Selasa, 18 September 2007

WAJAH RAMADHAN DI TELEVISI

Oleh : Gun Gun Heryanto*

(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO)

Suasana Ramadhan semarak kembali di tengah masyarakat. Bulan suci bagi umat Islam ini, selain menjadi momentum perbaikan diri untuk kembali ke jiwa yang fitri dalam perspektif agama, juga biasanya menghadirkan ritus tahunan yang mapan di tengah masyarakat. Ritus yang tak hanya menempatkan ibadah dalam ranah privat, melainkan juga telah melembaga dalam budaya populer sebagian besar masyarakat Indonesia. Wajar kiranya, jika gebyar Ramadhan telah hadir menjadi tradisi komunal yang sarat makna. Mulai dari pemaknaan religiusitas, komitmen sosial, hingga pemaknaan yang sifatnya ekonomis-pragmatis oleh sebagian kalangan.
Kemasan Ramadhan
Salah satu fenomena yang menarik kita perhatikan di hampir setiap bulan Ramadhan adalah semaraknya acara TV dengan berbagai kemasan (package) program bernafas agama. Mulai dari reality show, sinetron, talk show, komedi, ceramah keagamaan dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak yang dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadhan. Kesemarakan kian lengkap dengan hadirnya selebritis dalam paket kemasan tersebut.
Kenyataannya, kiprah stasiun-stasiun TV dalam menyemarakan Ramadhan masih banyak menuai kritik. Kerapkali tuduhan keras terlontar, bahwa TV hanya memanfaatkan Ramadhan sebagai ladang bisnis tahunan, tanpa mengkaji lebih dalam substansi Ramadhan itu sendiri. Menurut penulis, ada beberapa catatan penting dalam menilai posisi media massa termasuk TV dalam konteks Ramadhan.
Pertama, harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh dan berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Shoemaker (1991 :121), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan (Smythe, 1997 : 1). Stasiun-stasiun televisi komersil tentunya memakai logika berpikir yang sama dalam memaknai Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut.
Khalayak yang puas dengan pemakaian media akan berdampak pada kumulasi modal. Dimmick dan Rothenbuhler (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media yakni content, capital dan audiences. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula ratting program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat mamasang iklan pada program yang bersangkutan. Dalam konteks ini, tampilan media televisi yang kental dengan wajah industri tak bisa dipersalahkan.
Ramadhan sama halnya dengan momen perhelatan World Cup dan Euro Championship pada permainan sepakbola atau pun momen kampanye saat Pemilu. Sama-sama memiliki segmen khalayak yang jelas, yang dipersatukan oleh ideologi tertentu. Piala dunia dan Euro pada perhelatan sepakbola misalnya, dipersatukan oleh “ideologi kulit bundar”, kampanye di persatukan oleh ideologi politik, sementara Ramadhan dipersatukan ideologi agama. Momentum tersebut sama-sama membentuk basis massa dan segmen khalayak yang jelas bagi media.
Kedua, meskipun wajah industri nyata tergambar dalam gebyarnya paket Ramadhan di televisi, tak bisa dinafikan bahwa televisi menjadi entitas sosial yang sangat berpengaruh. Framing yang dikonstruksinya meminjam istilah Goffman ibarat kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas (dalam Alex Sobur, 2001: 62). Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas Ramadhan telah memungkinkan individu khalayak dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi serta memberi label. Dengan keperkasaannya sebagai institusi sosial yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan menjangkau khalayak luas, televisi tampil kian digandrungi.
Kiprah stasiun-stasiun televisi menonjolkan fenomena Ramadhan dalam konteks ini patut dihargai. Karena bisa jadi, exposure (terpaan) tentang Ramadhan membentuk dampak yang kuat karena media menerapkan prinsip konsonansi. Dalam literatur komunikasi massa, konsonansi diartikan sebagai isi informasi tentang sesuatu yang disampaikan oleh berbagai media massa yang relatif sama atau serupa. Kesamaan dalam hal materi isi, arah dan orientasinya termasuk juga dalam hal waktu, frekuensi dan cara penyajiannya. Berbagai stasiun TV yang rame-rame menanyangkan sinetron, talkshow, reality show, ceramah yang berbau Ramadhan seyogyanya tidak dapandang secara skeptis. Karena realitas simbolik tentang Ramadhan yang diusung TV, bisa menghadirkan suasana Ramadhan hingga ke ruang-ruang keluarga.
Substansi Program
Catatan kritis yang perlu penulis kemukakan adalah menyangkut kualitas program yang ditampilkan. Pertama, kualitas bahasa dan tindakan simbolis yang digunakan untuk menyimbolkan keagungan bulan Ramadhan seyogyanya terjaga. Jangan karena mengejar keuntungan tayangan, stasiun-stasiun TV terjebak pada model identifikasi mitis dan distansi alegoris. Identifikasi mitis artinya melebih-lebihkan kesatuan identitas Ramadhan, antara tindakan simbolis dengan apa yang disimbolkannya. Sementara distansi alegoris, justru mengkonstruksi realitas Ramadhan terlampau berbeda dengan substansinya, sehingga menyebabkan keterasingan Ramadhan dari hakekat yang sesungguhnya. Ramadhan cukup disimbolkan sebagai bulan evaluasi dan refleksi dalam peneguhan sosok manusia penyabar, peduli, memiliki komitmen sosial dan mampu mengendalikan dirinya. Sehingga khalayak dapat menyingkap simbol itu dan terpengaruh baik secara kognisi, afeksi maupun konasinya.
Kedua, harus ada perimbangan antara program yang bermuatan edukasi dengan yang entertainment. Dengan konsep dan inovasi kreatif serta didukung produksi yang baik, tentu bisa lebih menghadirkan kesemarakan Ramadhan di layar TV, tanpa mendistorsi muatan nilai yang terkandung di dalamnya. Kita memang tidak bisa menafikan keberadaan TV sebagai entitas industri. Mengutip Gordon, Smythe membagi tiga hal yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu indusri media. Yakni customer requirments, merujuk pada harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan. Competitive environment, yaitu lingkungan pesaing yang dihadapi perusahaan, dan terakhir social expectation yang berhubungan dengan tingkat harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Semakin tersedia program Ramadhan yang bagus, semakin beragam format acaranya dan semakin bagus kualitasnya, maka akan muncul kepuasan pada khalayak.
Memang kerapkali industri juga memiliki kelemahan. Diantaranya, industri media lebih berorientasi pada pemenuhan keinginan market sesuai dengan kriteria apa yang paling memungkinkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Kerap kali kita perhatikan, produk media pada paket acara Ramadhan bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan substansi Ramadhannya. Misalnya, cermah dan disuksi keagamaan di beberapa stasiun TV, justru diisi bukan oleh ahlinya, melainkan oleh selebritis yang dari ukuran komersial dianggap menguntungkan. Kalau pun ada kyai atau ustadz sesungguhnya, rumusannya adalah memakai kyai atau ustadz yang ngetop dan ngepop. Begitu juga dalam paket program buka puasa dan sahur, substansi acara keagamaan justru hanya menjadi pelengkap penderita. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dalam konteks industri kapitalis, produk media lebih merupakan mode of productions. Namun demikian, terlepas dari plus minusnya media dalam sistem industri, televisi tetap menjadi media massa yang dibutuhkan khalayak.


Daftar Rujukan
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, (1991), Mediating the Message : Theories of Influence on Mass Media Content, New York : Longman Publishing Group
Smythe, Dallas, (1997), Communication: blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol. I No.3
Dimmick, J and Rothenbuhler, E., the Theory of the Niche : Quantifying Among Media Industries, dalam Journal of Communication, Winter, 1984

Sobur, Alex, (2001), Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya

Minggu, 09 September 2007

Komunikasi Supra dan Infra Struktur Politik

Komunikasi Supra dan Infra Struktur Politik
(Studi Tentang Marketing Politik dalam Komunikasi Politik)

PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Termasuk dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju (1997 :115) apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding).
Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.
Tentu saja, komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan mendalam. Salah satunya berkaitan dengan market politik. Karena secara real, kehidupan politik saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mekanisme pasar. Berbagai gagasan dan kesepakatan dalam politik harus bernegosiasi di pasar.

PEMBAHASAN
Komunikasi Politik : Pendekatan Konsep
Merujuk pendapat Sumarno AP (1979 :30) bahwa studi Komunikasi Politik mencakup dua disiplin dalam Ilmu sosial yakni Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi. Lantas apa dan bagaimana sebenarnya substansi komunikasi politik itu ? Gabriel Almond (1960 : 45) berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kata-kata Almod sendiri : All of the funcions performed in the political system–political sosialization and recrutment, intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule application, and rule adjudication- are performed by means of communication.

Kutipan di atas menunjukan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya di jalankan. Keenam fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
Dari segi harpiah, komunikasi (communication) berasal dari kata latin communis yang berarti “sama” ( William I Gordon, 1978 : 28) atau communicare (Judy Pearson, 1979 :3) yang berarti membuat sama (to make common). Sementara politik diambil dari kata latin politicus dan Bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen, kedua kata tersebut berasal dari kata polis yang bermakna city (kota).
Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan (Jl Aranguren, 1967 : 11) atau saling berbagi infromasi, gagasan dan sikap (Wilbur Schramm, 1974 ). Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar Noer ( 1983 : 6) sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.
Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik mengkaji definisi komunikasi politik dari Maswadi Ra’uf (1993 : 32). Menurutnya, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan ini adalah salah satu dari kegiatan sosial yang dijalankan sehari-hari oleh warga masyarakat termasuk elit politik.
Dalam beberapa literatur, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi politik dengan demikian adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menugasai atau memperoleh kekuasaan.

Komunikasi Supra dan Infrastruktur Politik
Gejala komunikasi politik menurut Schudson sebagaimana dikuitp Dedy Djamaluddin Malik (1999:v), bisa dilihat dari dua arah. Pertama bagaimana institusi-institusi negara yang bersifat formal atau suprastruktur politik menyampaikan pesan-pesan politik kepada publik. Kedua bagaimana infrastruktur politik merespon dan mengartikulasikan pesan-pesan politik terhadap suprastruktur.
Yang pertama sering juga disebut dengan istilah the govermental political sphere, semantara yang kedua yang berada di struktur masyarakat disebut the socio political sphere. Penjabaran kedua fungsi di atas, pada tingkat struktur masyarakat akan terjadi proses sosialisasi dan edukasi yang dilakukan oleh asosiasi-asosiasi yang terdapat di dalam masyarakat. Proses sosialiasi itu sendiri pada hakekatnya adalah proses komunikasi. Sosialisasi politik yang merupakan trasmisi nilai-nilai politik adalah sama dan sebangun dengan proses komunikasi nilai-nilai politik. Sementara edukasi merupakan proses pendidikan untuk penyadaran hak-hak dan kewajiban politik masyarakat.
Sementara itu, komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah (suprastruktur) antaralain mencakup : pertama seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga; kedua upaya meningkatkan loyalitas dan integritas nasional; ketiga penerapan aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan dalam hidup bernegara; keempat mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masuk dalam suprastruktur politik sedangkan partai politik, kelompok kepentingan (interest group) media komunikasi politik dan sebagainya merupakan bagian dari infrastruktur politik.
Hal penting yang harus dilakukan dalam komunikasi politik adalah, pertama komunikasi menjadi cara atau teknik penyerahan tuntutan dan dukungan sebagai input dalam sistem politik. Misalnya dalam rangka artikulasi kepentingan. Kedua, komunikasi digunakan sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam rangka mobilisasi sosial untuk implementasi hubungan, memperoleh dukungan, kepatuhan dan integrasi politik. Komunikasi juga digunakan sebagai umpan balik (feed back) atas sejumlah output (kebijaksnaan pemerintah). Ketiga komunikasi menjalankan fungsi sosialisasi politik kepada warga negara. Keempat komunikasi menjalankan peran memberi ancaman (coertion) untuk memperoleh kepatuhan sebelum alat paksa digunakan, sekaligus hal ini juga memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan. Kelima komunikasi mengkoordinasikan tata nilai politik yang diinginkan , sehingga mencapai tingkat homogenitas yang relatif tinggi. Homogenitas nilai-nilai politik ini sangat menentukan stabilitas politik. Keenam, komunikasi sebagai kekuatan kontrol sosial yang memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik.
Penerapan komunikasi politik di suatu negara seperti di Indonesia, perlu dikembangkan terutama dalam rangka pertumbuhan sistem demokrasi. Caranya dengan meningkatkan kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk mengungkapkan aspirasi dan kepentingannya dan bagi kekuatan sosial-politik untuk menampung dan menyalurkan kebijakan-kebijakannya. Sehingga berkembang komunikasi timbal balik antara infrastruktur dengan suprastruktur . Pergantian dari pemerintahan otoriter dengan wataknya yang hegemonik dan otoriter ke pemerintahan demokrasi mau enggak mau harus membuka lebar kesempatan untuk sama-sama memainkan fungsi komunikasi politik dalam membangun demokrasi.

Urgensi Komunikasi Politik dalam Sistem Politik
Bagi David Easton sebagaimana dikutip Redi Panuju (1997:42-43), sistem politik tak lain dari bentuk interaksi yang diabstraksika dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai outoritatif dialokasikan kepada masyarakat. Interaksi antara struktur politik dalam suatu sistem politik ini dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komnikasi politik. Cara kerja sistem politik amat ditentukan oleh adanya suatu masukan (input) dari lingkungan, dan setelah melalui proses tertentu membentuk sejumlah output. Selanjutnya out put ini diberikan kembali kepada lingkungan, sebagai umpan balik (feed back). Input terdiri dari dukungan-dukungan (support) dan tuntutan-tuntutan (demands). Dukungan dapat terarah kepada pemegang kekuasaan (otoritas) . Sementara out put adalah kebijaksanaan pemerintah atau norma-norma dan produk yuridis yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan bersama.
Melalui komunikasi politik, rakyat memberi dukungan , menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui komunikasi politik rakyat dapat mengetahui apakah dukungan, aspirasi dan pengawasan itu tersalur atau tidak dalam berbagai kebijakan publik. Sedangkan bagi pemerintah komunikasi politik berguna bagi proses pembuatan atau penerapan dan pemutusan aturan-aturan. Dalam melihat komunikasi politik, Maswadi Ra’uf memberi ciri yakni adanya pandangan yang mengatakan bahwa arus komunikasi merupakan arus dua arah : ke bawah yakni dari penguasa politik/pemerintah kepada rakyat dan ketas yakni dari rakyat ke penguasa politik/pemerintah.
Yang menarik dari hubungan antara nilai-nilai outoritatif dan komunikasi politik adalah dalam implementasinya berupa bentuk-bentuk komunikasi politik. Ada dua bentuk komunikasi politik, yaitu : pertama, komunikasi politik yang cenderung mengambil (membentuk) posisi horisontal. Dalam komunikasi ini, posisi antara komunikator dan komunikan (masyarakat) relatif seimbang (saling memberi dn menerima) sehingga terjadi sharing. Bentuk komunikasi semacam ini mrefleksikan nilai-nilai demokratis.
Kedua, komunikasi politik yang cenderung membentuk pola-pola linear. Arus komunikasi (infromasinya) satu arah cenderung vertikal (top down). Bentuk komunikasi semacam ini merefleksikan nilai-nilai budaya feodalistik dan kepemimpinan otoriter. Urgensi komunikasi politik dalam sistem politik bahwa komunikasi adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Yakni berupa proses penyampain pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Komunikasi politik adalah proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya sedangkan keberhasilan penyampaian pesan-pesan dalam setiap fungsi ini menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi bersangkutan.
Seperti dikemukakan di atas, interaksi antara struktur politik dalam sistem politik dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komunikasi politik. Mengenai hal ini, Blumer dan Gurevitch (1995:5) menawarkan pendekatan sistem komunikasi politik. Menurutnya ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. (1) institusi politik dengan aspek-aspek komunikasinya; (2) institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya; (3) orientasi khalayak terhadap komunikasi politik; (4) aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik .
Tema-tema studi tentang komunikasi politik pada umumnya berkisar di seputar bagaimana peran komunikasi di dalam fungsi politik . Kesimpulan tersebut berangkat dari suatu pemikiran bahwa komunikasi adalah proses yang menyatu dengan gejala politik.

Marketing Politik
Satu hal lagi yang penting untuk dielaborasi berkaitan dengan posisi penting komunikasi politik seperti dibahas di atas adalah kaitannya dengan marketing politik. Bagaimanapun saat proses komunikasi terjadi di publik, selalu ada pertukaran pasar (exchange market) dan pertukaran nilai (exchange value).
Marketing menurut Bruce I. Newman (1999 : 3) adalah proses dimana perusahaan memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising , harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing barang biasa, melainkan produk politik berupa imeg politisi, platform, pesan politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang harapkan menjadi konsumen yang tepat.
Harga sebuah produk tidak secara langsung dapat dipakai dalam politik, karena hal itu baru sebuah proposisi nilai politisi yang sedang ditawarkan kepada warga dan pemilih. Kandidat tidak dijamin menang, tetapi beberapa kandidat dengan uang cukup dan strategi market yang benar merupakan jaminan audiens untuk mendengar apa yang dia harus katakan dan memiliki kesempatan besar meraih kemenangan.
Komunikator politik harus bisa meyakinkan bahwa dia atau orang diwakilinya merupakan pemimpin yang efektif. Ini adalah keyakinan untuk meraih kekuasaan yang dicita-citakan. Seorang ahli kampanye harus memiliki kemampuan merasakan denyut masyarakat sehingga bisa merespon opini publik. Presiden yang baik dalam kata lain, juga harus mampu memahami mood negara dan mampu menggerakan opini publik dalam pengaturan visi yang dia ciptakan, tidak hanya merespon secara depensif.
Dari Bisnis ke Politik
Menurut Bruce I. Newman (1993 : 36) terdapat dua perbedaan antara penggunaan marketing dalam bisnis dengan penggunaan marketing dalam politik. Pertama, terdapat perbedaan philosophi. Dalam bisnis, tujuannya adalah membuat suatu keuntungan, sebaliknya dalam politik tujuannya adalah suksesnya mekanisme demokrasi (sekurang-kurangnnya dalam negeri).
Kedua, dalam bisnis, implementasi hasil peneletian pasar seringkali diikuti, sebaliknya dalam politik philosophi politik candidat dapat berpengaruh besar dimana hal ini diikuti. Perbedaan antara bisnis dan politik tidaklah mencegah pelaku dua bidang ini menggabung dua market bersama-sama. Sebagai hasil, terdapat kesamaan yang kuat antara dua pasar. Pertama, keduanya menyandarkan diri pada penggunaan standar alat dan strategi pasar misalnya penelitian pasar, segmentasi pasar, targeting, posisi, pengembangan strategi dan pelaksanaan.
Kedua, pemilih dapat dianalisa sebagai konsumen dalam marketplace politik, pengunaan model yang sama dan teori dalam marketing yang digunakan untuk mempelajari konsumen dalam marketplace komersial. Ketiga keduanya berhubungan dalam marketpalce yang kompetitif dan membutuhkan pendekatan yang mirip untuk pengaturannya.
Dalam marketing baik bisnis maupun politik selalu ada Pengalaman gap serupa dalam diri pemilih. Pertama, gap berada antara pengharapan konsumen dan persepsi management mengenai harapan-harapan itu. Kedua, gap berada antara spesifikasi qualitas dan pengiriman layanan. Dalam kata lain, mungkin ada ketidakleluasaan yang melarang candidat dari pengantaran apa yang mereka rasakan menjadi kebutuhan vital pemilih. Ketiga, gap diantara persepsi managemen dan spesifikasi kualitas servis. Terakhir, gap eksis antara pengiriman servis dan komunikasi eksternal.

KESIMPULAN
Dari paparan di atas, nampak betapa pentingnya komunikasi politik karena kenyataanya komunikasi politik inheren dalam seluruh sistem politik. Mulai dari proses sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Dalam marketing politik komunikasi juga memainkan perannya secara signifikan, terutama berkaitan dengan pemasaran produk politik berupa imeg, platform, pesan politik dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA


Almond, Gabriel A, Introduction : A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond dan James S. Coleman (ed.), The Politics of the Developing Areas, (Princeton University, 1960)

Blumer, Jay G dan Michael Gurevitch , The Crisis of Public Communication, (London and New York : Routledge, 1995)

Gordon, I. William, Communication : Personal and Public (Sherman Oaks, CA : Alfred,1978)

Malik, Dedy Djamaluddin, Media Massa dan Krisis Komunikasi Politik, dalam Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik , (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999)

Newman, Bruce I., The Mass Marketing of Politics Democracy in An Age of Manufactured Images, (London New Delhi : Sage Publications, 1999)

Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali, 1983)

Panuju, Redi, Sistem Komunikasi Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997)

Person, Judy C dan Paul E Nelson, Understanding and Sharing : An Introduction to Speech Communication, (Dubuque, Lowa : Wm. C. Brown, 1979)

Ra’uf, Maswadi dan Mappan Nasrun (ed.), Indonesia dan Komunikasi Politik (Jakarta : PT. Gramedia, 1993)

Sumarno, AP., Dimensi-Dimensi Komuniksi Politik, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1979)

Schramm, Wilbur, How Communication Work, dalam Jean M Civikly (ed.) Message, (New York : Random House, 1974)