Rabu, 22 September 2010

MENYOAL RUMAH "BANGSAWAN" SENAYAN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 07/09/2010)

Kita sudah lama mengenal pemberian label tempat para anggota DPR bekerja sebagai rumah rakyat. Bahkan anggota DPR pun kerap disebut dengan penghormatan mulia sebagai wakil rakyat. Pelabelan yang sejatinya merujuk pada fungsi-fungsi yang seharusnya mereka perankan dalam laku demokrasi yang telah menjadi pilihan.

Namun sebentar lagi, jika DPR tetap memaksakan kehendak untuk membangun gedung baru yang megah dan mewah maka label rumah rakyat sebaiknya kita turunkan dan kita ganti dengan label rumah bangsawan , sekaligus kita tahbiskan mereka sebagai Dewan Perwakilan Bangsawan (DPB). Hal ini untuk memperjelas apakah legislatif kita, merupakan lembaga perwakilan yang sensitif dengan rakyat atau semata mengembangkan respek dan kuasa di antara sesama elit.

Versi Locke

Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan.

Dengan demikian perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Saat itu, konteksnya raja atau ratu berkuasa kerap sewenang-wenang mengambil tanah, peternakan, kastil dan lain-lain milik para bangsawan sehingga mereka membutuhkan pelindung untuk mengamankan status kepemilikan mereka. Dalam konteks itulah, dewan atau lembaga perwakilan mereka butuhkan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.

Sementara dalam perspektif Secondat de Montesquieu yang dikenal dengan nama Montesquieu dalam maha karyanya Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia. Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat. Sehingga, lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tentu ada perbedaan mendasar dalam kedua versi tersebut, versi Locke nampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR kita mengacu pada konsep Trias Politika-nya Montesquieu. Hal ini kita buktikan dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing-masing. Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos Parliamentary Threshold (PT). Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Bahkan ke depan angka PT ini rencananya akan ditingkatkan lagi.

Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni sebagai perwakilan bangsawan.Sejumlah hal yang kini diperjuangakan DPR nyaris kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau menyejahterkan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah atas yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.

Kita bisa menyebut sebagai contohnya adalah usulan dan pembahasan dana aspirasi yang berganti casing dengan dana dapil, rumah aspirasi, transaksi dalam pembuatan atau revisi sejumlah perundang-undangan, hingga pembangunan gedung baru DPR sebagai realisasi syahwat kaum elit bukan kehendak nyata rakyat yang konon diwakilinya.

Inilah logika terbalik dari peran dan fungsi anggota DPR. Seharusnya, mereka peka menyerap dan mewakili kepentingan rakyat, nyatanya tak mau peduli atas aspirasi rakyat. Andai kategori kelas sosial tertinggi dalam masyarakat pra-modern seperti pernah ada pada masyarakat sistem feodal di Eropa masih berlaku hingga sekarang, maka tak keliru jika kita mengkategorikan para anggota DPR pro pembangunan gedung baru yang megah dan mewah ini sebagai kaum bangsawan yang tak rela sejajar dengan kejelataan rakyat di sekitarnya.

Monumen Keangkuhan

Meski mendapatkan penentangan keras dari berbagai pihak, rencana pembangunan gedung baru DPR tetap melenggang. Gedung baru yang terdiri dari 36 lantai plus tiga lantai basement ini akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti landasan pendaratan helikopter (halipad), kafetaria, minimarket, apotik, restoran, tempat spa, fitness center, tempat pijat, dan kolam renang. Dana rakyat yang digelontorkan untuk keinginan ambisius para “bangsawan” Senayan ini pun fantastis, 1,162 triliun! Lengkap sudah keinginan mereka untuk membangun gedung baru yang akan menjadi monumen keangkuhan para anggota dewan.

Sudah pada tempatnya jika rakyat Indonesia mengatakan tidak pada rencana ini. Banyak faktor yang seharusnya dipertimbangkan agar rencana ini ditinjau ulang bahkan dihentikan. Pertama, faktor pemborosan uang rakyat di tengah situasi negara dan bangsa yang hingga kini masih terpuruk. Pada bulan April 2010, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada acara Musrembangnas di Hotel Bidakara, Jakarta, memprediksi utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp1.878 triliun atau meningkat dibandingkan posisi awal hutang tahun ini yang hanya di kisaran Rp1.600 triliun. Tentu ada beban berat bagi APBN kita untuk mencicil kurang lebih 100 trilun per tahun.

Seharusnya, yang dilakukan para elit kita di DPR ini adalah melakukan efisiensi anggaran, bukan sebaliknya menghamburkan uang hanya untuk kepuasan dan kemewahan segelintir orang. Jika pun pembangunan itu harus tetap dilakukan mengingat kondisi gedung yang over kapasitas, maka seyogianya membangun gedung secara sederhana dengan anggaran yang rasional dan punya sense of crisis.

Kita harus mewaspadai kepentingan ekonomi yang dominan di balik pembangunan ini. Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip William D. Perdue, Sociological Theory:Explanation, Paradigm and Ideology (1986), kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah tindakan logis yang mengarahkan pada maksimalisasi kepuasan yang kerap menihilkan nilai dalam memahami sistem sosial. Seribu satu cara bisa dilakukan untuk membuat argumentasi logis seolah-olah semua fasilitas itu memang layak dan seharusnya diberikan kepada anggota dewan. Salah satu contoh argumentasi yang berkembang adalah rujukan Peraturan Pemerintah DKI yang menyatakan bahwa gedung yang penghuninya lebih dari 500 orang harus ada fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dengan rujukan ini maka tempat spa, fitness center, tempat pijat dan kolam renang seolah-olah menjadi keharusan adanya.

Kedua, logika publik akan otomatis resisten dengan pembangunan gedung yang mewah di saat fungsi-fungsi dewan sangat jauh dari kategori optimal. Jejak rekam fungsi legislasi yang jeblok, raport merah fungsi pengawasan, serta tak jelasnya cetak biru fungsi anggaran, membuat wibawa DPR kita terus tenggelam dari satu periode ke periode berikutnya. Seharusnya, saat mereka menuntut fasilitas yang serba mewah maka terlebih dahulu anggota DPR kita menunjukkan kinerja yang membanggakan. Jika pembangunan gedung mewah tetap berjalan, tak salah jika kita melabeli mereka sebagai Dewan Perwakilan Bangsawan (DPB)!

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=142599&pagecomment=1



Kamis, 02 September 2010

ASKETISME POLITIK, MUNGKINKAH?


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 2/09/2010)

Sudah cukup lama para politisi negeri ini tak lagi membangun diskursus publik melalui sentuhan berpikir dan berinteraksi yang mencerahkan. Terlalu banyak hal praksis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang telah menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam peradaban. Penandanya, bentuk rasionalitas yang menindas sudah sangat mewabah bahkan menjadi bagian utuh totalitas historis atau apa yang diistilahkan Jurgen Habermas sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) . Berbagai rasionalisasi atas hasrat politik telah aktual bahkan mendominasi rasionalitas masyarakat yang diistilahkan Herbert Marcuse sebagai rasionalitas teknologis atau dalam kritik Max Horkheimer sebagai rasio instrumental. Para elit berjalan sesuai kehendaknya, sambil sibuk merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka agar mapan menjadi tindakan sosial yang bisa diterima.

Miskin Pencerahan

Dalam konteks semakin miskinnya pencerahan nilai politik, menyeruak sebuah gagasan tentang asketisme politik dari politisi muda yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum. Gagasan yang sesungguhnya bukan hal baru, juga bukan hal istimewa bagi para pengkaji pemikiran dan tindakan politik. Namun demikian, gagasan tersebut cukup menjadi oase di tengah dahaga dan kekeringan nilai pada ranah politik praktis negeri ini. Gagasan itu bermula dari seruan agar para politisi kita menerapkan asketisme politik yang disampaikan Anas saat berbuka puasa bersama di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Minggu, (22/8).

Bisa jadi, Anas menyampaikan seruan soal asketisme politik itu tak lebih dari hanya sekedar kata atau istilah retoris untuk menghiasi kesan positif dalam pidatonya. Bisa jadi juga gagasan asketisme politik itu hanya muncul sporadis tanpa penyiapan turunan di level praksis untuk mengelolanya menjadi tindakan politik yang dapat diobservasi secara empiris. Namun, terlepas dari apapun konteks masa lalu dan masa mendatang pidatonya itu, seruan mengenai urgensi asketisme politik patut diapresiasi terutama di tengah situasi miskin pencerahan nilai politik yang saat ini akut dialami elit politisi kita.

Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satu tujuannya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks berpikir Habermas tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis yakni kerja dan interaksi.

Jika menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam konteks politik Indonesia kekinian, nampak ada dominasi yang sangat kuat dari hasrat politik rendah (low politic). Politik hanya menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan kapan, tanpa tergerak melakukan pencerahan. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah zweckrationalitat atau rasionalitas-tujuan. Karakteristik menonjol dari rasionalitas ini, lebih mementingkan cara-cara mencapai tujuan, sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran.

Jika asketisme politik ini hendak direalisasikan tentu tindakan politik para politisi kita jangan mengacu pada rasionalitas-tujuan melainkan harus menjadikan wertrationalitat atau rasionalitas-bertujuan sebagai soko guru tindakan. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius. Berpolitik yang asketis berarti menjadikan politik lebih santun, beretika dan mengedepankan kebermanfaatannya untuk khalayak luas. Namun mungkinkah asketisme politik ini bisa diimplementasikan di dalam kehidupan politik kita? Muncul pesimisme bahkan ada yang mengatakan hal tersebut sebagai utopia di tengah carut-marut persoalan yang membentang dari hulu ke hilir. Meski sesungguhnya, asketisme politik ini merupakan satu di antara landasan penting dalam masyarakat dan negara yang berkesejahteraan.

Residu Politik

Asketisme politik memang tak mudah direalisasikan, meski bukan hal mustahil. Tantangan paling nyata ada pada sosok para politisi dan lembaga politik yang saat ini telah banyak tercemar oleh residu politik rendah. Menurut saya paling tidak ada beberapa langkah untuk kembali menghadirkan asketisme dalam politik kekinian kita.

Pertama, para politisi mesti mampu menempatkan kepekaan untuk mendengar denyut suara masyarakat. Jangan memaksakan opini mereka secara arogan di puncak hirarki opini publik. Kini, betapa banyaknya arogansi opini elit sekaligus sentralisasi respek hanya di antara mereka, dengan menihilkan suara dan respek masyarakat. Sebagai contoh, rencana pembangunan gedung baru DPR yang menuai kritik sekaligus melahirkan kontroversi terutama jika melihat angkanya yang fantastis, 1,6 triliun. Meski menuai banyak kritik, rencana pembangunan gedung baru ini tetap berjalan bahkan bulan Oktober 2010 diagendakan peletakkan batu pertamanya.

Usulan dana aspirasi merupakan contoh lain hilangnya kepekaan elit atas reaksi masyarakat. Proposal ambisius para politisi Golkar ini bukannya dihapus karena penentangan keras dari berbagai pihak, yang ada malah terus mencari taktik dan dukungan politik guna menggolkan usulan ini. Golkar mengusulkan casing baru dana aspirasi sebagai pengalokasian dana percepatan infrastruktur daerah pemilihan atau populer dengan sebutan dana dapil. Ini bukti, elit sangat percaya diri bahwa usulan mereka pada akhirnya akan membuahkan kesepakatan. Bahkan usulan ini direncanakan akan kembali dibahas di Badan Anggaran DPR September atau Oktober 2010. Sungguh keterlaluan, jika pencitraan para politisi di dapil harus dibiayai oleh dana rakyat melalui alokasi anggaran di APBN.

Satu lagi kata aspirasi yang secara substantif telah diciderai pemaknaannya, yakni terkait dengan usulan rumah aspirasi yang juga masih terus bergulir meski tak sejalan dengan kehendak masyarakat. Rumah Aspirasi didisain dengan menggunakan dana rakyat yang tak sedikit. Setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp. 374 juta per tahun. Dengan jumlah anggota DPR 560 orang, anggaran yang dikeluarkan per tahun mencapai Rp. 209 miliar. Di saat yang bersamaan deretan penghasilan mulai dari gaji pokok, tunjangan listrik, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan pengawasan mengalir deras ke saku para anggota dewan secara rutin setiap bulan, di luar penghasilan-penghasilan non rutin yang semuanya dibiayai dari dana rakyat.

Kedua, asketisme politik bisa hadir melalui kaderisasi politik yang sistemik dan berkelanjutan. Saat ini, fenomenanya hampir seragam, semua partai hanya peduli pada saat harus mendulang suara banyak dalam perhelatan Pemilu. Dengan demikian, partai bukan tempat menetaskan kader-kader terbaik melainkan mengerami para oportunis dan politisi pragmatis yang berkesadaran teknokratis. Untuk mendukung munculnya asketisme politik, dibutuhkan tindakan komunikatif. Istilah yang oleh Habermas dipahami sebagai tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasarkan hubungan timbal-balik di antara partai dengan kadernya. Partai sebaiknya menjadi pembentuk sekaligus penyuplai kader yang berpikir dan bertindak asketis, bukan sebaliknya menjadi penyedia para drakula! **

Tulisan ini bisa diakses di web Sindo:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/348633/

KONSPIRASI SUNYI DANA DAPIL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, Rabu, 01/09/2010)

Meski proposal Golkar terkait dana aspirasi sudah menepi dalam perdebatan publik, taktik dan grilya politik menggolkan usulan ini masih tetap dirancang dan diupayakan hingga sekarang. Strategi itu, mulai dari mengubah kemasan usulan dana aspirasi menjadi program percepatan dan pemerataan pembangunan, hingga memperluas sayap dukungan. Perkembangan terkini, Golkar tetap ngotot mengusulkan casing baru dana aspirasi sebagai pengalokasian dana percepatan infrastruktur daerah pemilihan atau populer dengan sebutan dana dapil. Hal itu, terungkap dalam pandangan Fraksi Golkar atas pengantar nota keuangan RAPBN 2011 dalam rapat paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Senayan, Selasa (24/8). Bahkan usulan ini direncanakan akan dibahas di Badan Anggaran DPR September atau Oktober mendatang seusai pembahasan makro anggaran di Komisi XI.

Loby politik agar usulan dana dapil diterima, mempertontonkan percaya diri berlebih sekaligus praktik politik tuna rasa kelompok elit pengusul yang kerap mengemas libido politiknya melalui aksi ala Roobin Hood di dapil. Mereka seolah-olah bertekad membantu rakyat, namun dalam realitasnya teramat mahir mengolah rakyat sebagai komoditas dan berujung semata-mata untuk pencitraan mereka. Ironisnya lagi, pencitraan itu harus dibiayai oleh dana rakyat melalui alokasi anggaran di APBN.

Mengapa Melenggang?

Yang menarik diamati adalah proses politik mengapa usulan dana aspirasi yang kini berlabel dana dapil yang telah ditentang oleh mayoritas fraksi termasuk mitra koalisi di Sekretariat Gabungan (Setgab), masih terus melenggang. Sebelum diagendakan menjadi bahasan pada September atau Oktober mendatang, usulan ini sempat dibicarakan di Badan Anggaran DPR pada tahun sidang 2009-2010. Dalam pembacaan komunikasi politik, paling tidak kita bisa melihat jejak rekam proses politik ini melalui tiga kemungkinan yang bisa saja saling melengkapi.

Pertama, setelah usulan dana aspirasi dianggap anomali oleh banyak kalangan, Golkar mengubah langkah penetratif menekan mitra koalisi lain di Setgab, dengan strategi grendel atau bertahan. Tak rela citra kepiawaian politik para elit Golkar tercederai karena ditolaknya usulan dana aspirasi, maka Golkar pun perlahan tapi pasti menepikan sementara usulan tersebut, tetapi tidak menghapusnya dari prioritas agenda mereka. Layaknya strategi bertahan, maka sewaktu-waktu Golkar pun mengatur serangan balik dengan teratur sembari berharap bisa menghasilkan kemenangan.

Beberapa waktu lalu, kita mencatat langkah politik Golkar yang determinatif dan terkesan jumawa. Elit Golkar seperti Idrus Marham di berbagai kesempatan menyatakan usulan dana aspirasi tersebut merupakan perjuangan untuk rakyat dan sempat mengungkapkan ada semacam “penghianatan” dari mitra koalisinya di Setgab. Strategi menyerang juga pernah dilakukan oleh salah satu Ketua DPP Golkar Yamin Tawari yang mengancam partainya akan keluar dari Setgab. Sikap menyerang ini tentu saja bisa dibaca sebagai test case lanjutan Golkar setelah sukses menabuh irama kasus Century hingga mampu menggusur Sri Mulyani. Jika strategi menyerang beberapa waktu lalu itu ampuh, tentu dapat menjadi penanda bahwa Golkar benar-benar berada di arus utama kekuasaan SBY-Boediono. Artinya, SBY memang harus rela mendistribusikan separuh otoritasnya kepada Abu Rizal Bakrie dan Golkar.

Namun ternyata, the political game ala Golkar tak berjalan mulus. Mitra koalisi tak sehati sehingga muncul fenomena disharmoni. Sebagai pemain lama, Golkar cepat tanggap, Kamis (10/6/10) mereka membantah akan keluar dari Setgab. Fenomena ini, kian menunjukkan tradisi politik Golkar yang sudah mapan terpola, yakni mereka akan melakukan strategi koorporatisme politik jika memegang kendali kekuasaan. Sebaliknya, jika mereka bukan pemenang, akan menerapkan politik akomodatif. Langkah taktis-pragmatis yang berorientasi pada kemenangan politik.

Melenggangnya usulan dana aspirasi dengan kemasan baru ke dalam pembahasan resmi DPR, bisa dibaca sebagai strategi serangan balik Golkar. Jika fraksi-fraksi lain lengah dengan berbagai strategi pengecoh itu, maka tentu akan sangat menguntungkan bagi Golkar. Dengan demikian, pesan kuatnya adalah ke depan juga akan banyak momentum bagi Golkar untuk melakukan serangan balik sejenis ini, melalui beragam celah aturan yang mungkin bisa dimasuki.

Kedua, fenomena usulan dana dapil ini menunjukkan prilaku simulasi realitas oleh para elit Golkar. Menurut Jean Baudrillard dalam tulisannya the Precission of Simulacra, simulasi realitas ini dipahami sebagai tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu, seolah-olah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan dimana tanda-tanda yang saling terkait dianggap tak harus memiliki tautan logis. Istilah dana aspirasi atau pun dana dapil sama saja, yakni simulasi realitas untuk membentuk persepsi seolah-olah para elit berjuang untuk menyejahterakan rakyat, padahal berprilaku sebaliknya yakni menggunakan filosofi tikus, menggigit atau bahkan menggrogoti uang rakyat tanpa terasa.

Konsekuensi dari simulasi realitas ini biasanya berbentuk reality by proxy. Banyak pihak tidak lagi memiliki kemampuan dalam menyadari apakah usulan dana dapil itu realitas atau fantasi. Jika terus menerus dihembuskan angin surga bahwa gelontoran dana itu untuk menyejahterakan rakyat, maka bukan mustahil simulasi realitas itu akan menumpulkan kesadaran khalayak sehingga tak lagi mengkritisi, benarkan dana itu diperuntukkan bagi rakyat?

Konsekuensi lainnya adalah munculnya solusi imajiner. Dalam kajian tentang hiperealitas, solusi imajiner ini adalah proses “menjadikan” sesuatu yang non empiris. Berbagai publisitas, loby, negosiasi menjadikan banyak pihak sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, sehingga pada akhirnya dunia kesan menjadi representasi pilihan. Sekian banyak perdebatan soal dana dapil menunjukkan, tak lebih dan tak kurang niat politik pencitraanlah yang ingin digapai. Para politisi membangun kesan dirinya bak Roobin Hood yang akan dikenang sebagai pahlawan kaum papa sehingga posisi mereka akan menguat.

Ketiga, fenomena bertahannya Golkar dengan usulan dana dapil ini bisa saja merangsang persekongkolan elit politik lintas partai. Para elit bisa jadi melakukan dramaturgi. Benarkah terjadi semacam konspirasi sunyi atau grilya diam-diam di kalangan elit untuk saling menjaga kehormatan dan kepentingan politik masing-masing pihak? Saat mereka diliput media, pernyataan-pernyataannya seolah-olah menunjukkan penolakan terhadap usulan Golkar tersebut, namun di Senayan mereka mendiamkan usulan itu terus bergulir seolah tak ada masalah. Riwayat konspirasi sunyi semacam ini pun sudah teramat biasa hadir dalam realitas politik DPR. Sehingga prilaku ini seolah lumrah dan apa adanya.

Tuna Rasa

Sekali lagi, kita mesti menggarisbawahi dana dapil dan dana aspirasi samimawon. Gagasan ini telah mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Bukan semata karena pengusulnya Golkar, melainkan karena substansinya yang rawan mengundang sejumlah masalah lanjutan. Resistensi nyata ini seharusnya sudah bisa pahami dan dirasakan oleh para pengusul. Jika terus melenggang artinya mereka tak memiliki sense of public yang memadai alias tuna rasa dalam mendengar aspirasi masyarakat.

Politik tuna rasa ini biasanya ditandai dengan dua hal. Pertama, adanya arogansi opini elit. Bahwa suara kebenaran itu diposisikan berjalan vertikal dan linear dengan menempatkan suara elit di puncak hirarki. Sehingga seriuh apapun suara rakyat, hanya akan dianggap sebagai suara tidak signifikan. Akibatnya, para elit bertindak tidak dalam skema “dari-oleh-untuk” rakyat melainkan semata-semata untuk kepentingan politik mereka masing-masing.

Kedua, kuatnya pola mekanistik-traksasional dalam prilaku politik elit. Para elit melakukan persekongkolan secara sadar dan “berjamaah” dalam merancang, mengimplementasikan serta mengevaluasi sebuah program. Sekaligus rakyat menjadi objek potensial bagi transaksi-traksaksi absurd dalam konspirasi sunyi para elit tadi. Saatnya pengusul dan pembahas dana dapil di DPR kembali menyelami reaksi keras rakyat bukan terus berkutat dengan arogansi usulannya.*

Tulisan ini bisa diakses di web Jurnas:

http://www.jurnalnasional.com/show/arsip?berita=142031&pagecomment=1&date=2010-9-1

MEREVISI UU PAKET POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 28/08/2010)

Meski Pemilu 2014 masih jauh, kontestasi yang melibatkan relasi kuasa antar berbagai kekuatan politik sudah dimulai.Tentu, genderang perang yang ditabuh sekarang belum menjadi penanda keterlibatan khalayak luas karena adu strategi masih terbatas di ranah elite, tepatnya di sidang-sidang para politisi Senayan.

Masih seperti biasanya, setiap periode DPR berganti, hampir dipastikan akan muncul redesain regulasi yang tertuang dalam revisi UU Paket Politik.Hal ini memperkuat asumsi bahwa UU Paket Politik selamanya tak akan pernah tuntas menjadi desain utuh dan komprehensif karena dinamika politik yang senantiasa berubah serta anasir pengaruh yang begitu kental dari beragam kekuatan politik yang bermain.

Hingga saat ini, revisi UU Paket Politik lebih banyak mengacu pada format negosiasi antar kekuatan politik dibanding penuntasan dan penyempurnaan berbagai kekurangan regulasi yang telah diterapkan pada pemilu sebelumnya. Sejumlah isu krusial kini mengemuka dan menjadi perdebatan hangat di DPR serta menjadi perhatian serius banyak akademisi, pengamat, serta public attentive lainnya.

Jika Kementerian Dalam Negeri menargetkan revisi UU Paket Politik akan selesai 2011, sudah barang tentu persidangan DPR sepanjang 2010 akan menjadi fase penting. Bahkan, secara formal DPR telah meletakkan rencana pembahasan perubahan UU Paket Politik ini dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2010. Namun, seperti biasanya, target ini mungkin tidak akan terpenuhi tepat waktu jika tak ada langkah-langkah sistematis. Ada dua faktor yang menyebabkan tertundanya pengesahan revisi UU Paket Politik.

Pertama, alotnya pembahasan atas sejumlah substansi revisi UU Paket Politik, yang meliputi revisi terhadap UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU No 2/2008 tentang Partai Politik, UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, serta UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden. Sejumlah isu krusial mulai bergulir panas dan membuat para politisi Senayan harus mengalkulasi plus-minus regulasi yang dibuat guna keuntungan politiknya masing-masing.

Kedua, sangat mungkin ketertundaan revisi UU Paket Politik ini juga terkait dengan menurunnya produktivitas fungsi legislasi DPR RI Periode 2009-2014. DPR periode ini menetapkan 247 RUU dan 5 RUU akumulatif terbuka dalam Prolegnas 2010-2014.

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan DPR RI No 41A/DPR RI/I/2009 – 2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014. Besaran target tersebut menunjukkan keengganan DPR belajar pada DPR periode sebelumnya yang hanya mampu menyelesaikan 193 RUU dalam jangka waktu lima tahun. Jejak rekam DPR dalam fungsi legislasi menunjukkan sejak 2005 realisasi legislasi hanya sanggup memenuhi 10 persen dari target yang ditetapkan.

Mungkinkah UU Paket Politik bisa diselesaikan tahun 2010 sehingga kita cukup leluasa menilai format regulasi baru yang disahkan DPR untuk Pemilu 2014 yang lebih baik? Sebagaimana kita ketahui, salah satu arah kebijakan Prolegnas Prioritas Tahun 2010 adalah menata sistem politik nasional dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi. Termasuk penguatan kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan perangkat kelembagaan yang terkait seperti partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, lembaga pengawas pemilu, serta pengaturan teknis pemilu.

Rasanya jika melihat indikator produktivitas 2010, kita menjadi pesimistis dengan prioritas DPR. Sebagai contoh, sepanjang Januari hingga Juli 2010, DPR baru mengesahkan tujuh RUU dan enam di antaranya tidak masuk Prolegnas tahun 2010.

Isu Krusial

Revisi UU Paket Politik seyogianya mengacu pada peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu sekaligus kualitas demokrasi dan sistem pemerintahan di Indonesia.Bukan sebaliknya, berhenti pada pragmatisme politik masing-masing golongan. Belakangan, muncul sejumlah isu krusial yang mesti dipantau dan diwaspadai dari kecenderungan prilaku pragmatis para politisi dan parpol.

Pertama, pada revisi UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, salah satu yang krusial adalah bahasan mengenai anggota KPU. Ada wacana yang berembus dari sejumlah fraksi di Senayan bahwa kemandirian penyelenggara itu ada pada kelembagaannya, bukan pada personel di KPU.

Artinya, muncul keinginan diperbolehkannya unsur parpol dalam penyelenggara pemilu. Sungguh, wacana ini tak hanya mengalami kemunduran berpikir, tetapi juga berbahaya bagi penguatan sistem pemilu dan demokrasi kita. Banyak anggota fraksi di DPR yang menjadikan kasus Andi Nurpati sebagai rujukan bahwa tak ada garansi orang independen tak akan berafi liasi ke salah satu kontestan pemilu.

Memang pilihan tak elok Andi Nurpati yang bergabung ke parpol merupakan noktah hitam bagi track record penyelenggara pemilu. Tapi, tak seharusnya kasus tersebut serta merta menyeret kembali institusi KPU ke dalam kooptasi kekuatan parpol, terlebih jika mendapatkan legitimasi UU hasil revisi nanti. Jika mau direvisi, justru seharusnya memperkuat independensi KPU. Misalnya dengan mempertegas sanksi bagi seluruh anggota KPU yang menjadi penyelenggara pemilu jika berafiliasi atau bergabung ke parpol.

Kedua, pada revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD, isu krusial yang masih menjadi polemik hingga sekarang adalah bahasan seputar pemberlakuan ambang batas perolehan kursi di DPR ( parliamentary threshold). Isu ini krusial untuk mendapatkan perhatian dan pengawalan publik mengingat ke depan kita perlu memperkuat dan melembagakan sistem politik kita.

Wacana peningkatan PT dari 2,5 persen menjadi 5 persen yang bergulir menurut saya strategis dalam konteks peningkatan kapasitas parpol guna merealisasikan sistem multipartai sederhana dan bisa memperkuat sistem presidensialisme yang kita pilih. Dengan komposisi sistem kepartaian kita saat ini, terutama fragmentasi politik di DPR sulit kiranya kita membentuk pemerintahan yang kuat karena multipartai ekstrem yang kita jalani selalu menjerat pemerintahan berkuasa untuk melakoni politik transaksional.

Ketiga, pada UU No 10/2008 juga ada isu krusial lain, yakni wacana pemberian hak memilih dalam Pemilu bagi anggota TNI/Polri. Dalam konteks isu ini, kita seyogianya melihat kondisi objektif TNI/Polri kita.Tentu selain isu-isu tersebut, revisi UU Paket Politik akan melahirkan lebih banyak polemik dalam pembahasannya. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa ini harus turut serta mengawasi dan mengkritisinya.

Tulisan ini bisa diakses di:

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=61148

LABEL TERORIS


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Rabu 11/08/2010)

Satu lagi pusaran berita muncul dan memperoleh perhatian luas media di tengah gegap-gempitanya berbagai kasus negeri ini. Pelakon utamanya tak asing lagi bagi khalayak, yakni Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Solo, Abu Bakar Ba’asyir. Penangkapan Ba'asyir semakin dramatis dan mengundang polemik karena dilakukan oleh Tim Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri di saat Amir Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) ini sedang dalam perjalanan, tepatnya di wilayah Banjar, Jawa Barat, Senin (09/08). Seperti biasanya, tindakan Polri menuai pro dan kontra. Namun, benarkah Ba'asyir itu teroris atau sekadar labelisasi yang disematkan untuk melembagakan “realitas seolah-olah” teroris.

Pembuktian

Banyak interpretasi atas penangkapan kembali Ba'asyir oleh Polri. Ada yang mengaitkannya dengan mata rantai penangkapan para teroris dan tersangka teroris sebelumnya. Ada juga yang menghubungkannya dengan kontestasi calon Kapolri baru, bahkan ada yang melihat kerterhubungannya dengan berbagai kelemahan dan kegagalan pemerintah mengatasi berbagai persoalan akut yang terjadi belakang ini. Bagaimanapun, kita harus memaknai kasus ini secara jernih.

Jika yang menjadi landasan Polri menangkap Ba'asyir itu bersandar pada data dan fakta hukum, maka Polri tentu saja bertanggungjawab untuk membuktikan hal tersebut kepada publik. Sayangnya, jejak rekam Polri soal pembuktian Ba'asyir sebagai teroris ini masih sangat buram.

Awal tahun 2002, Ba'asyir ditangkap dengan berbagai tuduhan. Di antara tuduhan tersebut, Ba'asyir dianggap terlibat dalam aksi teroris Bom Bali I dan dalang di balik serangkaian Kasus Bom Natal 2000. Selain itu juga dituduh berencana membunuh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat Wakil Presiden. Tuduhan bermula dari keterangan Omar Al-Faruq, orang yang ditangkap intelijen Amerika Serikat karena dianggap kaki tangan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Satu lagi saksi kunci yakni Faiz Bafana, anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang menyatakan Ba`asyir sebagai pengganti Abdullah Sungkar. Sayangnya, Omar Al-Faruq maupun Faiz Bafana yang katanya menjadi saksi kunci, tak kunjung bisa dihadirkan di persidangan, sehingga tak membuat suasana terang benderang seputar kasus ini. Pada 2 September 2003, PN Jakarta Pusat memvonis Ba'asyir empat tahun penjara dikurangi masa tahanan. Tuduhan yang diarahkan kepada Ba'asyir sangat serius yakni upaya menggulingkan pemerintah yang sah, membuat keterangan palsu, dan terbukti keluar-masuk Indonesia tanpa izin. Melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (MA), tuduhan terhadap Ba'asyir ternyata tak terbukti dan hanya dikenai pelanggaran imigrasi.

Pada 30 April 2004, Ba'asyir ditangkap lagi karena diduga melanggar Undang-undang Antiterorisme dan terlibat Jamaah Islamiyah. Saat itu, informasinya bahwa Ba'asyir pernah memimpin upacara pelantikan Ketua Mantiki III Natsir Abbas di Akademi Militer Camp Hubaidah. Namun, kembali Ba'asyir dapat dibebaskan pada 14 Juni 2006. Hanya saja, sejarah kelam belum berakhir bagi kehidupan Ba'asyir, karena kini kembali harus dihadapkan pada tindakan Polri yang sama, yakni penangkapan. Dalam konteks ini, penulis tak ingin prematur dengan mengatakan bahwa Ba'asyir itu teroris atau bukan. Satu-satunya cara agar nalar publik terjawab adalah pembuktian hukum. Jangan sampai Polri hanya mampu menangkap tapi tak mampu membuktikannya.

Transformasi Teroris

Kita perlu menyadari bahwa Ba'asyir merupakan figur kharismatik yang memiliki banyak pengikut. Jangan sampai penangkapan dan penanganan kasus hukum Ba'asyir menyemai dan menetaskan keinginan menjadi teroris sungguhan dari para simpatisan. Oleh karenanya harus ada penanganan hukum yang jelas, transfaran, akuntabel dan berorientasi pada penyelsaian kasus secara komprehensif bukan dilatarbelakangi oleh konspirasi untuk menjatuhkan kehormatan Ba'asyir atau sekedar menaikan prestise orang-orang yang akan naik jabatan di lembaga penegakan hukum seperti Polri. Kita tentu saja menyadari bahwa embrio terorisme sebagai kejahatan utama bagi kemanusiaan (ultimate crime againts humanity) sekarang ada dimana-mana. Jejaringnya tak semata nasional tetapi sudah transnasional.

Menurut saya Paling tidak ada tiga faktor yang dapat memfasilitasi transformasi gerakan terorisme. Pertama, lingkungan makro antaralain sistem politik global. Misalnya saja relasi antagonisitik yang dibangun Israel dengan Palestina. Bisa juga praktik islamphobia di beberapa negara Barat, yang menyebabkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris” “ekstrimis” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya.

Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan keasadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri. Antaralain, keluarga, kelompok penganut agama, sekolah dan lingkungan pergaulan.

Ketiga, orientasi kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Bentuknya dapat bermacam-macam. Mulai dari kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi teroris yang diikuti, eksternalisasi diri agar populer sebagai penebar teror sehingga menjadi ikon liputan media massa sebagai “mujahid” atau “syuhada”.

Doktrin terorisme meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus tindakan pragmatis untuk melakukan tindakan teror, masih tertanam di banyak kader. Terorisme telah disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir yang keliru, kemiskinan, kelengahan pengelola dan aparatur negara, serta ketidakpedulian masyarakat. Embrio itu bisa saja menetas kian banyak dan menjadi stelsel aktif jika menemukan momentumnya, yakni ketidakadilan. ***

Tulisan ini bisa diakses di Web Pikiran Rakyat:

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=152216

RUMAH ASPIRASI UNTUK SIAPA?


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 10/08/10)

Kata aspirasi rupanya menjadi sangat populer di kalangan anggota DPR. Bak pepatah, habis dana aspirasi terbitlah rumah aspirasi. Kedua usulan itu sama-sama membuat gegap gempita pemberitaan media sekaligus perbincangan publik yang kian hari kian resisten. Bedanya, dana aspirasi belum memiliki rujukan hukum, sementara rumah aspirasi sudah disebutkan eksplisit di dalam UU No 27/2009 tentang Parlemen (MPR, DPR, DPD, DPRD atau UU MD3).

Penentangan keras masyarakat terhadap proposal dana aspirasi yang dimotori Partai Golkar beberapa waktu lalu, membuat isu ini harus menepi dan sepi. Namun, seperti biasa Senayan selalu punya ledakan dan kejutan, yang menjadi rangkaian utuh "the political game" para pelaku. Hari-hari belakangan ini, isu rumah aspirasi menjadi topik kontroversial yang berembus kencang dari Senayan. Benarkah substansi rumah aspirasi ini untuk rakyat?

Hakikat Aspirasi

Dalam perspektif komunikasi politik tindakan menyerap aspirasi dengan cara mendengarkan, mencatat, mengobservasi, merumuskan dan menjadikan keinginan rakyat sebagai masukan atau tuntutan merupakan sebuah keniscayaan. Menyerap aspirasi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Pertama, melalui formula "face to face informal" dengan pendekatan lobi dan komunikasi persuasif langsung dengan konstituen di daerah pemilihan (dapil). Makin rekat hubungan politisi parlemen dengan pemilih maka akan makin membuka kesempatan bagi optimalisasi peran sebagai wakil rakyat. Proses komunikasi interpersonal yang tak hanya bersifat spontan dan sporadis, melainkan terencana, terukur, dan matang.

Kedua, melalui formula struktur sosial tradisional, hal ini lazim dilakukan melalui jejaring elite yang secara sosial memperoleh pengakuan informal sebagai tokoh yang berpengaruh di sebuah masyarakat. Di setiap dapil para anggota DPR semestinya dekat dan mendengar suara tokoh-tokoh masyarakat yang biasa dijadikan referensi masyarakat awam (general public). Ketiga, melalui formula input politik, dengan mengefektifkan cara mendengar dan cara menindaklanjuti suara dari kelompok berperhatian (public attentive) yang umumnya memberi masukan sudah “setengah matang”. Misal, masukan dari kelompok penekan (pressure group), kelompok kepentingan (interest group). Antara lain, aspirasi dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, kolumnis, ataupun asosiasi profesi dan lain-lain.

Keempat, melalui formula "output" dengan cara mengamati dan memiliki akses pada berbagi instansi yang terkait pengusulan, pembahasan dan pengesahan sebuah kebijakan publik di dapil tempat dia berasal. Sekaligus memantau bagaimana kebijakan publik itu diimplementasikan. Aspirasi tentu bukan rumus pasti, yang memiliki presisi saat formula ditetapkan maka hasil akan seperti itu. Aspirasi itu bermula dari ide cair, lalu mengalami intersubyektivitas makna kemudian konsolidasi sebagai konsensus. Namun, dalam implementasi, bisa kembali cair terutama saat terbuka ruang interpretasi beragam dari apa yang telah dikonsensuskan. Hingga membutuhkan pengawalan dalam implementasinya.

Kelima, melalui formula media masa tradisional dan media baru (new media). Media tradisional misal, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain, terkait berbagai keluhan, usulan, protes, hingga berbagai isu terkait basis konstituen di dapil. Sementara new media dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika secara lebih interaktif, multimedia dan realtime dari kondisi masyarakat yang menjadi dapil. Misal, anggota DPR memanfaatkan Facebook, Twitter, blog dan lain-lain, terutama dapil yang sebagian besar konstituen telah adaptif dengan kemajuan internet, lebih spesifik lagi situs jejaring sosial. Berbagai narasi dari para pengguna internet di dapil bisa diserap sebagai salah satu sumber informasi aspirasi.

Dalam konteks inilah, aspirasi menjadi inti dari proses komunikasi politik antara para anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan. Gabriel Almond dalam buku lawasnya The Politics of the Developing Areas (1960:45) menyatakan, ketujuh fungsi lain dalam sistem politik yakni sosialisasi politik, perekrutan politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan, pelaksanaan aturan, dan fungsi penghakiman aturan, semua dibentuk komunikasi politik.

Dengan begitu, karena penyerapan aspirasi bagian dari strategi komunikasi politik, dengan sendirinya menjadi sangat penting dan menentukan. Seluruh fungsi DPR seperti fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran tidak akan berjalan optimal jika anggota DPR semena-mena menelantarkan konstituen dan hanya berbasa-basi akan memperjuangkan aspirasi mereka kala belum terpilih. Hanya, tentu saja formula penyerapan aspirasi ini jangan sampai salah kaprah. Alih-alih melakukan penyerapan aspirasi sebagai wujud fungsi representasi, yang ada malah mereduksi aspirasi itu menjadi komoditas alias proyek bancakan uang negara sekadar citra dan penghasilan tambahan para anggota dewan.

Biaya Sendiri

Menyerap aspirasi rakyat sebagai bagian dari komunikasi politik di dapil tentu menjadi keniscayaan politik modern. Terlebih di dalam pilihan sistem politik saat ini, rakyat memilih langsung dalam pemilu. Namun, pembahasan rumah aspirasi di DPR justru mengarah ke ironi. Ada dua faktor utama yang menyebabkan publik bertanya penuh curiga atas rencana implementasi kebijakan rumah aspirasi di tahun anggaran 2011.

Pertama, rumah aspirasi didesain menggunakan dana rakyat yang tak sedikit. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Pius Lustrilanang mengungkapkan, ke berbagai media masa (3/8), usulan rumah aspirasi itu, setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp374 juta per tahun. Dana ini untuk sewa rumah di dapil masing-masing. Juga kegiatan operasional seperti sekretariat dan biaya pertemuan dengan konstituen di rumah aspirasi itu. Dengan jumlah anggota DPR 560 orang, anggaran yang dikeluarkan per tahun mencapai Rp209 miliar. Saat bersamaan deretan penghasilan anggota DPR mulai dari gaji pokok, tunjangan listrik, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan pengawasan yang rutin diterima setiap bulan diakumulasikan dengan penghasilan-penghasilan lain nonrutin yang semua dibiayai dari dana rakyat.

Jika anggota DPR serius mau menyerap aspirasi rakyat di dapil semestinya mau dan mampu menggunakan dana yang selama ini mereka nikmati. Sebut saja, tunjangan komunikasi intensif yang rutin diterima setiap bulan. Ada juga dana penyerapan (reses) Rp31,5 juta. Dalam satu tahun sidang, ada empat kali reses jika ditotal per tahun Rp126 juta. Mengapa dana-dana itu tidak dipergunakan mengoperasionalisasikan rumah aspirasi? Publik tentu setuju dan mendukung gagasan rumah aspirasi dengan catatan rumah itu harus dibiayai sendiri oleh anggota DPR, bukan menggunakan dana rakyat.

Kedua, DPR sekarang ini tampak secara demonstratif melegitimasi gagasan rumah aspirasi sebagai amanat UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan tatib DPR yang harus dilaksanakan dan ditanggung APBN. Pasal 203 Tata Tertib DPR memang menyebutkan, dalam melaksanakan representasi rakyat, anggota dalam satu daerah pemilihan (dapil) dapat membentuk rumah aspirasi. Kata “dapat” sesungguhnya mengandung makna bisa dilaksanakan bisa juga tidak, tergantung konsensus para anggota dewan. Menyerap aspirasi tentu merupakan pekerjaan penting dan bukan sampingan.

Namun sesungguhnya, jika berbagai partai politik mampu mengoptimalkan fungsi-fungsi partai mulai dari level provinsi, kabupaten, kecamatan serta desa, tentu sekretariat parpol yang bersangkutanlah yang dapat memerankan diri sebagai rumah aspirasi. Sayangnya, banyak parpol tak siap, hingga para anggota DPR harus menjustifikasi rumah aspirasi sebagai keharusan. Jika pun rumah aspirasi jadi direalisasikan, maka didedikasikan untuk rakyat bukan pencitraan DPR.

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=139875&pagecomment=1

POTRET BURAM DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Selasa,3/08/2010)

Saat Pong Harjatmo,artis film era 1980-an, “menampar” DPR pada Jumat,(30/07/10), dukungan mengalir deras seolah-olah tindakannya mewakili sebagian besar suara rakyat yang kerap bungkam.

Drama coretan tiga kata “jujur,adil,tegas”dari Pong di atas Gedung Kura-kura kompleks DPR menjadi sedikit contoh ekspresi kemuakan, kekecewaan sekaligus ketidakpercayaan publik kepada para wakil rakyat di DPR. Bisa saja sebagian orang menganggap tindakan Pong tak lebih dari sekadar peran di panggung publisitas dirinya yang mulai tersisih di jagat hiburan.

Namun, bagi penulis, tindakan nekat Pong itu senapas dengan apa yang dilakukan Hendri Mulyadi yang menerobos lapangan Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan saat pertandingan antara Tim Nasional dan Oman untuk kualifikasi Piala Asia. Bisa juga kita samakan dengan tindakan wartawan Irak Muntazer al-Zaidi yang melempar sepatu ke muka Presiden AS saat itu,George W Bush.Sama-sama mengandung pesan protes berbalut kekecewaan mendalam sehingga butuh ekspresi yang tak biasa, bahkan terkesan nekat. Memang, kenyataannya, DPR kita seolah-olah tak mau beringsut dari titik nadir kredibilitasnya di mata publik. Karena itu, potret buramnya turun-temurun dari satu periode ke periode berikutnya.

Dosa DPR

Nada sumbang seputar DPR tentu tak bergema sekarang saja. Riuh rendah janji-janji para wakil rakyat itu menguap seiring usainya hajatan demokrasi lima tahunan. Saat status wakil rakyat sudah disematkan, banyak anggota Dewan yang mempraktikkan politik dasamuka. Muka manis penuh janji dipasang saat berhadapan dengan khalayak melalui televisi atau media massa lainnya, sementara produktivitas kerja di Senayan terjun bebas tanpa arah.

DPR periode 2009-2014 sudah sangat layak dikritik keras.Menurut penulis, paling tidak ada tiga dosa utama DPR yang telah dilakukan sejak prosesi penahbisan mereka sebagai wakil rakyat hingga sekarang.

Pertama, tidak produktifnya fungsi legislasi DPR. Pada rapat paripurna pembukaan masa persidangan keempat tahun sidang 2009- 2014 tergambar jelas bahwa DPR periode ini justru lebih buruk dari periode sebelumnya. Sepanjang Januari hingga Juli 2010, DPR baru mengesahkan tujuh RUU dan enam di antaranya tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010.

Ketujuh RUU yang disetujui untuk disahkan menjadi UU antara lain RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2008,RUU tentang APBN 2010,RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4/2009 mengenai Perubahan Atas UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Ratifikasi Perjanjian RI-Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura 2009,RUU Pengangkatan Tenaga Honorer, RUU Kesepahaman Indonesia dan Brunei Darussalam di Bidang Pertahanan. Keenam RUU tersebut sama sekali tidak masuk Proglegnas 2010.

Hanya satu, yakni RUU Perubahan atas UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang masuk Prolegnas. Hal itu menjadi ironis tatkala Februari lalu DPR telah menetapkan 70 RUU yang masuk Prolegnas dan ditargetkan selesai selama 2010.Lebih ironis lagi saat melihat komposisinya,36 RUU merupakan inisiatif DPR dan 34 RUU akan diusulkan pemerintah. Sebuah target menjalankan fungsi legislasi yang mengesankan dari hitungan kuantitatif, tetapi tak dibarengi kesungguhan merealisasikannya.

DPR bisa saja berkilah masih punya waktu dan telah menetapkan strategi untuk memaksimalkan pencapaian target legislasi seperti dikemukakan Ketua DPR Marzuki Alie dalam pidato rapat paripurna penutupan masa sidang keempat. Namun ketergesa-gesaan waktu dan kompleksitas pembahasan membuat kita pesimistis akan selesainya target tahun ini, juga target legislasi hingga 2014, terlebih dengan model kerja DPR seperti sekarang.

Kita mencatat,Prolegnas 2010- 2014 menargetkan 247 dengan komposisi 62 usulan bersama pemerintah dan DPR, 120 usulan DPR, dan 65 usulan pemerintah. Mungkinkah ini tercapai? Sulit rasanya jika melihat "track record" kerja DPR selama ini. Berbagai catatan atas DPR menunjukkan, sejak 2005 realisasi legislasi hanya sanggup dipenuhi 10% dari target yang ditetapkan.

Pada 2005,dari 55 target hanya 14 yang terpenuhi, tahun 2006 dari 76 hanya 39,tahun 2007 dari 78 hanya 40, tahun 2008 dari 81 hanya 61,tahun 2009 dari 76 hanya 39, sementara tahun 2010 hingga Juli,dari 70 baru 7 saja yang direalisasikan.Ini merupakan dosa DPR pada rakyat yang telah mempercayakan keterwakilan mereka dalam pengusulan, penyusunan, pembahasan, dan pengesahan kebijakan publik untuk kehidupan rakyat yang lebih baik.

Kedua, DPR berdosa kepada rakyat atas mandulnya fungsi pengawasan yang terpaksa harus tunduk pada berbagai deal politik. Satu kasus yang mencederai harapan publik misalnya adalah penuntasan kasus Century. Ini merupakan drama kolosal yang menyesakkan hati nurani rakyat.Disebut kolosal karena gegap gempitanya kasus ini hingga seluruh energi bangsa ini tersedot di labirin Century.

Tak hanya mengakibatkan roda pemerintahan SBY berjalan superlamban karena reputasinya sedikit banyak ternodai Century, bingkai wacana media dan diskursus publik pun didominasi skandal ini. Dalam pandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus Hak Angket Century,Rabu (17/02/10),7 dari 9 fraksi menyimpulkan, ada pelanggaran hukum baik dalam proses akuisisi dan merger,fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP), kebijakan bailout maupun aliran dana.

Sampai sekarang, tak ada kejelasan bagaimana muntahan bola panas sekaligus rekomendasi setengah hati yang telah dibuat DPR itu mengurai benang kusut Century.Rakyat hanya dibuat terbengong- bengong oleh berbagai akrobat politik di Senayan dan di media massa dari para anggota Pansus Century. Lantas untuk apa semua kegaduhan itu jika tak menghasilkan sesuatu yang konkret untuk menjawab tuntutan publik yang menghendaki kejelasan kasus tersebut?

Sebagian politisi pengusung Century malah asyik masyuk bercengkerama kembali dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) tanpa malu-malu menunjukkan kepada publik bahwa target kasus ini hanyalah kepentingan politik elite parpol. Misalnya, hanya untuk melengserkan Sri Mulyani karena dianggap mengancam kenyamanan ekonomi dan politik elite partai.

Ketiga, dosa dalam mengoptimalkan fungsi anggaran untuk kesejahteraan rakyat. DPR periode 2009-2010 yang merupakan produk hasil reformasi telah memiliki fungsi anggaran yang cukup kuat pasca-amendemen konstitusi. Namun, kenyataannya, kewenangan besar pada fungsi anggaran DPR tidak mampu diakselerasikan untuk menyejahterakan rakyat yang diwakili.Salah satu contohnya adalah DPR kembali hanya memberi stempel RAPBN.

Yang lebih mencederai lagi, justru sebagian elite partai besar menyusun proposal ambisius dana aspirasi yang kemudian diberi label baru: program percepatan dan pemerataan pembangunan. Kelompok elite partai ini mengemas libido politik sendiri melalui aksi yang seolah-olah Roobin Hood. Pura-pura membantu rakyat miskin, tapi dalam realitasnya teramat mahir mengolah rakyat hanya sebagai komoditas belaka.

Para Pendosa

Melihat dinamika kerja DPR hingga sekarang ini, skeptisisme publik menguat.Lagi dan lagi,DPR gagal menghadirkan impresi kuat bahwa mereka serius melakukan fungsinya untuk rakyat. Alih-alih bekerja, yang mencuat malah info mengenai para pembolos. Deretan nama anggota DPR yang tak hadir di masa persidangan kedua (4 Januari- 5 Maret 2010) dan masa persidangan ketiga (5 April 2010-18 Juni 2010) sejatinya adalah para pendosa.

Mereka berdosa karena selain mencederai konstituen yang telah memilihnya, juga tak amanah atas kerja-kerja yang dibiayai rakyat. Deretan penghasilan anggota DPR mulai dari gaji pokok, tunjangan listrik,tunjangan aspirasi,tunjangan kehormatan,tunjangan komunikasi, tunjangan pengawasan yang rutin diterima setiap bulan, diakumulasikan dengan penghasilanpenghasilan lain nonrutin,semuanya dibiayai dari dana rakyat.

Tak ada solusi lain bagi para pelanggan bolos selain sangsi tegas diberhentikan dari posisi terhormatnya sebagai wakil rakyat. Hal tersebut telah terang-benderang tertuang dalam Undang-undang No 27 Tahun 2009 Pasal 243 ayat 1 jo Peraturan Tata Tertib DPR RI No 1 Tahun 2009 Pasal 244 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap anggota DPR RI yang tidak hadir dalam persidangan selama enam kali berturut- turut atau tiga bulan berturut- turut bisa diberhentikan dari keanggotaannya sebagai legislator di DPR RI. "Fingerprint" dan Badan Kehormatan tidaklah cukup mengontrol perilaku para anggota DPR. Oleh karenanya, parpol pun harus tegas mengevaluasi para pendosa di Senayan.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/342079/

PENYEDERHANAAN PARPOL


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasikan di Koran Jakarta, Kamis, 29/07/2010)

Perbincangan mengenai penyederhanaan parpol terus menggelinding dan menjadi salah satu isu utama sekarang ini. Setelah ide konfederasi digulirkan PAN, Partai Golkar menawarkan fusi.Belakangan, muncul juga wacana asimilasi dari Partai Demokrat.

Sebelum membahas plus-minus konfederasi, fusi, serta asimilasi, ada baiknya kita meletakkan terlebih dahulu logika penyederhanaan partai dalam kerangka sistem kepartaian kita.

Tak disangkal lagi, wacana penyederhanaan partai ini mencuat kembali karena dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, adanya tarik-menarik kepentingan terkait dengan pembahasan revisi UU No 2/2008 tentang Partai Politik.Kedua, wacana peningkatan "parliamentary threshold" (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen dari total jumlah suara dalam Pemilu. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif adalah 2,5 persen.

Dengan ketentuan itu, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak memunyai perwakilan di DPR. Dengan demikian, suara yang telah diperoleh parpol tersebut dianggap hangus. Pengalaman Pemilu 2009 menjadi catatan tersendiri bagi para pengurus parpol kecil. Saat itu, lebih kurang 19 juta pemilih mereka tak memiliki perwakilan di DPR akibat parpol yang mereka pilih tak mampu memenuhi PT.

Aturan peningkatan PT menjadi 5 persen yang awalnya diharapkan menjadi stimulus peningkatan kualitas dan kapasitas parpol di tengah para pemilih telah melahirkan kegamangan.Parpol kecil mengalkulasi sumber daya politik mereka yang minim sehingga mulai membuat skema penyelamatan seandainya aturan peningkatan PT disetujui.

Sebaliknya, parpol besar sibuk menyusun formula yang dapat menjadi magnet bagi parpol kecil sekaligus menciptakan atmosfer yang menguntungkan bagi konstestasi 2014.Formula konfederasi, misalnya, telah menarik minat 17 parpol nonparlemen melakukan penjajakan dengan PAN meskipun kabarnya baru sekitar 10 parpol yang memberi sinyal positif. Partai Bintang Reformasi (PBR) telah merapat ke Partai Golkar, sementara Partai Republikan mulai menjajaki asimilasi dengan Partai Demokrat.

Dengan demikian, “jualan” wacana penyederhanaan parpol yang bergulir belakangan ini lebih menggambarkan orientasi pada akses kekuasaan dibanding kemanfaatnya untuk publik yang lebih makro.Orientasi itu tak seluruhnya salah karena politik memang sejatinya berhubungan dengan kekuasaan.Namun, jauh akan lebih positif jika logika penyederhanaan parpol itu diorientasikan untuk membenahi karut-marut multipartaisme.

Berbagai fakta menunjukkan sistem multipartai sangat rentan menimbulkan gejolak perbedaan bahkan konflik.Terlebih jika sistem multipartai bersanding dengan sistem pemerintahan presidensial (presidensialisme).Di satu sisi, presiden dipilih rakyat secara langsung seperti SBY yang mengantongi suara signifikan dan memenangi Pemilu Presiden satu putaran.

Di sisi lain, DPR dihuni wakil rakyat dari partai politik yang fragmentasi kepentingannya sangat beragam. Kekuatan tidak terpolarisasi pada kutub koalisi dan oposisi secara jelas.

Akibatnya politik transaksional menjadi dominan. Sistem multipartai telah dipraktikkan di Indonesia sejak Pemilu I, pada 1955, dengan jumlah 178 peserta termasuk calon perorangan, pemilu 1971 diikuti 10 parpol, pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol, dan pemilu 2004 diikuti oleh 24 parpol, sementara pemilu 2009 diikuti oleh 34 parpol.

Kenyataannya, kolaborasi presidensialisme dengan multipartaisme ini tak menghadirkan dukungan mayoritas pada pemerintah, bahkan kerap kali presiden “tersandra” oleh deal-deal politik, mulai dari transaksi dalam penyusunan kabinet hingga koalisi setengah hati di parlemen.

Sebagai contoh, kinerja pemerintahan SBY terganggu oleh kasus Century yang justru dengan lantang dimotori oleh Golkar dan PKS yang sejatinya adalah mitra koalisi.Politik transaksional pun tak terhindarkan pada saat koalisi penuh paradoks dilakukan menjelang pilkada. Dengan demikian, logika penyederhanaan partai idealnya mengacu pada pelembagaan konsensus politik.

Penyederhanaan bukan berarti mengebiri kebebasan warga negara untuk berserikat dalam parpol, melainkan menciptakan mekanisme yang dapat mejamin penguatan demokrasi sekaligus meningkatkan kapasitas parpol di sistem politik kita.Peningkatan PT diletakkan dalam konteks konsolidasi parpol yang idealnya berbasis pada kesamaan platform dan ideologi atau konsensus sebelum pemilu untuk menjamin sebuah koalisi parmenan.

Partai-partai kecil yang tak akan sanggup memenuhi PT seyogianya realistis bergabung dengan partai besar yang memiliki orientasi sama sehingga ada keberbedaan dalam menawarkan program dan kebijakan dengan blok kekuatan lain.Hal ini tentu saja akan memperkaya referensi para pemilih.

Ketiga tawaran wacana yang ada sekarang, yakni konfederasi, fusi, dan asimilasi, memiliki kelebihan masing- masing.Konfederasi memiliki kelebihan dalam hal daya ikatnya yang permanen tanpa harus meleburkan identitas partai-partai yang berkonfederasi. Partai-partai bisa membuat kesepahaman (mutual understanding) sekaligus membuat konsensus nyata, melembaga, dan dideklarasikan menjelang Pemilu.Inilah wujud koalisi permanen. Oleh karena itu, memprasyaratkan diakomodasi terlebih dahulu dalam revisi UU Pemilu Legilatif. Kelemahannya, konfederasi tak mudah dipraktikkan dalam konfi gurasi politik di Indonesia.

Sangat sulit menyatukan partai-partai berbeda karena alasan kesamaan platform atau ideologi partai. Dengan demikian, sangat mungkin konfederasi menjadi taktik bermain yang sekadar menjadi pembuka akses untuk duduk di parlemen tanpa peduli terhadap arti penting pelembagaan politik.PAN kerap mengambil contoh konfederasi ala Barisan Nasional di Malaysia.

Dalam fusi, partai-partai melebur ke dalam wadah sekaligus identitas baru seperti pernah kita alami melalui ketetapan UU No 3/1975.PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba.Seluruh satuan kekaryaan bergabung ke dalam Golongan Karya. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti tiga parpol sehingga kerap disebut sebagai multipartai sederhana.

Kelebihannya, tentu saja polarisasi kekuatan politik akan semakin jelas dan membuat sistem politik semakin stabil. Kekurangannya, peleburan partai akan mengundang resistensi serta memunculkan anggapan ini bukan mekanisme penyederhanaan yang alamiah, terutama untuk saat sekarang.Kita diingatkan pada proses fusi parpol zaman Orde Baru yang dipaksakan oleh Soeharto untuk menjaga stabilitas dan pengendalian fragmentasi politik rezimnya saat itu.Fusi sempat menjadi kutub ekstrem penyelewengan kekuasaan melalui korporatisme dan kartelisasi politik.

Sementara itu, asimilasi menekankan pada pembauran kekuatan politik.Kelebihan ide dasarnya adalah pada pembauran akar rumput politik untuk membangun kesepahaman secara alamiah. Cara-cara kultural menjadi ciri dominan kerja sama politik dibanding pendekatan legal-formalistik.

Tentu saja kekurangannya adalah proses membangun konsensus akan sangat cair. Konsolidasi dan pelembagaan politik yang permanen sepertinya lebih sulit dipraktikkan oleh model asimilasi dibanding konfederasi maupun fusi.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://wwww.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=58504

Kamis, 29 Juli 2010

"KOMUNITARIANISME IBU KOTA"


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Pelita, 6/07/2010)

Jakarta sebagai ibu kota, layaknya sebuah latar drama kehidupan. Penggalan cerita kekerasan, keangkuhan,pertaruhan nasib dan mimpi semuanya dikonstruksi menjadi ranah pengalaman. Tak terasa, pada 22 Juni 2010 Jakarta berusia 483 tahun. Di hari jadinya inilah, penting menempatkan perbincangan Jakarta sebagai drama masyarakat metropolitan dalam suatu diskursus prinsip komunitarian.

Problem Sosial

Daya tarik Jakarta berkaitan dengan tingginya peredaran uang. Hampir dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta. Pada saat yang sama, kurang lebih 45 persen investasi dalam negri juga ditempatkan di Jabodetabek. Dengan demikian Jakarta antraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politik, ekonomi bahkan industri kebudayaan.

Terjadinya sentralisasi kapital ini, bukan tanpa masalah. Orang daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki nasib. Mereka tak bisa disalahkan, sebab mimpi perbaikan nasib itu kini menggantung di langit Jakarta. SDM berkualitas di daerah habis tersedot ke pusat, sehingga daerah pun tak dapat mengoptimalkan diri.

Jakarta kian banyak melibatkan aktor yang bermain. Meskipun kebutuhan dan kapasitas wilayah Jakarta untuk menjadi panggung kehidupan kian terbatas. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan penduduk Jakarta 9,6 Juta jiwa berdasarkan informasi sensus 2010. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang pindah ke Jakarta. Dapat kita bayangkan dampak pertumbuhan masyarakat seperti ini. Perlahan tapi pasti, "Imagined city" justru kian mengarah ke "self-destroying society" di masyarakat metropolitan."

Masalah yang harus diwaspadai di masyarakat metropolitan sekarang ini, adalah "socio-cultural animosity". Ini merupakan kebencian sosial dan budaya yang bersumber dari perbedaan nasib yang dikonstruksi oleh momentum. Hal ini bisa menjadi rahim keinginan balas dendam yang sangat mungkin memunculkan konflik sosial baik aktual maupun yang sifatnya laten.

Munculnya konflik itu bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, pada masyarakat Jakarta yang heterogen terlanjur berkembang simbol-simbol khusus yang membentuk streotype kelompok tertentu. Contoh paling kolosal, konflik seperti ini aktual pada 13-15 Mei 1998.

Kebencian yang tersembunyi pada kelompok tertentu, tersalurkan lewat penyerangan, penjarahan dan pembunuhan, misalnya terhadap etnis keturunan. Selain kerugian materi, konflik seperti ini tentu saja menciderai nilai-nilai ideal kemanusiaan. Bisa jadi, ini hanya merupakan salah satu contoh kasus dari ledakan-ledakan besar yang sudah dan akan terjadi di kemudian hari jika tak diantisipasi.

Faktor lain yang memunculkan "animocity", bisa juga dipengaruhi proses integrasi yang belum tuntas. Proses integrasi menurut Amitai Etziani dalam The Spirit of Community The Reinvention of American Society" (1993) memiliki beberapa model. Model integrasi normatif, yaitu integrasi yang berakar pada kesepakatan dan kepatuhan yang membudaya terhadap nilai-nilai dan norma tertentu. Integrasi ini mempunyai hubungan timbal balik dengan adanya rasa senasib, cita-cita bersama dan ikatan solidaritas. Integrasi model ini, sekarang sudah mulai hilang di masyarakat ibu kota.

Secara sosiologis, seseorang akan patuh pada nilai-nilai dan norma yang ada bila ia memiliki rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut serta kontrol yang terjadi dalam diri setiap orang. Kenyataanya di ibu kota seperti Jakarta, sikap ultra individualisme yang berkembang telah terinstitusionalisasikan sehingga ikatan solidaritas menjadi sangat lemah.

Model integrasi lainnya, adalah integrasi fungsional yang bersandar pada rasa saling membutuhkan dan ketergantungan fungsional antar kelompok. Banyak kasus yang mengakibatkan integrasi model ini terganggu, misalnya saja kasus bisnis yang berjalan tidak sehat.

Banyak perusahaan di Jakarta yang lahir dan tumbuh sarat dengan KKN, sehingga "corporate culture" yang dibangun tidak menciptakan hubungan fungsional yang utuh. Banyak terjadi kesenjangan yang secara psikologis menyuburkan nilai ke-aku-an.

Integrasi yang dominan dalam kondisi seperti Ini, justru integrasi koersif yakni integrasi yang belandaskan pada kekuatan memaksa dari suatu kelompok dominan terhadap lainnya. Misalnya saja, dapat kita amati saat kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis pribumi Ibu kota yang kerap memaksakan kehendak mereka.

Prinsip Komunitarian

Untuk membangun good seciety di Jakarta perlu kiranya kita mengukuhkan kembali prinsip komunitarianisme. Prinsip ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.

Nilai penting dari prinsip ini, masyarakat metropolitan perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Kekitaan yang tidak menindas keakuan serta memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsipnya antara lain anti puritanisme serta merancang dengan hati-hati kewenangan serta kekuasaan pemerintah.

Dalam prinsip komunitarian, institusi pendidikan dapat menjadi agen pendidikan moral tanpa terjebak pada proses indoktrinasi. Warga memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain. Perjuangan kepentingan pribadi dalam prinsip ini, harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas.

Oleh karenanya, kerakusan individu tanpa batas harus diganti dengan kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang diakui serta dikonsensuskan oleh masyarakat. Pembangunan oleh pemerintah harus mengacu pada konsep "people centre development and reinventing government". Konsep ini, menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memberi daya dan memberi kemudahan dengan cara memberikan informasi kepada komunitas dan mengikutsertakan mereka menjadi partisipan yang proaktif.

Pemda DKI sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun) dan menengah (10 tahun), tinggal kesadaran para penyelenggaranya untuk lebih memanusiawikan prosesnya. Penyakit sosial berupa "anomie" (normlessness) atau kekaburan antara apa yang benar dan salah, yang meluas di kalangan masyarakat bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tak diskriminatif.

Menuju masyarakat komunitarian pada masyarakat metropolitan bukan lagi suatu keinginan yang idealis tetapi kebutuhan yang realistis bahkan strategis.

Tulisan ini bisa juga diakses di:
http://bataviase.co.id/node/284752

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu, 30/06/2010)


Perbincangan publik mengenai skandal video porno mirip para selebritas, secara sadar,masif, dan penuh paradoks hingga sekarang masih mewarnai, bahkan mendominasi, ruang publik kita.

Inilah negeri yang lekat dengan berbagai skandal. Dari skandal politik, keuangan, pendidikan hingga kesusilaan. Skandal seolah mengikuti detak jantung kesemrawutan bangsa ini dan paralel dengan sikap tunarasa para publik figur yang kerap dipertontonkan secara nyata di depan mata khalayak. Isu privat yang menerabas batas konsensus moralitas umum dan hukum seperti dilakukan para pelakon mirip artis tersebut telah sukses mereduksi makna ruang publik menjadi perbincangan yang sangat dangkal.

Berbicara skandal asusila mirip Ariel-Luna Maya-Cut Tari dilihat dari perspektif komunikasi, tak hanya menempatkan para artis itu sebagi bahasan sentral. Melainkan harus menempatkan objek itu dalam interkoneksitasnya dengan institusi media massa,khalayak penerima pesan, serta dampak skandal tersebut bagi masyarakat.

Nilai Pertukaran

Skandal dengan pelaku dari kelompok elite, baik dari panggung politik maupun dunia hiburan, selalu menjadi komoditas yang punya potensi menyediakan pasar sekaligus nilai pertukaran (exchange value).Kontroversi suatu skandal yang melibatkan para pesohor menebarkan aroma hukum pasar. Semakin tinggi tingkat permintaan, semakin mahal barang. Sejumlah skandal kaum elite menyeruak ke permukaan dan penetratif hingga ke ruang keluarga, melalui media massa.

Jika media tak membahas intensif suatu skandal,maka tentu tak akan menjadi prioritas perhatian khalayak. Dari ranah politik kita bisa mencontohkan skandal Watergate di awal 1970-an yang melibatkan Richard Nixon. Di dalam negeri sendiri sejumlah skandal seperti Buloggate,Bruneigate,hingga skandal bailout Bank Century menjadi ranah pertarungan opini publik di media massa. Isu-isu tersebut dibentuk, diarahkan, dan menjadi bola salju guna menginformasikan fakta, mengonstruksi realitas, mendominasi, bahkan kerap memanipulasi kecenderungan opini khalayak. Begitu pun skandal yang menyangkut kesusilaan, kita bisa menyebut misalnya skandal Bill Clinton-Monica Lewinsky yang sempat mengarah pada upaya digelarnya impeachment pada 1998.

Skandal Silvio Berlusconi,Perdana Menteri Italia, bersama sejumlah perempuan— termasuk wanita panggilan. Isu skandal pun ramai menerpa mantan Presiden AS yang sukses seperti Thomas Jefferson dengan Sally Hemings serta John F Kennedy- Marilyn Monroe. Di dalam negeri, kita tentu juga mengingat skandal Yahya Zaini-Maria Eva serta Max Moein-Desi Vridiyanti. Deretan skandal kesusilaan lain menyangkut para pesohor sebagian besar timbul dan tenggelam dalam kontestasi isu yang dibingkai oleh media massa. Tentu saja para pelaku asusila dalam berbagai skandal sangat meresahkan dan mengancam konsensus moral yang mapan terpola.Termasuk dalam skandal terakhir yang melibatkan Ariel-Luna-Cut Tari.

Jika pun benar mereka melakukan apa yang kini dituduhkan sebagai prilaku asusila, maka sudah sepatutnya mereka mempertanggungjawabkan prilaku mereka secara hukum dan sosial. Namun, bagi penulis tak hanya para pelaku asusila itu saja yang patut dikritik, melainkan media massa yang dengan sangat intensif dan masif memosisikan skandal ini dalam konteks komodifikasi.Mengacu pada Vincent Mosco dalam The Political Economi of Communication (1996), komodifikasi itu merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan.Sebagai contoh, berbagai stasiun televisi nasional kita dengan sangat intensif mengulas fakta bercampur gosip secara eksplosif baik dalam bentuk narasi maupun visualnya.

Dengan begitu, mereka tidak hanya menghadirkan informasi, melainkan juga sensasi tertentu pada khalayak untuk menjadi pengoleksi dan “jamaah” penikmat dari berbagai koleksi skandal yang terdokumentasikan. Berita yang mencampuradukkan fakta dan gosip ini pun kerap tak hanya dilakukan para pekerja infotainment, melainkan juga program berita yang seharusnya lebih hati-hati dan lebih selektif.

Akumulasi dan Peneguhan

Dalam kasus Aril-Luna-Cut Tari ini industri media kita tampak makin meneguhkan tesis Douglas Kellner dalam Television and the Crisis of Democracy (1990), bahwa tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion. Memang benar,skandal asusila ini harus diberitakan.Namun,jangan sampai media mereduksi ruang publik dengan dominasi persoalan privat yang dapat menutup mata khalayak atas sejumlah persoalan kebangsaan yang membutuhkan perhatian. Misalnya soal pemilihan pimpinan KPK,kasus Anggodo, Bibit-Chandra, Susno Duadji, skandal pajak Gayus, lumpur Lapindo, etika politik anggota KPU Andi Nurpati, dan lain-lain.

Bukan sebaliknya, karena pertimbangan akumulasi keuntungan, maka fenomena ketidakpatutan diproduksi dan direproduksi secara massal. Terlebih saat ini media massa telah mendapatkan partner peneguh yang tak kalah berpengaruhnya, yakni dunia maya. J i k a dulu berbagai skandal itu hanya diperoleh melalui media massa, kini melalui jejaring sosial skandal menjadi kian personal.Contoh cukup memprihatinkan adalah video panas mirip para selebritas ini sempat disebar melalui Facebook. Bahkan hashtag ”Ariel Peterporn” sempat menjadi trending topics twitter nomor 1 mengalahkan hashtag Flottila, sehingga menjadi perhatian tak hanya Tweeps (pengguna Twitter) di Indonesia, melainkan juga luar negeri. Berbagai link untuk mengakses video-video tersebut sangat mudah didapatkan para pengguna internet.

Bahkan informasi dari pihak Telkomsel (14/6), akibat peredaran video skandal orang-orang mirip selebritas ini,trafficTelkomsel melonjak 30%.Virus penyebaran skandal ini tentu saja salah satunya difasilitasiolehmediamassa. Sinopsis skandal itu terpapar cukup detail di berbagai media massa baik cetak maupun elektronika, sehingga turut memberi stimulasi untuk melakukan perbincangan dan akses skandal ini melalui situs jejaring sosial.

Reinforment Imitasi

Hal yang patut kita waspadai bersama adalah dampak skandal ini bagi khalayak. Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi memberi catatan bahwa seorang individu sangat mungkin belajar untuk menyamai tindakan orang lain,terutama dari role model atau publik figur, melalui proses instrumental conditioning. Cara vulgar media menampilkan video mesum dan porsi ulasan berlebih dapat menjadi instrumen yang mengondisikan prilaku imitasi. Terlebih mereka yang diduga menjadi pelaku adalah selebritas yang memiliki jutaan fans.

Hal ini sudah mulai berdampak,misalnya KPAI menginformasikan ada 33 anak diperkosa gara-gara video mirip Ariel ini. Jika motif mereka benar demikian,tentu saja fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Elite di panggung hiburan seperti halnya di panggung politik, lekat dengan publisitas yang sangat mungkin merekayasa ingatan khalayak melalui opini publik yang dibangunnya.Memang upaya pembersihan citra diri bukan persoalan sederhana.Para politisi,terlebih yang terikat dengan partai politik, akan sangat tergantung pada organisasi politik di mana dia bernaung.

Jika dia masih diakui sebagai ingroup dari kelompoknya, biasanya skandal tak akan sampai membunuh eksistensinya. Namun, kebanyakan politisi yang tersangkut skandal, terlebih masalah asusila, biasanya akan menepi dari peredaran,terutama jika gagal merekayasa opini positif.Selebritas dunia hiburan akan sangat ditentukan oleh kekuatan nilai tukarnya di pasar.Jika pasar masih merespons positif, biasanya dia akan memperoleh ”pengampunan” sosial, meski tak bisa mengelak dari hukum.

Hal seperti ini sangat mungkin kembali terulang di masa depan. Seolah mempertegas bahwa skandal tak akan pernah terpisah dari gegapgempitanya kehidupan para pesohor.(*)

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334690/

Di

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jum'at, 11/06/2010)


Perhelatan akbar olahraga terpopuler sejagat dimulai. Prosesi pembukaan Piala Dunia akan secara resmi dimulai 11 Juni di Soccer City, Johannesburg dan akan berlangsung hingga 11 Juli.

Virus World Cup telah menyebar dan mewabah secara masif serta menghipnotis warga dunia melampaui batas-batas negara, etnik, agama bahkan perbedaan politik.Selama sebulan penyelenggaraan Piala Dunia ke-19 di Afrika Selatan ini, miliaran orang masuk ke dalam satu dimensi yang sama, yakni konvergensi simbolik yang diikat oleh tradisi perilaku mapan dan terpola berbasis “ideologi kulit bundar”.

Arus pusaran Piala Dunia ini seperti biasanya melahirkan euforia. Tak hanya pergulatan mengukir prestasi olahraga, melainkan juga prestise, nasionalisme, citra sekaligus motif ekonomi-politik untuk menjadi yang terhormat dari sejumlah negara-bangsa (nation state) yang menjadi peserta.

Kampanye total

Mengapa Piala Dunia yang diselenggarakan Federation International de Football Assocation (FIFA) untuk yang ke-19 kalinya ini sangat powerful dan luar biasa menyihir warga dunia? Hampir semua penggila bola dari seluruh dunia larut dalam ekstase yang gejalanya diembuskan dari Stadion FNB, Moses Mabidha, Green Point, Ellis Park, Loftus Versfeld, Nelson Mandela Bay,Free State,Peter Mokaba, Mbombela,Royal Bafokeng. Semula,banyak pihak yang menyangsikan kesiapan Afrika Selatan sebagai tuan rumah.

Terlebih, saat itu Afrika Selatan harus bersaing dengan Maroko dan Mesir. Inilah bagian dari strategi sihir kampanye FIFA agar perhelatan ini benar-benar dimiliki dan dirasakan warga dunia. Caranya, tentu saja melalui sistem rotasi penyelenggaraan turnamen Piala Dunia FIFA di antara konfederasi-konfederasi yang mengintegrasikan diri.

Tak dielakkan lagi, kunci sukses Piala Dunia adalah kampanye total yang didesain tak hanya di negara yang menjadi tuan rumah, melainkan juga di antero dunia. Dengan cara berantai dan sistematis, kampanye dilakukan dengan interkoneksitas media massa dan korporasi yang menjadi sponsor. Afrika Selatan tampak berupaya all out memoles citra negaranya untuk dianggap layak sebagai tuan rumah.

Sebagai contoh kecil,misalnya, perhelatan Piala Dunia menurut beberapa sumber menghabiskan dana 30 miliar rand atau sama dengan USD3,7 miliar yang setara dengan Rp35triliun. Dana tersebut terutama digunakan untuk mempercantik 10 stadion yang akan digunakan sebagai panggung pertunjukkan, bahkan bisa jadi jumlah tersebut lebih besar dari estimasi tadi.

Sementara strategi total media relations melalui publikasi, advertising, dan sejumlah strategi kampanye lainnya berupaya menggiring, mengintervensi hingga mampu menjebol benteng pertahanan dari kesadaran warga dunia untuk menjadi “teman setia” yang menguntungkan secara ekonomi dan potensial bagi sponsor serta penyelenggara.

Football effect yang senantiasa merasuki jiwa miliaran penonton di seluruh dunia sudah lama menjadi pendorong ampuh footballnomics atau gejala peningkatan pendapatan ekonomi yang disebabkan sihir “si kulit bundar”.World Cup menjadi arena pertarungan tak hanya bagi timtim sepak bola tangguh dari seluruh dunia, melainkan juga tempat bertempur produk para sponsor untuk memenangi pasar.

Para sponsor resmi seperti Budweiser, Mc- Donald’s, Castrol, Continental, perusahaan komunikasi seluler MTN, perusahaan jasa teknologi informasi asal India, Satyam dan perusahaan China pertama yang menjadi sponsor Piala Dunia Yingli Green Energy memiliki hak eksklusif penggunaan trade mark FIFA dalam promosi produk mereka di seluruh dunia.

Layaknya rumusan dalam dunia bisnis no free lunch, sejak mereka membayar mahal, sejak saat itulah mereka menjadi campaign apparatus yang secara sistemik melakukan kampanye total bagi Piala Dunia. Satu hal lagi yang patut dicatat dalam keberhasilan penyebaran virus World Cupadalah terpaan media (media exposure).

Ribuan wartawan, fotografer, kamerawan berlomba menyajikan laporan Piala Dunia yang paling cepat, paling baik, paling variatif untuk tampil mengesankan hingga di ruang keluarga. Ribuan stasiun televisi, radio, media cetak, dan media online membeli hak siar Piala Dunia.

Bahkan,di Piala Dunia 2010,makin menguat fenomena konvergensi teknologi seperti juga telah terjadi di Piala Dunia Jerman tahun 2006. Berbagai situs web memberi peluang mengunduh kliping-kliping video, termasuk semua gol yang tercetak. Di Indonesia sendiri, Electronic City yang selama ini dikenal sebagai penyedia barang-barang elektronik berhasil mendapatkan lisensi Piala Dunia 2010 melalui anak perusahaannya Electronic City Entertainment (ECE).

ECE melakukan integrated campaign untuk menyemarakkan Piala Dunia 2010. Untuk tayangan di televisi, ECE memilih RCTI dan Global TV sebagai media partner. Selain akan menayangkan 64 pertandingan live dan rerun, ada supporting program seperti tayangan Road To World Cup.

Tidak hanya strategi above the line, ECE juga menerapkan kampanye lewat program-program di lapangan, misalnya membuat gerai bernuansa World Cup di rombong, kios,dan mal-mal.Selain itu, mengadakan acara nonton bareng yang menargetkan 1.000 titik di kafe, mal, dan restoran.Wajar jika kemudian demam Piala Dunia hadir di mana-mana.Inilah bentuk dari sihir komunikasi berbentuk kampanye yang serentak, global, dan penetratif.

Bolaisme

Piala Dunia sejatinya tak lagi hanya perhelatan olahraga. Unsur dramatiknya inilah yang sering kali disentuh, bahkan pada tataran tertentu dieksploitasi, untuk membingkai kesadaran warga dunia dalam satu dimensi emosi, bahkan perlahan tapi pasti membentuk semacam “ideologi kulit bundar” atau bolaisme.

Ada tiga alasan yang menguatkan bahwa realitas Piala Dunia ini telah membentuk bolaisme yang dianut miliaran orang di hampir seluruh penjuru dunia. Pertama, permainan bola telah membentuk “kesadaran nilai” yang menggerakkan. Seperangkat moral-etik telah disepakati sebagai landasan berpikir, acuan bertindak, dan dipercaya sebagai nilai yang akan memberikan “jalan kebenaran”.

Bola tak lagi hanya sebagai wujud benda bulat yang diperebutkan 22 pemain dari kedua tim yang bertanding, melainkan sudah menjadi semacam pragmatic action dengan landasan kesadaran ideologis.Jika kita tanya mengapa orang Brasil,Argentina, atau Portugal bermain bola? Bukan semata karena alasan olahraga,melainkan karena bola telah menjadi spirit hidup yang menuntun mereka melakukan banyak hal.

Kedua, permainan bola sudah menjadi bahasa universal yang dapat diterima warga dunia tanpa batas-batas etnis,ras,agama,strata sosial atau kelompok politik tertentu. Semua orang Asia, Eropa, Amerika,Afrika ataupun Australia dapat berkumpul dalam satu perhelatan yang sama tanpa diskriminasi. Salah satu tradisi Piala Dunia misalnya, sebelum pertandingan dimulai,para pemain yang hendak bertanding membentangkan spanduk berbunyi: Says No to Racism.

Sebuah pesan dan semangat universal untuk membangun kebersamaan. Simpul yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut tak lain adalah bolaisme. Ketiga, permainan bola juga telah memiliki banyak tokoh yang perilaku dan pemikirannya banyak memengaruhi “jamaah”bola di seluruh dunia.Sebut saja namanama legendaris seperti Pele,Sang Kaisar Franz Beckenbauer,Diego Maradona,Marco van Basten,atau Juergen Klinsmann.

Dari generasi kekinian ada David Beckham, Zinedine Zidane, Miroslav Klose, Christiano Ronaldo,Wayne Rooney dll. Seperti halnya dengan ismeisme yang lain, permainan bola pun memiliki aliran yang berkembang. Ada penganut aliran permainan gerendel seperti Italia, aliran total footballyang dianut Belanda, aliran permainan bola indah ala Brasil dan lainnya.

Selama sebulan kita akan turut bangga menjadi bagian dari nasionalisme Argentina, Italia, Prancis, Portugal, Jerman dll.Meski demikian, di tengah gegap gempita pesta, seyogianya kita senantiasa sadar bahwa kita sejatinya adalah warga dari sebuah bangsa bernama Indonesia yang hingga kini masih dihinggapi sejuta persoalan yang patut kita waspadai.(*)

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/330329/