Rabu, 22 September 2010

MENYOAL RUMAH "BANGSAWAN" SENAYAN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 07/09/2010)

Kita sudah lama mengenal pemberian label tempat para anggota DPR bekerja sebagai rumah rakyat. Bahkan anggota DPR pun kerap disebut dengan penghormatan mulia sebagai wakil rakyat. Pelabelan yang sejatinya merujuk pada fungsi-fungsi yang seharusnya mereka perankan dalam laku demokrasi yang telah menjadi pilihan.

Namun sebentar lagi, jika DPR tetap memaksakan kehendak untuk membangun gedung baru yang megah dan mewah maka label rumah rakyat sebaiknya kita turunkan dan kita ganti dengan label rumah bangsawan , sekaligus kita tahbiskan mereka sebagai Dewan Perwakilan Bangsawan (DPB). Hal ini untuk memperjelas apakah legislatif kita, merupakan lembaga perwakilan yang sensitif dengan rakyat atau semata mengembangkan respek dan kuasa di antara sesama elit.

Versi Locke

Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan.

Dengan demikian perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Saat itu, konteksnya raja atau ratu berkuasa kerap sewenang-wenang mengambil tanah, peternakan, kastil dan lain-lain milik para bangsawan sehingga mereka membutuhkan pelindung untuk mengamankan status kepemilikan mereka. Dalam konteks itulah, dewan atau lembaga perwakilan mereka butuhkan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.

Sementara dalam perspektif Secondat de Montesquieu yang dikenal dengan nama Montesquieu dalam maha karyanya Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia. Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat. Sehingga, lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tentu ada perbedaan mendasar dalam kedua versi tersebut, versi Locke nampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR kita mengacu pada konsep Trias Politika-nya Montesquieu. Hal ini kita buktikan dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing-masing. Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos Parliamentary Threshold (PT). Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Bahkan ke depan angka PT ini rencananya akan ditingkatkan lagi.

Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni sebagai perwakilan bangsawan.Sejumlah hal yang kini diperjuangakan DPR nyaris kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau menyejahterkan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah atas yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.

Kita bisa menyebut sebagai contohnya adalah usulan dan pembahasan dana aspirasi yang berganti casing dengan dana dapil, rumah aspirasi, transaksi dalam pembuatan atau revisi sejumlah perundang-undangan, hingga pembangunan gedung baru DPR sebagai realisasi syahwat kaum elit bukan kehendak nyata rakyat yang konon diwakilinya.

Inilah logika terbalik dari peran dan fungsi anggota DPR. Seharusnya, mereka peka menyerap dan mewakili kepentingan rakyat, nyatanya tak mau peduli atas aspirasi rakyat. Andai kategori kelas sosial tertinggi dalam masyarakat pra-modern seperti pernah ada pada masyarakat sistem feodal di Eropa masih berlaku hingga sekarang, maka tak keliru jika kita mengkategorikan para anggota DPR pro pembangunan gedung baru yang megah dan mewah ini sebagai kaum bangsawan yang tak rela sejajar dengan kejelataan rakyat di sekitarnya.

Monumen Keangkuhan

Meski mendapatkan penentangan keras dari berbagai pihak, rencana pembangunan gedung baru DPR tetap melenggang. Gedung baru yang terdiri dari 36 lantai plus tiga lantai basement ini akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti landasan pendaratan helikopter (halipad), kafetaria, minimarket, apotik, restoran, tempat spa, fitness center, tempat pijat, dan kolam renang. Dana rakyat yang digelontorkan untuk keinginan ambisius para “bangsawan” Senayan ini pun fantastis, 1,162 triliun! Lengkap sudah keinginan mereka untuk membangun gedung baru yang akan menjadi monumen keangkuhan para anggota dewan.

Sudah pada tempatnya jika rakyat Indonesia mengatakan tidak pada rencana ini. Banyak faktor yang seharusnya dipertimbangkan agar rencana ini ditinjau ulang bahkan dihentikan. Pertama, faktor pemborosan uang rakyat di tengah situasi negara dan bangsa yang hingga kini masih terpuruk. Pada bulan April 2010, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada acara Musrembangnas di Hotel Bidakara, Jakarta, memprediksi utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp1.878 triliun atau meningkat dibandingkan posisi awal hutang tahun ini yang hanya di kisaran Rp1.600 triliun. Tentu ada beban berat bagi APBN kita untuk mencicil kurang lebih 100 trilun per tahun.

Seharusnya, yang dilakukan para elit kita di DPR ini adalah melakukan efisiensi anggaran, bukan sebaliknya menghamburkan uang hanya untuk kepuasan dan kemewahan segelintir orang. Jika pun pembangunan itu harus tetap dilakukan mengingat kondisi gedung yang over kapasitas, maka seyogianya membangun gedung secara sederhana dengan anggaran yang rasional dan punya sense of crisis.

Kita harus mewaspadai kepentingan ekonomi yang dominan di balik pembangunan ini. Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip William D. Perdue, Sociological Theory:Explanation, Paradigm and Ideology (1986), kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah tindakan logis yang mengarahkan pada maksimalisasi kepuasan yang kerap menihilkan nilai dalam memahami sistem sosial. Seribu satu cara bisa dilakukan untuk membuat argumentasi logis seolah-olah semua fasilitas itu memang layak dan seharusnya diberikan kepada anggota dewan. Salah satu contoh argumentasi yang berkembang adalah rujukan Peraturan Pemerintah DKI yang menyatakan bahwa gedung yang penghuninya lebih dari 500 orang harus ada fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dengan rujukan ini maka tempat spa, fitness center, tempat pijat dan kolam renang seolah-olah menjadi keharusan adanya.

Kedua, logika publik akan otomatis resisten dengan pembangunan gedung yang mewah di saat fungsi-fungsi dewan sangat jauh dari kategori optimal. Jejak rekam fungsi legislasi yang jeblok, raport merah fungsi pengawasan, serta tak jelasnya cetak biru fungsi anggaran, membuat wibawa DPR kita terus tenggelam dari satu periode ke periode berikutnya. Seharusnya, saat mereka menuntut fasilitas yang serba mewah maka terlebih dahulu anggota DPR kita menunjukkan kinerja yang membanggakan. Jika pembangunan gedung mewah tetap berjalan, tak salah jika kita melabeli mereka sebagai Dewan Perwakilan Bangsawan (DPB)!

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=142599&pagecomment=1



Tidak ada komentar: