Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, Rabu 27 Juni 2012
Satu
terobosan yang cukup menarik didiskusikan dalam dinamika pemasaran
politik jelang Pemilu 2014 adalah rencana pembiayaan calon anggota
legislatif (caleg) oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Besaran
pembiayaan yang berkisar Rp5- 10 miliar per caleg tersebut merupakan
terobosan baru. Strategi persuasi itu tak hanya mengundang nilai
publisitas di kalangan media massa, tetapi juga diprediksi menyentuh
para politisi sekaligus simpul-simpul tokoh masyarakat.
Nilai Positif
Jika benar-benar direalisasikan, strategi membiayai caleg itu memiliki tiga hal positif. Pertama,
menjadi pendekatan baru dalam pola relasi caleg dengan partai. Selama
ini, tradisi kepartaian kita lekat dengan corak
feodal-oligarkis-transaksional. Salah satu dampaknya, politik menjadi high cost terlebih dalam pertarungan horizontal melalui sistem proporsional terbuka. Salah satu penyebab high cost itu adalah tradisi upeti dari calon anggota legislatif (caleg) ke partai yang mengusungnya.
Selain itu, aliran dana juga kerap mengalir ke pemilih melalui cara-cara voter buying
secara masif. Sedari awal, dengan pola transaksional berbiaya tinggi
tersebut, seorang caleg memersepsikan pengeluaran sebagai investasi
yang dalam hitunghitungan bisnisnya harus balik modal plus keuntungan
saat dia menjadi anggota DPR nanti. Dengan skema pembiayaan, tentu akan
melokalisasi persepsi yang melekat di masyarakat bahwa pencalegan
bukan lagi berformula M-C-M ‘Money- Commodity-more Money’.
Tentu
kita wajib prihatin, saat posisi Indonesia dalam daftar Indeks Negara
Gagal 2012 berada di urutan ke-63 dari 178 negara artinya menempatkan
posisi Indonesia dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal!
Bagaimanapun The Fund for Peace (FFP) memiliki reputasi bagus
dalam pemeringkatan soal ini, dan dirujuk oleh banyak negara di dunia.
Karena itu, saat mereka bekerja sama dengan majalah Foreign Policy memublikasikan indeks ini beberapa hari lalu, seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita, terutama pemerintahan SBY.
Salah
satu penyebab kita menuju negara gagal tentu prilaku koruptif para
elite. Kleptokrasi telah sempurna menjadi pilihan kaum elitepenguasa.
Dalam buku lawasnya, Stanislav Andreski menulis Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)
menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan
utamanya adalah pengayaan pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk
memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.
Sebuah
negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutifnya tunduk
pada para koruptor hanya akan berjalan menuju titik nadir. Skema
pembiayaan caleg ini bisa menjadi terobosan untuk mengurangi praktik
korupsi politik setelah mereka menjadi anggota DPR meskipun tak bisa
menghapuskannya sama sekali. Kedua, pembiayaan caleg akan
turut memberi dorongan pada tokoh-tokoh masyarakat potensial untuk
berpartisipasi. Selama ini banyak orang potensial,memiliki
visi,sekaligus mumpuni,tetapi malas dan cenderung skeptis untuk menjadi
caleg.
Mereka terkendala biaya tinggi sehingga tak
bersedia mengeluarkan uang banyak untuk membiayai kontestasi.
Dampaknya, banyak orang-orang potensial yang tidak bersedia
berpartisipasi. Konsep pembiayaan ini menjadi strategi persuasi yang
cerdas untuk memengaruhi kelompok- kelompok khusus.Tak dimungkiri skema
pembiayaan caleg ini akan menguntungkan pencitraan partai yang
menerapkannya. Hal ini bisa menstimulasi banyak tokoh masyarakat atau
figur-figur politik yang punya basis massa, tapi tidak punya uang untuk
masuk dan mencalonkan diri dari partai yang memberi pembiayaan tadi.
Ketiga,
terobosan yang ditawarkan NasDem ini juga bisa menjadi psywar atau
perang urat saraf bagi partai-partai lain. Misalnya, dalam konteks
rivalitas menuju Pemilu 2014, eksistensi NasDem dengan sendirinya
semakin diperhitungkan banyak pihak terutama partai-partai lama yang
saat ini sudah ada. NasDem bisa menjadi kekuatan baru yang dianggap
memiliki kesiapan terutama menyangkut basis kekuatan finansial untuk
membiayai strategi-strategi pemasaran politiknya.
Political Responsibility
Hanya, ada dua hal yang perlu diberi catatan dari rencana tersebut.Pertama, jangan sampai rencana ini hanya gimmick dalam konteks publisitas politik. Gimmick ini
biasanya hanya membesar-besarkan sesuatu meski kenyataannya kerap
tidak sewah dan tidak senyata yang dilihat dan rasakan. Kalau
pendekatannya hanya hype politic atau untuk pencitraan, tetapi
tidak direalisasikan, tentu akan menjadi ‘blunder’ bahkan bisa
menimbulkan efek bumerang bagi proses-proses marketing politik NasDem
sendiri.
Efek ini terjadi jika hasil dari satu publisitas merupakan kebalikan dari apa yang sebelumnya diharapkan. Kedua, harus
ada kejelasan mengenai sumber pembiayaan para caleg tersebut. Jangan
sampai terdapat distribusi dan alokasi uang bermasalah dalam skema
pembiayaan para caleg. Niatan yang baik tentu harus didukung oleh
sumber-sumber yang jelas dan transparan.Pertaruhan besar jika biaya para
caleg itu diambilkan dari pospos keuangan yang bermasalah karena akan
merusak trackrecordpartai bersangkutan.
Sudah saatnya partai politik mengembangkan konsep tanggung jawab politik (political responsibility)
dalam distribusi dan alokasi sumber daya manusia ke jabatan-jabatan
politik seperti DPR. Jangan sampai, pola transaksional berbiaya tinggi
saat pencalonan menyuburkan praktik korupsi politik berkelanjutan.
Sebagaimana kita ketahui,korupsi politik merupakan penyimpangan atau
penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan
perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi.
Lingkup
korupsi politik mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh,
patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan
jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Korups politik
akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis
di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan politik.Para pelaku menyalahgunakan kewenangan,
sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi
sosial-politik mereka.Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan
pelembagaan demokrasi terusmenerus tersandera oleh tindakan korupsi
politik.
Saat ini korupsi politik bisa dilakukan oleh
siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi
kekuatan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk
menganga hingga kerap menarik minat para koruptor dan calon koruptor.
Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif,
seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara
gagal!
Sumber Tulisan:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/506476/
Sumber Gambar:
www.matanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar