Sabtu, 04 Agustus 2012

SAATNYA WARGA DKI MEMUTUSKAN

Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 10 Juli 2012

Tibalah saatnya warga Jakarta memilih. Ini bukan semata urusan warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos kandidat, melainkan lebih dari itu, yakni momentum aktualisasi kadaulatan warga yang siap diamanahkan kepada satu di antara enam pasang kandidat yang bertarung memperebutkan posisi DKI11.

Fase pencitraan dengan segala jenis pendekatan persuasifnya sudah usai. Besok merupakan tanggal pemungutan. Ini saat penentuan dan keputusan (pilihan) warga akan membawa arah perjalanan Jakarta lima tahun ke depan.

Partisipasi

Pilkada DKI kali ini dari sudut alternatif kandidat jauh lebih menarik daripada 2007. Saat itu, warga Jakarta hanya memiliki sedikit opsi, yakni pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Kemenangan terlalu mudah diprediksi karena kekuatan partai politik mengelompok berlebihan di kubu Fauzi Bowo.

Wajar jika banyak warga Jakarta saat itu menjadi hopeless. Hal ini bisa dilihat dari angka golongan putih (golput/tidak menggunakan hak pilih) yang tinggi. Warga Jakarta yang memilih hanya 65,41 persen dari 5,7 juta pemegang hak pilih yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 3,7 juta pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya.

Kini, ada empat pasang kandidat dari partai politik dan dua independen. Tidak main-main, yang bertarung pun partai-partai besar sehingga media kerap menyebutnya sebagai clash of the titans! Kandidat independen pun mencatatkan sejarahnya karena mampu menginisiasi kemandirian dukungan hingga tetap melaju ke tahap pencalonan dan ronde final pemilihan.

Atmosfer berbeda ini sepatutnya menarik minat warga Jakarta untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan jumlah 6.983.693 pemilih, sangat mungkin ada perubahan!

Dalam konteks Jakarta sekarang, golput tidaklah strategis karena perubahan tidak akan muncul jika warga selalu apatis atau skeptis. Dengan beragam latar belakang kandidat, sudah sepatutnya warga memiliki sikap yang jelas demi Jakarta yang lebih baik. Tapi, tentu pilihan warga Jakarta harus rasional karena satu suara akan menentukan nasib DKI satu periode kekuasaan.

Herbert McClosky dalam buku lawasnya Internal Encyclopedia of the Social Sciences (1972: 252) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela warga masyarakat di mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Harus digarisbawahi bahwa simpul kekuatan partisipasi politik adalah kegiatan sukarela! Supremasi warga negara itu kedaulatan! Karena itu, warga harus menjaga dan memandatkannya pada orang yang tepat dan benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, serta profesionalitas dalam penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi pada warga.

Sepatutnya warga mendatangi satu di antara 15.059 TPS dan secara rasional menentukan pilihan mereka secara sukarela. Terlalu naif sekaligus berisiko jika warga menukarkan suaranya hanya dengan sedikit uang atau hadiah lainnya. Selain tidak akan berarti apa-apa, pilihan yang dijalani secara tidak sukarela karena tindakan voter buying ini juga merusak kualitas demokrasi. Dalam jangka panjang, imbas memilih pemimpin yang salah akan merugikan hak-hak sipil politik warga Jakarta.

Warga Berdaya

Seribu satu cara kerap dilakukan para kontestan, terutama yang memiliki akses ke kekuasaan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadai beberapa hal. Pertama, mobilisasi masa melalui jalur-jalur birokrasi. Ini modus yang kerap digunakan banyak incumbent. Secara formal tidak akan tampak, tapi kalau diteliti secara saksama, kerap terjadi mobilisasi yang bersifat masif dan sistemik oleh aparat birokrasi.

Kedua, sangat mungkin juga warga diintimidasi dalam pilkada. Jika di zaman Orde Baru intimidasi dilakukan militer, sekarang modus seperti ini kerap dimainkan ormas-ormas berbasis etnis yang dikendalikan kandidat yang bertarung. Ini pun biasanya penetratif hingga ke simpul suara. Warga yang disasar oleh intimidasi ini biasanya bukan kelas menengah atas yang secara sosiologis sudah menjadi masyarakat kritis, melainkan warga pinggiran yang dalam hal-hal tertentu masih lekat dengan budaya paguyuban dan kerap berafiliasi dengan figur-figur sentral di tempat tinggalnya.

Ketiga adalah serangan fajar yang menohok kebutuhan warga secara langsung. Biasanya dilakukan secara door-to-door dan melibatkan banyak pemain yang sehari-hari biasanya adalah orang-orang yang sangat dikenal warga. Bahkan, di antara para pemain itu significant others bagi para pemilih.

Warga bisa saja menikmati asupan yang tidak seberapa itu atau sebagian lagi merasa tidak enak, ewuh pekewuh dengan para senior dan orang yang dihormatinya. Segelintir elite yang secara struktur sosial tradisional berpengaruh biasanya banyak yang tergoda memerankan diri sebagai broker suara!

Warga DKI sebaiknya lebih berdaya untuk mandiri menentukan pilihannya karena bagaimana pun DKI adalah barometer Indonesia. Kota dengan APBD tahun 2012 mencapai 36 triliun rupiah ini layaknya dipimpin orang yang memiliki tiga kriteria utama. Pertama, yang akan memimpin DKI itu sedari awal harusnya orang yang punya asketisme politik. Dia menjadi gubernur bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bersama-sama.

Ini penting menjadi kriteria pertama karena masalah utama kompleksitas persoalan di DKI dan juga di negara ini adalah korupsi politik atau kejahatan kerah putih yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan membentuk imunitas kelompok untouchble. Oleh karenanya, calon yang tidak terbebani partai politik dan cukong-cukong dalam pencalonannya layak mendapat apresiasi sekaligus dukungan warga.

Kedua, masyarakat membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak semata ngotot menjaga citra sekarang (current image), tetapi juga memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah bukan penambah keruwetan DKI. Siapa pun yang pernah diberi mandat kekuasaan untuk mengelola DKI dan ternyata gagal seharusnya tidak dipilih lagi karena jelas-jelas akan merugikan warga.

Ketiga adalah kandidat yang memiliki kemampuan menumbuhkan kembali semangat komunitarianisme yang humanis. Ini simpul dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang sudah lama tercabut dari warga Jakarta. Pengusaha besar menjadi "predator" usaha kecil-menengah.

Kelompok elite mengisap warga biasa. Tata kota menghamba pada kuasa uang dan nilai etika tak lagi bermakna. Semoga pemimpin baru DKI memiliki jiwa transformatif, humanis, dan merekatkan kembali semangat komunitarianisme.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/95284

Tidak ada komentar: