stephen Barley (1985:31-54), ada baiknya mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama, ecological context yang merupakan dunia fisik termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. Hal yang saatnya diubah segera oleh para anggota DPR baru dengan menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, DPR benar-benar menjadi simbol rumah rakyat. Domain kedua menyangkut jaringan atau interaksi deferensial. Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan check and balance melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Harapannya, partai besar yang kalah dalam Pemilu 2009, yakni Golkar dan PDIP, menjadi motor oposisi. Hanya saja melihat perkembangannya, kedua partai tersebut justru kian merapat ke lingkar kekuasaan dan bimbang menjadi kekuatan penyeimbang. Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baru, baik pribadi maupun kolektif, harus konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkokoh citra politik Dasamuka.***


Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta berikut ini: