Minggu, 28 Desember 2008

PARADOKS LIPUTAN INFOTAINMENT




Oleh : Gun Gun Heryanto


Akhir tahun 2008 ini, ditutup dengan petaka bagi pencitraan para pesohor yang sedang “dikemas” oleh para pekerja infotainment. Di antara pesohor yang sedang diburu dari segala “penjuru mata angin” di penghujung tahun ini, adalah Marcella Zaliyanti, Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto. Nyaris tak ada yang kelewat, seluruh rincian fakta diramu dengan sejumlah asumsi dan berbagai framing yang kian memperkuat unsur dramatis realitas perilaku kekerasan yang ditudingkan kepada mereka. Sehingga, mereka terjerembab di titik nadir dari asumsi positif khalayak. Tentu, sepanjang tahun ini, tak hanya mereka yang menjadi sasaran bidik, deretan nama lain pun menjadi sumber “asupan” bagi bertahannya eksistensi tayangan infotainment di industri televisi maupun media cetak.

Jurnalisme Infotainment ?
Amati sejumlah judul yang dalam sekejap bisa meluluhlantakkan jejak rekam para pesohor tadi. Judul-judul dengan tulisan mencolok seperti “Ananda Jadi Debt Colector”, “Dari Bapalan Menjadi Preman”, “Artis Manis Berprilaku Bengis” merupakan sedikit contoh dari penanda dahsyatnya kemasan kata. Yang terjadi di liputan televisi lebih heboh lagi, tak hanya narasi yang menggiring, visualisasinya juga sudah menjadi vonis tersendiri sebelum hukuman pengadilan dijatuhkan. Terlepas dari apakah memang Marcella dan Ananda melakukan tindak premanisme, kepatutan untuk mengembangkan prinsip imparsialitas dan asas praduga tak bersalah sudah selayaknya menjadi pedoman para jurnalis. Itu pun jika para pekerja infotainment konsekuen dengan klaim bahwa mereka mengidentifikasi diri sebagai jurnalis.
Istilah para pekerja infotainment sengaja digunakan dalam konteks tulisan ini, mengingat masih menjadi suatu perdebatan, apakah peliput jagat hiburan dan para pesohor di ruang publik ini sebagai jurnalis ? Sehingga, muatan kerja mereka dapat kita kategorikan sebagai jurnalisme infotainment, atau mereka semata-mata pekerja hiburan yang sedang meminjam ranah peran para wartawan untuk legitimasi profesi di masyarakat.
Konsep infotainment mulanya dipopulerkan oleh para penggiat di Jhon Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Mereka bukan orang-orang yang bekerja untuk media, melainkan dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi mereka didukung oleh Center of Communication Program (CCP) yang bertugas mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah prilaku kesehatan masyarakat. Para pakar komunikasi di CCP termasuk Everet M Roger, merumuskan formula jitu metode penyampaian pesan, maka lahirlah konsep infotainment. Ini merupakan neologisme yang menggabungkan information dan entertainment. Basis utamanya adalah informasi, adapun hiburan disisipkan sebagai pancingan untuk memalingkan perhatian khalayak. Dengan demikian porsi terbesarnya tentu saja adalah informasi itu sendiri bukan hiburannya.
Saat infotainment diadopsi dalam kerja media massa, terjadi salah kaprah. Dimana infotainment dimaknai sebagai informasi tentang hiburan. Sehingga, hiburan menjadi fokus dan kerapkali makna substantif dari sebuah informasi direduksi. Misalnya dengan dramatisasi fakta, dugaan berlebihan, penggiringan opini, liputan yang sepihak serta sejumlah standar etika lainnya yang telah diabaikan secara sadar.
Faktanya, hingga saat ini kecendrungan tayangan infotainment makin meningkat. Bahkan, bagi stasiun-stasiun televisi seolah menjadi bagian utuh dari the logic of accumulation and ecxlusion . Ini merupakan tesis pemikiran Douglas Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan siaran televisi lebih banyak diatur “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan hak akumulasi modal sebebas-bebasnya.
Dalam penelitian Agus Maladi (2007), tercatat jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode. Sementara menurut data yang dimiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari), dan tahun 2007 menjadi 15 jam sehari atau lebih dari 210 episode dalam seminggu. Tahun 2008, tayangan jenis ini bukannya menyurut melainkan kian menjadi-jadi. Acara semacam Was-was, Check and Recheck, Go Spot, Insert, Hallo Selebriti, Kasak-Kusuk dan sejumlah nama tayangan sejenis mengepung ruang keluarga dengan menu gosip hangat seputar kehidupan para pesohor. Melihat kecendurungan kerja liputan infotainment di berbagai stasiun televisi kita, berat rasanya mengakategorikan infotainment sebagai bagian dari kerja jurnalistik. Terjadi paradoks antara kerja jurnalistik yang seharusnya berdasarkan fakta dan independensi, dengan infotainment yang mengusung semangat bergosip.

Common Storyteller
Tak dapat disangkal bahwa televisi menjadi penyampai dari sekian ragam informasi publik yang menghubungkan satu generasi ke genarasi. Kekuatan audio visualnya, di level tertentu mampu menghadirkan suatu ”dunia” yang tadinya di luar khalayak menjadi tergambar dalam pikiran mereka. Peran sebagai common storyteller mampu menghadirkan realitas, meski hanya realitas absurd sekali pun.
Peran penting dalam konteks ini terkait dengan pembentukan opini publik. Media massa membingkai ”realitas ada” menjadi menonjol dalam perhatian publik, sehingga merangsang khalayak untuk melakukan respon aktif. Opini publik sejak diteliti secara serius oleh Walter Lipman pada Perang Dunia I hingga sekarang, senantiasa memiliki empat karakter, yakni merupakan respon aktif masyarakat, dikonstruksi, menyumbang citra dan yang terpenting terkait dengan isu–isu yang memiliki dampak luas bagi khalayak. Ketika berbicara kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, korupsi di sebuah instansi dan contoh-contoh lain yang sejenis, tentu saja hal-hal tersebut dapat kita simak hubungannya dengan hajat hidup orang banyak yang mengaksesnya. Berbeda dengan saat media menginformasikan pacar, selingkuhan serta prosesi kawin-cerai para selebritis tidak memiliki dampak apa pun, kecuali hiburan semata-mata. Infotainment tak akan hilang, oleh karenanya khalayak mesti memiliki pilihan selektif dan mulai berpikir untuk tidak kecanduan infotainment.

Selasa, 23 Desember 2008

KONTESTASI CITRA KAUM IBU


Oleh : Gun Gun Heryanto


Kota Bandung, memiliki kenangan sejarah yang lekat dengan momentum peringatan Hari Ibu. 70 tahun lalu, tepatnya 22 Desember 1938, dalam Konggres Wanita Indonesia (Kowani) ke-3 di Bandung, menyepakati tanggal tersebut sebagai Hari Ibu. Tujuannya tentu saja mulia, yakni menjaga semangat kebangkitan kaum ibu Indonesia secara terorganisir hingga bisa bergerak di ruang publik sejajar dengan kaum laki-laki. Inilah langkah simbolik kaum ibu meretas jalan panjang kesejarahan dalam peringatan yang diformalkan. Sejarah Hari Ibu, dapat ditelusuri dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan konggres pada tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda yakni 1928 di Yogyakarta.

Perjuangan Identitas

Organisasi perempuan sebenarnya sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Namun, baru pada 22-25 Desember 1928 itulah, para aktivis kaum ibu berkonggres di Yogyakarta yang di kemudian hari kita mengenalnya sebagai Konggres Wanita Indonesia (Kowani) pertama. Hadir kurang lebih 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra yang telah menjadi partisipan. Mereka berkumpul dan mempersatukan organisasi-organisasi wanita tersebut ke dalam sebuah wadah perjuangan guna menunjukkan identitas dan spirit berjuang untuk sejajar dengan kaum laki-laki. Melihat potensi kaum ibu yang luar biasa inilah, Presiden Soekarno, sempat mengeluarkan Dekrit No. 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan Hari Ibu sebagai Hari Nasional meski pun tidak termasuk ke dalam kalender hari libur nasional.
Jika kita amati dari berbagai catatan sejarah, dapat kita katakan Hari Ibu ini merupakan simbol dari perjuangan identitas. Yakni, identitas kaum ibu sebagai bagian utuh warga negara yang sama halnya dengan kaum pria, bisa memberikan kontribusi bagi perjuangan negeri ini. Sebelum kemerdekaan Kowani ikut terlibat dalam pergerakan internasional guna memalingkan perhatian warga dunia akan keberadaan Indonesia dan terlibat juga dalam perjuangan kemerdekaan. Begitu pun setelah kemerdekaan digapai, upaya tersebut terus berlanjut. Misalnya saja, tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW) sebuah dewan konsultatif yang menjadi salah satu dewan berpengaruh di Perserikatan Bangsa-bangsa. Jika Hari Kartini dicatat sebagai perjuangan identitas RA Kartini sebagai individu, maka Hari Ibu merupakan perjuangan identitas dari gerakan emansipasi yang lebih luas yakni kaum ibu nusantara.

Kontestasi Citra

Dalam realitas sosial saat ini, ada sejumlah fakta yang menunjukkan masih perlunya gerakan kaum ibu untuk memberdayakan perannnya di masyarakat. Ambil saja beberapa contoh fakta sebagai bahan refleksi. Misalnya, fakta yang disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Aksara Internasional ke-43, di Denpasar, Bali, Senin (8/9/2008). Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara pada akhir Agustus 2008 sebanyak 10,16 juta atau (6,62 persen). Dari jumlah itu, sebanyak 65 persen atau 6,6 juta di antaranya adalah kaum perempuan. Begitu pun kondisi yang terjadi di dunia, berdasarkan data dari Global Monitoring Report (2006), terdapat 771 juta orang buta aksara di seluruh dunia, sebanyak 72,7 persennya adalah perempuan. Fakta lain, meski berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816, atau 51 persen dari jumlah penduduk, namun ternyata jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2004, hanya 9 persen dari 550 kursi. Wajar jika 101 juta lebih perempuan Indonesia terabaikan oleh kebijakan DPR yang tidak sensitif terhadap isu perempuan. Bentuk diskriminasi itu bisa dilihat dari sedikitnya produk perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan.
Memang Hari Ibu tak cukup hanya menjadi rutinitas peringatan simbolik, melainkan harus mengartikulasikan secara lebih substantif dan strategis dari gerakan kaum ibu di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, hingga saat ini terjadi kontestasi citra kaum ibu di mata khalayak luas. Sebuah pertarungan identitas yang akan menunjukkan wajah positif atau negatif kaum ibu kita. Kontestasi itu paling tidak masih tergambar jelas di tiga bidang.
Pertama, gerakan emansipasi kerap mendapat kendala besar dari pola budaya patriarki. Posisi perempuan yang selalu dianggap wajar dan seharusnya berada dalam subordinasi dan superioritas kaum laki-laki. Tradisi budaya feodal dan pelembagaan ”keakuan” kaum laki-laki dalam cara pandang yang salah tentang budaya ketimuran, telah memosisikan kaum ibu dalam wilayah veriperal. Kedua, kesadaran kaum ibu untuk berdaya juga harus berkontestasi dengan cara pandang dan interpretasi masyarakat terhadap ajaran agama yang mereka yakini. Banyak kasus, upaya menafsirkan kitab suci, tidak diimbangi sensitivitas gender. Sehingga, kebenaran mutlak dari prilaku skripturalisme yang ekslusif dan tidak membuka ruang dialog menempatkan kaum ibu kian terpojok. Ketiga, kontestasi juga terjadi di realitas simbolik media. Kampanye untuk menjadikan kaum ibu memiliki citra mandiri, sejajar dengan kaum pria dan mampu, kerap direduksi oleh media massa. Kita bisa mengamati banyak acara televisi atau tulisan di media cetak yang menempatkan perempuan sebagai objek atau korban dari prilaku diskriminatif. Misalnya saja di berbagai sinetron, kebanyakan sinetron yang kejar tayang di televisi kita mempertontonkan perempuan sebagi biang gosip, lemah, cengeng, bergantung pada laki-laki, nerimo, hedonistik, dan konsumtif atau gaya glamour khas metropolitan. Tidak hanya sinetron tapi juga dalam reality show, news, atau talkshow yang memosisikan perempuan dalam lakon marginal. Tentu, jika kita menginginkan perempuan yang kian berdaya dalam peran-peran sosial mereka, maka ketiga ranah kontestasi tadi harus lebih memberi tempat pada peran substantif gerakan emansipasi sehingga pencitraan kaum ibu kian positif. Hari Ibu hanya akan menjadi sebuah seremonial yang tak bermakna jika kontestasi selalu memosisikan kaum ibu dalam ketidakberdayaan.

Jumat, 12 Desember 2008

PERANG CITRA DAN LITERASI POLITIK


Oleh : Gun Gun Heryanto


(Telah Dimuat di Harian SINDO, Jum'at 12 Desember 2008)


Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini, segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009. Berbagai manuver, intrik, managemen konflik serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan memanas. Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye, menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004, memberi kesempatan para kandidat baik capres, caleg maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tuna kuasa tanpa literasi politik yang memadai.

Puncak Perang Citra


Kampanye politik di tahun 2008 memang masih relatif adem-ayem. Para penampil yang akan berebut kekuasaan seolah sadar, bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Dana dan energi disiapkan untuk menggarap massa di waktu yang nantinya berdekatan dengan perhelatan pesta demokrasi. Lima target bidikan waktu selama 2009 tentu telah dihitung dan dianalisis secara seksama. Pada 9 April, akan ada pemungutan suara untuk Pemilu legislatif baik di level DPR, DPRD dan DPD. Perebutan RI-1 dan RI-2 putaran pertama dijadwalkan 6 Juli, sementara putaran kedua jika diperlukan akan digelar pada 21 September. Mereka yang menjadi pemenang dalam pemilu, akan dilantik pada 1 Oktober untuk para anggota legislatif sementara RI-1 dan wakilnya akan ditahbiskan pada 20 Oktober 2009.
Selain target bidikan waktu tadi, jumlah kursi yang tersedia pun menjadi bahan berhitung dalam konstelasi politik yang berkembang. Perang terbuka diprediksi akan berjalan sengit, karena Pemilu langsung menyediakan jumlah kursi yang terbatas. 18.442 kursi akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk di list calon tetap. 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR dan 132 kursi DPD. Begitu pun menyangkut nahkoda negeri ini, hanya sepasang saja yang nantinya dipilih. Wilayah perebutan kekuasaan tadi, mendorong seluruh kandidat untuk all out menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai amunisi perang citra.
Dalam Konggres XIV Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) baru-baru ini di Bandung, terdapat prediksi bahwa Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif membuat potensi iklan politik di seluruh media berkisar antara 8 hingga 10 triliun. Jika mengacu pada peredaran uang di industri periklanan nasional selama tahun 2008 yang berkisar di angka 20 triliun bersih, berarti ada potensi peningkatan yang signifikan.
Sebuah prosesi perang citra tentu saja tidak murah. Pertama, industri pencitraan telah mengakomodasi kandidat sama halnya dengan produk komersial lainnya. Potensi “jualan” yang akan mengenalkan atau meneguhkan brand, berada dalam arus putaran M-C-M (money-commodity-more money). Kedua, di antara saluran-saluran dalam komunikasi politik, media massa menjadi sarana kampanye yang ampuh menjadi peneguh dalam konteks bauran promosi (promotions mix) yang menggunakan pendekatan bidirectional campaign. Pendekatan ini memanfaatkan secara sinergis exposure media massa dengan segala variannya sekaligus juga saluran-saluran konvensional yang sudah mapan berada di masyarakat. Saluran komunikasi politik lain yang dimaksud yakni, saluran face-to-face informal yang menekankan pada loby dan negosiasi, struktur sosial tradisional yang menekankan pada posisi orang dalam suatu hirarki pengaruh, saluran input yang mengoptimalkan hubungan dengan kelompok-kelompok infrastruktur politik yang biasanya memberikan masukan ide, gagasan, tuntutan serta dukungan kepada suprastruktur politik. Terkahir, adalah saluran out put, biasanya dilakukan dengan mengawal perjalanan lahirnya berbagai perundang-undangan dan implementasinya. Dengan demikian perang ini dilakukan di saluran legislatif dan birokrasi.

Kebutuhan Literasi Politik


Pemilu 1999 dan 2004, menunjukkan perang citra melalui media massa telah menjadi trend positif dalam sistem politik nasional. Ini merupakan salah satu hasil dari proses reformasi. Setiap warga negara berhak mengekspresikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politiknya, tanpa harus takut berbenturan dengan politik korportif negara. Sayang, kedua Pemilu tersebut, masih sangat didominasi oleh motif tradisional dan motif rasional-bertujuan. Motif tradisional banyak dipengaruhi lingkungan keluarga, suku, ras atau etnis. Sementara motif rasional-bertujuan, berbasis kepentingan pragmatis individu untuk memperoleh kekuasaan, meski dengan cara apa pun. Baik motif tradisional yang berada di dimensi historisitas berjenjang maupun motif rasional-bertujuan yang berbasis pragmatisme, sama-sama memfasilitasi politik dalam arus yang linear. Yakni, mengalir dari the leadership public atau elit opini ke publik berperhatian (the attentive public) lalu ke masyarakat awam (general public). Jika alur seperti ini juga terjadi di Pemilu 2009, maka dapat diprediksi kalau Pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang transformasional.
Solusi paling tepat dalam membentuk pemilih rasional di Indonesia adalah gerakan literasi politik. Gerakan ini semestinya massif dilakukan oleh pemerintah, partai politik, interest and pressure group serta media massa. Awalnya term literasi ini, populer digunakan di bidang studi dokumen (perpustakaan) dan informasi. Information Literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, President of The Internationl Industry Association. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai orang-orang yang terdidik di dalam mengaflikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. Senada dengan itu, The American Library Association (1996) juga mendefinisikan information literacy sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah.
Literasi kemudian tidak dimaknai secara sempit dalam perspektif studi teks tetapi juga dalam kognisi sosial dan konteks sosial, yakni tumbuhnya masyarakat rasional dan terdidik (educated society). Literasi politik dalam konteks Pemilu dipahami sebagai kemampuan warga masyarakat untuk mendifiniskan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal Pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya. Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan, mensintesakan serta membuat jejaring (network) pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka. Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan literasi politik. Dengan demikian, semestinya kampanye tidak semata-mata mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan untuk menjadi rasional voter.

Rabu, 10 Desember 2008

PESAN PROFETIK KURBAN


Oleh : Gun Gun Heryanto

Prosesi kurban dalam penggalan sejarah yang dialami Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail tak semata persitiwa masa lalu yang kehilangan konteks kekinian. Realitas kenabian (prophetic reality) tentang kurban, seolah menjadi tiang pancang dari proses pencerahan umat manusia akan arti sebuah pengorbanan dalam realitas yang kerap berwajah paradoks. Realitas ibarat sebuah panggung pentas drama yang manyajikan lakon kebaikan dan keburukan, kepatuhan dan pengingkaran, kepedulian dan keangkuhan. Saat akal merasionalisasikan segala hal, ternyata fenomena paradoks di titik tertentu sampai pada titik kebuntuan dan mengharuskan kita secara sadar melakukan pencerahan (iluminasi) melalui titik ketuhanan (God’s spot). Kurban di satu sisi merupakan representasi dari prilaku kepasrahan untuk taat dalam kebulatan tauhid, di sisi lain merupakan manifestasi dari kesalehan sosial untuk peduli pada sesama.

Titik Ketuhanan
Peristiwa kurban yang digambarkan dalam al-Qur’an surat Ash-Shafaat ayat 100-111, memberikan beberapa hikmah pembelajaran, yang tidak semata teologis tapi juga mengandung muatan sosiologis. Pertama, pembelajaran dari Nabi Ibrahim dan Ismail tentang makna sebuah pengorbanan dan ketaatan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun, beliau sangat menghendaki seorang putra. Dengan sungguh-sungguh Ibrahim berdo’a “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh" (QS, 37:100).
Saat Ibrahim dikarunia putra bernama Ismail dari istri keduanya Siti Hajar yang berasal dari Mesir, Ibrahim diuji untuk kehilangan orang yang dicintainya karena perintah Allah SWT. Dalam suatu riwayat, saat itu Ismail kira-kira berusia 6-7 tahun. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ash Shaffaat ayat 102 : "Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu " Ia menjawab: "hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Proses dialog antara bapak dan anak tersebut, menunjukkan bahwa mereka berdua sanggup menafikan ego alami manusia untuk luruh dalam titik ketuhanan. Mimpi berulang-ulang yang diyakini sebagai ru’yal haq menghantarkan laku spiritualitas Ibrahim dan Ismail di level teologis tertinggi yakni kebulatan tauhid. Meskipun, saat mereka mampu melampaui ujian itu, Allah telah menggantikan posisi Ismail dengan binatang kurban.
Kedua, pembelajaran juga dapat kita petik dari keteguhan jiwa Siti Hajar. Saat itu Nabi Ibrahim diberi ujian oleh Allah, agar meninggalkan istrinya, Siti Hajar, di tengah padang pasir dan diperintahkan menemui istri pertamanya, Siti Sarah, yang tinggal di Yerussalem. Siti Hajar dan Ismail hanya dibekali beberapa potong roti dan sebuah guci berisi air. Pada saat mereka kehabisan makanan dan air, Siti Hajar melihat di Bukit Sofa dan Marwah ada air yang ternyata hanyalah fatamorgana. Prosesi berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah hingga berulang tujuh kali, menunjukkan pengorbanan Siti Hajar untuk menjaga Ismail yang diamanatkan kepadanya. Pengorbanan itu pun, telah Allah jawab dengan menunjukkan kemukjizatan berupa keluarnya air yang dikemudian hari dikenal sebagai air zam-zam.
Prophetic Reality
Prosesi sejarah kurban yang diceritakan dalam al-Qur’an tersebut, bisa kita sebut sebagai pesan profetik (prophetic message). Yakni sebuah pesan yang melampaui teologi (beyond teological) dan bernuansa transformatif dalam sebuah ranah realitas sosial yang objektif. Kurban tidak saja bermakna sebuah ritual ibadah tapi juga solusi masalah sosial yang kongkrit. Term profetik dikenalkan oleh Ilmuan sekaligus Budayawan Kuntowijoyo lewat gagasannya “Ilmu Sosial Profetik” yang dilontarkannya dalam buku Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Sebenarnya kalau dirunut, gagasan Kuntowijoyo terinspirasi oleh pemikiran Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Substansi dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia.
Ide penting Iqbal adalah tentang “kesadaran kreatif” (creative consciousness), artinya, realitas “perjuangan” para nabi yang membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. Sementara ide penting Roger Geraudy yakni seputar “filsafat kenabian” (filsafat profetika) sebuah pemikiran yang melihat bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu, telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif.
Sebuah pesan profetik, tentunya mampu mentransformasikan ajaran wahyu menjadi sarana liberasi (pembebasan), emansipasi (penguatan peran), dan transendensi (keimanan). Pertama, kurban mengandung pesan pembebasan, dalam konteks bagaimana umat manusia mampu berkurban dengan segala kemampuan dirinya untuk berbuat baik serta membebaskan orang-orang di sekelilingnya dari berbagai situasi tuna kuasa. Relasi kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kerap menimbulkan situasi subordinatif bagi orang lemah, miskin, dan tak memiliki sumberdaya. Kedua, bagaimana kurban menjadi sarana emansipasi. Artinya, kurban menjadi katalisator produktivitas dan fungsionalisasi peran. Berkurban tidak dalam dimensi berserah diri yang fatalisme, malainkan menumbuhkan solidaritas sosial yang memecahkan masalah (problem solving). Seperti kokohnya jiwa Siti Hajar saat mati-mati berkorban bolak-balik berlari antara bukit sofa dan Marwah. Solidaritas sosial yang menjadi inti pesan kurban, seyogyanya mengarahkan pada peran-peran individu di masyarakat berbasis semangat komunitarian atau semangat ke-kita-an. Ketiga, pesan transendensi. Dalam hal ini, kurban memfasilitasi peneguhan kepercayaan akan pentingnya membangun komunikasi dengan Allah dalam kesadaran irfani. Dalam konteks ini, kesadaran irfani dimaknai sebagai pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan, sebagai bagian esoteris (batin) manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT. Seperti digambarkan dalam kebulatan tauhid Nabi Ibrahim saat diperintahkan untuk mengorbankan Ismail.