Selasa, 23 Desember 2008

KONTESTASI CITRA KAUM IBU


Oleh : Gun Gun Heryanto


Kota Bandung, memiliki kenangan sejarah yang lekat dengan momentum peringatan Hari Ibu. 70 tahun lalu, tepatnya 22 Desember 1938, dalam Konggres Wanita Indonesia (Kowani) ke-3 di Bandung, menyepakati tanggal tersebut sebagai Hari Ibu. Tujuannya tentu saja mulia, yakni menjaga semangat kebangkitan kaum ibu Indonesia secara terorganisir hingga bisa bergerak di ruang publik sejajar dengan kaum laki-laki. Inilah langkah simbolik kaum ibu meretas jalan panjang kesejarahan dalam peringatan yang diformalkan. Sejarah Hari Ibu, dapat ditelusuri dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan konggres pada tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda yakni 1928 di Yogyakarta.

Perjuangan Identitas

Organisasi perempuan sebenarnya sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Namun, baru pada 22-25 Desember 1928 itulah, para aktivis kaum ibu berkonggres di Yogyakarta yang di kemudian hari kita mengenalnya sebagai Konggres Wanita Indonesia (Kowani) pertama. Hadir kurang lebih 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra yang telah menjadi partisipan. Mereka berkumpul dan mempersatukan organisasi-organisasi wanita tersebut ke dalam sebuah wadah perjuangan guna menunjukkan identitas dan spirit berjuang untuk sejajar dengan kaum laki-laki. Melihat potensi kaum ibu yang luar biasa inilah, Presiden Soekarno, sempat mengeluarkan Dekrit No. 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan Hari Ibu sebagai Hari Nasional meski pun tidak termasuk ke dalam kalender hari libur nasional.
Jika kita amati dari berbagai catatan sejarah, dapat kita katakan Hari Ibu ini merupakan simbol dari perjuangan identitas. Yakni, identitas kaum ibu sebagai bagian utuh warga negara yang sama halnya dengan kaum pria, bisa memberikan kontribusi bagi perjuangan negeri ini. Sebelum kemerdekaan Kowani ikut terlibat dalam pergerakan internasional guna memalingkan perhatian warga dunia akan keberadaan Indonesia dan terlibat juga dalam perjuangan kemerdekaan. Begitu pun setelah kemerdekaan digapai, upaya tersebut terus berlanjut. Misalnya saja, tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW) sebuah dewan konsultatif yang menjadi salah satu dewan berpengaruh di Perserikatan Bangsa-bangsa. Jika Hari Kartini dicatat sebagai perjuangan identitas RA Kartini sebagai individu, maka Hari Ibu merupakan perjuangan identitas dari gerakan emansipasi yang lebih luas yakni kaum ibu nusantara.

Kontestasi Citra

Dalam realitas sosial saat ini, ada sejumlah fakta yang menunjukkan masih perlunya gerakan kaum ibu untuk memberdayakan perannnya di masyarakat. Ambil saja beberapa contoh fakta sebagai bahan refleksi. Misalnya, fakta yang disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Aksara Internasional ke-43, di Denpasar, Bali, Senin (8/9/2008). Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara pada akhir Agustus 2008 sebanyak 10,16 juta atau (6,62 persen). Dari jumlah itu, sebanyak 65 persen atau 6,6 juta di antaranya adalah kaum perempuan. Begitu pun kondisi yang terjadi di dunia, berdasarkan data dari Global Monitoring Report (2006), terdapat 771 juta orang buta aksara di seluruh dunia, sebanyak 72,7 persennya adalah perempuan. Fakta lain, meski berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816, atau 51 persen dari jumlah penduduk, namun ternyata jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2004, hanya 9 persen dari 550 kursi. Wajar jika 101 juta lebih perempuan Indonesia terabaikan oleh kebijakan DPR yang tidak sensitif terhadap isu perempuan. Bentuk diskriminasi itu bisa dilihat dari sedikitnya produk perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan.
Memang Hari Ibu tak cukup hanya menjadi rutinitas peringatan simbolik, melainkan harus mengartikulasikan secara lebih substantif dan strategis dari gerakan kaum ibu di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, hingga saat ini terjadi kontestasi citra kaum ibu di mata khalayak luas. Sebuah pertarungan identitas yang akan menunjukkan wajah positif atau negatif kaum ibu kita. Kontestasi itu paling tidak masih tergambar jelas di tiga bidang.
Pertama, gerakan emansipasi kerap mendapat kendala besar dari pola budaya patriarki. Posisi perempuan yang selalu dianggap wajar dan seharusnya berada dalam subordinasi dan superioritas kaum laki-laki. Tradisi budaya feodal dan pelembagaan ”keakuan” kaum laki-laki dalam cara pandang yang salah tentang budaya ketimuran, telah memosisikan kaum ibu dalam wilayah veriperal. Kedua, kesadaran kaum ibu untuk berdaya juga harus berkontestasi dengan cara pandang dan interpretasi masyarakat terhadap ajaran agama yang mereka yakini. Banyak kasus, upaya menafsirkan kitab suci, tidak diimbangi sensitivitas gender. Sehingga, kebenaran mutlak dari prilaku skripturalisme yang ekslusif dan tidak membuka ruang dialog menempatkan kaum ibu kian terpojok. Ketiga, kontestasi juga terjadi di realitas simbolik media. Kampanye untuk menjadikan kaum ibu memiliki citra mandiri, sejajar dengan kaum pria dan mampu, kerap direduksi oleh media massa. Kita bisa mengamati banyak acara televisi atau tulisan di media cetak yang menempatkan perempuan sebagai objek atau korban dari prilaku diskriminatif. Misalnya saja di berbagai sinetron, kebanyakan sinetron yang kejar tayang di televisi kita mempertontonkan perempuan sebagi biang gosip, lemah, cengeng, bergantung pada laki-laki, nerimo, hedonistik, dan konsumtif atau gaya glamour khas metropolitan. Tidak hanya sinetron tapi juga dalam reality show, news, atau talkshow yang memosisikan perempuan dalam lakon marginal. Tentu, jika kita menginginkan perempuan yang kian berdaya dalam peran-peran sosial mereka, maka ketiga ranah kontestasi tadi harus lebih memberi tempat pada peran substantif gerakan emansipasi sehingga pencitraan kaum ibu kian positif. Hari Ibu hanya akan menjadi sebuah seremonial yang tak bermakna jika kontestasi selalu memosisikan kaum ibu dalam ketidakberdayaan.

Tidak ada komentar: