Sabtu, 30 Januari 2010

100 HARI TANPA IMPRESI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 27 Januari 2010)


Fase 100 hari pertama kinerja pemerintahan SBY-Boediono berakhir pada 28 Januari ini. Meski tak ada kewajiban konstitusional untuk melaporkan pertanggungjawaban fase ini,SBYBoediono terikat tradisi untuk mematut diri dengan mengevaluasi performa pemerintahannya kepada publik.

Inilah episode krusial bagi nakhoda Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II dalam hubungannya dengan pemberi mandat kekuasaan, yakni rakyat Indonesia. Rentang 100 hari adalah penanda bagi pilihan mana yang lebih dominan dalam pergulatan antara kesungguhan atau kelalaian, akselerasi atau stagnasi, kemajuan atau kemunduran.

Inilah situasi yang oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam tulisannya di buku Relating Dialogues and Dialectics (1996) digambarkan dapat menghadirkan dialektika relasional. Situasi ini dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika sekaligus indikator untuk mengukur performa pemerintahan.

Iritasi Politik

Laju sebuah pemerintahan baru memang belum pas jika kita nilai dengan pendekatan dualistik (dualistic approach) antara gagal atau sukses, antara dilanjutkan atau diberhentikan. Banyak sudut pandang yang saling menandingi satu sama lain dalam setiap kontradiksi di antara kutub-kutub tersebut. Namun,dalam perspektif komunikasi politik, kita bisa menilai impresi dari proses yang berlangsung.

Dalam konteks inilah tampak jelas di mata publik bahwa 100 hari pemerintah SBY-Boediono nyaris tanpa impresi sama sekali. Impresi menjadi sangat penting dalam perjalanan awal sebuah pemerintahan karena hal ini akan menumbuhkan harapan, dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantongi saat Pemilu 2009.Impresi memiliki kontribusi besar bagi bangunan persepsi khalayak atas orientasi pemerintahan SBY-Boediono di kemudian hari.

Lantas mengapa banyak pihak tak merasakan impresi meyakinkan dari performa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono? Paling tidak kita bisa menemukan tiga alasan utama dalam konteks ini.

Pertama, bingkai 100 hari yang dikemas dalam kinerja sejumlah kementerian telah gagal memalingkan perhatian khalayak.Meskipun pemerintah mengklaim program kerja 100 hari telah terpenuhi dengan sukses, kenyataannya program- program 100 hari tersebut telah tertutupi oleh hiruk-pikuk pemberitaan di ranah hukum dan politik.

Sejumlah isu seperti skandal kasus Century, misteri kasus Antasari Azhar,kriminalisasi Bibit- Chandra, penanganan Anggodo sangat lekat dalam perhatian publik. Hal ini sekaligusmenempatkanprogram 100 hari pemerintahan hanya sebatas di wilayah pinggiran. Publik sulit menemukan program apa yang menonjoldaripemerintahsehingga menjadi kebanggaan atas performa kinerja SBY-Boediono.

Kedua,munculnya gejala disonansi kognitif yang kian menguat di tengah masyarakat. Publik semula mengharapkan SBY mampu menjadi pemimpin yang kuat dan transformasional. Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan politik yang diambil SBY banyak yang tidak sesuai dengan harapanharapan publik.Misalnya saat SBY menyusun kabinet, publik kecewa karena mereka yang dipilih sebagai pembantu presiden lebih mencerminkan dominannya politik transaksional dibandingkan pembentukan zaken kabinet. Inkonsistensi logis pun terjadi di sejumlah isu lain. Misalnya, ketidaktegasan SBY terhadap pencatutan namanya oleh Anggodo dalam rekaman yang diungkap MK, pernyataan kontroversial soal kriminalisasi kebijakan, penetapan beberapa wakil menteri yang mengundang pertanyaan, serta sejumlah masalah lain.

Menurut Leon Festinger dalam Cognitive Dissonance Theory, disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi.Kondisi tidak nyaman yang dirasakan masyarakat ini pun merangsang berbagai elemen masyarakat untuk mengkritisi pemerintah dengan harapan munculnya hubungan konsonan.

Sayangnya, hal ini pun kerap dicurigai atau disikapi secara protektif oleh pemerintah sehingga mengesankan pemerintah mengalami fobia terhadap berbagai ekspresi kekecewaan publik tersebut. Hal ini tergambar misalnya dari kecurigaan SBY terhadap berbagai demonstrasi yang mulai merebak di Tanah Air.

Ketiga,manuver sumir yang dilakukan SBY di pengujung fase 100 hari kian menunjukkan langkah pemerintah yang tidak elegan. SBYBoediono telah mengadakan per-temuan dengan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara, yakni MPR, DPR,DPD,BPK,MA,MK,dan KY, Kamis (21/1).Pertemuan tersebut membawa pesan kuat bahwa pemakzulan (impeachment) bukanlah sesuatu yang relevan bagi eksistensi SBY-Boediono. Langkah ini tidak elegan dalam konteks keterjagaan independensi lembaga tinggi negara di mata rakyat.Bagaimanapun institusi seperti MK dan MA misalnya tidaklah tepat berada dalam forumyangsangatpolitissepertiitu.

SBY-Boediono seharusnya lebih percaya diri, terlebih pemerintahannya kini telah membangun koalisi besar di parlemen.Jika kita kembali ke UUD 1945 (hasil amendemen),di Pasal 7B secara jelas disebutkan bahwa pemakzulan presiden/wakil presiden harus didu-kung 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Dengan demikian, pemakzulan ini sangat kecil kemungkinan terjadi pada SBYBoediono jika dia mampu mengonsolidasikan mitra koalisinya di DPR.

Ketiga faktor tadi telah mengakibatkan iritasi politik pada fase awal pemerintahan SBY-Boediono.Tentu, iritasi ini bisa mengundang virus atau merangsang timbulnya penyakit yang lebih parah jika tak diatasi dengan tepat dan segera.

Performa Komunikatif

Fase 100 hari yang miskin impresi ini berpengaruh pada performa komunikatif SBY-Boediono. Hal ini terlihat dari menurunnya tingkat kepuasan masyarakat atas kepemimpinan SBY sejak terpilih Agustus lalu.Meminjam data hasil Survei Indo Barometer pada 8–18 Januari 2010, tingkat kepuasan masyarakat terhadap SBY turun 15%,yakni menjadi 75% dari hasil survei Agustus 2009 sebesar 90%.

Hal ini tentu saja semestinya menjadi peringatan dini (early warning) bagi eksistensi pemerintahan SBY-Boediono. Dalam konteks inilah perbincangan mengenai performa menjadi penting.Menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo dalam tulisannya Communication and Organizational Cultures(1982), performa merupakan metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan prilaku manusia dalam sebuah organisasi.

Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan,yakni citra dan agenda kerja.Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas eksistensi pemerintahan SBY dengan segala macam atributnya,sementara agenda terkait dengan program kerja nyata saat ini dan ke depan. Secara lebih terperinci ada beberapa performa yang seyogianya diperhatikan oleh SBY-Boediono.

Pertama, performa ritual menyangkut semua hal yang dilakukan SBY-Boediono dan mesin birokrasi yang dikendalikannya secara rutin. Ritual personal, tugas, sosial maupun organisasional harus mengacu pada perubahan yang nyata dan memberi kesan kuat kepada publik.

Kedua, performa sosial, yakni menyangkut kesantunan dalam mendorong kerja sama di antara pemerintah dengan masyarakat. Rakyat tak mungkin mau bekerja sama dengan pemerintah jika selalu dituduh, dicurigai, atau dipaksa untuk masuk ke dalam pengendalian kekuasaan atas nama stabilitas.

Ketiga, performa politis, yakni menyangkut cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Pemerintahan SBY kini telah diberi mandat kekuasaan hingga 2014. Berbagai praktik mempertahankan kekuasaan haruslah mengacu pada cara-cara yang komunikatif. Konsolidasi birokrasi yang memadai, sosialisasi kebijakan publik yangcukup,sertaupaya meminimalkan cara-cara represif dan mengutamakan cara-cara persuasif. Keempat, performa enkulturasi,yakni pemerintahan SBY-Boediono mampu memfasilitasi warga negara untuk tumbuh kian kuat dan berdaya serta semakin sadar akan hak-hak sipil politik mereka.(*)

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300521/

ETIKA KOMUNIKASI PANSUS


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Pikiran Rakyat, 23 Januari 2010)



Hal krusial di luar ranah hukum dan politik yang kini bergulir bak pola panas di Pansus Century ialah persoalan etika komunikasi. Sejak Pansus dibentuk hampir semua pengonsumsi media massa mendapat menu harian serupa yakni “reality show” bercitarasa senayan. Forum pemeriksaan saksi untuk mengungkap kasus Century, sejak awal berbalut intrik, ketegangan serta perdebatan dari hal yang substansial hingga artifisial. Di tengah gegap-gempitanya isu ini, mulai terasa ada hal yang mengusik keadaban publik terutama menyangkut etika komunikasi yang dipertontonkan secara langsung dari Pansus yang terhormat tersebut.


Ada dua konteks mengapa kita perlu berbicara soal etika terkait dengan proses komunikasi yang berlangsung di Pansus Century.


Pertama, seluruh rapat pansus yang menghadirkan para saksi disiarkan secara live oleh media terutama televisi dan radio. Konsekuensinya dinamisasi dalam forum akan ditonton atau didengar oleh jutaan orang Indonesia dari segala usia dan berbagai lapisan masyarakat. Siaran langsung seperti ini merupakan kemajuan bagi demokrasi informasi di negeri kita. Masyarakat pun bisa mengikuti perkembangan kasus Century ini dari hari ke hari secara leluasa. Oleh karena sifat rapatnya yang terbuka dan disiarkan secara langsung inilah, maka seyogianya para anggota Pansus pun mematut diri untuk memerankan tugas dan fungsinya secara cerdas, kritis, elegan, beretika dan saling menghormati.


Kedua, anggota Pansus sejatinya merepresentasikan diri sebagai wakil rakyat dengan segala atribut yang melekat pada mereka. Ini merupakan amanat yang harus dijalankan dengan penuh pemahaman dan penghayatan. Sebagai komunikator yang mewakili hak-hak sipil politik konstituennya, setiap anggota Pansus, dari manapun partainya, sepatutnya menempatkan penghormatan atas status yang disandangnya itu. Tidak semata penting dalam konteks pencitraan diri komunikator, melainkan juga dalam penguatan peran lembaga di mata rakyat.


Dalam praktiknya, sejumlah indikasi mengarah kuat pada minimnya penghormatan anggota Pansus terhadap etika berkomunikasi. Hal ini bisa kita amati dalam tiga hal.


Pertama, proses produksi pesan verbal dan non verbal yang tidak relevan bahkan kontraproduktif dengan kehormatan anggota dewan serta tugas dan fungsi Pansus. Misalnya, kata-kata sepeti “bangsat”, “setan”, “kodok”, atau bentakan dan hardikan kasar di luar substansi persoalan membuat kita terperanjat dan bertanya dimanakah letak keadaban publik mereka. Tak hanya kata-kata verbal, banyak pula bahasa non verbal yang nyinyir, merendahkan bahkan bernuansa SARA dalam konteks tempat di mana pesan non verbal itu diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak.


Kedua, ada indikasi bahwa pemeriksaan para saksi telah berubah peran menjadi introgasi terdakwa. Tidak ada yang salah jika setiap anggota Pansus menelisik berbagai data, fakta atau opini dari para saksi dengan cerdas dan kritis. Berbagai elaborasi diperkenankan guna memperkaya verifikasi data atau mengonfirmasi fakta dari saksi berbeda. Akan tetapi, seyogianya mereka juga menghormati status dan kehormatan para saksi di mata publik. Saksi juga punya hak untuk menegosiasikan kehormatan mereka di forum Pansus. Inilah yang kita maksudkan sebagai keadaban publik untuk membangun civil society tanpa terjebak pada prilaku tirani opini.


Kita setuju siapapun yang bertanggungjawab atas karut-marut Century wajib ditindak, tetapi kita juga mesti menempatkan forum pansus secara proporsional. Pansus bukanlah forum pengadilan lebih-lebih penghakiman bagi para saksi termasuk bagi mereka yang dindikasikan terlibat sekalipun. Agresivitas verbal sebagian besar anggota Pansus terlihat dominan mengarah pada minimnya penghargaan atas proporsionalitas forum tadi. Mengurai fakta secara kritis, tidak selalu diperankan dengan cara-cara menghakimi apalagi jika sampai ke tahapan abuse of power dengan menggiring opini terlebih jika opini. Terlebih, jika opini yang dibentuk mengarah pada hidden agenda kelompok politiknya semata.


Valensi Pelanggaran


Lunturnya etika komunikasi di rapat-rapat pansus yang disiarkan secara langsung kepada publik, bisa menjadi satu di antara variabel munculnya pelanggaran harapan. Meminjam asumsi teori pelanggaran harapan (expectancy violation theory) dari Judee Burgoon yang menyatakan bahwa ketika norma-norma komunikasi dilanggar, maka pelanggaran tersebut dapat dipandang positif atau negatif tergantung pada persepsi si penerima. Valensi menurut Burgoon dan Hale dalam Nonverbal Expectancy Violations (1998) melibatkan pemahaman atas pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi.


Jika kita mengikuti berbagai suara publik yang terekam di media massa, milis group, dan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, maka tentu kita akan bisa menangkap jelas bahwa telah muncul valensi pelanggaran (violation valence) berbentuk interpretasi dan evaluasi negatif terhadap etika komunikasi yang dipraktikkan sebagian anggota Pansus.


Sebaliknya saat menghadapi saksi tangguh seperti Marsilam Simanjuntak, sebagian besar anggota Pansus nampak kikuk, kurang percaya diri bahkan tak mampu mengembangkan forum yang biasanya “galak”. Ini bukan sekedar kalah jam terbang seperti dinyatakan Bambang Soesatyo, tetapi lebih pada kebiasaan Pansus untuk menempatkan diri mereka sebagai komunikator yang superior. Akibatnya, kerapkali mereka lalai bahwa kecerdasan forum tidak tercermin dari kengototan melainkan dari kedalaman elaborasi. Proses Pansus yang mengindahkan etika komunikasi, akan menjadi pendidikan politik bagi publik.


*** Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute


Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:

Sabtu, 16 Januari 2010

HATTA DAN PAN


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dimuat di Republika, 11/1/2010)



Kongres ke-3 Partai Amanat Nasional (PAN) di Batam, 7-9 Januari, berakhir antiklimaks. Hatta Rajasa yang telah diprediksi menang, akhirnya melenggang ke tampuk pimpinan partai berlogo matahari ini tanpa ronde final. Dengan kemenangan aklamasi karena Dradjad Wibowo mengundurkan diri, resmi sudah obsesi Hatta menakhodai PAN dalam masa jabatan 2010-2015.


Sebuah momentum strategis bagi Hatta dalam penguasaan dan pengendalian alokasi kekuasaan, baik di level internal partai maupun di lingkar kekuasaan eksekutif yang saat ini telah digenggamnya. Hal ini sekaligus menjadi investasi politik Hatta guna menyiapkan diri menghadapai musim peralihan generasi kepemimpinan nasional yang akan terjadi di Pemilu 2014.


Modal politik


Kemenangan Hatta dalam kontestasi politik dengan Dradjad Wibowo mudah diprediksi jauh-jauh hari. Hatta bukan lawan sepadan bagi Dradjad, karena dia mengantongi sejumlah modal politik yang jauh melampaui rivalnya itu. Paling tidak kita bisa mengidentifikasi 4 modal politik Hatta hingga memenangi rivalitas tanpa puncak pertarungan.


Pertama, Hatta memiliki sumber daya otoritatif (authoritative resource ). Saat ini, Hatta tak sekadar menjabat sebagai menko perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, melainkan juga orang yang punya akses langsung dan sangat dipercaya SBY. Hal ini bisa kita lihat dari dominannya peran Hatta saat menjadi ketua Tim Sukses SBY di Pilpres 2009, serta dalam penentuan siapa saja calon menteri yang diundang ke Cikeas. Dengan demikian, Hatta adalah representasi dari kekuasaan yang sejatinya memang menjadi magnitude tersendiri bagi elite partai untuk memandatkan kursi PAN-1 kepadanya.


Kedua, Hatta memiliki sumber daya alokatif ( allocative resources ). Hal ini terkait dengan kepiawaian Hatta dalam melobi, mengembangkan jejaring, serta mendistribusikan kekuatan PAN. Peran ini dapat kita lihat saat Hatta menjadi tandem Amien Rais selama menjabat sekjen PAN maupun saat dia berjibaku memenangkan pasangan Amien-Siswono pada Pemilu 2004. Begitupun saat dia menjadi investasi politik PAN di kabinet SBY jilid pertama. Peran sebagai pelobi ulung, telah menempatkan Hatta dalam jaringan yang luas. Hal ini pula yang secara berbarengan menjadi titik lemah Dradjad Wibowo. Pola komunikasi Dradjad yang kerap agresif dan oposisional dianggap oleh banyak elite PAN tidak menguntungkan bagi bulan madu koalisi dengan SBY.


Ketiga, Hatta memiliki sumber daya finansial ( finansial resources ) di atas Dradjad. Indikator kasat matanya dapat kita lihat dalam strategi marketing politik Hatta melalui media massa. Dia begitu perkasa saat melakukan perang citra melalui above line media dengan jumlah yang masif. Penetrasi dilakukan Hatta hampir ke seluruh media besar, baik televisi, koran, majalah, radio, maupun internet. Hal ini seolah menjadi sinyal bahwa sumber finansial tak menjadi kendala bagi kubunya.


Keempat, Hatta mengantongi dukungan politik dari Amien Rais dan SBY. Secara formal, Amien memang tak eksplisit mendukung Hatta, namun konteks sebelum dan sesudah kongres jelas menunjukkan bandul politik Amien lebih mengarah ke kubu Hatta. Inisiator PAN ini tak disangkal lagi merupakan variabel penting bagi Hatta, sama seperti berartinya Amien bagi kemenangan Soetrisno Bachir pada kongres sebelumnya.


Selain faktor Amien, juga terdapat hubungan saling menguntungkan antara SBY dengan Hatta. SBY tentu memiliki kepentingan melakukan pengendalian kekuasaan hingga tahun 2014 melalui mitra loyalis seperti Hatta. Sementara bagi Hatta sendiri, dukungan SBY penting untuk investasi politik dalam pengalokasian power pada saat ini maupun saat mendatang. Rivalitas pemilihan ketua umum PAN kali ini sesungguhnya adalah pertarungan antara kubu yang pro dan kontra terhadap kekuasaan SBY.


Penstrukturan adaptif


Naiknya Hatta sebagai ketua umum PAN, melahirkan sikap skeptis dari banyak pihak. Keraguan terhadap kepemimpinan Hatta lima tahun ke depan bukan pada kemampuan manajerial keorganisasian, melainkan lebih pada keterikatan yang sangat kuat antara Hatta dengan kekuasaan.


Kemenangan Hatta adalah kemenangan kelompok pro kekuasaan dan mereka sangat mungkin menciptakan penstrukturan adaptif yang menempatkan PAN dalam subordinasi penguasa. Penstrukturan adaptif dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip oleh West dan Turner dalam buku Introducing Communication Theory (2008) ialah bagaimana institusi sosial, seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.


Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat mengubah struktur yang telah ada dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan yang baru. PAN secara historis lahir dari rahim reformasi, dan secara keorganisasian elite pendukung utamanya kebanyakan kaum intelektual kritis.


Seiring dengan berakhirnya fase kepemimpinan Amien Rais, aura PAN sebagai partai reformis pun perlahan tapi pasti meredup dan mulai diselimuti oleh politik transaksional pragmatis sebagai konsekuensi dari pilihan berkoalisi dengan SBY-JK (2004-2009). Namun demikian, di era Sutrisno Bachir kemandirian PAN secara organisatoris masih cukup terjaga.


Hal ini dikarenakan ketua umum masih konsekuen tak merangkap jabatan di lingkaran kekuasaan eksekutif maupun legislatif meskipun PAN mengalokasikan SDM ke beberapa pos kabinet. Situasi seperti saat Sutrisno memimpin, memungkinkan relasi kuasa antara para politisi PAN dengan penguasa berada dalam proses refleksivitas.


Proses ini, menurut Poole, Seibold, dan McPhee dalam buku Communication and Group Decision-Making (1986), merujuk pada kemampuan para aktor untuk memonitor tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas itu didasarkan pada aturan masa lalu yang dimiliki dan dikembangkan PAN, yakni bagaimana menjaga jati diri partai sebagai partai mandiri dan reformis.


Kini, nakhoda PAN adalah seorang pembantu presiden. Dalam banyak hal, tentu akan ada penstrukturan adaptif baru yang menempatkan PAN dalam pengarusutamaan kekuasaan SBY sebagai istilah lain dari posisi subordinat. Meski Hatta dan pendukungnya kerap menyatakan PAN akan tetap mandiri dan reformis, namun produksi dan reproduksi kuasa yang dimiliki individu-individu akan berada dalam kerangkeng berbagai praktik politik oligarki pemerintahan SBY.


Contoh konkret, pascakontrak politik mendukung SBY-Boediono, langkah politik PAN di Pansus Century tampak gamang. Kegamangan ini diprediksi akan kian menjadi-jadi tatkala ketua umum PAN jelas-jelas pembantu presiden dan harus membagi konsentrasi antara mengurusi partai dengan mengordinasikan bidang ekonomi di kabinet yang membutuhkan energi sama besarnya.


Paling tidak ada ada tiga agenda ke depan yang mesti dijawab oleh Hatta. Pertama, memperjelas kembali orientasi partai berbasis jati diri sebagai partai tengah yang demokratis, bersih, reformis, plural, serta mewakili kemajemukan masyarakat Indonesia, sebagaimana dirumuskan di awal pendirian partai ini. Hendak dibawa ke mana PAN lima tahun ke depan?


Kedua, bagaimana Hatta menempatkan pola relasi kaum intelektual kritis di tengah adaptasi partai dengan kekuasaan. Kelahiran PAN dimotori sejumlah intelektual, seperti Amien Rais, Toety Herati, Gunawan Muhammad, Albert Hasibuan, Zumrotin, serta Kristoforus Sindhunata. Faisal Basri berikutnya muncul menjadi satu di antara intelektual partai yang kerap bersuara kritis. Belakangan, ada Dradjad Wibowo yang telah sukses memerankan diri sebagai wacthdog .


Kaum intelektual kritis, semakin hari semakin tak mendapatkan tempat memadai di tubuh PAN, sehingga menjadi agenda penting untuk memperjelasnya kembali. Ketiga, Hatta sebaiknya menentukan sikap jelas, apakah dia hanya akan fokus mengurusi PAN atau mempraktikkan loyalitas ganda sebagai nakhoda partai sekaligus pembantu penguasa. Jika pilihan kedua yang diambil, identitas PAN lima tahun ke depan jelas memasuki senja kala citra politiknya.


Tulisan ini bisa diakses di web Republika:

MEMBACA MODEL KOMUNIAKSI GUS DUR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Jogja, Jum'at 8/1/2010)



Satu hal lain yang menarik dari sosok Gus Dur sebagai tokoh sekaligus aktor politik sangat berpengaruh di ranah politik Indonesia kontemporer adalah model komunikasi politik yang dipraktikkannya. Gus Dur ibarat oase di tengah gersanganya komunikasi para elit negeri ini. Di saat kebanyakan elit politik kita nyaris seragam didominasi oleh budaya high context culture yang ditandai dengan politik harmoni, Gus Dur justru kerapkali hadir dengan gayanya yang di luar mainstream. Banyak pesan yang diproduksi Gus Dur, menghadirkan kedalaman wacana dan mengundang minat untuk menjadi perbincangan publik. Komunikasi penuh warna ala Gus Dur tidak sekedar memenuhi formalitas kehadiran sang tokoh di ranah publik, melainkan juga kaya dengan bahan diskursus mulai dari warung kopi hingga kajian ilmiah di berbagai kampus maupun pusat-pusat studi.


Model Interaksional


Model komunikasi pertama yang dominan dipraktikkan Gus Dur adalah model interaksional. Model ini, menempatkan diri komunikator dalam posisi sejajar dengan komunikator lain sehingga terjadi interplay yang demokratis dalam kuadran komunikasi saling memberi dan menerima. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya.


Membaca Gus Dur ibarat skenario cerita yang diwarnai oleh interaksi aktor di banyak kejadian tidak terduga. Hal ini pula, yang membuka peluang bagi munculnya multitafsir atas berbagai gaya yang ditampilkan Gus Dur. Misalnya, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidakcocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaannya dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku dalam berkomunikasi politik.


Sikap politik Gus Dur yang lentur, menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Pada Pemilu 2004, saat dirinya tidak lolos menjadi calon presiden akibat persyaratan yang dibuat KPU, Gus Dur memilih untuk Golput. Secara bersamaan dia juga merestui pasangan Wiranto-Solahuddin untuk didukung kaum Nahdliyin.


Dengan tegas Gus Dur menyatakan tidak akan bekerjasama dengan Megawati karena dianggap telah melakukan kesalahan konstitusional. Namun, lagi-lagi Gus Dur melakukan hal yang tak terduga. Setelah Pilpres putaran pertama yang berlangsung 5 Juli 2004 menempatkan SBY-JK dan Megawati-Hasyim sebagai pasangan kandidat yang akan maju ke putaran ke dua, Gus Dur dengan sangat santai kembali bertemu dan berdialog dengan Megawati. Begitupun sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain seperti Amien Rais dan SBY. Meski kerapkali bersebrangan dan saling mengkritik, secara pribadi Gus Dur tetap bisa berhubungan baik dengan kedua tokoh ini.


Model interaksional juga dipraktikkan Gus Dur dalam membangun semangat pularisme dan multikulturalisme. Dia membangun komunikasi yang harmonis dengan banyak tokoh dan komunitas lintas agama, lintas etnis bahkan lintas ideologi. Melindungi kelompok minoritas tidak hanya dalam retorika tetapi juga dalam berbagai aktivitas dan kebijakan nyata baik saat dia di luar maupun di dalam kekuasaan. Tidak banyak tokoh muslim kontemporer yang mampu menjembatani pluralisme di level aksi, terlebih di hal-hal tertentu yang kontroversial dan bertentangan dengan mainstream.


Gus Dur telah sukses mengomunikasikan ajaran Islam damai dan rahmat bagi semesta alam dalam sebuah pemahaman bersama (mutual understanding) melalui penguatan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di tengah menguatnya radikalisme atas nama agama termasuk jaringan terorisme yang kian aktual di Indonesia dan dunia, Gus Dur tidak bosan-bosanya memerankan diri sebagai pembawa pesan bahwa inklusivisme Islam adalah keharusan.


Model Transaksional


Satu hal lagi yang tidak bisa kita nafikan saat membaca komunikasi politik Gus Dur adalah model transaksional. Gus Dur adalah satu diantara aktor politik yang banyak memberi pelajaran berharga mengenai bagaimana seharusnya kita menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan sosial politik kita di tengah lingkungan yang kian kompetitif. Gus Dur kerap membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk yang oleh sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif.


Bagi Gus Dur, mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng adalah hal yang lumrah, meski terhadap kelompok mayoritas sekalipun. Kita tentu ingat, bagaimana kegigihan Gus Dur memperjuangan demokratisasi meski harus berhadapan dengan tembok kekuasaan Orde Baru. Melalui berbagai ceramah, tulisan, sentilan joke dan lain-lain Gus Dur menjadi salah satu pengkritik utama pemerintahan Soeharto. Secara


Secara umum ada dua kecenderungan komunikasi yang dilakukan Gus Dur dalam mengimplementasikan model transaksional ini. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik yang mengharuskan penerima pesan mengurai sendiri substansi maknanya. Komunikan harus menduga dan memberi tafsir, daripada menangkap penjelasan maknanya secara langsung. Misalnya beberapa tahun lalu, Gus Dur menyebut inisial “ES” sebagai dalang kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Sebuah upaya mengalihkan sekaligus meminimalisir konflik horisontal di masyarakat yang kian eskalatif dan membahayakan ratusan nyawa, ke konflik di level elit.


Kedua, kebiasaan Gus Dur untuk membawa ranah perdebatan pada topik-topik dan kebijakan kontroversial. Misalnya saat Gus Dur melindungi Ahmadiyah, berbagai cercaan dan perdebatan mengemuka. Di berbagai kesempatan, Gus Dur justru tampil konsisten dan berani berdebat mengapa kelompok Ahmadiyah layak dia dibela.


Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Sehingga kalau kita perhatikan, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai dikursus di ruang publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini. Komunikasi politik Gus Dur menekankan pada pengordinasian tata nilai politik yang diinginkan, sehingga mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa. Hingga saat ini, masih banyak orang yang tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan dan diartikulasikan oleh Gus Dur. Sehingga, bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan muncul asumsi bahwa dia adalah simbol ketidakkonsistenan.


Gus Dur memang identik dengan gaya komunikasi verbal agresif. Hal ini bisa diamati dari kebiasaanya menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar, namun demikian biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan nilai luhur. Misalnya, karena Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhkan terapi kejut bagi orang dan kekuatan politik tertentu yang tidak lagi memerhatikan etika dan aturan politik yang disepakati.


