(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 12 April 2012)
Akankah PKS dikeluarkan dari koalisi pemerintahan? Pertanyaan
tersebut menjadi perhatian utama hampir semua media massa dan khalayak
luas pascaparipurna DPR terkait rencana kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM).
Meski sinyal-sinyal akan ditinggalkannya
PKS itu telah banyak beredar dari pernyataan elite Demokrat dan elite
partai lain yang bergabung di Sekretariat Gabungan (Setgab), tokoh
kunci koalisi yakni SBY hingga sekarang masih bungkam. Posisi PKS
memang sangat dilematis bagi SBY: dikeluarkan berpotensi menjadi
masalah baru dan tetap dibiarkan juga akan menjadi preseden buruk bagi
kohesivitas mitra koalisi.
Perimbangan Kekuatan
Segala
kemungkinan masih dapat terjadi dan sangat bergantung pada berbagai
kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. Ibarat pilot sebuah
pesawat,ini penerbangan terakhir SBY. Dia tentu tidak ingin landing
dengan penuh persoalan.Terlebih dengan turbulensi tak terprediksi yang
bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangun
SBY selama ini. Meski PKS kerap dianggap mitra “nakal”,bisa saja SBY
tidak akan melepasnya dengan mudah.
Kita mungkin ingat
sikap SBY saat melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)
II.Desakan elite Demokrat untuk meninggalkan PKS ternyata tak membuat
SBY terpengaruh. PKS tetap melenggang dan makin percaya diri sebagai
mitra sekaligus oposisi. Tidak mudah dilepasnya PKS bisa jadi
berdasarkan dua kalkulasi politik.
Pertama,PKS menjadi
penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS
sama-sama di dalam kekuasaan, oleh SBY diposisikan sebagai
kelompok-kelompok yang selalu punya agenda masingmasing. SBY sadar
betul modal 423 kursi atau 75,54% kekuatan mitra koalisi di DPR itu
rapuh dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi
(18,93%) dan PKS 57 kursi (10,18%) merupakan kursi panas yang setiap
saat bisa saja berubah dukungannya sehingga tarik ulur dalam
pengendalian kedua partai ini menjadi penting.
Jika dalam
kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat,di lain saat bisa
saja Golkar berseberangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk
perimbangan kekuatan. Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi
(8,21%),PPP 38 kursi (6,79%), dan PKB 28 kursi (5%) tidak cukup kuat
sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus
Century yang berakhir dengan opsi C di paripurna DPR.
Golkar
dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat
merepotkan posisi politik SBY. Jika sekarang PKS ditendang dari
kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena
setiap saat bisa saja Golkar menabuh genderang sesuai irama yang
diinginkannya. Bisa jadi isu yang beredar hari-hari belakangan benar
bahwa setiap dukungan dari Golkar terhadap SBY dan Demokrat dibarter
dengan sejumlah kompensasi.
Kenaikan BBM bukan akhir dari
momentum politik kritis bagi SBY.Masih ada pengesahan revisi UU Pemilu,
kasus Century yang setiap saat bisa dihidupkan lagi,dan sejumlah
kebijakan strategis milik pemerintah yang sangat membutuhkan dukungan
DPR.SBY tentu saja tidak ingin ketergantungan pada Golkar sehingga
dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS
meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.
Kedua,SBY
tentu paham benar bahwa jika PKS dilepas, tentu akan menambah amunisi
kelompok oposisi yang sekarang ini digawangi oleh PDIP, Gerindra, dan
Hanura. Tambahan kekuatan PKS sedikitbesar akan memperbesar asa proses
delegitimasi kekuasaan SBY dan Demokrat semakin besar di berbagai
momentum politik ke depan.Jikapun pada akhirnya harus merelakan PKS
pergi,sepertinya akan ada skema soft-strategy khas SBY yakni mengeluarkan PKS tanpa terkesan menzalimi.
Faktor SBY
SBY
sangat hati-hati dan cenderung melembagakan zona nyaman kekuasaan
sehingga sangat khawatir dan merasa dalam keadaan tidak pasti bila mitra
koalisinya berpindah jadi oposisi. Karena keraguan SBY inilah,
kebijakan yang diambil terkait mitra koalisi menjadi ambigu. Akibatnya,
Setgab tidak efektif lagi sebagai wadah komunikasi politik untuk
menyelaraskan kepentingan partai-partai yang bermitra di kekuasaan.
Seandainya
SBY mengambil jalan aman untuk mempertahankan PKS dalam kekuasaan, ini
pun bukan tanpa risiko. Risiko pertama, SBY akan dianggap tak memiliki
karakter dalam menghadapi ulah para mitra yang berkoalisi setengah
hati. Risiko kedua, jika ada pemakluman politik dari SBY atas sejumlah
sikap mitra koalisi yang bercita rasa oposisi, akan menjadi referensi
pada masa mendatang bebasnya para mitra menafsirkan kontrak politik
dalam koalisi sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing.
Jika
SBY didera dilema yang luar biasa, lain halnya dengan PKS. Bagi PKS
tentu pilihan- pilihan lebih mudah.Tetap bertahan di koalisi hingga ada
“talak” resmi dari SBY atau berinisiatif sendiri keluar dari kekuasaan
dan menjadi kekuatan oposisi. Jika melihat dinamika akhir-akhir ini,
sepertinya PKS lebih memilih keluar dari koalisi jika sudah ada
pernyataan resmi dari SBY.
Hal ini tentu memiliki makna
berbeda bagi strategi PKS. Seandainya PKS dikeluarkan, tentu jajaran
elite partai ini punya kesempatan untuk mengapitalisasi isu ini menjadi
proses marketing politik mereka. PKS akan lebih mudah mencitrakan
dirinya sebagai partai yang dizalimi setelah mereka melakukan tindakan
yang populis seperti penolakan mereka terhadap rencana kenaikan harga
BBM versi pemerintah.
Konstruksi simbolik yang akan
dibangun elite PKS adalah partai yang konsisten memperjuangkan hak-hak
rakyat meski harus menerima konsekuensi ditendang dari kekuasaan. Citra
seperti itulah yang bisa dimainkan PKS jika mereka dikeluarkan.
Sebaliknya jika mereka sukarela keluar begitu saja,tentu alur drama
menjadi datar dan tidak menyumbang publisitas politik bagi eksistensi
PKS pada masa depan. Isu turunan keluar dan tidaknya PKS dari koalisi
adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Ini
tentu juga tidak bisa kita pisahkan dari pertarungan di internal mitra
koalisi. Tiga menteri dari PKS akan menjadi rebutan parpol-parpol yang
merasa punya saham di dalam kekuasaan.Tantangan terbesar bagi SBY dalam
reshuffle jika resmi bercerai dengan PKS adalah mampukah dia keluar
dari sandera politik representasi? Pergantian orang bisa saja menjadi
perubahan simbolik, tetapi substansi reshuffle sesungguhnya ada pada
kontinuitas sirkulasi elite berbasis kredibilitas dan akuntabilitas
sosok yang menggantikan.
Dengan demikian, orientasi reshuffle
seharusnya merujuk pada indikator-indikator kinerja mereka bukan
semata- mata tambal sulam kekuasaan. Akhirnya,benang kusut koalisi ini
akan dikembalikan pada pilihan SBY.Jangan-jangan sumber segala sumber
persoalan itu justru pada sikap peragunya sang Presiden!
Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485766/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar