Selasa, 19 Agustus 2008

KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PILKADA : PERSPEKTIF KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasi di Jurnal Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta, Edisi November 2008)

Abstrak :

Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Dalam proses penyelenggarannya, banyak konflik muncul tak hanya di level elit politik yang bertarung memperebutkan kursi, melainkan juga terjadi di level horizontal yakni antara sesama warga masyarakat. Sesungguhnya, substansi Pilkada jika kita lihat dari perspektif komunikasi politik dapat menjadi saluran institusional konflik politik. Dengan mekanisme yang disepakati, konflik politik bisa terwadahi dengan baik. Namun dalam praktiknya, berbagai kesepakatan dalam mekanism Pilkada kerapkali dilanggar sehingga konflik aktual di ruang publik yang tidak sistemis.

Kata Kunci :
Konflik, Pilkada, Political Performance, Komunikasi Politik

Pendahuluan
Tensi politik di wilayah yang menyelenggarakan Pilkada biasanya memanas seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam Pemilu. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang. Menurut Deliar Noer, Politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat (Deliar Noer, 1983 : 6)
Kegiatan politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik. Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. (Miriam Budiarjo, 1998 : 1-2).
Pendapat hampir serupa dikemukakan dalam buku McClosky yang memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. The term “Political Participation”Will ever to those Voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the Formation of public policy (Herbert McClosky, 1972 : 252).
Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson menggarisbawahi bahwa partisipasi adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak Efektif”. By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective (Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson 1977 : 3)
Penyelenggaraan Pilkada tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Seluruh partai memiliki kepentingan, begitu pun individu kandidat yang hendak bertarung. Mereka akan mengoptimalkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan dari para pendukungnya masing-masing. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik besar di daerah. Partsipasi politik warga masyarakat kerapkali juga tidak dalam domain kesadaran pemilih rasional (rasional voter) melainkan keasadaran palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.

Sumber Konflik dan Political Performance
Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk berdemokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah. Momentum ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) di pemerintahan pusat maupun daerah dalam suatu sistem demokrasi. Indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham ada lima, yakni :
Pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasiah tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers (Bingham Powel Jr, 1982 : 3)
Kenyataan di bebarapa Pilkada yang sudah terselenggara banyak yang tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai hasil yang syah, sehingga muncul gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yang kalah. Di banyak tempat, Pilkada juga tidak memiliki sistem pengorganisaian perundingan. Buktinya seperti di kasus Pilkada Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, saluran perundingan tidak tertata secara baik. Berbagai pihak otoritatif seperti KPU, DPRD juga Mentri Dalam Negeri tidak memiliki wibawa untuk membawa konflik pasca Pilkada secara lebih elegan. Faktor lain, masih banyaknya orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada. Hal ini indikatornya adalah tingginya golput, bahkan di beberapa provinsi dan kota utama di Indonesia golput ”memenangi” Pilkada. Jika golput memenangi Pilkada artinya begitu kuatnya ketidakpercayaan dari warga masyarakat kepada sistem penyelenggaran Pilkada akan melahirkan perbaikan nasib mereka ke depan. Faktor selanjutnya adalah masih adanya ketidakrahasiahan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak dasar warga negara. Kasus di beberapa Pilkada, warga memilih karena berada dalam tekanan baik dari organisasi massa, organisasi keagamaan, preman politik dan lain-lain. Berbagai tekanan yang dirasakan menyebabkan warga kehilangan kritisisme, kehilangan hak memilih sesuai nurani dan lain-lain. Jika semua itu terjadi, maka political performance di sebuah daerah dengan sendirinya akan buruk dan berpotensi melahirkan konflik pasca pilkada.
Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya, konflik Pilkada biasanya muncul dari hal-hal sebagai berikut : pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Hal ini bisa jadi karena adanya dualisme kepemimpinan parpol, ijzazah palsu atau tidak terpenuhinya syarat dukungan 15 persen parpol pendukung dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, munculnya multitafsir dan perdebatan di seputar keputusan MK yang membolehkan adanya calon independen membuat masalah kian komplek. Ketidaksiapan aturan main yang opersional untuk mengakomodir calon-calon independen ini kerapkali menjadi sumber konflik yang potensial. Kasus penolakan calon independen ini misalnya beberapa waktu lalu terjadi di Cilacap.
Kedua, sengketa Pilkada juga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Banyak masyarakat di suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada merasa berhak untuk menjadi pemilih, tapi kenyataannya tidak terdaftar. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadi determinan konflik. Kasus Pilkada Kalimantan Barat misalnya, diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Di proses Pilkada DKI pun hal ini sempat memicu ketegangan, PKS merasa banyak pemilih yang tidak terdaftar oleh KPUD.
Ketiga, konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Berbagai upaya melakukan untuk memasarkan politik (marketing of politics) untuk meraih simpati publik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakan menyerang, mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada.
Keempat, tahapan yang juga biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Selatan dan Maluku Utara yang berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan suara yang diduga banyak terjadi kecurangan dan ketidakjelasan.
Kelima, konflik juga bisa jadi muncul di proses penetapan pemenang. Kasus di beberapa daerah, DPRD tidak mau menetapkan hasil Pilkada. Terutama, di daerah yang mayoritas anggota DPRD-nya berasal dari kubu yang bersebrangan dengan kandidat yang tepilih. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005, DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Begitu pun yang dulu terjadi di kasus Pilkada Depok, Walikota Depok terpilih Nurmahmudi Ismail, berkonflik dengan DPRD yang umumnya mendukung Badrul Kamal.
Rentetan kasus dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung konflik bisa jadi memperlemah political performance. Terutama, jika konflik tak bisa dikelola secara baik oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Pilkada.

Ambiguitas Komunikasi Politik
Satu komponen penting yang mesti disadari oleh seluruh pihak dalam penyelenggaraan Pilkada tentunya adalah komunikasi politik. Pilkada pada dasarnya memang merupakan mekanisme politik. Wadah institusionalisasi konflik melalui mekanisme politik. Berbedaan aspirasi dan perbedaan politik, seharusnya diselesaikan melalui kontestasi politik dengan mekanisme yang santun dan demokratis. Tentu saja untuk mewujudkan itu dibutuhkan variabel komunikasi politik.
Gabriel Almond berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kata-kata Almod sendiri :
All of the funcions performed in the political system–political sosialization and recrutment, intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule application, and rule adjudication- are performed by means of communication. (Gabriel A, Almond, 1960 : 45)
Denton and Woodward memberi karakteristik komunikasi politik dalam term intentions (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik (the political environment). Faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah sumber sebuah pesan melainkan isi dan tujuannya (Woodward Denton, R.E, 1990 : 14).
Jika Denton menyebut faktor tersebut sebagai The Intentionality of political communication, maka secara sederhana Brian McNair menyebutnya sebagai purposeful communication about politics. Hal ini meliputi : pertama, segala bentuk komunikasi yang dilancarkan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk tujuan pencapaian tujuan-tujuan khusus. Kedua, komunikasi yang ditunjukkan kepada aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih (voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa. Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik lainnya di media massa. (Brian McNair, 2004 : 4).
Jika di lihat dari perspektif komunikasi politik, determinan konflik dalam Pilkada muncul karena faktor-faktor berikut ini : pertama, munculnya communication gap diantara elit partai dengan konstituennya misalnya dalam penentuan kandidat dari salah satu partai. Partai memutuskan untuk menunjuk kandidat yang sebenarnya tidak dikehendaki sehingga menimbulkan kekecewaan.
Kedua, di level informations roles munculnya ketidak percayaan atas peran yang mainkan oleh disseminator dalam hal ini ketidakpercayaan terhadap KPUD. Di beberapa daerah muncul banyak dugaan KPUD, pihak dalam pemenangan kandidat tertentu. Pola alur informasi yang berjalan antara KPUD dengan para kandidat dan massa pendukungnya seringkali mengalami hambatan. Misalnya, ketidakjelasan alur informasi dalam penetapan pemilih tetap, penetapan kandidat, penetapan jadwal kampanye dan lain-lain.
Ketiga, tidak relevannya equevocal Communication (lihat Janet Beavin Bavelas, 1990). Term ini memiliki pengertian pengamasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas. Hal ini bisa saja dalam kondisi tertentu, terutama jika berbicara pesan politik sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi jika equevocal communication itu terjadi dalam hal-hal yang sangat membutuhkan informasi yang jelas, maka akan dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya, dalam proses penyampaian aturan main dan tata kelola Pilkada. Sosialisasi aturan harus mengorientasikan pesan secara jelas, dan menimbulkan kepastian berbagain Pilkada dapat berjalan sesuai kesepakatan bersama.
Keempat, munculnya Pleonasme simbol. Pilkada sekali lagi merupakan mekanisme politik yang di dalamnya menjadi arena pertarungan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan. DPRD sebagai simbol wakil rakyat, pemerintah sebagai simbol pelayan masayarakat mengalami fungsi yang paradoks pada saat Pilkada. Sehinga dengan sendirinya menurunkan kredibilitas dari apa yang mereka simbolkan. Komunikasi politik semacam ini,meminjam istilah Novel Ali dalam bukunya Peradaban Komunikasi Politik (1999) bisa menimbulkan pleonasme atau kemubadziran baik bagi sumber (komunikator) maupun sasaran (komunikan). Pleonasme memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan antara sumber dan sasaran. Pleonasme juga bisa mendorong mencuatnya heteronomi komunikasi, dimana masyarakat bisa juga pemerintah kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik. Muncul kejenuhan bahkan sudah sampai pada keengganan berkomunikasi (Communication Apprehention). Communication Apprehention ini merupakan teori James McCroskey yang manyatakan bahwa ada saat-saat orang mengalami keengganan komunikasi yang disebabkan faktor keadaan tertentu. Ini yang McCrosky sebutkan sebagai person-group commuication apprehention (James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, 1998 : 102-103). Jika hal ini terjadi, maka akan sulit enempuh sharing dan penyelesaian masalah misalnya antara massa pendukung kandidat dengan DPRD, pemerintah atau pun KPUD
Kelima, konflik Pilkada juga bisa muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure). Media massa bisa secara sadar atau tidak sadar menstimulasi konflik. Dengan berita yang bombastis, atau political framing tendesius dan menekankan pada relasi antagonisme maka media dapat menjadi katalisator konflik. Untuk itu diperlukan kearifan dari media massa untuk tidak hanya terjebak pada kontroversi melainkan pada tegaknya demokrasi di daerah penyelenggara Pilkada.
Fenomena pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas kandidat sebenarnya telah mulai semarak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. Bahkan, bisa kita katakan kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden secara langsung Pemilu lalu, merupakan keberhasilan publisitas melalui media. Bangsa Indonesia seolah terbius dengan sosok SBY yang berhasil dikonstruksi secara apik melalui tampilan media. Tentunya, kesuksesan inilah yang mengilhami para kontestan di daerah untuk juga memanfaatkan media. Wajar jika perhelatan Pilkada pun memberi rezeki nomplok bagi para pengelola media. Tim sukses ramai memasang iklan besar-besaran dengan kontrak tayang relatif intensif. Tak ketinggalan, banyak media yang secara sengaja menjual sebagian besar kolom, rubrik ataupun program kepada para calon. Artinya, Pilkada turut menjadi momentum akumulasi keuntungan bagi media.
Media di manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita” (Tuchman, 1980). Wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa munguasai media maka akan menguasai dunia”. Dalam konteks Pilkada tentu saja, siapa yang mengusai opini publik melalui media massa maka biasanya berpotensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang.
Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content), dikategorikan sebagai simbolic reality.
Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu (subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat .
Koran, majalah, tabloid, radio dan TV terutama di wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada, habis-habisan menjadi “ranah pertarungan” berbagai kekuatan ekonomi dan politik. Tak jarang, di beberapa daerah muncul kecenderungan media massa lokal yang sebelum Pilkada menampilkan diri sebagai media independen, tapi saat Pilkada berlangsung menjadi sangat bias, memihak dan tak mengindahkan etika jurnalistik. Tak pelak lagi, jika media massa dalam proses mengemas Pilkada dengan cara-cara mengkonsruksi kekerasan atau menghembus-hembuskan kabar kebencian antar sesama pendukung kandidat, maka sudah dapat ditebak konflik Pilkada akan kian eskalatif.
Faktor keenam yang biasanya menjadi sumber konflik adalah sifat agresi yang dominan dari elit politik. Meminjam pendekatan teoritik dari Dominic Ifanta yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Dominic Ifanta, 1996), terdapat dua sifat agresi yang dominan yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Berdebat tentunnya bukan sesuatu yang salah, karena untuk mempertajam visi dan misi kandidat misalnya, maka dibutuhkan sebuah perdebatan kritis untuk menguji kredibilitas calon pemimpin. Hanya saja kesukaan berdebat dalam perspektif Dominic yakni kesukaan berdebat tentang isu-isu yang sensitif dan kontroversial. Sementara keagresifan verbal berhubungan dengan kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal ini juga menyertakan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional yang menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, meyakiti perasaan dan reaksi negatif lainnya.
Pada saat kampanye, atau debat kandidat biasanya muncul keinginan kandidat satu menjatuhkan legitimasi kandidat lain. Sebagian dari mereka melakukan upaya-upaya yang tidak etis misalnya menjelek-jelekan, black campaign, propaganda politik yang langsung menyerang kehormatan serta konsep diri orang lain. Hal ini bisa muncul mislanya dari apa yang Roderick P Hart (1972) sebut sebagai tipe diri noble selve. tipe yang mengagungkan ideal personal tanpa variasi dan adaptasi. Komunikator politik tipe ini dapat kita temukan pada diri para pemimpin yang otoratarian. Mereka selalu mengganggap dirinya superior sehingga tidak perlu melakukan adaptasi dengan pihak atau orang lain.

Rising Expectation
Antusiasme masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia, di mana para kepala daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan ‘hajatan’ baru yang akan menentukan nasib penanganan daerah-daerah di masa mendatang. Model birokrasi daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang menciptakan atmosfir kesemarakan.
Sementara secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di tingkat nasional. Bangsa Indonesia telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung. Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa sejalan dengan keinginan mereka. Untuk tetap menjaga peningkatan harapan di masyarakat atas demokratisasi di tingkatan lokal ini maka seyogyanya Pilkada dapat mereduksi faktor-faktor penyebab konflik sebagaimana disebutkan di atas. Ada pun solusi yang memungkinkan ditempuh adalah :
Pertama, guna mereduksi communication gap antara partai politik dengan konstituennya harus ada mekanisme internal partai yang dapat menjamin demokratisasi internal berjalan dengan baik. Calon yang diusung partai seyogyanya mewakili aspirasi umum warga partai. Kandidat tidak serta-merta ada melainkan lahir dari sebuah mekanisme sosialisasi, transfaransi, akuntabilitas. Seluruh elit partai ada baiknya kembali menyadari bahwa fungsi partai politik jika merujuk pada Ramlan Surbekti (1992) ada 7 fungsi, yakni : (a) Sosialisasi Politik, proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. (b) Rekrutmen politik, seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. (c) Partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan (d) pemandu kepentingan, (e) Komunikasi politik, (f) pengendalian konflik, (g) Kontrol politik, kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatianya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas (Sigmund Neumann,1963 : 352).
Kedua, guna mereduksi masalah information roles, mesti tampilnya KPUD yang independen, professional dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki oleh KPUD guna menghindari lemahnya kredibilitas KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada. Sebagai penyelenggara paling tidak ada dua kunci utama kinerja KPUD. Pertama, KPUD mesti memainkan diri sebagai orang yang terjun menangani masalah (distrub handler). Dalam tugasnya ini, KPUD harus memilki legitimasi dan dukungan finansial serta moral. Kedua, dalam konteks sebagai penyelenggara, KPUD juga harus piawai memainkan resource allocator. Seluruh potensi baik internal maupun ekternal KPUD diarahkan untuk ditempati oleh sumber daya manusia yang tepat dan memiliki kemampuan.
Ketiga, seyogyanya menggunakan strategi equevocal communications (EC) secara tepat. Oleh karena Pilkada terkait dengan sebuah kinerja yang teknis, maka jenis-jenis EC tidaklah tepat jika dilakukan dominan dalam prosesnya. Informasi yang rinci, jelas, terarah dan transfaran lebih dibutuhkan oleh para anggota KPUD, Pemerintah juga DPRD. Namun demikian, EC juga sekali-kali dibutuhakan untuk suatu isu-isu tertentu yang belum jelas dan butuh komunikasi yang diplomatis untuk menghindarkan dari resiko yang lebih besar.
Keempat, untuk menghindari kemunculan fenomena pleonasme simbol atau melemahnya simbol-simbol otoritatif kenegaraan, maka sangat diperlukan upaya meunjukkan wibawa dari institusi pemerintah, DPRD, KPUD dan lain-lain, dengan cara memperkuat kapasitas kelembagaan. Merujuk kepada pendapat David K. Berlo (dalam Cangara, 2000 :102), simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis sehingga memiliki arti. Simbol ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Menurut Alex Sobur (2001: 44-45), sifat simbol itu mewakili sesuatu yang lain dan simbolisme dianggap sebagai usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir.
Kemubaziran komunikasi dan relasi antagonis dalam komunikasi politik akibat adanya harapan yang berbeda dari simbol dan yang disimbolkan harus dijembatani dengan adanya penguatan untuk kembali mempererat hubungan keduanya. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir. Pemerintah dan KPUD mestinya melakukan sosialisasi yang rasional mengenai seluruh kebijakan yang menyangkut kebijakan publik soal Pilkada. Hal ini penting guna meningkatkan loyalitas dan mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada. Dalam kapasitasnya sebagai media penghubung, komunikasi mestinya dioptimalkan agar terjalin komunikasi timbal balik (two way Communcation) antara masyarakat dan pemerintah.
Perlu diberi catatan, pengharapan rakyat pada penyelenggaraan Pilkada adalah adanya perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu (Dan Nimmo,1993). Oleh karenanya, mustahil seorang pemimpin dapat mengkoordinasikan tata nilai politik dan ideliasasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.
Kelima, media juga harus memberikan kontrubusi dalam menciptakan Pilkada yang demokratis dengan mengusung jurnalisme damai. Mengingat pentingnya Pilkada dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi keuntungan dari perhelatan kolosal Pilkada ini. Meski pun tak bisa melepaskan diri dari anasir kelompok kepentingan yang bertarung di Pilkada, media seyogyanya tetap mengedepankan pertanggung jawaban sosial. Artinya media dalam arti pers tak hanya melakukan kerja komodifikasi. Komodifikasi dalam pandangan ekonomi-politik Vincent Mosco (1996) mengacu pada proses mentransformasikan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) atau nilai yang didasarkan pasar. Dalam perannya sebagai “mata” dan “telinga”, pers seyogyanya terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D. Laswell adalah sebagai Pengawas sosial (social surveillance). Hal ini merujuk pada upaya penyebaran informasi dan iterpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Satu di antara pemain kunci yang sesungguhnya dapat mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi alat kontrol yang cukup efektif.
Minimal ada tiga potensi yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. (A) pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi wilayah liputannya. Para jurnalis lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka ulas secara lebih detil. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih besar. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal menjadi sangat terbatas. Kalau pun ada, hanya sebatas isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
(B) akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama. (C) seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan sistem manajemen modern. Terlebih dengan terhubungnya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar. Tentunya, media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi, distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial dan demokratisasi di Indonesia.
Keenam, elit politik juga harus menjaga diri untuk tidak terlampau agresif menyerang kandidat lain, apalagi dalam konteks menjatuhkan martabat dan kehormatan mereka dengan cara-cara yang tidak etis. Tipe noble selves seharusnya dapat tergantikan dengan rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan ekstrim-ekstrim ini. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat . Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dan akseptansi ide-ide secara meluas.

Penutup
Berbicara konflik dalam penyelenggaraan Pilkada, tentunya sangat komplek. Anggapan sebagian besar orang bahwa konflik selalu akan melahirkan yang namanya kehancuran dan kekacauan tidak sepenuhnya benar. Jika ada sisi negatif maka juga ada sisi positifnya. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Konflik itu sesuatu yang melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu memahami dan menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik tidak dapat dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau dieliminir sehingga tidak menjadi tindak kekerasan.

Daftar Pustaka :
Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik Potret Manusia Indonesia, (Bandung : Rosadakarya.1999)

Almond, Gabriel A. Introduction : A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond dan James S. Coleman (ed.). The Politics of the Developing Areas. (Princeton University, 1960)

Budiarjo, Miriam. (peny.). Partisipasi dan Partai Politik.(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1998)

Bavelas, Janet Beavin, Nicole Chovil and Jennifer Mullett. Equivocal Communications (Newbury Park, CA : Sage, 1990)

Berger, Peter L, and Thomas Luckman. The Social Construction of Reality, (New York : Anchors Book, 1967)

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
Denton, R.E., Woodward, G.C. Political Communication in America. (New York : Praeger. 1990)

Hart, Roderick and Don M. Burks, “Rhetorical Sensitivity and Social Interaction,” Speech Monographs 39 (1972)

Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in developing Countries (Cambridge, Mass.:Harvard University Press,1977)

Ifanta, Dominic, Teresa A. Chandler and Jill E.Rudd, “Test of an Argumentative Skill Deficiency Model of Interpousal Violence,” Communication Monographs 26 (1989)

Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication, (Alburquerque, New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998)

McClosky, Herbert. Political Participation, International Encyclopedia of the Social Sciences, Edisi ke-2 (New York: The McMillan Company and the Free Press, 1972)

McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. Third Edition, (London and New York : Routladge. 2004)

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. ( London, New Delhi: SAGE Publication, 1996)

Noer, Deliar.Pengantar ke Pemikiran Politik. (Jakarta : Rajawali. 1983)
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Tjun Surjaman (terj.). (Bandung : Rosdakarya, 1993)
Powel Jr., Bingham. Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence. (New York : Harvard University Press. 1982)

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992)

Sigmund Neumann “Modern Political Parties” dalam Comparative Politic: A Reader, diedit oleh Harry E. Eckstein dan David E. Apter (London: The Free Press of Glencoe, 1963)

Sobur, Alex. Analisis Teks Media. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001)

Tuchman, Gaye. Qualitative Methods in the Study of News, in Jensen, K.B., and Jankowski, N.W. (ed.), A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. (London and New York : Routledge, 1991)