(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 9 Mei 2012)
Hingga saat ini sejumlah nama kandidat calon presiden (capres) yang
muncul masih berkutat di nama-nama lama. Megawati Soekarnoputri,Wiranto,
Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, dan sejumlah nama pejabat tinggi
negara yang kerap disebut media.
Satu hal menarik dalam
konteks ini adalah arah politik Mega dalam pencapresan dirinya kembali
oleh PDIP. Akankah Mega kembali bertarung pada 2014? Ataukah Mega
legawa mengubah perannya dari aktor menjadi king maker bagi siapa pun
yang akan diusung sebagai capres PDIP.
Faktor Mega
Faktor
Mega dalam kekhasan politik PDIP bisa menjadi potensi kekuatan
sekaligus kelemahan. Politik yang memapankantrahdanideologifigurbiasanya
membentuk basis tradisional yang loyal pada elite utamanya. Secara
faktual,PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya
berbagai pihak baik internal maupun eksternal partai menarik PDIP ke
dalam kekuasaan saat ini, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik
Mega.
Kelemahannya, PDIP kerap terjebak pada sistem
kepartaian yang feodal, terutama jika tak mampu mentrans formasikan
kekuatan politik figur tersebut pada bangunan sistem dan kader
organisasi. Keinginan banyak pihak di internal PDIP untuk tetap
mencalonkan Mega sebagai presiden menjadi penanda bahwa putri Bung
Karno ini memiliki posisi sangat dominan.
Bahkan bisa
dikatakan, PDIP sangat identik dengan sosok Mega dan sulit
menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan alternatif di luar sosok Mega.
Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power)
dari Soekarno. Karena itu, Mega kerap diposisikan tak hanya sekadar
ketua umum dalam pengertian formal organisasional,tapi juga
representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya.
Karena
itu, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini
maupun ke depan,terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai
figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Faktor
historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak hierarki
otoritas.
Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap
rezim Soeharto dan simpul utama politik PDIP pascareformasi yang rentan
dengan perpecahan karena kepentingan politik elite di pusat maupun
daerah. Bertahannya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga
sekarang menjadi penanda bahwa Mega memiliki sumber daya otoritatif (authoritative resources) lebih dibanding figur lain.
Ada
dua kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala ketergantungan PDIP
pada Mega.Pertama,faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling
identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat
kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap
Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar
kelompok tetap utuh.
Namun, kelompok yang sangat kohesif
atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan
berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya, The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints
(1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih
untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak. Kedua,faktor
struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership).
Dalam
tradisi politik di PDIP,ketaatan kader terhadap Mega tak cukup memberi
ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada figur di
luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan dapat
mengembangkan dialektika serta kritisisme di internal organisasi.
Situasi ini dengan sendirinya memandatkan banyak prosedur pengambilan
keputusan pada Mega atau orang terdekat Mega sehingga PDIP tumbuh
bergantung pada sosok Mega dan cukup kerepotan menemukan formula alih
generasi setelahnya.
Potensi Puan
Pemilu
2014 sesungguhnya bisa menjadi momentum alih generasi di PDIP.Ada
sosok potensial yang masih muda, mewarisi kekuatan politik Mega dan
cukup bisa diterima oleh banyak kalangan di internal PDIP. Sosok itu
adalah Puan Maharani.Penulis sependapat dengan Taufiq Kiemas, sudah
saatnya Mega memosisikan diri sebagai king maker pada Pemilu 2014.
Ada
beberapa keuntungan jika PDIP mencalonkan Puan. Pertama, ia akan
menarik simpati publik dan pemilih. Memunculkan sosok Puan akan
mengesankan terjadi proses regenerasi kepemimpinan di tubuh PDIP. Hal
ini tentu dibutuhkan oleh PDIP karena selama ini terkesan muncul gejala
“group think” yang menyebabkan minimnya alternatif-alternatif pemimpin
di luar Mega. Kedua, pencalonan Puan juga penting untuk menjaga
reputasi Mega.
Sebagaimana diketahui, Mega sudah dua kali
kalah telak dalam pemilihan presiden secara langsung.Brand Mega
sebagai figur kandidat akan mengalami titik jenuh pada Pilpres
2014.Tentu akan sangat riskan jika Mega tetap maju karena jika kalah
lagi untuk ketiga kalinya dalam pilpres langsung tentu akan mencoreng
“current image” Megawati dalam konstelasi politik nasional. Grafik
persentase perolehan suara PDIP pun dari pemilu ke pemilu kian menurun.
Data
menunjukkan, pada Pemilu 1999 PDIP tampil sebagai pemenang. Perolehan
suara PDIP merosot pada Pemilu 2004 yakni hanya 20% dan kian memburuk
pada Pemilu 2009 dengan perolehan 14% suara. Data ini seharusnya
menjadi bahan evaluasi bahwa PDIP perlu berbenah termasuk
mempertimbangkan pemimpin alternatif di luar Mega yang bisa menumbuhkan
impresi dan energi baru guna menggerakkan elektabilitas partai pada
Pemilu 2014.
Ketiga, pencalonan Puan juga akan menjadi
investasi politik sangat bagus bagi PDIP. Kalaupun Puan kalah pada
2014, dari sudut “political branding”,Puan dan PDIP tetap dapat untung
yakni popularitas Puan karena akan menjadi figur harapan di pilpres
mendatang. Selain itu, Puan juga akan mulai terbiasa beririsan dengan
segala kompleksitas pencapresan dirinya di tengah kompetitor lain.
Ini
tentu akan menyumbang pengalaman berharga bagi kiprah Puan di kemudian
hari. Jika Mega tetap melaju sementara ada tren titik jenuh pada
pemilih pada Pemilu 2014, upaya apa pun yang dilakukannya akan berujung
pada kegagalan.Tidak ada salahnya Mega mulai mencoba peran baru
sebagai king maker daripada terus memaksakan diri sebagai petarung! ●
Tulisan bisa diakses di web SINDO:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493339/
Ilustrasi gambar:
www.inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar