Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 2 Agustus 2012
Rivalitas pasangan Jokowi- Basuki dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli di
Pilkada DKI kian eskalatif menjelang putaran kedua pada 20 September.
Beragam strategi pemenangan dilakukan kedua kubu, dari cara-cara
rasional berbasis data dan program hingga cara emosional berbasis isu
sektarianisme.
Tak dimungkiri, putaran kedua
selalu punya atmosfernya sendiri. Selain dibutuhkan kemampuan mengelola
sumber daya politik, setiap kandidat juga wajib memiliki mental juara
mengingat rivalitas akan mencapai titik kulminasinya. Hal menarik dari
rivalitas mereka sekarang ini adalah membaca peta kekuatan politik
masing-masing dan kemungkinan- kemungkinan skema strategi yang dilakukan
menuju ronde final.
Strategi Foke
Ada
beberapa strategi yang sepertinya akan dijalankan tim pemenangan
pasangan Foke-Nara menuju putaran kedua. Pertama, di level elite partai
tentu pasangan ini akan sangat ngotot menerapkan strategi penguasaan
partai-partai dengan konsep blocking seperti yang pernah
dilakukan Foke-Prijanto pada Pilkada DKI 2007. Sekarang, Foke-Nara
intensif melobi dan melakukan negosiasi guna membangun koalisi besar.
Dalam
skema ini PKS, PPP, PAN, Demokrat, Golkar dan PKB sangat mungkin
merapat ke kubu Foke-Nara. Peran para elite Dewan Pengurus Pusat (DPP)
partai masing-masing sepertinya lebih mudah memberi endorsement
ke Foke-Nara. Dukungan partai-partai koalisi pendukung pemerintahan SBY
ini diprediksi lebih mudah menyatu dengan Foke-Nara bukan karena
kesamaan platform, terlebih ideologi; melainkan lebih karena alasan
taktis-pragmatis, yakni pertimbangan elektoral 2014.
Sangat
mungkin dibangun semacam sentimen asal bukan PDIP dan Gerindra karena
saat ini keduanya jelas-jelas adalah representasi kekuatan nonkekuasaan
dan berpotensi meroket pada Pemilu 2014. Tentu jika Jokowi-Basuki menang
di Pilkada DKI akan menjadi faktor pengatrol popularitas sekaligus
elektabilitas partai-partai pengusungnya. Bahkan sangat mungkin Jokowi
juga menjadi calon potensial dari PDIP untuk presiden di masa mendatang.
Selain
itu, ada pertimbangan taktis-pragmatis bagi para kandidat jalur partai
yang sudah mengeluarkan biaya politik selama putaran pertama. Prediksi
penulis, yang paling siap meraup mesin pemenangan partai-partai yang
tidak lolos di putaran pertama ini adalah Foke-Nara karena mereka
memiliki sumber daya finansial lebih baik dibanding pasangan
Jokowi-Basuki. Kedua, skema memaksimalkan attacking campaign bahkan sangat mungkin menerapkan teknik propaganda.
Dalam konteks ini yang dipakai adalah teknik name calling,
yakni memberi label buruk pada lawan. Isu sektarian akan meningkat
bahkan diprediksi semakin eksplosif terlebih ada momentum Ramadan.
Misalnya, isu agama dan etnis bisa menjadi peluru tembak yang mudah
diarahkan untuk membidik pasangan Jokowi-Basuki, terutama di level akar
rumput pemilih. Di saat bersamaan, tim sukses Foke lebih berpeluang
menggunakan teknik plain folks.
Teknik ini
biasanya digunakan dengan cara mengimbau pemilih bahwa Foke merupakan
bagian utuh dari komunitas-komunitas utama Jakarta, sehingga komunitas
tersebut bisa bersama-sama dalam kerja kolaboratif yang mendongkrak
perolehan suara Foke. Isu pribumi dan pendatang masih mungkin diterapkan
untuk memantik konvergensi simbolik dari semangat kekitaan.
Strategi Jokowi
Bagi
pasangan Jokowi- Basuki, ada beberapa strategi yang paling mungkin
mereka lakukan. Pertama, pasangan ini akan terus memainkan keuntungan
psikopolitis yang diraihnya lewat kemenangan di putaran pertama. Dalam
tradisi elektoral, biasanya muncul bandwagon effect, yakni pemilih cenderung akan memilih kandidat yang sedang leading dan dianggap berpotensi menang. Kemenangan 11 Juli bisa memiliki multiplier effect pada perilaku pemilih di putaran kedua.
Sehingga,
kubu Jokowi-Basuki akan mengoptimalkan betul publisitas politik hasil
putaran pertama untuk menaikkan dukungan. Kedua, Jokowi akan merangkul
kelompok pemilih yang belum berpartisipasi dalam pilkada putaran
pertama. Meski strategi ini juga pasti akan dilakukan oleh kubu
Foke-Nara. Kalau kita telaah dalam sejarah golput di Indonesia, mereka
rata-rata kelompok yang apolitis, bahkan kritis, terhadap kekuatan status quo.
Jika
pun mereka harus memilih, cenderung akan menyalurkan suaranya pada
sosok yang properubahan. Jumlah mereka yang belum berpartisipasi di
putaran pertama ada 36,38%. Ketiga, Jokowi-Basuki paling berpotensi
melakukan strategi attacking campaign dengan cara intensif
mengungkap kegagalan Foke di periode pertama kekuasaannya. Diakui atau
tidak, Jokowi sangat terbantu dengan kuatnya current image kegagalan Foke mengurus Jakarta.
Citra
negatif yang secara faktual menjadi beban politik paling berat dalam
mengatrol keterpilihan Foke di putaran kedua nanti. Keempat, basis massa
kandidat independen yang cenderung kritis terutama di basis pemilih
Faisal-Biem. Kemungkinan besar mereka tidak akan diarahkan oleh kandidat
independen yang kalah di putaran pertama, karena sifat konstituennya
yang cair dan kritis.
Namun, konsituen kandidat independen
ini cenderung menghendaki perubahan, sehingga yang berpotensi bisa
merangkulnya adalah kubu Jokowi-Basuki. Kita bisa mengambil contoh dari
putaran pertama, swing voter yang jumlahnya plus minus 26%,
banyak yang masuk ke Jokowi sehingga menjadi penentu kemenangan putaran
pertama. Kelima, Jokowi akan memanfaatkan cairnya pemilih di basis-basis
utama partai politik.
Kita bisa lihat, betapa keroposnya
Partai Golkar dan Demokrat di putaran pertama. Keterikatan emosional
berbasis nilai-nilai kekitaan di partai memudar dan cenderung
tergantikan oleh kekuatan figur calon gubernur. Dalam konteks inilah
posisi Jokowi-Basuki memiliki peluang. Dari peta kekuatan di atas,
sesungguhnya kedua belah pihak masih berpeluang menang di putaran kedua.
Memang,
peluang Jokowi lebih besar selama dia tetap sabar, tidak terlena
euforia kemenangan, dan konsisten menjaga basis-basis massa pemilih yang
berkontribusi pada kemenangannya di putaran pertama. Putaran kedua
bukan semata perang penguasaan akses ke partai atau elite yang menjadi significant others pemilih, melainkan juga ke simpul-simpul utama pemilih yang sekarang menjadi area terbuka bagi “peperangan” kedua kandidat.
Blog ini merupakan ruang publik baru yang bebas dari dominasi dan didedikasikan untuk pengarusutamaan literasi politik dan literasi media. Sangat meyakini setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya sehingga terus berpikir, bergerak dan bermanfaat dalam penguatan semangat komunitarian. Saatnya warga negara kian berdaya untuk berpikir dan bersikap atas hak-hak sipil politiknya.
Sabtu, 04 Agustus 2012
SAATNYA WARGA DKI MEMUTUSKAN
Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 10 Juli 2012
Tibalah saatnya warga Jakarta memilih. Ini bukan semata urusan warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos kandidat, melainkan lebih dari itu, yakni momentum aktualisasi kadaulatan warga yang siap diamanahkan kepada satu di antara enam pasang kandidat yang bertarung memperebutkan posisi DKI11.
Fase pencitraan dengan segala jenis pendekatan persuasifnya sudah usai. Besok merupakan tanggal pemungutan. Ini saat penentuan dan keputusan (pilihan) warga akan membawa arah perjalanan Jakarta lima tahun ke depan.
Partisipasi
Pilkada DKI kali ini dari sudut alternatif kandidat jauh lebih menarik daripada 2007. Saat itu, warga Jakarta hanya memiliki sedikit opsi, yakni pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Kemenangan terlalu mudah diprediksi karena kekuatan partai politik mengelompok berlebihan di kubu Fauzi Bowo.
Wajar jika banyak warga Jakarta saat itu menjadi hopeless. Hal ini bisa dilihat dari angka golongan putih (golput/tidak menggunakan hak pilih) yang tinggi. Warga Jakarta yang memilih hanya 65,41 persen dari 5,7 juta pemegang hak pilih yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 3,7 juta pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya.
Kini, ada empat pasang kandidat dari partai politik dan dua independen. Tidak main-main, yang bertarung pun partai-partai besar sehingga media kerap menyebutnya sebagai clash of the titans! Kandidat independen pun mencatatkan sejarahnya karena mampu menginisiasi kemandirian dukungan hingga tetap melaju ke tahap pencalonan dan ronde final pemilihan.
Atmosfer berbeda ini sepatutnya menarik minat warga Jakarta untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan jumlah 6.983.693 pemilih, sangat mungkin ada perubahan!
Dalam konteks Jakarta sekarang, golput tidaklah strategis karena perubahan tidak akan muncul jika warga selalu apatis atau skeptis. Dengan beragam latar belakang kandidat, sudah sepatutnya warga memiliki sikap yang jelas demi Jakarta yang lebih baik. Tapi, tentu pilihan warga Jakarta harus rasional karena satu suara akan menentukan nasib DKI satu periode kekuasaan.
Herbert McClosky dalam buku lawasnya Internal Encyclopedia of the Social Sciences (1972: 252) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela warga masyarakat di mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Harus digarisbawahi bahwa simpul kekuatan partisipasi politik adalah kegiatan sukarela! Supremasi warga negara itu kedaulatan! Karena itu, warga harus menjaga dan memandatkannya pada orang yang tepat dan benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, serta profesionalitas dalam penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi pada warga.
Sepatutnya warga mendatangi satu di antara 15.059 TPS dan secara rasional menentukan pilihan mereka secara sukarela. Terlalu naif sekaligus berisiko jika warga menukarkan suaranya hanya dengan sedikit uang atau hadiah lainnya. Selain tidak akan berarti apa-apa, pilihan yang dijalani secara tidak sukarela karena tindakan voter buying ini juga merusak kualitas demokrasi. Dalam jangka panjang, imbas memilih pemimpin yang salah akan merugikan hak-hak sipil politik warga Jakarta.
Warga Berdaya
Seribu satu cara kerap dilakukan para kontestan, terutama yang memiliki akses ke kekuasaan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadai beberapa hal. Pertama, mobilisasi masa melalui jalur-jalur birokrasi. Ini modus yang kerap digunakan banyak incumbent. Secara formal tidak akan tampak, tapi kalau diteliti secara saksama, kerap terjadi mobilisasi yang bersifat masif dan sistemik oleh aparat birokrasi.
Kedua, sangat mungkin juga warga diintimidasi dalam pilkada. Jika di zaman Orde Baru intimidasi dilakukan militer, sekarang modus seperti ini kerap dimainkan ormas-ormas berbasis etnis yang dikendalikan kandidat yang bertarung. Ini pun biasanya penetratif hingga ke simpul suara. Warga yang disasar oleh intimidasi ini biasanya bukan kelas menengah atas yang secara sosiologis sudah menjadi masyarakat kritis, melainkan warga pinggiran yang dalam hal-hal tertentu masih lekat dengan budaya paguyuban dan kerap berafiliasi dengan figur-figur sentral di tempat tinggalnya.
Ketiga adalah serangan fajar yang menohok kebutuhan warga secara langsung. Biasanya dilakukan secara door-to-door dan melibatkan banyak pemain yang sehari-hari biasanya adalah orang-orang yang sangat dikenal warga. Bahkan, di antara para pemain itu significant others bagi para pemilih.
Warga bisa saja menikmati asupan yang tidak seberapa itu atau sebagian lagi merasa tidak enak, ewuh pekewuh dengan para senior dan orang yang dihormatinya. Segelintir elite yang secara struktur sosial tradisional berpengaruh biasanya banyak yang tergoda memerankan diri sebagai broker suara!
Warga DKI sebaiknya lebih berdaya untuk mandiri menentukan pilihannya karena bagaimana pun DKI adalah barometer Indonesia. Kota dengan APBD tahun 2012 mencapai 36 triliun rupiah ini layaknya dipimpin orang yang memiliki tiga kriteria utama. Pertama, yang akan memimpin DKI itu sedari awal harusnya orang yang punya asketisme politik. Dia menjadi gubernur bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bersama-sama.
Ini penting menjadi kriteria pertama karena masalah utama kompleksitas persoalan di DKI dan juga di negara ini adalah korupsi politik atau kejahatan kerah putih yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan membentuk imunitas kelompok untouchble. Oleh karenanya, calon yang tidak terbebani partai politik dan cukong-cukong dalam pencalonannya layak mendapat apresiasi sekaligus dukungan warga.
Kedua, masyarakat membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak semata ngotot menjaga citra sekarang (current image), tetapi juga memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah bukan penambah keruwetan DKI. Siapa pun yang pernah diberi mandat kekuasaan untuk mengelola DKI dan ternyata gagal seharusnya tidak dipilih lagi karena jelas-jelas akan merugikan warga.
Ketiga adalah kandidat yang memiliki kemampuan menumbuhkan kembali semangat komunitarianisme yang humanis. Ini simpul dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang sudah lama tercabut dari warga Jakarta. Pengusaha besar menjadi "predator" usaha kecil-menengah.
Kelompok elite mengisap warga biasa. Tata kota menghamba pada kuasa uang dan nilai etika tak lagi bermakna. Semoga pemimpin baru DKI memiliki jiwa transformatif, humanis, dan merekatkan kembali semangat komunitarianisme.
Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/95284
Tibalah saatnya warga Jakarta memilih. Ini bukan semata urusan warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos kandidat, melainkan lebih dari itu, yakni momentum aktualisasi kadaulatan warga yang siap diamanahkan kepada satu di antara enam pasang kandidat yang bertarung memperebutkan posisi DKI11.
Fase pencitraan dengan segala jenis pendekatan persuasifnya sudah usai. Besok merupakan tanggal pemungutan. Ini saat penentuan dan keputusan (pilihan) warga akan membawa arah perjalanan Jakarta lima tahun ke depan.
Partisipasi
Pilkada DKI kali ini dari sudut alternatif kandidat jauh lebih menarik daripada 2007. Saat itu, warga Jakarta hanya memiliki sedikit opsi, yakni pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Kemenangan terlalu mudah diprediksi karena kekuatan partai politik mengelompok berlebihan di kubu Fauzi Bowo.
Wajar jika banyak warga Jakarta saat itu menjadi hopeless. Hal ini bisa dilihat dari angka golongan putih (golput/tidak menggunakan hak pilih) yang tinggi. Warga Jakarta yang memilih hanya 65,41 persen dari 5,7 juta pemegang hak pilih yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 3,7 juta pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya.
Kini, ada empat pasang kandidat dari partai politik dan dua independen. Tidak main-main, yang bertarung pun partai-partai besar sehingga media kerap menyebutnya sebagai clash of the titans! Kandidat independen pun mencatatkan sejarahnya karena mampu menginisiasi kemandirian dukungan hingga tetap melaju ke tahap pencalonan dan ronde final pemilihan.
Atmosfer berbeda ini sepatutnya menarik minat warga Jakarta untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan jumlah 6.983.693 pemilih, sangat mungkin ada perubahan!
Dalam konteks Jakarta sekarang, golput tidaklah strategis karena perubahan tidak akan muncul jika warga selalu apatis atau skeptis. Dengan beragam latar belakang kandidat, sudah sepatutnya warga memiliki sikap yang jelas demi Jakarta yang lebih baik. Tapi, tentu pilihan warga Jakarta harus rasional karena satu suara akan menentukan nasib DKI satu periode kekuasaan.
Herbert McClosky dalam buku lawasnya Internal Encyclopedia of the Social Sciences (1972: 252) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela warga masyarakat di mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Harus digarisbawahi bahwa simpul kekuatan partisipasi politik adalah kegiatan sukarela! Supremasi warga negara itu kedaulatan! Karena itu, warga harus menjaga dan memandatkannya pada orang yang tepat dan benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, serta profesionalitas dalam penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi pada warga.
Sepatutnya warga mendatangi satu di antara 15.059 TPS dan secara rasional menentukan pilihan mereka secara sukarela. Terlalu naif sekaligus berisiko jika warga menukarkan suaranya hanya dengan sedikit uang atau hadiah lainnya. Selain tidak akan berarti apa-apa, pilihan yang dijalani secara tidak sukarela karena tindakan voter buying ini juga merusak kualitas demokrasi. Dalam jangka panjang, imbas memilih pemimpin yang salah akan merugikan hak-hak sipil politik warga Jakarta.
Warga Berdaya
Seribu satu cara kerap dilakukan para kontestan, terutama yang memiliki akses ke kekuasaan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadai beberapa hal. Pertama, mobilisasi masa melalui jalur-jalur birokrasi. Ini modus yang kerap digunakan banyak incumbent. Secara formal tidak akan tampak, tapi kalau diteliti secara saksama, kerap terjadi mobilisasi yang bersifat masif dan sistemik oleh aparat birokrasi.
Kedua, sangat mungkin juga warga diintimidasi dalam pilkada. Jika di zaman Orde Baru intimidasi dilakukan militer, sekarang modus seperti ini kerap dimainkan ormas-ormas berbasis etnis yang dikendalikan kandidat yang bertarung. Ini pun biasanya penetratif hingga ke simpul suara. Warga yang disasar oleh intimidasi ini biasanya bukan kelas menengah atas yang secara sosiologis sudah menjadi masyarakat kritis, melainkan warga pinggiran yang dalam hal-hal tertentu masih lekat dengan budaya paguyuban dan kerap berafiliasi dengan figur-figur sentral di tempat tinggalnya.
Ketiga adalah serangan fajar yang menohok kebutuhan warga secara langsung. Biasanya dilakukan secara door-to-door dan melibatkan banyak pemain yang sehari-hari biasanya adalah orang-orang yang sangat dikenal warga. Bahkan, di antara para pemain itu significant others bagi para pemilih.
Warga bisa saja menikmati asupan yang tidak seberapa itu atau sebagian lagi merasa tidak enak, ewuh pekewuh dengan para senior dan orang yang dihormatinya. Segelintir elite yang secara struktur sosial tradisional berpengaruh biasanya banyak yang tergoda memerankan diri sebagai broker suara!
Warga DKI sebaiknya lebih berdaya untuk mandiri menentukan pilihannya karena bagaimana pun DKI adalah barometer Indonesia. Kota dengan APBD tahun 2012 mencapai 36 triliun rupiah ini layaknya dipimpin orang yang memiliki tiga kriteria utama. Pertama, yang akan memimpin DKI itu sedari awal harusnya orang yang punya asketisme politik. Dia menjadi gubernur bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bersama-sama.
Ini penting menjadi kriteria pertama karena masalah utama kompleksitas persoalan di DKI dan juga di negara ini adalah korupsi politik atau kejahatan kerah putih yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan membentuk imunitas kelompok untouchble. Oleh karenanya, calon yang tidak terbebani partai politik dan cukong-cukong dalam pencalonannya layak mendapat apresiasi sekaligus dukungan warga.
Kedua, masyarakat membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak semata ngotot menjaga citra sekarang (current image), tetapi juga memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah bukan penambah keruwetan DKI. Siapa pun yang pernah diberi mandat kekuasaan untuk mengelola DKI dan ternyata gagal seharusnya tidak dipilih lagi karena jelas-jelas akan merugikan warga.
Ketiga adalah kandidat yang memiliki kemampuan menumbuhkan kembali semangat komunitarianisme yang humanis. Ini simpul dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang sudah lama tercabut dari warga Jakarta. Pengusaha besar menjadi "predator" usaha kecil-menengah.
Kelompok elite mengisap warga biasa. Tata kota menghamba pada kuasa uang dan nilai etika tak lagi bermakna. Semoga pemimpin baru DKI memiliki jiwa transformatif, humanis, dan merekatkan kembali semangat komunitarianisme.
Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/95284
ETIKA LEMBAGA SURVEI
Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 6 Juli 2012
Setiap pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu muncul polemik terkait publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik. Tren kehadiran lembaga survei ini kian menyemarakan demokrasi elektoral di Indonesia. Nyaris setiap saat media massa, menjadi saluran publikasi hasil riset dari lembaga berbeda-beda. Hasil riset pun kini kecenderungnnya menjadi tema utama pemberitaan yang tentunya memengaruhi diskursus masyarakat. Karena posisinya yang kian strategis dalam bingkai pemberitaan media (media news framing) inilah, lembaga survei wajib memerhatikan sejumlah nilai etis kerja profesional mereka.
Gelombang Survei
Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik.
Tentu untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk juga prilaku pemilih.
Dalam bacaan penulis paling tidak ada 3 gelombang eksistensi lembaga survei di Indonesia.
Pertama, gelombang sentralisasi dimana hampir seluruh aktivitas survei dikelola dan dalam pengendalian pemerintah. Fase ini berlangsung di era Orde Baru. Inisiator awal lembaga survei jenis ini adalah Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta, Departemen Penerangan yang lahir Oktober 1968. Salah satu kontribusi lembaga survei ini di Pemilu, bisa kita lacak misalnya dalam publikasi hasil survei terkait pemilu 1971. Saat itu, hasil survei menunjukkan Golkar diprediksi memenangi 37,7 persen suara dalam Pemilu. Pemerintah sangat represif mengendalikan hasil survei di luar mainstream, salah satu korbannya adalah PT. Suvei Business Research Indonesia (Suburi) yang tak bisa bertahan lama. Baru tahun 1985, media berpartisipasi melakukan aktivitas riset antaralain dilakukan oleh Majalah Tempo dan Kompas yang melakukan survei terkait antusiasme kalangan muda dalam Pemilu 1987.
Kedua, gelombang konsolidasi awal. Ini diawali pada tahun 1999, sesaat setalah reformasi bergulir dan memberi ruang ekspresi berdemokrasi kepada berbagai kekuatan di Indonesia. Kita mencatat sejumlah aktivitas survei mulai eksis, antaralain Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Intenational Foundation for Elections Systems (IFES), selain juga aktivitas survei yang dilakukan kampus-kampus dan media massa. Di Fase ini meskipun aktivitas survei sudah ramai, tetapi belum mengerucut pada spesifikasi profesional sebagai lembaga survei.
Ketiga, gelombang komodifikasi survei. Fase ini ditandai dengan hubungan yang sangat erat antar lembaga-lembaga survei dengan media massa. Tahun 2004 survei-survei lebih maju dari sudut metodologi, tidak hanya pre-election, melainkan juga election survey seperti exit-poll ataupun quick count. Saat itu ada kurang lebih 7 lembaga survei yakni: IFES, LP3ES, International Republican Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Sugeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Reasearch Institute, Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan (Balitbang PDIP).
Banyak lembaga survei yang sukses dalam riset-riset mereka sehingga keberadaannya kian dibutuhkan. Terlebih sejak Pemilu 2004, pemilu digelar secara langsung baik untuk pemilihan legislatif, pilpres maupun pilkada. Sepanjang 2005-2008 saja terdapat 492 pilkada yang dilakukan di kabupaten/kota dan provinsi, sementara tahun 2009/2010 ada sekitar 246 Pilkada. Lembaga-lembaga survei sukses menjadi trend setter sejumlah isu dan berbagai media pun sangat antusias mengomodifikasi hasil survei tersebut di halaman atau program siaran utama mereka.
Survei Pemilu
Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu. Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembaga survei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orang atau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral.
Sangat terbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung. Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisa saja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya sangat penting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligus operasionalisasinya di lapangan.
Di level publikasi hasil survei juga kerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingat keterbatasan rubrik atau air time, serta agenda setting yang menjadi pilihan mereka. Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil. Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.
Untuk itu perlu standar publikasi penyajian hasil riset di media. Di Amerika misalnya ada Standar penulisan yang direkomendasikan oleh National Council on Public Polls (NCPP), maupun standar minimum American Association for Public Opinion Research (AAPOR). Untuk itu, di Indonesia juga perlu adanya asosiasi profesional lembaga survei yang kuat dan kredibel. Masalahnya sudahkah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) ini bisa diterima lembaga-lembaga survei kita? Atau baru sekedar pertarungan prestise dan lahan antar lembaga survei besar yang sudah ada saat ini? Ke depan lembaga survei perlu terus membenahi profesionalitasnya, jika tidak ingin terjebak menjadi “tukang” dalam pemenangan!
Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/508850/
Sumber foto:
www.inilah.com
Setiap pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu muncul polemik terkait publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik. Tren kehadiran lembaga survei ini kian menyemarakan demokrasi elektoral di Indonesia. Nyaris setiap saat media massa, menjadi saluran publikasi hasil riset dari lembaga berbeda-beda. Hasil riset pun kini kecenderungnnya menjadi tema utama pemberitaan yang tentunya memengaruhi diskursus masyarakat. Karena posisinya yang kian strategis dalam bingkai pemberitaan media (media news framing) inilah, lembaga survei wajib memerhatikan sejumlah nilai etis kerja profesional mereka.
Gelombang Survei
Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik.
Tentu untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk juga prilaku pemilih.
Dalam bacaan penulis paling tidak ada 3 gelombang eksistensi lembaga survei di Indonesia.
Pertama, gelombang sentralisasi dimana hampir seluruh aktivitas survei dikelola dan dalam pengendalian pemerintah. Fase ini berlangsung di era Orde Baru. Inisiator awal lembaga survei jenis ini adalah Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta, Departemen Penerangan yang lahir Oktober 1968. Salah satu kontribusi lembaga survei ini di Pemilu, bisa kita lacak misalnya dalam publikasi hasil survei terkait pemilu 1971. Saat itu, hasil survei menunjukkan Golkar diprediksi memenangi 37,7 persen suara dalam Pemilu. Pemerintah sangat represif mengendalikan hasil survei di luar mainstream, salah satu korbannya adalah PT. Suvei Business Research Indonesia (Suburi) yang tak bisa bertahan lama. Baru tahun 1985, media berpartisipasi melakukan aktivitas riset antaralain dilakukan oleh Majalah Tempo dan Kompas yang melakukan survei terkait antusiasme kalangan muda dalam Pemilu 1987.
Kedua, gelombang konsolidasi awal. Ini diawali pada tahun 1999, sesaat setalah reformasi bergulir dan memberi ruang ekspresi berdemokrasi kepada berbagai kekuatan di Indonesia. Kita mencatat sejumlah aktivitas survei mulai eksis, antaralain Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Intenational Foundation for Elections Systems (IFES), selain juga aktivitas survei yang dilakukan kampus-kampus dan media massa. Di Fase ini meskipun aktivitas survei sudah ramai, tetapi belum mengerucut pada spesifikasi profesional sebagai lembaga survei.
Ketiga, gelombang komodifikasi survei. Fase ini ditandai dengan hubungan yang sangat erat antar lembaga-lembaga survei dengan media massa. Tahun 2004 survei-survei lebih maju dari sudut metodologi, tidak hanya pre-election, melainkan juga election survey seperti exit-poll ataupun quick count. Saat itu ada kurang lebih 7 lembaga survei yakni: IFES, LP3ES, International Republican Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Sugeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Reasearch Institute, Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan (Balitbang PDIP).
Banyak lembaga survei yang sukses dalam riset-riset mereka sehingga keberadaannya kian dibutuhkan. Terlebih sejak Pemilu 2004, pemilu digelar secara langsung baik untuk pemilihan legislatif, pilpres maupun pilkada. Sepanjang 2005-2008 saja terdapat 492 pilkada yang dilakukan di kabupaten/kota dan provinsi, sementara tahun 2009/2010 ada sekitar 246 Pilkada. Lembaga-lembaga survei sukses menjadi trend setter sejumlah isu dan berbagai media pun sangat antusias mengomodifikasi hasil survei tersebut di halaman atau program siaran utama mereka.
Survei Pemilu
Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu. Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembaga survei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orang atau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral.
Sangat terbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung. Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisa saja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya sangat penting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligus operasionalisasinya di lapangan.
Di level publikasi hasil survei juga kerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingat keterbatasan rubrik atau air time, serta agenda setting yang menjadi pilihan mereka. Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil. Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.
Untuk itu perlu standar publikasi penyajian hasil riset di media. Di Amerika misalnya ada Standar penulisan yang direkomendasikan oleh National Council on Public Polls (NCPP), maupun standar minimum American Association for Public Opinion Research (AAPOR). Untuk itu, di Indonesia juga perlu adanya asosiasi profesional lembaga survei yang kuat dan kredibel. Masalahnya sudahkah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) ini bisa diterima lembaga-lembaga survei kita? Atau baru sekedar pertarungan prestise dan lahan antar lembaga survei besar yang sudah ada saat ini? Ke depan lembaga survei perlu terus membenahi profesionalitasnya, jika tidak ingin terjebak menjadi “tukang” dalam pemenangan!
Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/508850/
Sumber foto:
www.inilah.com
PEMBIAYAAN CALEG
Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, Rabu 27 Juni 2012
Satu terobosan yang cukup menarik didiskusikan dalam dinamika pemasaran politik jelang Pemilu 2014 adalah rencana pembiayaan calon anggota legislatif (caleg) oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Besaran pembiayaan yang berkisar Rp5- 10 miliar per caleg tersebut merupakan terobosan baru. Strategi persuasi itu tak hanya mengundang nilai publisitas di kalangan media massa, tetapi juga diprediksi menyentuh para politisi sekaligus simpul-simpul tokoh masyarakat.
Nilai Positif
Jika benar-benar direalisasikan, strategi membiayai caleg itu memiliki tiga hal positif. Pertama, menjadi pendekatan baru dalam pola relasi caleg dengan partai. Selama ini, tradisi kepartaian kita lekat dengan corak feodal-oligarkis-transaksional. Salah satu dampaknya, politik menjadi high cost terlebih dalam pertarungan horizontal melalui sistem proporsional terbuka. Salah satu penyebab high cost itu adalah tradisi upeti dari calon anggota legislatif (caleg) ke partai yang mengusungnya.
Selain itu, aliran dana juga kerap mengalir ke pemilih melalui cara-cara voter buying secara masif. Sedari awal, dengan pola transaksional berbiaya tinggi tersebut, seorang caleg memersepsikan pengeluaran sebagai investasi yang dalam hitunghitungan bisnisnya harus balik modal plus keuntungan saat dia menjadi anggota DPR nanti. Dengan skema pembiayaan, tentu akan melokalisasi persepsi yang melekat di masyarakat bahwa pencalegan bukan lagi berformula M-C-M ‘Money- Commodity-more Money’.
Tentu kita wajib prihatin, saat posisi Indonesia dalam daftar Indeks Negara Gagal 2012 berada di urutan ke-63 dari 178 negara artinya menempatkan posisi Indonesia dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal! Bagaimanapun The Fund for Peace (FFP) memiliki reputasi bagus dalam pemeringkatan soal ini, dan dirujuk oleh banyak negara di dunia. Karena itu, saat mereka bekerja sama dengan majalah Foreign Policy memublikasikan indeks ini beberapa hari lalu, seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita, terutama pemerintahan SBY.
Salah satu penyebab kita menuju negara gagal tentu prilaku koruptif para elite. Kleptokrasi telah sempurna menjadi pilihan kaum elitepenguasa. Dalam buku lawasnya, Stanislav Andreski menulis Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.
Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor hanya akan berjalan menuju titik nadir. Skema pembiayaan caleg ini bisa menjadi terobosan untuk mengurangi praktik korupsi politik setelah mereka menjadi anggota DPR meskipun tak bisa menghapuskannya sama sekali. Kedua, pembiayaan caleg akan turut memberi dorongan pada tokoh-tokoh masyarakat potensial untuk berpartisipasi. Selama ini banyak orang potensial,memiliki visi,sekaligus mumpuni,tetapi malas dan cenderung skeptis untuk menjadi caleg.
Mereka terkendala biaya tinggi sehingga tak bersedia mengeluarkan uang banyak untuk membiayai kontestasi. Dampaknya, banyak orang-orang potensial yang tidak bersedia berpartisipasi. Konsep pembiayaan ini menjadi strategi persuasi yang cerdas untuk memengaruhi kelompok- kelompok khusus.Tak dimungkiri skema pembiayaan caleg ini akan menguntungkan pencitraan partai yang menerapkannya. Hal ini bisa menstimulasi banyak tokoh masyarakat atau figur-figur politik yang punya basis massa, tapi tidak punya uang untuk masuk dan mencalonkan diri dari partai yang memberi pembiayaan tadi.
Ketiga, terobosan yang ditawarkan NasDem ini juga bisa menjadi psywar atau perang urat saraf bagi partai-partai lain. Misalnya, dalam konteks rivalitas menuju Pemilu 2014, eksistensi NasDem dengan sendirinya semakin diperhitungkan banyak pihak terutama partai-partai lama yang saat ini sudah ada. NasDem bisa menjadi kekuatan baru yang dianggap memiliki kesiapan terutama menyangkut basis kekuatan finansial untuk membiayai strategi-strategi pemasaran politiknya.
Political Responsibility
Hanya, ada dua hal yang perlu diberi catatan dari rencana tersebut.Pertama, jangan sampai rencana ini hanya gimmick dalam konteks publisitas politik. Gimmick ini biasanya hanya membesar-besarkan sesuatu meski kenyataannya kerap tidak sewah dan tidak senyata yang dilihat dan rasakan. Kalau pendekatannya hanya hype politic atau untuk pencitraan, tetapi tidak direalisasikan, tentu akan menjadi ‘blunder’ bahkan bisa menimbulkan efek bumerang bagi proses-proses marketing politik NasDem sendiri.
Efek ini terjadi jika hasil dari satu publisitas merupakan kebalikan dari apa yang sebelumnya diharapkan. Kedua, harus ada kejelasan mengenai sumber pembiayaan para caleg tersebut. Jangan sampai terdapat distribusi dan alokasi uang bermasalah dalam skema pembiayaan para caleg. Niatan yang baik tentu harus didukung oleh sumber-sumber yang jelas dan transparan.Pertaruhan besar jika biaya para caleg itu diambilkan dari pospos keuangan yang bermasalah karena akan merusak trackrecordpartai bersangkutan.
Sudah saatnya partai politik mengembangkan konsep tanggung jawab politik (political responsibility) dalam distribusi dan alokasi sumber daya manusia ke jabatan-jabatan politik seperti DPR. Jangan sampai, pola transaksional berbiaya tinggi saat pencalonan menyuburkan praktik korupsi politik berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui,korupsi politik merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi.
Lingkup korupsi politik mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Korups politik akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik.Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka.Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terusmenerus tersandera oleh tindakan korupsi politik.
Saat ini korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor dan calon koruptor. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal!
Sumber Tulisan:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/506476/
Sumber Gambar:
www.matanews.com
Satu terobosan yang cukup menarik didiskusikan dalam dinamika pemasaran politik jelang Pemilu 2014 adalah rencana pembiayaan calon anggota legislatif (caleg) oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Besaran pembiayaan yang berkisar Rp5- 10 miliar per caleg tersebut merupakan terobosan baru. Strategi persuasi itu tak hanya mengundang nilai publisitas di kalangan media massa, tetapi juga diprediksi menyentuh para politisi sekaligus simpul-simpul tokoh masyarakat.
Nilai Positif
Jika benar-benar direalisasikan, strategi membiayai caleg itu memiliki tiga hal positif. Pertama, menjadi pendekatan baru dalam pola relasi caleg dengan partai. Selama ini, tradisi kepartaian kita lekat dengan corak feodal-oligarkis-transaksional. Salah satu dampaknya, politik menjadi high cost terlebih dalam pertarungan horizontal melalui sistem proporsional terbuka. Salah satu penyebab high cost itu adalah tradisi upeti dari calon anggota legislatif (caleg) ke partai yang mengusungnya.
Selain itu, aliran dana juga kerap mengalir ke pemilih melalui cara-cara voter buying secara masif. Sedari awal, dengan pola transaksional berbiaya tinggi tersebut, seorang caleg memersepsikan pengeluaran sebagai investasi yang dalam hitunghitungan bisnisnya harus balik modal plus keuntungan saat dia menjadi anggota DPR nanti. Dengan skema pembiayaan, tentu akan melokalisasi persepsi yang melekat di masyarakat bahwa pencalegan bukan lagi berformula M-C-M ‘Money- Commodity-more Money’.
Tentu kita wajib prihatin, saat posisi Indonesia dalam daftar Indeks Negara Gagal 2012 berada di urutan ke-63 dari 178 negara artinya menempatkan posisi Indonesia dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal! Bagaimanapun The Fund for Peace (FFP) memiliki reputasi bagus dalam pemeringkatan soal ini, dan dirujuk oleh banyak negara di dunia. Karena itu, saat mereka bekerja sama dengan majalah Foreign Policy memublikasikan indeks ini beberapa hari lalu, seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita, terutama pemerintahan SBY.
Salah satu penyebab kita menuju negara gagal tentu prilaku koruptif para elite. Kleptokrasi telah sempurna menjadi pilihan kaum elitepenguasa. Dalam buku lawasnya, Stanislav Andreski menulis Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.
Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor hanya akan berjalan menuju titik nadir. Skema pembiayaan caleg ini bisa menjadi terobosan untuk mengurangi praktik korupsi politik setelah mereka menjadi anggota DPR meskipun tak bisa menghapuskannya sama sekali. Kedua, pembiayaan caleg akan turut memberi dorongan pada tokoh-tokoh masyarakat potensial untuk berpartisipasi. Selama ini banyak orang potensial,memiliki visi,sekaligus mumpuni,tetapi malas dan cenderung skeptis untuk menjadi caleg.
Mereka terkendala biaya tinggi sehingga tak bersedia mengeluarkan uang banyak untuk membiayai kontestasi. Dampaknya, banyak orang-orang potensial yang tidak bersedia berpartisipasi. Konsep pembiayaan ini menjadi strategi persuasi yang cerdas untuk memengaruhi kelompok- kelompok khusus.Tak dimungkiri skema pembiayaan caleg ini akan menguntungkan pencitraan partai yang menerapkannya. Hal ini bisa menstimulasi banyak tokoh masyarakat atau figur-figur politik yang punya basis massa, tapi tidak punya uang untuk masuk dan mencalonkan diri dari partai yang memberi pembiayaan tadi.
Ketiga, terobosan yang ditawarkan NasDem ini juga bisa menjadi psywar atau perang urat saraf bagi partai-partai lain. Misalnya, dalam konteks rivalitas menuju Pemilu 2014, eksistensi NasDem dengan sendirinya semakin diperhitungkan banyak pihak terutama partai-partai lama yang saat ini sudah ada. NasDem bisa menjadi kekuatan baru yang dianggap memiliki kesiapan terutama menyangkut basis kekuatan finansial untuk membiayai strategi-strategi pemasaran politiknya.
Political Responsibility
Hanya, ada dua hal yang perlu diberi catatan dari rencana tersebut.Pertama, jangan sampai rencana ini hanya gimmick dalam konteks publisitas politik. Gimmick ini biasanya hanya membesar-besarkan sesuatu meski kenyataannya kerap tidak sewah dan tidak senyata yang dilihat dan rasakan. Kalau pendekatannya hanya hype politic atau untuk pencitraan, tetapi tidak direalisasikan, tentu akan menjadi ‘blunder’ bahkan bisa menimbulkan efek bumerang bagi proses-proses marketing politik NasDem sendiri.
Efek ini terjadi jika hasil dari satu publisitas merupakan kebalikan dari apa yang sebelumnya diharapkan. Kedua, harus ada kejelasan mengenai sumber pembiayaan para caleg tersebut. Jangan sampai terdapat distribusi dan alokasi uang bermasalah dalam skema pembiayaan para caleg. Niatan yang baik tentu harus didukung oleh sumber-sumber yang jelas dan transparan.Pertaruhan besar jika biaya para caleg itu diambilkan dari pospos keuangan yang bermasalah karena akan merusak trackrecordpartai bersangkutan.
Sudah saatnya partai politik mengembangkan konsep tanggung jawab politik (political responsibility) dalam distribusi dan alokasi sumber daya manusia ke jabatan-jabatan politik seperti DPR. Jangan sampai, pola transaksional berbiaya tinggi saat pencalonan menyuburkan praktik korupsi politik berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui,korupsi politik merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi.
Lingkup korupsi politik mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Korups politik akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik.Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka.Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terusmenerus tersandera oleh tindakan korupsi politik.
Saat ini korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor dan calon koruptor. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal!
Sumber Tulisan:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/506476/
Sumber Gambar:
www.matanews.com
Langganan:
Postingan (Atom)