Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 10 Juli 2012
Tibalah saatnya warga Jakarta memilih. Ini bukan semata urusan warga
datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos kandidat,
melainkan lebih dari itu, yakni momentum aktualisasi kadaulatan warga
yang siap diamanahkan kepada satu di antara enam pasang kandidat yang
bertarung memperebutkan posisi DKI11.
Fase pencitraan
dengan segala jenis pendekatan persuasifnya sudah usai. Besok merupakan
tanggal pemungutan. Ini saat penentuan dan keputusan (pilihan) warga
akan membawa arah perjalanan Jakarta lima tahun ke depan.
Partisipasi
Pilkada
DKI kali ini dari sudut alternatif kandidat jauh lebih menarik
daripada 2007. Saat itu, warga Jakarta hanya memiliki sedikit opsi,
yakni pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar.
Kemenangan terlalu mudah diprediksi karena kekuatan partai politik
mengelompok berlebihan di kubu Fauzi Bowo.
Wajar jika
banyak warga Jakarta saat itu menjadi hopeless. Hal ini bisa dilihat
dari angka golongan putih (golput/tidak menggunakan hak pilih) yang
tinggi. Warga Jakarta yang memilih hanya 65,41 persen dari 5,7 juta
pemegang hak pilih yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 3,7 juta
pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya.
Kini, ada empat
pasang kandidat dari partai politik dan dua independen. Tidak
main-main, yang bertarung pun partai-partai besar sehingga media kerap
menyebutnya sebagai clash of the titans! Kandidat independen pun
mencatatkan sejarahnya karena mampu menginisiasi kemandirian dukungan
hingga tetap melaju ke tahap pencalonan dan ronde final pemilihan.
Atmosfer
berbeda ini sepatutnya menarik minat warga Jakarta untuk
berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan jumlah 6.983.693 pemilih, sangat
mungkin ada perubahan!
Dalam konteks Jakarta sekarang,
golput tidaklah strategis karena perubahan tidak akan muncul jika warga
selalu apatis atau skeptis. Dengan beragam latar belakang kandidat,
sudah sepatutnya warga memiliki sikap yang jelas demi Jakarta yang
lebih baik. Tapi, tentu pilihan warga Jakarta harus rasional karena
satu suara akan menentukan nasib DKI satu periode kekuasaan.
Herbert McClosky dalam buku lawasnya Internal Encyclopedia of the Social Sciences
(1972: 252) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan
sukarela warga masyarakat di mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak dalam proses
pembentukan kebijakan umum.
Harus digarisbawahi bahwa
simpul kekuatan partisipasi politik adalah kegiatan sukarela!
Supremasi warga negara itu kedaulatan! Karena itu, warga harus
menjaga dan memandatkannya pada orang yang tepat dan benar-benar
memiliki kapasitas, kapabilitas, serta profesionalitas dalam
penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi pada warga.
Sepatutnya
warga mendatangi satu di antara 15.059 TPS dan secara rasional
menentukan pilihan mereka secara sukarela. Terlalu naif sekaligus
berisiko jika warga menukarkan suaranya hanya dengan sedikit uang atau
hadiah lainnya. Selain tidak akan berarti apa-apa, pilihan yang
dijalani secara tidak sukarela karena tindakan voter buying ini juga
merusak kualitas demokrasi. Dalam jangka panjang, imbas memilih
pemimpin yang salah akan merugikan hak-hak sipil politik warga Jakarta.
Warga Berdaya
Seribu
satu cara kerap dilakukan para kontestan, terutama yang memiliki akses
ke kekuasaan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadai
beberapa hal. Pertama, mobilisasi masa melalui jalur-jalur birokrasi.
Ini modus yang kerap digunakan banyak incumbent. Secara formal tidak
akan tampak, tapi kalau diteliti secara saksama, kerap terjadi
mobilisasi yang bersifat masif dan sistemik oleh aparat birokrasi.
Kedua,
sangat mungkin juga warga diintimidasi dalam pilkada. Jika di zaman
Orde Baru intimidasi dilakukan militer, sekarang modus seperti ini
kerap dimainkan ormas-ormas berbasis etnis yang dikendalikan kandidat
yang bertarung. Ini pun biasanya penetratif hingga ke simpul suara.
Warga yang disasar oleh intimidasi ini biasanya bukan kelas menengah
atas yang secara sosiologis sudah menjadi masyarakat kritis, melainkan
warga pinggiran yang dalam hal-hal tertentu masih lekat dengan budaya
paguyuban dan kerap berafiliasi dengan figur-figur sentral di tempat
tinggalnya.
Ketiga adalah serangan fajar yang menohok
kebutuhan warga secara langsung. Biasanya dilakukan secara door-to-door
dan melibatkan banyak pemain yang sehari-hari biasanya adalah
orang-orang yang sangat dikenal warga. Bahkan, di antara para pemain
itu significant others bagi para pemilih.
Warga bisa saja
menikmati asupan yang tidak seberapa itu atau sebagian lagi merasa
tidak enak, ewuh pekewuh dengan para senior dan orang yang
dihormatinya. Segelintir elite yang secara struktur sosial tradisional
berpengaruh biasanya banyak yang tergoda memerankan diri sebagai broker
suara!
Warga DKI sebaiknya lebih berdaya untuk mandiri
menentukan pilihannya karena bagaimana pun DKI adalah barometer
Indonesia. Kota dengan APBD tahun 2012 mencapai 36 triliun rupiah ini
layaknya dipimpin orang yang memiliki tiga kriteria utama. Pertama,
yang akan memimpin DKI itu sedari awal harusnya orang yang punya
asketisme politik. Dia menjadi gubernur bukan untuk memperkaya diri,
melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bersama-sama.
Ini
penting menjadi kriteria pertama karena masalah utama kompleksitas
persoalan di DKI dan juga di negara ini adalah korupsi politik atau
kejahatan kerah putih yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan
membentuk imunitas kelompok untouchble. Oleh karenanya, calon yang
tidak terbebani partai politik dan cukong-cukong dalam pencalonannya
layak mendapat apresiasi sekaligus dukungan warga.
Kedua,
masyarakat membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak
semata ngotot menjaga citra sekarang (current image), tetapi juga
memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah bukan penambah
keruwetan DKI. Siapa pun yang pernah diberi mandat kekuasaan untuk
mengelola DKI dan ternyata gagal seharusnya tidak dipilih lagi karena
jelas-jelas akan merugikan warga.
Ketiga adalah kandidat
yang memiliki kemampuan menumbuhkan kembali semangat komunitarianisme
yang humanis. Ini simpul dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang sudah
lama tercabut dari warga Jakarta. Pengusaha besar menjadi "predator"
usaha kecil-menengah.
Kelompok elite mengisap warga
biasa. Tata kota menghamba pada kuasa uang dan nilai etika tak lagi
bermakna. Semoga pemimpin baru DKI memiliki jiwa transformatif,
humanis, dan merekatkan kembali semangat komunitarianisme.
Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/95284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar