Sabtu, 23 Juni 2012

REGENERASI MUNGKINKAH?

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 5 Juni 2012)

Jika melihat gegap gempitanya media massa memberitakan namanama yang berpeluang menjadi “petarung” di bursa calon presiden (capres) 2014, rasanya pemilu itu sudah sangat dekat.

Nyaris tiada hari tanpa pemberitaan menyangkut siapa yang paling berpeluang menggantikan SBY. Demikian pula seluruh energi kreatif partai politik kini mengacu pada fokus yang sama, yakni gelaran demokrasi elektoral yang pastinya akan berlangsung sangat kompetitif. Terlepas dari itu semua, muncul pertanyaan yang merepresentasikan kegalauan kelompok kritis, mungkinkah Pemilu 2014 bisa menjadi momentum regenerasi kepemimpinan nasional?

Feodal-Oligarkis

Tren kepemimpinan di dunia mulai mengarah ke sosok pemimpin muda. Ambil saja contoh terdekat Yingluck Shinawarta (PM Thailand) yang berusia 45 tahun, David Cameron (PM Inggris) berusia 46 tahun, Barack Obama (Presiden AS) berusia 51 tahun,dan Julia Elleen Gillard yang juga berusia 51 tahun. Apa yang menjadi tren di dunia rupanya tak berpengaruh di Indonesia.

Sebut saja namanama kuat yang beredar di bursa capres saat ini, ada Aburizal Bakrie (66 tahun),Prabowo Subianto (61 tahun),Ani Yudhoyono (60 tahun), Hatta Rajasa (59 tahun), Jusuf Kala (70 tahun), dan sejumlah nama sepuh lainnya seperti Megawati Soekarnoputri dan Wiranto.Betapa masih kesulitannya kita memosisikan tokoh-tokoh muda baik dari partai politik maupun bukan untuk diusung mengisi kekosongan proses regenerasi kepemimpinan.Jikapun ada,sejumlah nama pemimpin muda masih berada di wilayah pinggiran, belum menjadi mainstream, padahal regenerasi sudah menjadi kebutuhan mendesak.

Mengapa kita mengalami kesulitan dalam proses regenerasi itu? Jawaban utama tentu bisa kita alamatkan pada kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi.Tradisi kepartaian di Indonesia masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional. Struktur partai belum menjadi partai modern karena dominannya tiga hal tadi. Ciri feodal lekat dengan kuatnya politik figur dan minimnya upaya mentransformasikan politik figur tersebut pada modernisasi partai politik. Partai bergerak sangat sentralistik dan bergantung pada sosok tertentu di puncak hierarki otoritas partai. Ini dialami oleh Demokrat, PDIP, Golkar, dan lain-lain.

Oligarki terjadi karena distribusi dan alokasi SDM ke jabatan-jabatan publik lebih banyak ditentukan oleh segelintir elite partai sehingga formula yang lazim berlaku adalah dari-oleh-untuk mereka yang menjadi elite partai. Sementara praktik transaksional ditandai dengan proses politik yang high cost karena ditentukan oleh siapa yang bisa memiliki kekuatan hadiah (reward power) berlebih. Artinya, mereka yang punya uanglah yang akan mengendalikan seluruh kebijakan partai.Tradisi ini tentu sudah mapan terpola mereduksi pola-pola regenerasi.

Penulis teringat tulisan Benedict Anderson, Old State, New Society (1983), yang menyatakan bahwa kita (bangsa Indonesia) kini berada pada corak masyarakat baru yang kritis dan menuntut perubahan dibandingkan corak masyarakat di era Orde Baru yang “terkungkung”. Namun di sisi lain wajah kekuasaan negara bersama elite-elitenya masih membawa coraklama.

Bisajadi,corak lama yang masih dominan tadi adalah tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional.Corak lama juga banyak kita lihat pada para pemimpin muda, yakni skema politik patron-client yang begitu dominan,sehingga politisi muda yang ada saat ini tidak lebih dari sekadar hasil kloning dari prototipe politisi senior yang menjadi role-modelmereka.

Kriteria Ideal

Presiden Indonesia ke depan idealnya mengacu pada empat kriteria. Pertama, merupakan sosok pemimpin transformatif. Artinya selain memiliki kapabilitas dan kapasitas sebagai pemimpin, dia juga mampu memberi harapan kepada masyarakat untuk mendorong terjadinya perubahan- perubahan sistemik yang bukan semata di level wacana, melainkan juga pada kerja nyata.

Pemimpin transformatif itu tidak bisa lagi kita harapkan dari sosok-sosok kandidat yang sudah mengalami titik jenuh popular vote. Sebut saja nama-nama kandidat yang sudah dua kali kalah dalam pilpres terdahulu. Pemimpin transformatif itu selalu menggerakkan khalayak menuju pemecahan masalah dan memiliki public trust yang sangat tinggi dari masyarakat. Kedua, tidak terbebani dosa-dosa politik masa lalu dan kekinian.Ada beberapa nama kandidat capres yang terkait dengan persoalan hukum seperti dugaan korupsi, pelanggaran yang dilakukan kerajaan bisnisnya, kasus pajak, dan sejumlah persoalan lain.

Ketiga, memiliki performa politik yang memadai, termasuk juga performa ritual, sosial, organisasional, serta performa enkulturasi. Dalam konteks inilah track-record dirinya sebagai politisi sekaligus pemimpin menggambarkan orientasi kepemimpinan menjanjikan di masa depan. Keempat, pemimpin Indonesia ke depan sepatutnya juga merepresentasikan terjadinya proses regenerasi kepemimpinan nasional. Pada momentum 2014 jauh akan lebih baik, jika para pemimpin senior bertransformasi dari aktor menjadi king maker.

Beberapa nama yang belakangan masuk bursa pencapresan ada yang memungkinkan menjadi king maker di 2014, sebut saja Megawati, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie,dan Wiranto. Untuk merealisasi kriteriakriteria tadi, partai politik idealnya menerapkan skema demokratis dalam penetapan capres di partai masing-masing. Misalnya, membuat dan menetapkan indikator-indikator kepemimpinan dan mengujikannya secara terukur pada sejumlah nama kader.Tidak hanya diujikan di lingkup internal, melainkan juga di publik, eksternal.

Mereka yang dalam uji elektabilitasnya rendah seyogianya tahu diri untuk tidak memaksakan kehendak menjadi capres meski dia menjabat ketua umum partai bersangkutan. Cara demokratis lainnya adalah menempuh konvensi partai dengan melibatkan segenap tokoh potensial dari dalam maupun luar partai. Jangan sampai penetapan capres itu tetap dalam skema feodal, oligarkis, dan transaksional karena hal ini akan merusak pemenuhan kriteria-kriteria ideal tadi. Dalam jangka panjang, tentu saja langkah kaderisasi menjadi sangat penting dan menentukan.

Kaderisasi harus berjalan simultan melalui tiga tahap.Tahap merekrut orang untuk masuk ke dalam partai, lantas melakukan pembinaan kader menjadi loyalis sehingga lahir politisi yang profesional, baru kemudian mendistribusikan dan mengalokasikan SDM terbaik partai ke jabatan-jabatan publik seperti cepres dan cawapres. Tentu kita sangat berharap Pemilu 2014 menjadi salah satu entry mengatasi kompleksitas persoalan di negeri ini.Jika kita gagal melakukan regenerasi,kita akan terus berada dalam lorong hitam demokrasi prosedural yang tidak mencerahkan!.

Tulisan diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/500629/

ANTARA PUAN DAN MEGA

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 9 Mei 2012)

Hingga saat ini sejumlah nama kandidat calon presiden (capres) yang muncul masih berkutat di nama-nama lama. Megawati Soekarnoputri,Wiranto, Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, dan sejumlah nama pejabat tinggi negara yang kerap disebut media.

Satu hal menarik dalam konteks ini adalah arah politik Mega dalam pencapresan dirinya kembali oleh PDIP. Akankah Mega kembali bertarung pada 2014? Ataukah Mega legawa mengubah perannya dari aktor menjadi king maker bagi siapa pun yang akan diusung sebagai capres PDIP.

Faktor Mega

Faktor Mega dalam kekhasan politik PDIP bisa menjadi potensi kekuatan sekaligus kelemahan. Politik yang memapankantrahdanideologifigurbiasanya membentuk basis tradisional yang loyal pada elite utamanya. Secara faktual,PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya berbagai pihak baik internal maupun eksternal partai menarik PDIP ke dalam kekuasaan saat ini, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.

Kelemahannya, PDIP kerap terjebak pada sistem kepartaian yang feodal, terutama jika tak mampu mentrans formasikan kekuatan politik figur tersebut pada bangunan sistem dan kader organisasi. Keinginan banyak pihak di internal PDIP untuk tetap mencalonkan Mega sebagai presiden menjadi penanda bahwa putri Bung Karno ini memiliki posisi sangat dominan.

Bahkan bisa dikatakan, PDIP sangat identik dengan sosok Mega dan sulit menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan alternatif di luar sosok Mega. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Karena itu, Mega kerap diposisikan tak hanya sekadar ketua umum dalam pengertian formal organisasional,tapi juga representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya.

Karena itu, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan,terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Faktor historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak hierarki otoritas.

Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto dan simpul utama politik PDIP pascareformasi yang rentan dengan perpecahan karena kepentingan politik elite di pusat maupun daerah. Bertahannya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang menjadi penanda bahwa Mega memiliki sumber daya otoritatif (authoritative resources) lebih dibanding figur lain.

Ada dua kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala ketergantungan PDIP pada Mega.Pertama,faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh.

Namun, kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya, The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints  (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak. Kedua,faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership).

Dalam tradisi politik di PDIP,ketaatan kader terhadap Mega tak cukup memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada figur di luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan dapat mengembangkan dialektika serta kritisisme di internal organisasi. Situasi ini dengan sendirinya memandatkan banyak prosedur pengambilan keputusan pada Mega atau orang terdekat Mega sehingga PDIP tumbuh bergantung pada sosok Mega dan cukup kerepotan menemukan formula alih generasi setelahnya.

Potensi Puan

Pemilu 2014 sesungguhnya bisa menjadi momentum alih generasi di PDIP.Ada sosok potensial yang masih muda, mewarisi kekuatan politik Mega dan cukup bisa diterima oleh banyak kalangan di internal PDIP. Sosok itu adalah Puan Maharani.Penulis sependapat dengan Taufiq Kiemas, sudah saatnya Mega memosisikan diri sebagai king maker pada Pemilu 2014.

Ada beberapa keuntungan jika PDIP mencalonkan Puan. Pertama, ia akan menarik simpati publik dan pemilih. Memunculkan sosok Puan akan mengesankan terjadi proses regenerasi kepemimpinan di tubuh PDIP. Hal ini tentu dibutuhkan oleh PDIP karena selama ini terkesan muncul gejala “group think” yang menyebabkan minimnya alternatif-alternatif pemimpin di luar Mega. Kedua, pencalonan Puan juga penting untuk menjaga reputasi Mega.

Sebagaimana diketahui, Mega sudah dua kali kalah telak dalam pemilihan presiden secara langsung.Brand Mega sebagai figur kandidat akan mengalami titik jenuh pada Pilpres 2014.Tentu akan sangat riskan jika Mega tetap maju karena jika kalah lagi untuk ketiga kalinya dalam pilpres langsung tentu akan mencoreng “current image” Megawati dalam konstelasi politik nasional. Grafik persentase perolehan suara PDIP pun dari pemilu ke pemilu kian menurun.

Data menunjukkan, pada Pemilu 1999 PDIP tampil sebagai pemenang. Perolehan suara PDIP merosot pada Pemilu 2004 yakni hanya 20% dan kian memburuk pada Pemilu 2009 dengan perolehan 14% suara. Data ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bahwa PDIP perlu berbenah termasuk mempertimbangkan pemimpin alternatif di luar Mega yang bisa menumbuhkan impresi dan energi baru guna menggerakkan elektabilitas partai pada Pemilu 2014.

Ketiga, pencalonan Puan juga akan menjadi investasi politik sangat bagus bagi PDIP. Kalaupun Puan kalah pada 2014, dari sudut “political branding”,Puan dan PDIP tetap dapat untung yakni popularitas Puan karena akan menjadi figur harapan di pilpres mendatang. Selain itu, Puan juga akan mulai terbiasa beririsan dengan segala kompleksitas pencapresan dirinya di tengah kompetitor lain.

Ini tentu akan menyumbang pengalaman berharga bagi kiprah Puan di kemudian hari. Jika Mega tetap melaju sementara ada tren titik jenuh pada pemilih pada Pemilu 2014, upaya apa pun yang dilakukannya akan berujung pada kegagalan.Tidak ada salahnya Mega mulai mencoba peran baru sebagai king maker daripada terus memaksakan diri sebagai petarung! ●

Tulisan bisa diakses di web SINDO:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493339/

Ilustrasi gambar:
www.inilah.com

DEMOKRASI BUTUH LITERASI POLITIK



















Judul Buku   :  Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi
Penulis          :  Prof. Andi Faisal Bakti, Ph.D,
                         Gun Gun Heryanto, M.Si dkk.
Penerbit         : Churia Publishing
Terbitan         : Maret, 2012
Tebal              : iii + 251 hlm.
Harga             : 45.000,-


Runtuhnya otoritarianisme yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi menandai fase demokrasi baru di Indonesia. Memang demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia hingga saat ini belum maksimal berpihak pada rakyat.

Rakyat hanya dijadikan objek yang pasif dalam demokratisasi.Kekuasaan masih bersifat transaksional yang dipertukarkan dari, oleh, dan untuk elit dan sangat sedikit menyisakan ruang bagi rakyat.

Rakyat masih diposisikan sebagai nominal suara dalam pemilu dan sematamata dikapitalisasi untuk memenangkan partai politik maupun kandidat saat mereka berkontestasi dalam demokrasi elektoral yang sangat mahal. Beban demokrasi elektoral yang begitu mahal menyebabkan lemahnya proses demokratisasi di Indonesia.Kemudian, fase konsolidasi tidak digunakan secara seksama untuk mewujudkan demokrasi substantif yang menekankan pada pendayagunaan masyarakat sebaliknya, para elite sibuk menjadikan rakyat sebagai hitungan-hitungan suara. Jelas memang, sejak reformasi, fase demokrasi kita tidak pernah beranjak dari transisi demokrasi.

Keadaan ini seakan berjalan di tempat tanpa perubahan ideal. Seharusnya momentum reformasi bisa menjadi perubahan politik dari otoritarianisme menuju demokrasi dan pelembagaan politik yang baik. Hanya, dalam perjalanannya proses transisi itu mengalami sumbatan akibat fragmentasi kekuatan politik yang tidak selalu memiliki agenda sama untuk mengonsolidasikan demokrasi.Yang terjadi dan tumbuh besar di panggung politik saat ini justru gelombang pragmatisme di kalangan elit politik yang memiliki akses kekuasaan setelah perubahan terjadi.

Kekuasaan kini sangat rekat dengan konflik elit terkait rangkai Pemilu baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Hampir bisa dipastikan energi demokrasi tersedot ke dalam pusaran konflik dan mekanisme saling sandera antarkekuatan, sehingga lengah untuk memperkuat jati diri bangsa di tengah gerusan kepentingan asing. Seperti yang ditengarai oleh Juan Linz dan Alfred Stephen (1997), terkadang proses transformasi demokrasi yang berlangsung menekankan bahwa transisi dari suatu rezim otoriter ke suatu rezim baru, belum tentu menuju ke suatu pemerintahan demokratis dan masyarakat bermartabat berkeadaban dengan pemerintahan bersih dan berwibawa (good governance).

Dengan kata lain, transisi yang berjalan tidak sempurna dapat membuahkan pola demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy) dan masyarakat yang tidak berkeadaban atau tidak bermoral (uncivilized society), dan menciptakan pemerintahan yang amburadul (messy governance).Apalagi bila ada kesalahan rakyat mayoritas dalam memilih pemimpin, sebagai akibat buruk dari demokrasi (democracy risk). Buku yang ditulis oleh Andi Faisal Bakti beserta para aktivis lain di The Political Literacy Institute, menekankan bahwa konsolidasi demokrasi menjadi ajang penting untuk penguatan simpul-simpul komunitas sebagai basis dari demokrasi itu sendiri.

Hanya, kerap terjadi sumbatan yang menghadang proses konsolidasi demokrasi, seperti dalam kata pengantar buku ini yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto. Pertama, terjadinya sumbatan dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini masalahnya tergambar dari tidak terbentuknya zaken kabinet dalam pemerintahan SBY-Boediono akibat desain koalisi besar yang menyebabkan presiden dan wapres berjalan lamban. Kedua, sumbatan pada tataran legislatif. Jika di zaman Orde Baru yang dominan adalah eksekutif (executive heavy), kini yang terjadi adalah dominannya kekuasaan legislatif (legislative heavy).

Wajar jika hasilnya adalah tren penurunan fungsi legislasi,berubahnya fungsi kontrol menjadi alat sandra politik, serta kerap terjadi praktik mafia anggaran. Ketiga, sumbatan di bidang penegakan hukum. Persoalan negeri ini yang tidak pernah hilang dari pemberitaan media massa adalah kasus korupsi. Kasus berbagai kasus korupsi seakan mendapat hukuman ringan dari lembaga hukum. Kejahatan tingkat atas (top-hot crime) bernama korupsi menjangkiti semua lembaga negara yakni legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).

Keempat,sumbatan juga kerap terjadi di kantong-kantong kekuatan warga negara, yakni tergerusnya mental dan etika politik masyarakat. Figur di struktur sosial tradisional seperti agamawan, tokoh masyarakat, dan lain-lain, yang di masa lalu mampu mempertahankan diri sebagai filter politik rendahan untuk penetrasi ke individu- individu kini banyak yang menjadi bagian utuh politik pragmatis para politisi.

Peresensi adalah:

Dirga Maulana
Peneliti di The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)  

Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/488393/

KELUARKAH PKS?

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 12 April 2012)

Akankah PKS dikeluarkan dari koalisi pemerintahan? Pertanyaan tersebut menjadi perhatian utama hampir semua media massa dan khalayak luas pascaparipurna DPR terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Meski sinyal-sinyal akan ditinggalkannya PKS itu telah banyak beredar dari pernyataan elite Demokrat dan elite partai lain yang bergabung di Sekretariat Gabungan (Setgab), tokoh kunci koalisi yakni SBY hingga sekarang masih bungkam. Posisi PKS memang sangat dilematis bagi SBY: dikeluarkan berpotensi menjadi masalah baru dan tetap dibiarkan juga akan menjadi preseden buruk bagi kohesivitas mitra koalisi.

Perimbangan Kekuatan

Segala kemungkinan masih dapat terjadi dan sangat bergantung pada berbagai kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. Ibarat pilot sebuah pesawat,ini penerbangan terakhir SBY. Dia tentu tidak ingin landing dengan penuh persoalan.Terlebih dengan turbulensi tak terprediksi yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangun SBY selama ini. Meski PKS kerap dianggap mitra “nakal”,bisa saja SBY tidak akan melepasnya dengan mudah.

Kita mungkin ingat sikap SBY saat melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.Desakan elite Demokrat untuk meninggalkan PKS ternyata tak membuat SBY terpengaruh. PKS tetap melenggang dan makin percaya diri sebagai mitra sekaligus oposisi. Tidak mudah dilepasnya PKS bisa jadi berdasarkan dua kalkulasi politik.

Pertama,PKS menjadi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama di dalam kekuasaan, oleh SBY diposisikan sebagai kelompok-kelompok yang selalu punya agenda masingmasing. SBY sadar betul modal 423 kursi atau 75,54% kekuatan mitra koalisi di DPR itu rapuh dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi (18,93%) dan PKS 57 kursi (10,18%) merupakan kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya sehingga tarik ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting.

Jika dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat,di lain saat bisa saja Golkar berseberangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk perimbangan kekuatan. Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi (8,21%),PPP 38 kursi (6,79%), dan PKB 28 kursi (5%) tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opsi C di paripurna DPR.

Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY. Jika sekarang PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menabuh genderang sesuai irama yang diinginkannya. Bisa jadi isu yang beredar hari-hari belakangan benar bahwa setiap dukungan dari Golkar terhadap SBY dan Demokrat dibarter dengan sejumlah kompensasi.

Kenaikan BBM bukan akhir dari momentum politik kritis bagi SBY.Masih ada pengesahan revisi UU Pemilu, kasus Century yang setiap saat bisa dihidupkan lagi,dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang sangat membutuhkan dukungan DPR.SBY tentu saja tidak ingin ketergantungan pada Golkar sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.

Kedua,SBY tentu paham benar bahwa jika PKS dilepas, tentu akan menambah amunisi kelompok oposisi yang sekarang ini digawangi oleh PDIP, Gerindra, dan Hanura. Tambahan kekuatan PKS sedikitbesar akan memperbesar asa proses delegitimasi kekuasaan SBY dan Demokrat semakin besar di berbagai momentum politik ke depan.Jikapun pada akhirnya harus merelakan PKS pergi,sepertinya akan ada skema soft-strategy khas SBY yakni mengeluarkan PKS tanpa terkesan menzalimi.

Faktor SBY

SBY sangat hati-hati dan cenderung melembagakan zona nyaman kekuasaan sehingga sangat khawatir dan merasa dalam keadaan tidak pasti bila mitra koalisinya berpindah jadi oposisi. Karena keraguan SBY inilah, kebijakan yang diambil terkait mitra koalisi menjadi ambigu. Akibatnya, Setgab tidak efektif lagi sebagai wadah komunikasi politik untuk menyelaraskan kepentingan partai-partai yang bermitra di kekuasaan.

Seandainya SBY mengambil jalan aman untuk mempertahankan PKS dalam kekuasaan, ini pun bukan tanpa risiko. Risiko pertama, SBY akan dianggap tak memiliki karakter dalam menghadapi ulah para mitra yang berkoalisi setengah hati. Risiko kedua, jika ada pemakluman politik dari SBY atas sejumlah sikap mitra koalisi yang bercita rasa oposisi, akan menjadi referensi pada masa mendatang bebasnya para mitra menafsirkan kontrak politik dalam koalisi sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing.

Jika SBY didera dilema yang luar biasa, lain halnya dengan PKS. Bagi PKS tentu pilihan- pilihan lebih mudah.Tetap bertahan di koalisi hingga ada “talak” resmi dari SBY atau berinisiatif sendiri keluar dari kekuasaan dan menjadi kekuatan oposisi. Jika melihat dinamika akhir-akhir ini, sepertinya PKS lebih memilih keluar dari koalisi jika sudah ada pernyataan resmi dari SBY.

Hal ini tentu memiliki makna berbeda bagi strategi PKS. Seandainya PKS dikeluarkan, tentu jajaran elite partai ini punya kesempatan untuk mengapitalisasi isu ini menjadi proses marketing politik mereka. PKS akan lebih mudah mencitrakan dirinya sebagai partai yang dizalimi setelah mereka melakukan tindakan yang populis seperti penolakan mereka terhadap rencana kenaikan harga BBM versi pemerintah.

Konstruksi simbolik yang akan dibangun elite PKS adalah partai yang konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat meski harus menerima konsekuensi ditendang dari kekuasaan. Citra seperti itulah yang bisa dimainkan PKS jika mereka dikeluarkan. Sebaliknya jika mereka sukarela keluar begitu saja,tentu alur drama menjadi datar dan tidak menyumbang publisitas politik bagi eksistensi PKS pada masa depan. Isu turunan keluar dan tidaknya PKS dari koalisi adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.

Ini tentu juga tidak bisa kita pisahkan dari pertarungan di internal mitra koalisi. Tiga menteri dari PKS akan menjadi rebutan parpol-parpol yang merasa punya saham di dalam kekuasaan.Tantangan terbesar bagi SBY dalam reshuffle jika resmi bercerai dengan PKS adalah mampukah dia keluar dari sandera politik representasi? Pergantian orang bisa saja menjadi perubahan simbolik, tetapi substansi reshuffle sesungguhnya ada pada kontinuitas sirkulasi elite berbasis kredibilitas dan akuntabilitas sosok yang menggantikan.

Dengan demikian, orientasi reshuffle seharusnya merujuk pada indikator-indikator kinerja mereka bukan semata- mata tambal sulam kekuasaan. Akhirnya,benang kusut koalisi ini akan dikembalikan pada pilihan SBY.Jangan-jangan sumber segala sumber persoalan itu justru pada sikap peragunya sang Presiden!

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485766/

Gubernur Transformatif

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnas, 11 April 2012)

PETA pertarungan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI semakin jelas setelah fase pendaftaran 13-19 Maret. Kini ada enam pasangan kandidat yang resmi mendaftar: empat pasangan dari jalur partai politik (parpol), dua pasangan dari jalur independen. Khusus untuk pasangan kandidat dari jalur parpol, injury time banyak drama politik terjadi dan semakin menunjukkan asumsi bahwa tak ada yang pasti bagi parpol hingga menit akhir pengumuman. Bongkar pasang kandidat tidak hanya menggambarkan pergerakan strategi, tetapi juga sangat mungkin transaksi atau orientasi popular vote mengingat DKI merupakan wilayah pertarungan terbuka sekaligus prestisius.

Efek Elektoral

Memenangi Pilgub DKI bukan semata menguasai simbol kuasa wilayah metropolitan, tetapi juga akan menyumbang prestise sekaligus efek elektoral bagi Pemilu 2014, terutama bagi mereka yang akan bertarung di 2014. Dalam semangat itulah, kita bisa memaklumi “kengototan‘ parpol besar dan menengah dalam perang terbuka di DKI. Tiga partai besar seperti Golkar, PDIP dan Demokrat mengusung kandidat berbeda, demikian pula PKS yang konsisten sejak Pilgub DKI lalu menyodorkan kandidatnya sendiri.

Memang Pilgub DKI kali ini punya banyak nuansa baru, misalnya fenomena kandidat independen yang bisa menjadi figur harapan bagi kelompok para pemilih yang tidak lagi percaya dengan kiprah partai politik dalam konfigurasi beragam persoalan kebangsaaan saat ini.

Namun demikian, parpol juga seolah mulai menyadari bahwa margin rasional voter yang semakin membesar di DKI akan menjadi tantangan bagi mereka jika tidak menyodorkan kandidat yang memiliki popular vote memadai. Sehingga di menit-menit akhir, beberapa parpol akhirnya menyodorkan kandidat yang punya rekam jejak populis dan sukses saat menjadi kepala daerah di luar Jakarta seperti Joko Widodo (Jokowi).

Atas pertimbangan elektoral itu pula beberapa partai lain mengubah skema pencalonan, misalnya kemunculan Hidayat Nur Wahid di PKS dan dipadukannya Fauzi Bowo dengan Nachrowi Ramli di buku Demokrat. Ketatnya pertarungan enam pasang kandidat tersebut menyebabkan prediksi Pilgub DKI akan berlangsung dua putaran sangat mungkin terjadi.

Kriteria Pemimpin

Terlepas dari apa dan bagaimana enam pasangan kandidat itu bertarung dan memenangi Pilgub DKI, satu yang pasti: masyarakat di kota metropolitan ini sangat membutuhkan adanya gubernur transformatif. Sosok pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang mampu menggerakkan harapan rakyat untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan.

Dalam perspektif penulis ada beberapa syarat gubernur transformatif ini. Pertama, memiliki kemampuan refleksivitas yang memadai. Poole, Seibold dan McPhee dalam Hirokawa, R.Y. & M.S Poole (1986: 237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi, termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.

Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Pemerintah seharusnya memiliki dua kesadaran dalam proses refleksivitas ini yakni, kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness). Kesadaran diskursif, merujuk pada kemampuan untuk menjelaskan kepada khalayak atas sejumlah sikap, kebijakan dan tindakan pemerintah sehingga khalayak bisa memahaminya dengan baik.


Kenyataannya, kesadaran diskursif ini hingga sekarang masih tertutupi oleh prasangka berlebihan, mekanisme pertahanan diri, dan sejumlah pembenaran yang kerap berlebih-lebihan versi pemilik otoritas kekuasaan dan aparaturnya. Sementara kesadaran praktis (practical conciousness), terkait dengan kemampuan pemimpin untuk dirasakan kehadiran dan manfaat kepemimpinnya di tengah masyarakat.

Kedua, gubernur transformatif ini harus memiliki basis asketisme politik yang memadai. Kata asketisme bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan‘. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asketisme diberi arti “paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban‘. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata, melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekadar moralitas, melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruksi berpikir Habermas, tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis, yakni kerja dan interaksi.

Ketiga, memiliki sumberdaya politik (political resources) yang memadai untuk mendukung performa komunikatifnya. Pemimpin terpilih harus mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power) sebagai produk dari pilgub langsung. Dalam menjaga performa, tentu terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas sosok gubernur dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata gubernur ke depan.

Citra penting tetapi bukan segalanya, karena jika pemimpin secara dominan terjebak ke dalam politik citra saja, maka akan selalu menciptakan hiperealitas. Tentu pemimpin transformasional tidak akan menjadikan politik citra sebagai segala-galanya karena basis tindakannya adalah selalu mengacu pada agenda kerja.

Gubernur transformatif ini hanya dimungkinkan lahir dari sebuah proses pencalonan yang tidak membebani. Jika sejak awal pencalonan kandidat sudah dibebani upeti ke partai politik, atau menerima investasi dari para pengusaha, apalagi beririsan dengan kelompok mafioso, tentu orientasi kekuasaanya bukan menjadi pelayan publik, melainkan hamba sahaya dari ambisi pribadi dan para investor politiknya.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.jurnas.com/epapers/20120411

Kalkulasi Politik PKS

(Tulisan ini telah dipubpikasikan di Harian Detik, 4 April 2012)

Setelah proses politik terkait kenaikan BBM di panggung Paripurna DPR (31/3) usai, kini perhatian publik mengarah pada posisi Partai Keadilan Sejehtera (PKS) dalam koalisi pemerintahan. Akankah PKS keluar atau tetap bertahan di dalam koalisi bersama SBY dan Demokrat?

Koalisi Rapuh
Kekisruhan konsep koalisi memang bukan hal aneh dalam pemerintahan SBY-Boediono. Celah para mitra koalisi bermain strategi dua kaki dibuka lebar dan mendapatkan peneguhan dari SBY sendiri. SBY sangat hati-hati dan cenderung melembagakan zona nyaman kekuasaan sehingga sangat khawatir dan merasa dalam keadaan tidak pasti bila mitra koalisinya berpindah jadi oposisi. Karena keraguan SBY inilah, kebijakan yang diambil terkait mitra koalisi menjadi ambigu. Akibatnya, Setgab tidak efektif lagi sebagai wadah komunikasi politik untuk menyelaraskan kepentingan partai-partai yang bermitra di kekuasaan.

Sekali lagi, hal ini memperkuat stigma terhadap leadership SBY yang bukan seorang risk taking leader (pengambil resiko). Ciri dominan yang dipraktikkan SBY selama dua periode kekuasaanya ini adalah manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan (uncertainty and unxiety management) dalam mengelola konflik kekuasaan. Dampaknya, SBY selalu memilih cara hamoni berbasis transaksi politik untuk tetap mengamankan keutuhan para mitra koalisinya. Menguatnya trend balik badan para mitra koalisi pun menjadi dianggap lumrah karena ternyata berbeda secara diametral sekalipun tidak ada sanksi tegas untuk pilihan sikap politik mereka.

Kita bisa melihat rekam jejak sikap PKS yang berbeda dalam koalisi. 4 Maret 2010 PKS memilih opsi C dalam kasus Century dan jelas-jelas berhadapan dengan Demokrat. PKS juga berbeda sikap dalam hal angket kasus mafia pajak pada 24 Januari 2011. Terakhir, PKS membelot dari SBY dan Demokrat dalam rencana kenaikan harga BBM. Artinya, di banyak hal menyangkut sikap politik masing-masing, PKS sdh banyak bersebrangan dengan mitra koalisi utamanya yakni SBY dan Demokrat.

Jika melihat kecenderungannya, perbedaan sikap  mitra koalisi seperti Demokrat, PKS dan Golkar semakin hari akan semakin eskalatif. Pertama, adanya rivalitas jelang 2014 untuk menciptakan strategi guna memperkuat legitimasi parpol dan mendelegitimasi parpol lain yang dianggap menjadi lawan. Faktor kedua, kebobrokan sistem partai diprediksi akan menjadi celah bagi parpol di koalisi untuk saling sandera. Setgab cenderung akan menjadi bagian dari mekanisme buka-tutup kasus. Menjadi alat pertahanan sekaligus ruang negosiasi untuk menyelamatkan aset, akses, dan problem yang mendera mereka masing-masing.

Tetap Dipertahankan?
Meski PKS kerap dianggap mitra ‘nakal’ namun bisa saja SBY tidak akan melepasnya. Kita mungkin ingat sikap SBY saat melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Desakan elit Demokrat untuk meninggalkan PKS, ternyata tak membuat SBY terpengaruh. PKS tetap melenggang dan makin percaya diri memosisikan diri sebagai mitra sekaligus oposisi.

Tidak dilepasnya PKS bisa jadi berdasarkan dua kalkulasi politik. Pertama, PKS menjadi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama di dalam kekuasaan, tetapi oleh SBY diposisikan sebagai kelompok-kelompok yang selalu punya agenda masing-masing. SBY sadar betul modal 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan mitra koalisi di DPR itu rapuh dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi (18,93 persen) dan PKS 57 kursi (10,18 persen) merupakan kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya. Sehingga tarik ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting.

Jika dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain saat bisa saja Golkar bersebrangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk perimbangan kekuatan. Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi (8,21 persen), PPP 38 kursi (6,79 persen) dan PKB 28 kursi (5 persen), tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opci C di paripurna DPR. Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY. Jika sekarang PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menabuh genderang sesuai irama yang diinginkannya. SBY tentu saja tidak ingin ketergantungan pada Golkar, sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS, meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.

Kedua, SBY tentunya paham benar, bangunan koalisi dalam sistem presidensialisme ini memiliki cacat bawaan. Koalisi besar dalam format multipartai esktrim kerap melahirkan demokrasi kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporannya yang berjudul "SBY's Feet of Clay" mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.
Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair.

Penanda nyata demokrasi kolusif  nampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini memiliki residu yakni aliansi politik yang tak pernah mapan. Dengan rapuhnya basis koalisi tersebut, tentu SBY berkepentingan untuk menjaga partai-partai yang sudah terikat kontrak politik bersamanya, untuk mengamankan posisi SBY hingga 2014. Meskipun SBY juga sadar, di banyak momentum kehati-hatian dalam mengamankan para mitra itu, membuat dia kerap tersandera.

Bagi PKS sendiri, jauh akan lebih baik jika PKS keluar dari kekuasaan. Sikap PKS yang selalu kritis terhadap pemerintah sementara dia merupakan bagian kekuasaan akan memosisikan PKS di titik nadir citra politiknya. Jika PKS berani keluar dari kekuasaan bukan mustahil partai ini akan memperoleh respek sekaligus popular vote dalam konteks demokrasi elektoral pada Pemilu 2014.

Tulisan bisa diakses di:
http://edisi.hariandetik.com/?xml=Pagi

Masa Depan Koalisi

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 3 April 2012)

Menarik untuk mencermati perkembangan pascaparipurna DPR yang mengesahkan penambahan Pasal 7 Ayat 6a UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN Perubahan 2012, yakni terkait masa depan koalisi pemerintahan SBY-Boediono.
Sikap PKS yang jelas-jelas berbeda dengan Partai Demokrat (PD) dan garis kebijakan pemerintah yang dipimpin SBY terkait kenaikan harga BBM, menimbulkan pertanyaan besar masihkah koalisi besar relevan menjadi jangkar kekuatan SBY saat ini hingga 2014?

Tak terhindari, proses politik membuat setiap momentum menjadi zona kemungkinan (zona of possible agreement). Oleh karenanya, sangat wajar jika lobi dan negosiasi menjadi kunci penting dalam perumusan dan pengambilan kebijakan politik.

Untuk menghindari cairnya pola hubungan antarkekuatan dalam membangun agregasi politik dari berbagai kekuatan politik yang ada, dikelolalah kesepakatan-kesepakatan politik dalam suatu kontrak politik bersama. Hubungan aksi-reaksi dan berbagai perubahan pola relasi antarkekuatan merujuk pada basis kesepakatan di antara mereka.

Dinamika politik internal partai-partai koalisi dalam pembahasan UU APBN-P 2012 terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dinilai semakin membuktikan bahwa konsep koalisi sangat rapuh. Sebelum ini pun kita mencatat rekam jejak koalisi setengah hati di beragam momentum politik.

Misalnya dalam kasus bailout Century, mitra koalisi seperti Golkar dan PKS justru bersitegang dengan Demokrat. Demikian juga dalam kasus Hak Angket Mafia Pajak, pengetatan remisi koruptor, perumusan revisi UU Pemilu terutama soal parliamentary treshold (PT) dan sejumlah isu lainnya.

Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat ini. Pertama, adalah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem presidensialisme. Dinamika multipartai ekstrem di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme.

Idealnya, dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari parlemen. Presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden pemimpin tertinggi eksekutif. Namun, praktiknya berbeda 180 derajat.

Siapa pun presiden di Indonesia akan mengalami situasi pelik, mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa berada dalam labirin kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan adalah membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan idealitas pembentukan zaken kabinet karena dianggap utopia.
Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan pun kerap mendapatkan fakta berbeda, karena justru koalisi menjadi beban bahkan sandera politik yang efektif.

Masalah kedua adalah leadership SBY. Faktor utama yang membuat mitra koalisi kerap menjalankan strategi dua kaki sebagai mitra sekaligus oposisi disebabkan SBY yang bukan pengambil risiko (risk taker).

Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa mengedepankan soft-strategy, politik harmoni dan meminimalkan ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (unxiety). Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Sikap ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan bagi SBY.

Menjadi kekuatan, karena fakta politiknya presiden yang bisa bertahan dalam konstelasi politik Indonesia saat ini bukan lagi presiden yang kuat, melainkan presiden yang adaptif dengan berbagai kekuatan. Kelemahannya, presiden kerap tersandera oleh politik harmoni dan tersedotnya energi kekuasaan hanya untuk menyelaraskan basis dukungan para mitra.

Mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bargaining position atas celah-celah kelemahan masing-masing.

Mitra koalisi disibukkan dengan beragam strategi saling mengunci masing-masing pihak agar kepentingan politik mereka aman dan tidak disentuh. Jika pun tetap disentuh akan dibarter dengan kasus atau momentum tekanan lain.
Dengan demikian, efektivitas kekuasaan tidak akan muncul, bahkan cenderung hanya beredar dari satu kasus ke kasus lain. Koalisi tampaknya akan semakin rapuh dan cenderung menjadi alat sandera plus delegitimasi terkait dengan kian eskalatifnya kepentingan Pemilu 2014.

Posisi PKS
Banyak elite PD yang merasa tidak nyaman dengan sikap politik PKS. Kekecewaan itu kian memuncak terkait rencana kenaikan harga BBM yang jelas-jelas ditolak PKS.

Tapi, akankah PKS “ditendang” dari kekuasaan? Jika melihat benang merah sikap SBY rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan adanya kohesivitas politik. Hal ini menyebabkan kuatnya batasan afiliatif.

Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998) batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil risiko.

Keengganan mengambil risiko ini menyebabkan SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali memilih jalan tak berisiko, kemungkinan posisi PKS akan aman tetap berada dalam kekuasaan. Ada beberapa risiko yang sepertinya masuk dalam kalkulasi SBY jika PKS dilepas.

Pertama, risiko dalam pengambilan kebijakan-kebijakan SBY ke depan. Meski belum garansi selalu satu suara dalam pengambilan kebijakan, posisi PKS dan Golkar dalam perahu yang sama tetap dianggap lebih berpeluang mengantisipasi suara oposisi.

Dengan koalisi PD, PKS, Golkar, PAN, PPP, dan PKB maka hitung-hitungannya di angka 423 suara. Jika pun sesekali PKS membelot, masih tersedia 366 suara. Sementara itu, jika Golkar balik badan, SBY juga masih didukung sekitar 317.

Yang repot adalah jika PKS dan Golkar keluar berbarengan dari koalisi, SBY hanya mengantongi 260 suara dengan asumsi PD, PAN, PKB, dan PPP relatif konstan mendukung SBY. Tentu karena PKS dan Golkar kerap bermanuver, SBY akan selalu melakukan perimbangan kekuasaan atas kedua partai ini dan tidak mudah mendepak keduanya dari jajaran mitra koalisi.
Kedua, lebih jauh SBY juga berkepentingan atas keberlanjutan eksistensi kekuasaannya hingga 2014. Meski pemakzulan (impeachment) bukan perkara mudah, tetapi putusan MK terkait dengan pembatalan Pasal 184 Ayat 4 UU MD3 pada Rabu (12/1/11) membuka kemungkinan hak menyatakan pendapat terkait hal itu jika didukung 2/3 anggota DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR.


Posisi mitra koalisi meski kerap menyakitkan hati menjadi penting untuk menggaransi selesainya kekuasaan SBY-Boediono hingga 2014. Suka tidak suka atas sikap para mitranya di Setgab, SBY sepertinya akan tetap mempertahankan mereka hingga 2014.

tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/masa-depan-koalisi/

ANATOMI KONFLIK PILGUB

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 28 Maret 2012)

Saat ini hingga 11 Juli 2012, keriuhan Jakarta akan semakin bertambah seiring dengan tahapan demi tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI. Bahkan atmosfer rivalitas politik diprediksi tak akan berakhir hanya saat hari H pencontrengan, melainkan akan terus bergulir hingga fase laporan KPUD kepada KPU mengenai penetapan hasil tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI pada 18–19 Agustus.

Oleh karenanya semua elemen, baik pasangan kandidat, partai politik, tim sukses maupun pemilih, harus memahami potensi- potensi konflik dalam pilgub sehingga sedini mungkin bisa menghindari konflik dan menjaga Pilgub DKI yang berwibawa, sah,serta demokratis.

Dampak Langsung

Banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan memunculkan gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari para pendukung calon yang kalah. Sejumlah faktor pun berpotensi menjadi penyebab konflik dalam Pilgub DKI. Pertama,konflik muncul sebagai dampak langsung setiap tahapan pilgub yang tidak memuaskan banyak pihak.

Misalnya, seusai fase pendaftaran 13–19 Maret, sangat mungkin ada calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi oleh KPUD.Tak lolosnya pasangan calon yang mendaftar akan diketahui pada 10–11 Mei. Tahapan berikutnya yang krusial adalah saat pengesahan dan pengumuman daftar pemilih sementara (DPS) pada 13 April hingga fase penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada 20–22 Mei.

Konflik juga sangat mungkin lahir dari masa kampanye. Berbagai upaya pemasaran politik (marketing of politic) untuk meraih simpati publik dalam praktiknya kerap dibarengi dengan tindakan menyerang, mendiskreditkan, black campaign,pembunuhan karakter yang melukai dan menimbulkan rasa sakit hati pihak lain. Jika pasangan kandidat dan pendukungnya tidak arif dan tidak mengedepankan hukum serta etika politik, sangat mungkin hal demikian menjadi akselerator konflik pilgub.

Praktis sejak 24 Juni hingga 7 Juli Jakarta akan dibanjiri beragam publisitas, janji, retorika, iklan politik, bahkan sangat mungkin propaganda. Dalam konteks komunikasi politik,kampanye yang sifatnya menyerang itu ada yang negative campaign, yakni menyerangpihaklaindenganfakta atau data.Misalnya menyerang kegagalan incumbent dari sejumlah indikator program kerja yang gagal diwujudkan di periode kekuasaannya yang pertama.

Attackingsemacam ini biasanya boleh dilakukan.Yang tidak diperkenankan adalah black campaign, yakni menyerang pihak lain dengan isu yang sangat sulit diverifikasi dan diperdebatkan. Misalnya, melalui hasutan untuk menurunkan legitimasi elektoral kandidat lain dan hasutan itu berisi fitnah semata. Tahapan lain yang biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pemilu.Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah biasanya mengangkat isu penggelembungan suara atau banyak warga yang menjadi pendukungnya tidak terdaftar di DPT sehingga diklaim sebagai sumber kekalahan.

Kegagalan Komunikasi

Kedua, konflik juga bisa bersumber dari kegagalan komunikasi politik antarelemen dalam pilgub. Di level informations roles konflik bisa muncul karena ketidakpercayaan atas peran yang dimainkan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini terhadap KPUD. Akan banyak kecurigaan bahwa KPUD memihak dalam pemenangan kandidat tertentu.Pola alur informasi yang berjalan antara KPUD dengan para kandidat kerap didera banyak masalah.

Misalnya,ketidakjelasan alur informasi dalam hal DPT, distribusi logistik pemilu, jadwal rekapitulasi data hasil pemilihan, dan hal-hal teknis lain. Faktor lain adalah tidak relevannya equevocal communication (EC) dari para penyelenggara pilgub. Menurut Janet Beavin Bavelas (1990), term EC ini memiliki pengertian pengemasan pesan yang sengaja dibuat tak jelas, tak langsung, dan tak lugas.

Jika EC terjadi dalam hal-hal yang sangat membutuhkan informasi yang jelas dan mendesak diketahui publik, hal itu bisa berpotensi menimbulkan perselisihan. Misalnya, dalam proses penyampaian aturan main dan tata kelola pilgub. Sosialisasi aturan mengharuskan pesan sampai secara jelas dan menimbulkan kepastian hukum sehingga pilgub bisa berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Konflik pilgub juga sangat mungkin muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure). Media massa secara sadar menstimulasi konflik jika turut masuk terlalu dalam pada prilaku memprovokasi berbagai pihak yang bertarung di pilgub.Tugas media adalah mengabarkan sekaligus mengontrol perhelatan demokrasi di DKI ini agar sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi, bukan menjadi agen provokasi.Terakhir, yang berpotensi menyulut konflik adalah sifat agresi yang dominan dari kelompok elite politik.

Memperkuat KPUD

KPUD harus independen, profesional, dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki KPUD guna menghindari lemahnya kredibilitas penyelenggaraan pilgub DKI. Untuk mengelola pilgub di metropolitan ini, butuh komisioner- komisioner yang bertipe problem solver dengan legitimasi dan dukungan finansial serta moral memadai. Tentu tarik-menarik kepentingan, terutama yang bergerilya di panggung belakang (backstage) melalui proses lobi dan negosiasi, akan menguat.

Pusaran uang dan kekuasaan akan menjadi godaan sehingga sangat mungkin penyelenggara pilgub mengubah peran mereka menjadi hamba sahaya dari pasangan yang memiliki reward power. Sudah bukan rahasia bahwa di banyak pilkada kerap terjadi perselingkuhan antara KPUD dengan pasangan calon yang berambisi merengkuh kekuasaan dengan cara apa pun. Pilgub DKI seyogianya menjadi prototipe pilkada demokratis, bukan sebaliknya menjadi contoh buruk muka praktik demokrasi elektoral.


Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481332/