Gus Dur adalah sebuah fenomena, tokoh dengan sejuta makna dari komunikasi politik yang telah dicatatkannya dalam perjalanan negeri ini. Giliran kita memaknai fenomena tersebut, hingga kita memahami substansi pesan di balik komunikasi yang telah disumbangkan Gus Dur untuk rakyat di negeri ini.***

SALAH KAPRAH "INFOTAINMENT" INDONESIA


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini Telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Kamis 31/12/2009)



Infotainment akhir-akhir ini kembali menuai kontroversi. Ada dua hal yang menarik kita cermati dari polemik tersebut. Pertama, terkait fatwa haram infotainment dari Pengurus Pusat Muhammadiyah baru-baru ini yang serupa dengan fatwa hasil Musyawarah Ulama NU pada Juli 2006. Kedua, kontroversi para pekerja infotainment melalui PWI yang menjerat Luna Maya dengan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), khususnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 setelah Luna curhat dalam akun microblog Twitter, Rabu (16/12).


Mengapa Muhammadiyah dan NU satu suara mengharamkan infotainment? Kedua organisasi besar ini menganggap infotainment banyak mengandung fitnah dan ghibah. stilah para pekerja infotainment sengaja digunakan dalam konteks tulisan ini, mengingat masih perdebatan panjang apakah peliput jagat hiburan ini sebagai jurnalis? Begitupun muatan kerja mereka, apakah dapat dikategorikan sebagai jurnalisme infotainment, ataukah mereka semata-mata pekerja hiburan yang sedang meminjam ranah peran para wartawan untuk legitimasi profesi ini di masyarakat.


Konsep infotainment awalnya dipopulerkan oleh para penggiat di Jhon Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Mereka bukan orang-orang yang bekerja untuk media, melainkan dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi mereka ini didukung oleh Center of Communication Program (CCP) yang bertugas mengomunikasikan pesan-pesan kesehatan ke masyarakat.


Para pakar komunikasi di CCP termasuk Everet M Roger merumuskan formula jitu penyampaian pesan yang mereka namakan infotainment. Ini merupakan neologisme yang menggabungkan information dan entertainment. Basis utamanya adalah informasi, adapun hiburan disisipkan sebagai pancingan untuk memalingkan perhatian khalayak. Dengan demikian porsi terbesar dalam formula tersebut tentu saja adalah informasi itu sendiri bukan hiburan.


Saat infotainment diadopsi untuk kebutuhan industri media massa kita, terjadilah salah kaprah. Infotainment dimaknai sebagai informasi tentang dunia hiburan, lebih khusus lagi seputar para selebritas dan pesohor lainnya. Unsur hiburan menjadi fokus utama, sementara makna substantif dari sebuah informasi kerapkali direduksi. Misalnya melalui publikasi yang oleh Paul Jhonson dalam tulisannya The Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997) ditandai oleh banyaknya tindakan yang masuk kategori Seven Deadly Sins. Ketujuh hal yang membahayakan itu ialah distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, menggangu privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan.


Faktanya, hingga saat ini kecendrungan tayangan infotainment makin meningkat. Bahkan, bagi stasiun-stasiun televisi program ini seolah menjadi bagian utuh dari logika akumulasi keutungan. Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) menyebutnya sebagai the logic of accumulation and ecxlusion. Ada kecenderungan siaran televisi lebih banyak diatur “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan akumulasi modal sebebas-bebasnya. Sebagian besar dari tayangan tersebut memang tidak layak dikategorikan produk jurnalistik karena banyak melanggar etika dan UU Pokok Pers No.40 tahun 1999.


Yang merisaukan adalah, tindakan PWI mengadukan Luna ke polisi dengan jerat UU ITE. Penggunaan pasal karet ini dikawatirkan menjadi penanda sepihak bahwa ranjau kebebasan pers di UU ITE ini sudah bisa diterima oleh para pekerja media. Padahal, faktanya banyak jurnalis yang menolak keras bahkan menginginkan yudisial review. Jika jerat ini tetap dipasang, maka tentu akan menjadi rujukan di kemudian hari bagi penguasa atau siapapun yang kepentingannya merasa terganggu untuk menggunakan pasal serupa.


Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.


Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat: