Minggu, 15 Desember 2013

Publisitas Politik dan Simulasi Realitas Pejabat Publik

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013)

Sebenarnya, publisitas politik itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui beragam cara. Dalam perspektif komunikasi politik, paling tidak ada empat jenis publisitas. Pertama, publisitas yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa (pure publicity), misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat spanduk yang dilakukan di berbagai ruas jalan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral.

Tujuannya jelas yakni popularitas dan elektabilitas kandidat. Kedua, publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya partai atau capres yang membuat posko di tempat kejadian musibah besar  dan memiliki potensi nilai berita. Modus yang biasa dipakai adalah menyelam sambil minum air, membantu orang-orang terkena musibah sambil meraup popularitas. Ketiga, publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki oleh pihak ketiga (free ride publicity) misalnya kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara  dan lain-lain untuk mengelola popularitasnya. Keempat, publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk menanamkan kesadaran atas sebuah brand kandidat misalnya lewat advertorial, spot, dan segmen acara.

Hal yang menonjol saat ini adalah bermunculannya publisitas pejabat publik di media massa yang sebagian besar diantaranya memiliki potensi pelanggaran etika. Namun, dari sekian banyak publisitas para politisi yang harus kita kritisi adalah keterlibatan pejabat publik dalam sejumlah iklan komersial, iklan layanan masyarakat maupun sinetron. Sebut saja sebagian nama pejabat itu ada Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan), Dahlan Iskan (Menteri Perhubungan), Marzuki Ali (Ketua DPR) dan juga ada Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat Deddy Mizwar. Selain itu, ada juga sejumlah nama anggota DPR dari kalangan selebriti yang sudah kembali aktif di panggung hiburan padahal masih tersemat label wakil rakyat dengan seabrek tugas yang harusnya menjadi prioritas mereka.

Jika dibuat tipologi, pejabat publik yang masih beriklan itu bisa kita bedakan menjadi dua. Pertama, campaigning maker artinya pejabat ini sedang menyiapkan diri memengaruhi pemilih untuk jabatan tertentu di kemudian hari. Dengan demikian, meski bungkusnya publisitas, tetapi targetnya sama dengan kampanye yakni positioning, branding, segmenting. Menanamkan kesan di benak para pemilih, memalingkan perhatian khalayak, mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial.  

 Kedua, tipe The leader of the governing artinya pejabat yang sedang memerintah dan dalam waktu dekat belum memiliki agenda kampanye untuk bertarung lagi di pemilu.

Nama-nama seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Marzuki Ali, Hatta Radjasa, dan sederet nama pejabat lain yang melakukan publisitas politik dapat kita masukan ke  tipe pertama. Sementara Deddy Mizwar bisa menjadi contoh yang pas untuk tipe kedua. Semua berpotensi merusak etika politik meskipun bisa menghindari adanya pelanggaran regulasi.

Tak elok, jika iklan layanan masyarakat yang dibiayai kementrian, ditumpangi sang mentri yang akan nyapres atau ikut konvensi. Sementara iklan produk komersial yang dibintangi Wagub Deddy Mizwar  akan memantik kritisisme warga Jawa Barat terkait dengan prioritas dan performa komunikatif dalam mengemban mandat kekuasaan. Alasan sudah terikat kontrak komersial sebelum menjadi wagub bisa saja terucap, tapi jika dedikasi atas jabatan dan mandat kekuasaan di atas hitung-hitungan kontrak, maka tentu Wagub Deddy Mizwar akan memilih berhenti sementara menjadi bintang iklan produk komersial hingga jabatannya usai.  


Semua pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”. Ucapan ini dikutip ulang oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) untuk menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik. Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas partai dan urusan komersial milik pribadi.


Siapa pun yang bersiap menjadi pejabat publik tentu sudah menghitung konsekuensi apa yang akan melekat pada jabatan yang diembannya. Jangan sampai, si pejabat publik melakukan apa yang oleh Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra disebut  sebagai simulasi realitas. Dalam konteks ini, tindakan si pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan padahal tidak sama sekali. ***

Tanggung Jawab Sosial Media Massa

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom OPINI Koran Sindo, 5 Desember 2013)

INDONESIA menjadi tuan rumah acara The 3rd International Islamic Conference on Media yang diselenggarakan Selasa-Kamis (3-5/12) di Jakarta. Sejumlah akademisi, periset, praktisi media dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual terkait eksistensi media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang menjadi sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun hubungan antarnegara. Sejumlah topik seperti dimensi etis media, tata informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan oleh seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.  

Dilema media

Sebagai partisipan dalam konferensi internasional tersebut, penulis meraba denyut kegundahan banyak kalangan, terutama tentang eksistensi media massa yang ada di dunia saat ini. Memang tak disangkal, media memiliki posisi penting di era yang disebut John Keane dalam tulisannya, The Humbling of the Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance (1998), sebagai era keberlimpahan komunikasi. Terlebih, dalam praktik negara-negara demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung keajekan konsolidasi demokrasi adalah media.

Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi ruang publik (public sphere) demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di posisi itulah media kerap mengalami dilema antara idealitas dan profesionalitas di satu sisi serta pragmatisme di sisi lain.

Kondisi objektif media tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia memiliki benang merah yang sama, terutama dalam dua hal. Pertama, banyak media yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya dinamika informasi kerap dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantorkantor berita besar yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor berita negara maju. Sebesar 60-70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.

Tentu salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare). Ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name callingatau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Sejumlah sebutan seperti teroris, tiran, ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap terpapar dalam bingkai media berjejaring global untuk mendelegitimasi pihak-pihak tertentu yang sedang menggeliat menjadi kekuatan baru potensial di dunia. Kedua, hal yang paling banyak dirisaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi media.

Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik domestik maupun global. Beragam kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik. Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Dengan begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.

Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsepresonansi. Ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran sekaligus menciptakan realitas buatan melalui beragam ikon kebudayaan yang meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan dibanyak negara masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka. Terlebih jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang berkolaborasi dengan rezim kapital.

Keadaban publik

Eksistensi beragam media di dunia seharusnya mendorong terciptanya keadaban publik. Menjadi katalisator literasi informasi guna memperkuat warga dunia yang saling menghargai keberagaman, bukan sebaliknya, menjadi provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara yang harusnya saling menghormati.

Ada beberapa tanggung jawab sosial media yang harus ditunaikan kepada publik. Pertama, media harus mau dan mampu mengemban fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini konflik politik maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia. Penyebab utamanya rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai representasi kebenaran. Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah pertentangan antar kekuatan, bukan sebaliknya, menjadikan berita berdarah-darah sebagai jualan.

Kedua, media wajib menghadirkan role model pemberdayaan masyarakat. Benar bahwa media saat ini sudah berada di era industri yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese menulis dalam Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan memproduksi, mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan. Kendati demikian, selalu ada peluang para pekerja media untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran tanpa merusak keadaban publik.

Kamis, 21 November 2013

Penyadapan dan Perang Asimetris

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 21 November 2013)


SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia. Sebenarnya  penyadapan bukan hal aneh dalam dunia intelijen, tetapi apa yang dilakukan Australia sudah melampaui kepatutan dalam hubungan diplomatik antar negara. Ironis memang, karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya memiliki banyak persinggungan kepentingan. Langkah SBY menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia menjadi pesan kuat memanasnya hubungan kedua negara.

Perang Informasi

Pidato SBY, Selasa (20/11), merupakan respon aktual dan bisa dibaca dalam konteks merespon sikap pemerintahan Tony Abbot yang tidak mau meminta maaf atas tindakan penyadapan tersebut. Ada tiga butir penting dalam pidato SBY. Pertama, meminta penjelasan dan sikap resmi pemerintah Australia terhadap upaya penyadapan itu. SBY meluncurkan surat resmi dan setelah ada penjelasan serta sikap resmi Australia pemerintah RI akan mengambil sikap resmi berikutnya.

Kedua, presiden RI meminta jajarannya untuk melakukan review  terhadap sejumlah kerjasama dengan Australia, di antaranya kerjasama dalam bidang pertukaran informasi, latihan militer bersama, coordinated military operation, terorisme, dan lain-lain.

Ketiga, presiden RI mendesak penegasan protokol kerjasama antar kedua negara ke depan. Harus ada code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak muncul standar ganda di kemudian hari.


Sebenarnya jika kita melihat substansi yang disampaikan SBY, sudah memadai sebagai pernyataan terukur dalam konteks diplomatik. Hanya saja, tidak cukup pidato yang sifatnya membangun kesadaran diskursif. Indonesia butuh ketegasan di level kesadaran praktis. Artinya, harus ada tindak lanjut kongkrit atas pidato tersebut yang menunjukkan pemerintahan Indonesia memiliki martabat sebagai mitra sejajar Australia.

SBY dalam pidatonya mengaku heran kenapa Australia menyadap Indonesia padahal Indonesia dan Australia tidak berposisi sebagai lawan sehingga tidak perlu diawasi gerak-geriknya. Dalam konteks komunikasi politik apa yang dilakukan Australia terhadap Indonesia harus dipahami dalam konteks perang asimetris! Tak ada kawan dan lawan yang luput dari perang informasi.

Laporan yang dipublikasikan harian Australia, Sydney Morning Herald  (SMH), Kamis (31/10) menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga  melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelejen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak, bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Persekutuan formal antar negara dalam beragam kepentingan mereka, tak menjamin negara tersebut luput dari pengintaian dan penyadapan sekutunya.

Modern ini, perang informasi nyata adanya. Relasi kuasa antar negara serta antar blok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Peta geopolitik dunia bisa dengan mudah berubah. Tak jelas benar siapa lawan dan kawan karena peperangan yang diciptakan juga tak berwajah, tak berbatas waktu, dan tak berpasukan yang mudah diidentifikasi. Perang digital yang penetratif hingga ke kantung-kantung kuasa lintas negara.

Media konvensional  dan media baru seperti internet menjadi alat pengendalian dalam perangkingan isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi” yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.

Dalam laporan SMH tadi diungkapkan, AS bukanlah aktor tunggal dalam prosesi penyadapan informasi khas spionase ini. Muncul istilah “Five Eyes”/FVEY. Ini merupakan sebutan popular jaringan kerjasama intelejen AS bersama-sama Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Kelima negara tersebut hampir memiliki pola yang sama yakni membuat jangkar intelijen mereka pada 6 garapan utama yakni: intelijen sinyal (Sigint); national assessment, intelijen pertahanan, intelijen keamanan, intelijen manusia, serta pusat-pusat kontra terorisme. AS sendiri misalnya punya yang namanya National Security Agency, Central Intelligance Agency (CIA), Defense Intelligence Agency (DIA), National Counter Terrorism Center (NCTC). Beragam unit-unit khusus juga melekat dalam  perangkat kerja badan-badan intelijen tersebut. Dalam praktiknya mereka  kerap berkongsi dengan sesama anggota “Five Eyes” tadi.

Bicara dalam konteks makro, skandal penyadapan oleh Amerika dan Australia seperti terjadi akhir-akhir ini merupakan puncak “kesewenang-wenangan” dalam hubungan diplomasi antar negara berkeadaban. Sebetulnya informasi tentang penyadapan berlebihan ini pun sudah sempat mencuat saat Julian Assange dan Wikileaks meretas kawat diplomatik  AS di berbagai belahan dunia dan mempublikasikannya beberapa waktu lalu.


Metode Perang

 Dalam perspektif komunikasi politik perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui empat metode. Pertama, metode pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Tak dinafikam, praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses menonjolkan isu pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga mempengaruhi persepsi personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan. Sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolah-olah “kepribadian” masing-masing media. Fenomena inilah yang oleh C. Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.

Kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang. Sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. 60 hingga 70 persen berita media di seantero dunia bersumber dari AP (Associted Press), UPI (United Press International), Reuter, dan AFP (Agency France Press). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuter milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Perancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda.

Ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games. Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan. Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm. Kita bisa menyaksikan begitu banyak proganda barat dilancarkan melalui berbagai film Hollywood dari berbagai genre film.

Keempat melalui cyberwar. Fenomena seperti ini, dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks. yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo,  rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelejen tentang konflik di Afghanistan.

Dalam konteks perang informasi, hactivist ini telah digunakan oleh banyak kalangan termasuk intelijen berbagai negara. Ada lima tipologi hactivist yakni yang meretas sekedar mencari kepuasan (thrill seeker), kelompok kejahatan (organized crime) misalnya membobol ATM, kartu kredit, akun bank orang lain, kelompok teroris (terrorist group), intelligence biasanya untuk kebutuhan keamanan dan spionase, tipe terakhir adalah aktivis yang bergerak melalui dunia cyber (cyberdemocracy activist). Semua peretas yang disebutkan tadi, saat ini nyata adanya membentuk jejaring tak hanya dalam skala nasional tetapi juga internasional.

Tindakan Australia dan Amerika dengan penyadapan yang menghebohkan seperti sekarang ini, sesungguhnya sudah masuk kategori perang asimetris. Praktik pengawasan komunikasi elektoronika secara berlebihan ini menjadi ironi dalam demokrasi. Berbagai negara yang terkuak menjadi objek penyadapan AS dan Five Eyes”/FVEY, harusnya bukan semata marah dalam wacana dan retorika, tetapi sudah sepantasnya menggugat keras negara-negara penyadap atas kesewenang-wenangan dalam perang asimetris mereka. Ke depan, untuk mengatur tata informasi baru lintas negara harusnya juga didorong code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi seperti diinginkan SBY dalam pidatonya itu. ***

Senin, 04 November 2013

Pertaruhan Legitimasi Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 4 Nov 2013)

Pemilu 2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul seiring dengan keinginan banyak pihak untuk melakukan tranformasi dari transisi ke konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY telah memosisikan harapan tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi. Gaung adanya perbaikan signifikan atas persoalan-persoalan kebangsaan, seolah lenyap ditelan hiruk pikuk konflik elite atas nama zona nyaman kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan menjadi mekanisme prosedural untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju perbaikan itu. Belum mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang menghadang. Karut marut Daptar Pemilih Tetap (DPT) membuat kita bertanya, mungkinkah pemilu kita bisa memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi demokrasi. Tantangan nyata di depan mata adalah kesiapan kita menggelar pemilu demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.

Trauma Politik

Sangat penting bagi kita sekarang, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999)  mengungkapkan, konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.


Pemilu 2014 terancam mengalami delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselsaikan.  Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di banyak pemilihan kepala daerah. Trauma itu, bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan DPT. Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi Pemilu demokratis.


Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor lainnya adalah legitimasi pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiahan dan independensi, serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang jika merujuk pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political Action: Theoritical Perspective (1979) masih bisa dibagi menjadi dua bentuk, konvensional dan non konvensional. Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turnout) yang non konvensional misalnya demonstrasi, mogok kerja dan lain-lain. Dalam konteks Pemilu 2014, partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika urusan DPT tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak suara, tetapi dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless). Sebagian pemilih lain yang punya hak suara,  karena adanya kisruh DPT seperti sekarang sangat mungkin enggan berpartisipasi karena melemahnya kepercayaan mereka pada sistem penyelenggaraan pemilu.


Jika melihat jadwal Pemilu, penetapan DPT ini sudah diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di tingkat kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang, jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT.  Ada tiga hal yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.


Pertama, identifikasi masalah hulu kisruh DPT ini sudah lama diketahui banyak pihak yakni sistem pendataan penduduk yang bermasalah dan koordinasi antar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan penyelenggara Pemilu. Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kemendagri misalnya, sedari awal masih kerap bermasalah misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang ganda, kosong, dan tidak standar. Keraguan itu sudah terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi daftar 190,4 juta penduduk yang seharusnya menjadi basis data daftar pemilih. KPU memang sudah melakukan sinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).


Hasil penyandingan DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi, ditemukan 160 juta data yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data bermasalah. Data terakhir ini, tak dilengkapi elemen kependudukan yang baik, seperti nama, alamat, dan tanggal lahir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri pada Kamis hingga Jum’at (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang lebih 10,4 juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Ini tentu bukan angka sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak sipil politik warga negara. Sedari awal koordinasi antar penyelenggara pemilu dengan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi dengan pendekatan preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan kemarin sore.

Ribut saling menyalahkan antar KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi melemahkan harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.
Kedua, soal waktu dan dukungan dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu 2014 harusnya lebih bagus dibanding 2009. pada pemilu lalu waktu pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum pemungutan suara, sementara untuk pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu pemungutan suara. Dari segi anggarannya pun pemilu 2014 lebih besar. Pada pemilu 2009 anggarannya sebesar Rp. 1,2 triliun, sementara pada Pemilu 2014 menjadi Rp 1,9 triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.


Ketiga, soal proyek prestisius bernama KTP Elektronik. Uang rakyat sudah digelontorkan begitu besar untuk proyek yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik selesai pada 2012!   

Ruang Gelap  

Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.


Pemilu memang momentum kontestasi antar kekuatan. Tetapi, seluruh pihak juga harus menyadari bahwa kontestasi elitis tak lagi memadai, butuh legitimasi yang bersumber dari partisipasi masyarakat. R.A Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.


Yang patut kita khawatirkan jika persoalan DPT ini tak terselsaikan adalah terus turunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih di angka 87 persen dari total warga yang punya hal pilih. Pada Pemilu 1999 menjadi 93 persen, ini seiring dengan harapan yang muncul pasca reformasi. Tapi setelah itu terus menurun, misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85 persen untuk pemilu legislatif, 80 persen pemilu presiden (pilpres) putaran pertama dan 77 persen pilpres putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71 persen di pemilu legislatif dan 72 persen untuk pilpres.


Sangat mungkin, jika sistem penyelanggaraan pemilu amburadul dan ketiadaan sosok calon pemimpin yang bisa menggerakan pemilih ke bilik suara, maka angka mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu meningkat termasuk di dalamnya kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah tak memiliki nilai guna bagi mereka. Pemilu, meminjam istilah William Liddle (1996) bukan semata useful fiction atau partisipasi khayalan melainkan supremasi kedaulatan rakyat.  Jika DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya. Penyisiran DPT bermasalah harus dituntaskan, sehingga publik tak lagi melihat DPT sebagai ruang gelap tempat bertransaksinya para Godfather! (*)

Komunikasi Politik dan Peta Jalan Koalisi 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 4 Nov 2013)

Puncak persaingan Pemilu 2014 kian dekat. Salah satu dampaknya, ruang publik kita kian disesaki informasi politik yang berorientasi pada perebutan pasar pemilih termasuk basis-basis kekuatan nyata di level elite maupun akar rumput (grassroot). Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), sekarang hingga 2014 bisa kita sebut era keberlimpahan komunikasi (communicative  abundance) terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak calon pemilih.


Para politisi nyaris tak ada jeda menjual citra di media lini atas dan media kini bawah, tak lelah datang menghampiri tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pendulang suara (vote getter), intensif membangun jejaring guna mempengaruhi lingkungan politik jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Inilah salah satu keniscayaan demokrasi elektoral kita yang mengharuskan siapapun yang akan berkontestasi harus membangun komunikasi politik dengan beragam kekuatan lintas strata. Wajar jika Denton dan Woodward dalam Political Communication in America (1990), mensifati komunikasi politik dengan istilah intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.


Pertarungan tahun politik sesungguhnya mengerucut pada empat tahapan.  Pertama, perebutan kuasa dan otoritas di internal partai. Banyak pihak berebut tiket untuk menjadi calon anggota legislatif, nomor urut pancalegan, posisi penting dalam struktur partai yang bermuara pada eksistensi diri si politisi dalam peta kekuatan yang akan bertarung di pemilu 2014. Kedua, terkait dengan manajemen konflik antar kompetitor. Jangan heran jika kasus-kasus hukum dan politik digelontorkan oleh banyak pihak ke ruang diskursus publik dan media. Strategi gelembung politik (bubble politic) menjadi penanda, proses melegitimasi diri dan mendelegitimasi lawan menjadi paket tak terpisahkan dalam perang antar kekuatan. Ketiga, tahap pemasaran politik melalui berbagai pendekatan. Iklan, publisitas, beragam pendekatan public relations politik dilakukan untuk memoles popularitas, elektabilitas, kesukaan dan penerimaan pemilih pada kandidat partai maupun capres/cawapres. Keempat, adalah agregasi kepentingan antar kekuatan melalui beragam cara penjajagan.


Semua partai saat ini memfokuskan diri pada dua pertaruangan, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan. PKB misalnya sedang menjajaki sejumlah nama untuk jadi capres mereka. Ada nama Jusuf Kalla, Mahfudz MD, dan Rhoma Irama. Siapa diantara mereka yang akan menjadi capres PKB? Akan ditentukan dua faktor. Pertama, perolehan suara PKB di legislatif. Kedua, nilai jual kandidat yang akan didorong untuk menaikan daya tawar PKB di basis pemilih dan potensi penerimaan kekuatan parpol lain saat ada inisiasi koalisi di waktu mendatang. Hanura, Nasdem dan Golkar mengintensifkan jalur perang media, Gerindra mengoptimlkan peran Prabowo sebagai capres 2014 dan jangkar kelompok-kelompok masyarakat. PDIP sibuk mengukuhkan perubahan reputasi organisasi dengan “menjual” cara berbenah dan konsolidasi berbasis kader loyalis. Demokrat pun sibuk menjual konvensi yang akan membentang dalam rentang 8 bulanan.


Jika dikalkulasi berdasarkan angka parliamentary threshold 3,5 persen maka diprediksi partai yang akan mengisi slot DPR di Senayan itu kurang lebih 9 partai. Yang menarik lagi adalah mengkalkulasi capres/cawapres 2014. Dengan angka presidential threshold yang tidak berubah yakni 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR, kemungkinan capres/cawapres yang berlaga di 2014 hanya aka nada 3 pasangan. Kemungkinan, slot itu akan diisi oleh partai Golkar yang sedari awal sudah memplot Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres utama mereka. Slot kedua akan diisi oleh capresnya PDIP. Terlepas dari pro-kontra yang ada, jika PDIP mau mengubah bandul peruntungan di Pemilu 2014 memang magnet elektoralnya ada pada sosok Jokowi. Pendekatan ilmiah melalui survei opini publik di beragam hasil survei menunjukkan tren positif bagi Jokowi di pasar pemilih. Slot ketiga, menurut saya akan diisi oleh partai yang perolehan suaranya tidak terlalu signifikan, misalnya di bawah 10 persen, tetapi punya sosok kuat yang bisa didorong maju ke gelanggang. Untuk 2014, Prabowo memiliki momentum ulang menjadi “petarung”.


Faktor pengubah konstelasi menurut saya ada tiga. Pertama, jika Jokowi enggan maju atau tidak dimajukan PDIP. Kedua, jika Demokrat mau menurunkan gengsi dengan memosisikan diri sebagai partai pendukung koalisi dengan mendukung capres kekuatan lain, misalnya penjajagan koalisi Golkar-PAN-Demokrat yang semakin intensif dijajaki. Ketiga, jika benar-benar nyata solidnya partai-partai papan tengah mengusung sosok lain misalnya JK-Mahfudz. Dengan demikian, area pertarungan dan perebutan kuasa akan terjadi di antara partai-partai papan tengah. Salah satu kunci pembuka untuk menghidupkan peluang-peluang itu tentunya adalah komunikasi politik. Jauh lebih penting dari sekedar komunikasi dengan elite, partai dan capres/cawapres harus mengintensifkan komunikasi politik  dengan masyarakat pemilik mandat kekuasaan sesungguhnya.

Capres Wacana?

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
 (Tulisan ini dipublikasikan di Koran Sindo, 31 Oktober 2013)

Persaingan jelang Pemilu 2014 kian  sengit. Tak hanya melibatkan partai politik tetapi juga di antara “tukang pemenangan”. Lembaga riset yang merangkap konsultan pun ramai memainkan manuver demi manuver mulai dari cara elegan hingga serampangan. Publik kerap terheran-heran, karena sejumlah rilis hasil riset menebar aroma pesanan yang menyengat.


Pembingkaian Opini

Saya pernah menulis di Koran Sindo (6/7/2012) dengan judul Etika Lembaga Survei. Pada tulisan tersebut, saya menggarisbawahi, aktivitas survei itu kerap terbagi menjadi  survei non-scientific seperti survei SMS (call in survey) dan survei via internet, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas dan popularitas kandidat baik capres maupun partai politik.


Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik. Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.


Oleh karena survei ilmiah itu memiliki metodologi yang bisa diuji dan diperdebatkan oleh banyak pihak, maka sebuah hasil survei yang aneh, tendensius dan menyebrang dari arus utama opini masyarakat akan cepat dan mudah teraba denyut pesanannya. Opini publik dalam perspektif komunikasi politik selalu memiliki tiga konstruksi yakni personal, sosial dan politis. Rentang opini yang dimulai dari pendapat orang per orang, akan bergulir menjadi opini kelompok lantas menemukan momentumnya menjadi opini publik jika isunya menyangkut persoalan yang memiliki dampak pada orang banyak. Dengan demikian, opini yang acak di masyarakat lama-lama akan sampai pada suatu tren tertentu yang bisa diukur, diprediksi dan diperbandingkan. Di posisi itulah, sebuah survei tak cukup memadai hanya dilakukan sekali, terlebih untuk memprediksi pemilu yang memiliki banyak variabel yang akan memengaruhi konteks dinamis pemilih. 


Secara ilmiah, sebuah hasil survei memang dimaksudkan menjadi replikasi atas fenomena umum yang hendak diketahui. Karena sifatnya yang ilmiah tersebut, maka riset mengenai opini publik harusnya bisa menggambarkan fenomena umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Masalahnya adalah, saat ini survei opini publik telah menjadi komoditi yang sexy terlebih di tengah rivalitas demokrasi elektoral kita. Sejak Pemilu 1999 hingga sekarang, survei dianggap salah satu paket penting. Wajar jika bisnis survei menjanjikan keuntungan seiring dengan tingginya minat kontestan pemilu legislatif, pemilu presiden dan berbagai pilkada.


Bolehkah sebuah survei dipesan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral? Sebenarnya boleh-boleh saja. Hanya etikanya, jika sebuah riset dilakukan untuk kepentingan client, misalnya untuk memetakan posisi kandidat jika head-to-head dengan kompetitor  sekaligus memprediksi tren opini yang berkembang di masyarakat, harusnya hasil survei tersebut diberikan kepada client yang memesan. Tidak secara serampangan dirilis lewat media terlabih dengan melakukan pembingkain hasil untuk kepentingan menaikan citra politik client bersangkutan. Sah-sah juga jika survei tersebut dirilis di media atas permintaan client, hanya lembaga survei bersangkutan harus tetap berpegang pada fakta temuan dengan tidak mereduksi, mendramatisasi atau mendesain sebuah riset “abal-abal”. Siapkah client lembaga riset tersebut menerima konsekuensi tersebut? Sulit rasanya mencari client yang tidak punya motif membayar lembaga survei bukan untuk kepentingan bandwagon effect.


Jika orientasinya bandwagon effect dengan memanfaatkan media, maka salah satu yang akan dipertaruhkan lembaga survei yang menjadi konsultan adalah integritas! Lebih mengerikan lagi jika lembaga survei hanya jadi “tukang suntik” opini. Meminjam perspektif Hypodermic Needle Theory, survei bisa saja diposisikan sebagai pembentuk opini publik dengan memanfaatkan media seperti jarum yang menyuntikkan informasi secara berulang-ulang kepada khalayak agar terbentuk opini publik yang dikehendaki. Tentu ini cara berpikir tentang hubungan media-khalayak yang jadul! Tak semudah itu khalayak dibentuk persepsinya oleh media dan lembaga survei. Bias metodologis dan etis dalam survei yang dirilis oleh media, dengan cepat akan bisa diraba oleh banyak pihak.


Perang 2014


Salah satu contoh reaksi publik yang keras dan kritis terjadi saat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis elektabilitas Capres. Dua nama berposisi teratas yakni Mega (29,8 persen) dan Aburizal Bakrie (28,6 persen) sementara capres lain yang dianggap riil adalah hasil konvensi Demokrat. Nama Jokowi dan Prabowo dieliminasi dari survei karena diasumsikan sebagai capres wacana.


Istilah capres wacana memang dipandang banyak kalangan sumir dan tendensius jika dikaitkan dengan sosok Jokowi dan Prabowo. Memang benar, hingga sekarang Jokowi belum resmi menjadi capres PDIP, tetapi memberi asumsi bahwa Jokowi hanya capres wacana juga prematur dan gegabah. Menilik dukungan dan harapan publik yang kian membumbung tinggi terhadap Jokowi, beranikah PDIP meninggalkan magnet utama yang akan memberi insentif elektoral bagi partai ini di pileg maupun pilpres 2014.


Pun demikian dengan Prabowo. Jika karena prediksi elektabilitas Gerindra yang hanya di bawah 10 persen lantas Prabowo disebut capres wacana, bukankah ini logika yang menihilkan sejarah dan seni kemungkinan-kemungkinan dalam politik kita. Sejarah yang saya maksud adalah keterpilihan SBY di pemilu presiden 2004. Dengan perolehan suara 7,45 persen ternyata SBY bisa menjadi presiden dengan membentuk koalisi partai politik untuk mengusungnya. Hal yang sama bisa saja dilakukan Prabowo, yakni menginisiasi komunikasi politik ke partai-partai lain terutama partai-partai papan tengah yang belum punya capres solid untuk merapat dan mengusung Prabowo bersama-sama sehingga bisa melampaui presidential threshold (PT) 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi DPR.


Jauh akan lebih fair dan elegan jika siapapun yang melakukan survei elektabilitas itu memasukan nama-nama yang saat ini teraba dalam denyut opini publik masyarakat. Memang tak mudah bagi lembaga survei mengayuh di tengah dua kepentingan antara orientasi bisnis dengan cara memuaskan pelanggan dan  orientasi etis-akademis untuk mempertahankan integritas. Publik pun akhirnya akan tahu, mana survei ilmiah yang menjaga marwah nilai akademis, dan mana survei si tukang pemenangan!

Kleptokrasi dan Buruk Muka Mahkamah Konstitusi

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013)

Dampak lanjutan dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adalah terpuruknya kredibilitas MK di masyarakat. Kasus Akil menjadi “tsunami” yang memporak-porandakan kebanggaan, citra, reputasi bahkan legitimasi mahkamah “para wakil Tuhan” di dunia ini. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.


Pada tahun 2013, merujuk data hasil survey Transparency  International Indonesia dengan responden di 147 negara, Indonesia menempati posisi 118, lebih buruk daripada Thailand yang berada di rangking 88 dan juga Filipina di posisi 108.  Kini, “jamaah” koruptor juga mengalir ke mana-mana mulai dari kelas jalanan hingga orang dekat istana. Sepanjang 2013 misalnya sudah ada kurang lebih 290 kepala daerah yang masuk “hotel prodeo”. Para menteri, mantan menteri, politisi parpol, wakil rakyat dan lain-lain, banyak yang sukses menghinakan dirinya serta meninggalkan kemuliaan jabatan yang sebelumnya dipercayakan bangsa dan negara ke pundak mereka. Dahsyatnya lagi, hakim konstitusi yang seharusnya menjadi negarawan justeru asik masyuk bertransaksi haram! Inilah paradoks kebangsaan kita yang membuat rakyat Indonesia tak henti-hentinya mengurut dada.


Indonesia telah menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan eksplisit menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Tapi dalam praktiknya, dari hulu ke hilir negeri kita disesaki para koruptor “kelas kakap” dan “kelas teri”. Para pejabat korup berkongsi untuk mendapatkan “jatah” dari jualan pengaruh jabatan mereka.


Ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan.


Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.


Citra MK saat ini di titik nadir.  Tengok saja pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan gaung berita buruk ini menggema ke seantero  dunia. Media massa sebut saja The New York Times, Reuters, Aljazeera, The Straits Times, The Australian hingga BBC menjadikan berita ini menonjol dalam bingkai berita mereka. Belum lagi hujatan dan makian di media sosial serta bahasan di berbagai forum yang nyinyir dengan koruptor.  

Dalam perspektif komunikasi politik yang harus segera diantisipasi dari buruk muka MK adalah menaikan dan mengelola kembali kepercayaan masyarakat. MK banyak menangani sengketa pilkada baik yang sudah diputuskan, sedang berjalan maupun yang direncanakan. Rusaknya citra MK akan berimbas pada ketidakpercayaan pihak-pihak bersengketa terlebih jika putusan MK bukan yang mereka inginkan. Paket pemulihan awal meliputi lima hal. Pertama, kerja cepat, tegas dan transparan Majlis Kehormatan MK dalam kasus Akil Mochtar. Kedua, adanya moratorium keputusan MK sambil menunggu temuan Majlis Kehormatan. Ketiga, MK wajib mendukung hukuman seberat-beratnya bagi hakim konstitusi mereka yang terbukti menerima suap. Keempat, harus jelasnya mekanisme seleksi para hakim konstitusi. Jauhkan pengisian hakim konstitusi dari politisi,  untuk menghindari conflict of interest di kemudian hari. Keenam, Hakim MK wajib diawasi Komisi Yudisial untuk perimbangan kuasa yang mereka genggam. 


Mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan MK hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Jika para hakim konstitusi yang ada sekarang menjadi bagian dari persoalan, harus dilakukan seleksi ulang untuk mencari sosok “wakil Tuhan” bukan para petualang! (**)

Rapuhnya Konvensi Demokrat

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sindo Weekly 26 Sept-2 Okt 2013)


Partai Demokrat selama delapan bulan ke depan memiliki hajatan cukup wah yakni mencari sosok calon presiden  (capres) idol lewat konvensi. Jalan keluar ala Demokrat untuk mengatasi kegundahan mereka atas sejumlah persoalan yang menggerus citra, reputasi bahkan elektabilitas dan popularitas partainya. Kesebelas kontestan konvensi sudah dikenalkan ke publik lewat panggung unjuk kepiawaian retoris pada Minggu (15/09). Kini, kesebelasan Demokrat tersebut bergerilya ke berbagai kantong masyarakat, memasarkan diri lewat sejumlah saluran komunikasi politik sekaligus mengkonstruksi dirinya sebagai capres paling patut mewakili “kapal retak” bernama Demokrat!

Kelemahan

Sejatinya, konvensi itu merupakan mekanisme ideal dalam kanalisasi capres terbaik partai. Di tengah oligarki partai politik di Indonesia, konvensi bisa menjadi ‘oase’ penting dalam konsolidasi demokrasi dan pelembagaan partai politik. Namun demikian, belum tentu publik mengidentifikasi konvensi Demokrat sebagai model ideal dalam praktik seleksi capres di Indonesia.


Dengan mudah, kita bisa mengidentifikasi sejumlah potensi kerapuhan dalam praktik konvensi ala Demokrat. Pertama, Demokrat belum mampu meyakinkan publik bahwa penyelenggaraan konvensi akan berjalan reguler bukan ad hoc! Hingga hari ini, belum ada elite di arus utama Demokrat yang secara tegas menyatakan bahwa akan ada kesinambungan penyelenggaraan konvensi dari satu  pemilu ke pemilu berikutnya. Mekanisme pencapresan di Demokrat hingga sekarang belum berubah, yakni ditentukan Majlis Tinggi Partai. Jika pun sekarang ada konvensi, terkesan masih bersifat eksperimen sesaat. Keseriusan menggelar konvensi harusnya teraba sejak Konggres Luar Biasa (KLB) di Bali. Saat itu, selain menjadi momentum pengukuhan SBY sebagai orang super sibuk karena memborong banyak jabatan di Demokrat, seharusnya juga memberi ruang untuk perubahan AD/ART partai dengan memasukan konvensi sebagai mekanisme pancapresan. Perbincangan soal konvensi sama sekali tak bunyi di Bali, tetapi kini Demokrat dengan lantang menyuarakan dan menggaransi, konvensi yang digelarnya sebagai upaya pelembagaan politik.


Nada bernyanyi Demokrat saat ini, tak jauh berbeda dengan Golkar di Pemilu 2004. Mereka sama-sama menjadikan konvensi sebagai ‘etalase citra’ untuk menggenjot popularitas dan elektabilitas partai. Golkar menggelar konvensi sekali, setelah itu mati! Akankah Demokrat juga melakukan hal yang sama? Di situlah letak skeptisme publik bermula. Belum ada pernyataan meyakinkan dari para elite Demokrat, kalau penyelenggaraan konvensi ini akan diformalkan dalam aturan organisasi.


Kedua, hingga saat ini transparansi anggaran juga menjadi hal paling mendapatkan sorotan. Menggelar konvensi selama delapan bulan bukan pekerjaan main-main. Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai konvensi tentu tak sedikit. Jauh akan lebih baik, jika Demokrat memelopori keterbukaan informasi darimana asal pendanaan yang digunakan selama perhelatan. Demikian pula, terkait dengan dana yang dipakai oleh setiap kontestan konvensi. Adakah aturan komite konvensi yang mengharuskan setiap kontestan terbuka terutama jika mereka menerima sumbangan pihak ketiga dalam kampanye di berbagai daerah dan di berbagai media. Jika tidak, sangat mungkin muncul “investor hitam” dan “penunggang gelap” dalam jajaran penyumbang dana kampanye kontestan.
Ketiga, terkait dengan survei elektabilitas yang akan dilakukan sebanyak dua kali oleh tiga lembaga survei. Rencananya, survei akan dilakukan Desember 2013 dan April 2014. Hasil survei inilah yang nantinya akan menjadi indikator utama siapa yang akan maju menjadi capres Demokrat di Pemilu 2014. Masalahnya sekarang, adakah mekanisme audit hasil survei? Bukan mustahil, meskipun selalu dikatakan bahwa tiga lembaga survei yang dipakai komite konvensi itu adalah lembaga yang kredibel dan imparsial, dalam praktiknya bisa saja tergoda untuk memainkan peran sebagai “tukang pemenangan”. Tak bisa lagi kita mengandalkan asumsi positif, harus ada aturan main yang jelas dan menggaransi hasil survei mereka benar  dan profesional secara metodologis, dan imparsial dalam relasi kuasanya dengan seluruh kontestan.  


Keempat, proses konvensi Demokrat juga berpotensi memunculkan conflict of interest pada sejumlah kontestan yang menjadi pejabat. Di antara kontestan ada menteri, anggota BPK, Duta Besar, Wakil Ketua DPR dan lain-lain. Rentang waktu panjang untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas memungkinkan para pejabat tersebut tak lagi bisa membatasi kapan dia memerankan diri sebagai pejabat yang didanai rakyat dan kapan sebagai kontestan pemilu. Buktinya, kini di jalanan dengan mudah kita dapatkan publisitas politik yang mengatasnamakan program kementrian tetapi yang menonjol justeru sosok sang menteri yang berlaga di konvensi.


Prospek Suram


Melihat konteks politik jelang 2014, konvensi Demokrat berprospek suram. Tentu bukan karena para kontestannya tak berkualitas, melainkan karena tergerusnya kepercayaan publik terhadap partai Demokrat dan terus menguatnya kompetitor partai lain seperti meroketnya nama Jokowi dan Prabowo yang digadang-gadang akan menjadi capres PDIP dan Gerindra.


Konvensi Demokrat tentu akan menjadi panggung bagi eksistensi partai yang dipimpin SBY di Pemilu 2014. Selama konvensi digelar, keuntungan yang akan dipetik Demokrat tentu saja pemberitaan media yang menonjol. Artinya, konvensi bisa kita maknai dalam perspektif komunikasi politik. Denton dan Woodward dalam bukunya Ethical Dimensions of Political Communication (1991) menyebutkan karakteristik komunikasi politik itu tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.


Hanya saja, Demokrat tentu juga harus memahami bahwa faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah semata-mata sumber pesan melainkan juga isi dan tujuannya. Jika selama proses konvensi Demokrat nanti hanya menunjukkan ketidakjelasan sistem penyelanggaraan dan hasilnya hanya meneguhkan “skenario” bawaan, maka publik akan menilai konvensi Demokrat sebagai kesia-siaan. Bahkan, bahayanya berpotensi mendegradasi makna konvensi bagi partai manapun yang menyelenggarakan hal serupa di kemudian hari. Dengan demikian, konvensi menjadi tantangan tersendiri bagi Demokrat, apakah bisa menjadi role model yang positif atau kian meneguhkan buruk rupa politik kepartaian kita. ***

Penunggang Bebas Popularitas

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini pernah dimuat di KOMPAS, 28 September 2013)

Banyak cara membangun pencitraan, mulai dari tampil di berbagai media, turun ke basis-basis pemilih, hingga membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye. Seantero bumi pertiwi nyaris seragam, disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan. Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis maupun pelanggaran aturan, kerapkali disamarkan dengan beragam modus.

 Modus Pencitraan

 UU No.8 Tahun 2012 Pasal 83 memang memberi peluang kampanye pemilu legislatif sejak 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014 atau kurang lebih 15 bulan. Setelah itu, akan ada agenda kampanye untuk pemilihan presiden/wakil presiden. Wajar, jika hampir seluruh partai sudah memanaskan mesin pemenangan dan salah satu metodenya melalui pemasaran politik para caleg dan capres.


Yang patut dikritisi adalah sejumlah prilaku pencitraan yang jelas-jelas menerabas kepatutan dan melanggar aturan. Idealnya kampanye menjadi bagian pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Jauh panggang dari api, realitasnya  dengan mudah kita bisa mengidentifikasi sejumlah modus pencitraan yang menjengkelkan.


Pertama, konsep publisitas politik pejabat publik yang kian hari kian intensif. Di sepanjang jalan utama di banyak kota, terpampang baliho dan reklame besar-besaran mengatasnamakan program kementrian. Misalnya narasi untuk mencintai produk Indonesia. Sekilas tak ada masalah, tapi kian hari intensitas iklan jenis ini kian marak di berbagai saluran komunikasi.


Bisa saja sang menteri berkilah, tak ada aturan yang dilanggar karena modusnya memakai pendekatan publisitas politik bukan kampanye pemilu yang lazimnya mengumbar visi/misi, program, dan mengajak orang untuk memilih. Tapi jika diraba lebih dalam ada conflict of interest dalam publisitas politik tersebut, yakni soal kepatutan sang menteri yang menjadi penunggang bebas popularitas.


Jika iklan kementrian tersebut membutuhkan endorser yang bisa memalingkan perhatian publik pada isi pesan, sesungguhnya bisa menggunakan publik figur lain yang tidak tumpang tindih dengan kepentingan politik partisan. Hal seperti ini, bukan hanya dilakukan oleh beberapa menteri SBY, tetapi juga pimpinan DPR, DPRD, kepala daerah yang menjadi petahana.


Kedua, modus pemanfaatan akses teknologi simulasi realitas. Ini terkait dengan media yang banyak ditunggangi secara serampangan oleh para pemiliknya. Memang sejak lama para pengkaji menilai, media sebagai “medan pertempuran” banyak hal. Jhon Sinclair dkk., dalam bukunya New Patterns in Global Television: Peripheral Vision (1996) menyebutkan, televisi sebagai medium cangkokan yang megah. Lebih umum lagi, media massa dalam tulisan Michael Schudson, The Power of News (1995),  dipandang sebagai “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur. Karakteristik media seperti ini, biasa dibaca secara ganda, sebagai sumberdaya ekonomi sekaligus politik. Saat media mengalami konsentrasi kepemilikan di grup besar yang dikendalikan oleh pengusaha-politisi, maka sempurnalah media-media tersebut menjadi jejaring pencitraan bahkan manipulasi.


Jangan heran, jika beragam momentum yang disediakan media-media yang bergabung di grup media milik politisi pengusaha tersebut, akan jor-joran memberi kesempatan bagi penunggang bebas dari lingkaran elite utama partainya. Gurita media sang pengusaha politisi mampu menggilas aturan main yang sesungguhnya sudah ada.  Misalnya, pada Pasal 96 UU No.8 tahun 2012, diatur soal larangan menjual blocking segment dan blocking time. Pada pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di tv secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik, untuk radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik per harinya.

Pun demikian di Peraturan KPU (PKPU)  nomor 1 tahun 2013 yang sudah direvisi menjadi PKPU No.15 tahun 2013, pedoman pelaksanaan kampanye sudah jelas. Aturan tinggalah aturan, anjing menggongong kafilah tetap berlalu. Terlebih KPU, Bawaslu, KPI, Dewan Pers pun kerapkali hanya bersikap normatif sehingga akhirnya pelanggaran pun menjadi hal lumrah dan dianggap biasa saja.


Mekanisme Kampanye


Satu hal lagi yang sepatutnya mendapatkan perhatian dan kritisisme publik, yakni penunggang bebas popularitas selama perhelatan konvensi milik Demokrat.  Sebagaimana diketahui, 11 orang peserta konvensi telah diumumkan ke publik dan sejak itu pula seluruh kontestan bisa “menjual diri” untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas diri mereka di masyarakat.


Selama delapan bulan ke depan, Partai Demokrat tentu akan memanfaatkan konvensi ini sebagai etalase citra politiknya. Partai yang dipimpin SBY ini, akan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya melalui konvensi yang dikampanyekan mereka sebagai mekanisme demokratis dalam pencarian capres. Kekhawatiran publik soal penunggang bebas mulai terkonfirmasi dengan munculnya kontroversi siaran tunda konvensi oleh TVRI. Selama 2 jam 23 menit antara pukul 22.02-00.25 WIB, TVRI menyiarkan kepiawaian retoris para kontestan konvensi. Tindakan TVRI tersebut dianggap membahayakan esksistensinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) sebagaimana diamanatkan UU No.32 tahun 2002. Ini bukan semata soal pelanggaran etika melainkan ditabraknya sejumlah regulasi siaran.


Harus ada kejelasan yang mengatur mekanisme kampanye para kontestan di luar jadwal komite konvensi. Jika tak diatur, maka berpotensi besar  berbenturan dengan aturan kampanye yang ada saat ini.

Semua peserta konvensi harusnya memelopori transparansi anggaran kampanye. Siapa saja pihak ketiga yang menjadi penyumbang dana kampanye mereka. Jika tidak transparan, sangat mungkin muncul “investor hitam” dan “penunggang gelap” di konvensi Demokrat. Pencitraan politik boleh-boleh saja dilakukan tapi tidak dengan melanggar aturan dan menciderai kepatutan. ***

Kisruh DPT dan Ruang Gelap Penyelenggaraan Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 24 September 2013)

Pemilihan umum (pemilu) merupakan peristiwa reguler yang digelar lima tahunan. Selalu muncul rivalitas antar kekuatan yang bersumber dari upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan yang sah (legitimate power). R.A Dahl, dalam bukunya Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.  Partisipasi juga penting untuk mengukur legitimasi dan political performance kekuasaan yang dimandatkan lima tahunan. 

Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di banyak pemilihan kepada daerah. Trauma itu bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu.


Publik wajar terhenyak untuk kesekian kalinya, saat Ketua KPU Husni Kamil Malik, Jum’at (20/09) menyebutkan temuan KPU tentang adanya kesalahan data pemilih yang masif. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung 65 juta data! Data pemilih bermasalah tersebut ditemukan saat jajaran KPU melakukan sinkronisasi daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) Kementrian Dalam Negeri (kemendagri) yang berjumlah 190 juta data dengan daftar pemilih sementara hasil perbaikan KPU yang berjumlah 181 juta data.


Bisa digarisbawahi, jika diibaratkan tubuh maka daftar pemilih inilah yang menjadi motorik yang akan menggerakan seluruh aktivitas pemilu kita. Jika motoriknya tak berfungsi baik atau bahkan lumpuh maka kita mendapatkan pemilu yang cacat tak berdaya. Betapa signifikannya daftar pemilih untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang sehat dan berwibawa.


Kisruh daftar pemilih memang seolah “penyakit menahun” yang diwariskan dari pemilu ke pemilu. Sejak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi kita kerap berkutat di persoalan yang itu-itu saja. Bedanya, kini kekisruhan itu mampu membuat gaduh publik karena semakin bebasnya akses masyarakat pada informasi serta kian menguatnya fungsi kontrol media dan kekuatan civil society. Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.


Jika kita setuju mengatakan: tidak! pada kecurangan pemilu, maka mulailah kita menuntut pertanggungjawaban KPU dan pemerintah untuk segera mengatasi masalah elementer ini. Seharusnya koordinasi KPU dan Kemendagri terkait daftar pemilih ini sudah optimal jauh-jauh hari. Terlebih, rakyat sudah menggelontorkan dana begitu besar untuk proyek prestisius bernama e-KTP yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang.


Dalam perspektif komunikasi politik, harus disadari salah satu titik panas penyelenggaraan pemilu adalah mentahnya information roles yang dimainkan KPU. Guna mengatasinya, komisioner dan seluruh staf KPU  wajib independen, profesional dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki KPU guna menghindari lemahnya kredibilitas penyelenggara pemilu. KPU memerankan diri sebagai institusi yang terjun menangani masalah (distrub handler). Dalam tugasnya ini, KPU harus memiliki legitimasi memadai. Selain itu, KPU juga harus piawai memainkan peran resource allocator. Seluruh potensi baik internal maupun ekternal KPU diarahkan untuk ditempati oleh sumber daya manusia yang tepat dan memiliki kemampuan mengurai persoalan.


Sudah saatnya masalah daftar pemilih itu diurai dan diselsaikan. Publik juga harus memberi tekanan karena pemilu 2014 yang sudah di depan mata bukan pemilu biasa. Pemilu kali ini bisa dikatakan sebagai pertaruhan transformasi demokrasi kita dari fase transisi ke konsolidasi. Momentum ini jangan lagi dibajak oleh penguasa ruang kegelapan yang bersembunyi di balik kekisruhan DPT. Kita tentu bukan bangsa keledai yang jatuh dan jatuh lagi untuk kesekian kalinya pada lubang yang sama. Pemilu bukan instrumen manipulasi tetapi mekanisme demokratis untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini ke depan.***

Sabtu, 21 September 2013

Memetakan Sosok Capres 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 16/09/2013)

Jalan panjang menuju Pemilu 2014 semakin memasuki fase-fase menentukan. Selain sibuk memanaskan mesin partai dari pusat hingga daerah, para politisi juga sibuk tebar pesona ke basis-basis pemilih untuk memperbesar peluang kemenangan di pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Hal menarik yang menjadi sorotan publik belakangan ini adalah pemetaan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Bagian ini, menonjol dalam perbincangan publik termasuk pada bingkai pemberitaan media massa. Terlebih, kini SBY tak lagi bisa menjadi “petarung” untuk jabatan RI-1 dan memungkinkan partai-partai lain untuk melakukan penjajakan serta bongkar pasang nama ideal versi mereka.


Tipologi Capres


Saat ini, sejumlah nama digadang-gadang sebagai bakal calon presiden. Sebut saja nama Jokowi, Prabowo, Hatta Radjasa, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Wiranto, Mahfud MD, Megawati, deretan nama di “etalase” konvensi Demokrat dan sejumlah nama lain. Sebagian di antara mereka sudah mendeklarasikan diri, sebagian lain sibuk melakukan loby dan negosiasi.


Jika diamati dari dimensi prosesnya, bisa terpetakan empat tipologi sosok capres yang berpotensi maju di 2014. Pertama, capres elite sentral, yakni mereka yang sedari awal seolah-olah mendapat “hak khusus” secara organisasional untuk menjadi capres partainya masing-masing. Contoh figur yang masuk tipologi ini adalah Aburizal Bakrie (ARB), Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto dan Megawati Soekarnoputri. Saat ini, mereka mengendalikan struktur utama partai dari pusat hingga daerah. Penguasaan mereka atas akses otoritatif di internal partai, mengharuskan elite-elite lain memberi legitimasi pada keinginan dan keputusan elite sentral ini. Bisa jadi sebagian di antara mereka tak sepenuhnya merepresentasikan aspirasi arus bawah, tetapi memelihara batasan afiliatif melalui kuasa hadiah (reward power) atau kuasa rujukan (referent power).  


Batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh dominan Megawati di PDIP, Prabowo di Gerindra, Wiranto di Hanura dan ARB di Golkar menyebabkan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh mereka. Pencapresan mereka nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan mereka di internal, biasanya distigmatisasikan sebagai penyimpang dan penyebab konflik internal.


Namun demikian, sangat mungkin dari deretan nama elite sentral tadi, tidak seluruhnya jadi nyapres di 2014. Misalnya, Megawati masih sangat mungkin mengubah peran dari aktor menjadi kingmaker dengan mendorong Jokowi sebagai Capres. Pun demikian dengan Hatta Radjasa dan ARB, bisa saja pascapemilu legislatif mereka berhitung cermat dan mengambil opsi lain entah sebagai calon RI-2 atau ‘investor politik’ yang berafiliasi dengan kekuatan lain guna mendorong sosok lain yang lebih berpotensi mendulang kemenangan.


Kedua, capres asosiasional, yakni figur yang lahir dari suatu mekanisme organisasional dan biasanya akan sangat terhubung erat dengan mekanisme pencapresan yang diselenggarakan partai pengusung. Misalnya capres hasil konvensi. Pemilihan capres ditentukan melalui sebuah kanal pencarian yang diinisiasi oleh partai sehingga sosok capres yang bersangkutan lebih bersifat terseleksi, bertujuan khusus dan asosiatif. Praktik konvensi yang sudah melembaga dalam aturan organisasi akan memiliki daya ikat yang kuat bagi orang-orang di struktur organisasi maupun basis konstituen partai. Jika konteksnya pemilihan dilakukan melalui konvensi, maka siapapun capres Demokrat tentunya masuk tipe ini.


Hanya masalahnya, apakah konvensi Demokrat memiliki daya ikat yang kuat? Tentu, akan sangat ditentukan oleh kualitas konvensi mereka saat ini. Sebagaimana kita ketahui, konvensi Demokrat yang selenggarakan kurang lebih 8 bulan itu, terkesan hanya menjadi etalase citra politik Demokrat daripada kanalisasi SDM terbaik partai. Di lihat konteks politiknya,  konvensi Demokrat tak berbeda dengan Golkar di tahun 2004, yakni penyelamatan partai dari masalah elektabilitas, popularitas, kesukaan dan penerimaan pemilih. Demokrat masih belum mengurusi konvensi dalam sebuah aturan main yang menjamin regularitas penyelenggaraan mekanisme ini. Konvensi baru semata “exit strategy” jelang Pemilu 2014. Selain itu, muncul skeptisme banyak kalangan terhadap cara, transparansi anggaran, dan penerimaan basis struktur partai terhadap siapapun pemenang konvensi. Wajar jika aroma konvensi Demokrat kurang menggairahkan banyak kalangan meski dikemas dengan jor-joran!


Ketiga, capres figur kontesktual. Maksudnya adalah capres potensial yang memiliki dayatarik karena kerapkali bersentuhan dengan berbagai dinamika kekinian. Rekam jejak mereka menjadi arus utama pusaran opini baik di media massa maupun sosial media. Figur seperti Jokowi, Mahfud MD, Jusuf Kalla bisa kita masukan ke dalam tipe ini. Mereka bukan figur sentral dalam jajaran partai tetapi kiprahnya masih memiliki dayatarik elektoral, sehingga sangat mungkin dipertimbangkan oleh banyak kekuatan politik yang bertarung di 2014. Masalahnya adalah belum tentu semua figur kontekstual ini mendapatkan “kendaraan” yang pas dan bisa menghantarkan mereka pada rivalitas RI-1. Meskipun rata-rata mereka adalah politisi partai, tetapi bukan pembuat kebijakan (decision maker) sehingga harus meyakinkan figur sentral di partai masing-masing untuk mendapatkan kendaraan.


Keempat, capres periferal yakni sosok pinggiran yang “jeblok” dalam perangkingan persepsi publik, tidak memiliki basis kekuatan nyata di partai politik, bukan pula orang yang memiliki basis solid di kantung-kantung pemilih. Namun demikian, mereka sangat percaya diri dan sejak awal memproklamirkan diri siap menuju RI-1. Contoh tipe ini sebut saja Rhoma Irama, Farhat Abbas dan akan banyak lagi orang yang pede nyapres meski hanya “penggembira” di sekeliling panggung utama persaingan.


Kekuatan Pemenang


Dalam tulisan R.A Dahl, Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Tentu, pemilu sebagai instrumen penting demokrasi idealnya bukan semata-mata menunjukkan wajah pongah kontestasi politik elite melainkan harus memberi impresi dan mampu menggerakan partisipasi politik warga biasa. 


Sebelum pencapresan, sebaiknya kita membaca dinamika pemilu legislatif yang menyokong capres dan cawapres. Butuh konsistensi dan persistensi partai untuk mempertahankan eksistensi mereka di Pemilu sekalipun partai bersangkutan memenangi Pemilu sebelumnya. Sebagai gambaran, pada Pemilu 1999 Golkar meraih 22,4 persen, pemilu 2004 turun menjadi 21,58 persen dan Pemilu 2009 hanya 14,45 persen. Begitupun yang dialami PDIP yang menjadi petahana seusai memenangi Pemilu 1999 dengan mengantongi 33,74 persen. Di Pemilu 2004, suara PDIP turun menjadi 18,53 persen dan di Pemilu 2009 hanya 14,03 persen. Artinya, menjadi petahana bukanlah jaminan mudahnya memenangi kontestasi. Demokrat juga berpotensi kalah telak di Pemilu 2014.

Pertarungan capres memang sedikit berbeda karena biasanya aspek figur sangat menentukan. Misalnya dalam kasus Demokrat di Pemilu 2004, meski partainya hanya memperoleh suara 7,45 persen atau 57 kursi dari 550 kursi yang disediakan di ‘Senayan’, SBY ternyata terpilih sebagai capres pemenang Pemilu. Rivalitas 2014 diprediksi akan menjadi arena pertarungan sengit, karena setiap capres memiliki peluang sama untuk mengkapitalisasi sumberdaya mereka di tengah ketiadaan figur yang benar-benar kuat seperti SBY di Pemilu 2009.


 Memang ada tren pergeseran persepsi publik tentang sosok calon pemimpin ke depan. Jika kemenangan SBY di 2004 dan 2009 lebih dikarenakan suksesnya pencitraan politik melalui berbagai simulasi realitas, kini calon pemimpin yang diharapkan adalah problem solver dan pengambil resiko yang diharapkan menjadi antitesa dari gaya kepemimpinan SBY yang nyaris tak menghasilkan banyak perubahan.

Situasi sekarang secara faktual melahirkan disonansi kognitif yang kian meluas di masyarakat. Leon Festinger dalam buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957) menyebutkan disonansi kognitif sebagai perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang tidak konsisten. Kian hari harapan untuk perubahan kian menipis sebaliknya tingkat disonansi (magnitude of dissonance) meningkat pesat, kondisi ini memunculkan harapan adanya sosok baru pembawa perubahan bagi bangsa ini. Bukan lagi sosok pesolek yang hanya pandai berwacana dan bersenandung perubahan tanpa rekam jejak memadai untuk menjadi pemimpin asketis, transformatif dan komunitarian.


Pada akhirnya, kita berharap siapapun yang akan maju ke gelanggang pertarungan 2014, adalah mereka yang pandai mengukur diri. Pantaskah mereka maju dengan modal sosial dan modal politik yang mereka miliki selama ini?  Jangan hanya semata-mata karena “syahwat” berkuasa dan egoisme pribadi mereka lari tungganglanggang ke medan perang, meski rasionalitas dan hati mereka mengatakan rakyat sama sekali sudah enggan bahkan muak berpaling kepadanya apalagi memilihnya di bilik suara! ***

Dilema Capres PDIP

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 7/09/2013)

Ada perhatian berbeda dari masyarakat termasuk media massa terhadap penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  6-8 September. Banyak kalangan menunggu, akankah PDIP mengumumkan capres mereka di perhelatan tersebut? Wajar jika sosok capres PDIP ini menarik diperbincangkan karena akan menentukan secara signifikan peta kekuatan politik di Pemilu 2014.

Pilihan Momentum

Sepertinya dalam hitung-hitungan politik, Rakernas PDIP kali ini belum akan menyebut nama capres terlebih lengkap dengan pasangan cawapresnya. Bagi PDIP sendiri pilihan momentum deklarasi capresnya akan menjadi salah satu paket dalam strategi pemenangan PDIP guna merebut kekuasaan pasca SBY. Paling tidak, ada tiga faktor yang akan dihitung cermat oleh PDIP sebelum menentukan siapa capres mereka.

Pertama, kontektualitas peta politik kekuatan kompetitor. PDIP sebagai salah satu partai besar tentu memiliki pengalaman rumitnya mengelola pergerakan beragam kekuatan yang akan dijadikan pasangan. Jalan panjang negosiasi yang selalu menjadi zone of possible agreement (zopa) bagi partai-partai dan kelompok kepentingan sangat berpengaruh pada putusan paket pasangan. Berbeda kondisinya dengan Pemilu 2009, dimana atmosfir politik partai-partai di luar PDIP sedari awal lebih cenderung merapat ke SBY. Kini, saat Demokrat terpuruk dan SBY tak lagi mencalonkan diri, maka komunikasi politik antar kekuatan menjadi lebih samar, cair, dan tak terprediksi. Prabowo sangat mungkin tetap melaju sebagai capres, tetapi Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Mahfud MD dan JK serta sejumlah nama lain juga masih akan berhitung cermat dengan realitas politik ke depan terutama pasca Pemilu legislatif. Sangat mungkin di antara mereka pada akhirnya realistis dan bersedia menjadi orang kedua mendampingi capres kekuatan lain. Inilah seni kemungkinan-kemungkinan yang tentu juga akan dihitung oleh Mega dan PDIP.

Kedua, PDIP tentu juga akan menjaga momentum positif yang saat ini mereka miliki. Momentum itu maksudnya adalah tren positif opini publik yang kerapkali disurvei terkait dengan elektabilitas partai maupun elektabilitas capres yang diasosiasikan dengan PDIP. Khusus untuk capres, muncul perkembangan yang menarik dimana sosok Joko Widodo (Jokowi) selalu menempati posisi paling tinggi dalam berbagai rilis lembaga survei. Terlepas dari siapapun nanti yang akan dijadikan capres, PDIP memang mendapat keuntungan dari keberadaan sosok Jokowi ini. Lihat saja, begitu masifnya dukungan berbagai kalangan lintas kekuatan terhadap Jokowi termasuk tren positif dalam bingkai berita media massa. Jika target PDIP memperoleh 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR tercapai di pemilu legislatif, tentu lebih memudahkan mereka menjalankan skenario ideal yang dimiliki. 

Ketiga, akan ada upaya untuk melindungi sosok capres mereka dari “gerilya” serangan negatif dan serangan hitam kekuatan lain secara dini. Saat ini, PDIP diuntungkan karena menjadi partai di luar kekuasaan. Sehingga, tidak terlampau eksplosifnya serangan berbagai kekuatan seperti biasanya dialami kekuatan petahana. Tetapi, bukan berarti tidak terdapat sejumlah celah yang bisa dimasuki pihak kompetitor untuk mendelegitimasi PDIP dan capres yang mereka usung. Upaya mengambangkan nama, bisa juga dipahami sebagai strategi menyamarkan kekuatan, atau paling tidak mengalihkan sementara perhatian publik tidak pada satu nama, sambil menunggu momentum tepat hasil berhitung cermat. 

Dilematis   

Tak mudah bagi internal PDIP untuk memilih Mega atau Jokowi. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Oleh karenanya, Mega kerap diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya. Oleh karenanya, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Secara faktual, PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya berbagai pihak baik menarik PDIP ke dalam kekuasaan, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.


Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi dalam organisasi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat keutuhan. Namun kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).


Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Kita melihat misalnya, dalam beberapakali konggres Megawati tampil menjadi Ketua Umum PDIP nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara umum dianggap oleh kader sebagai penyimpang.


Kondisi ini, tentu sangat dipahami Jokowi. Dengan demikian proses pancapresan Jokowi hanya akan sekadar wacana dan penarik perhatian saja, jika keputusan akhir Mega tetap akan mencalonkan dirinya sebagai “petarung RI-1”. Jokowi merupakan sosok kader loyalis PDIP dan secara historis tumbuh kembang karir politiknya mendapat dukungan partai ini. Sehingga secara psikopolitis Jokowi tidak akan maju ke gelanggang pencapresan, jika Mega tetap melenggang. Pun demikian, jika PDIP merengkuh suara sesuai target yakni 25 persen suara sah nasional, bukan mustahil juga Mega tergoda untuk tetap melaju dan menggandeng Jokowi sebagai calon wakilnya.


Namun demikian, ada baiknya PDIP juga mempertimbangkan dua hal. Pertama, meski bukan mustahil tetapi rasanya teramat sulit untuk meraih capaian 25 persen suara sah nasional. Memang PDIP punya pengalaman mendapatkan 33,74 persen di Pemilu 1999, tetapi setelahnya partai-partai pemenang Pemilu hanya memperoleh angka 20 persenan suara. Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 hanya  21,58 persen sementara Demokrat, hanya 20,85 persen. Dengan demikian, opsi koalisi terbatas tetap akan dihidupkan PDIP dengan catatan koalisi terbatas tersebut tidak merusak harapan publik yang menginginkan wajah perubahan. Kedua, terlalu beresiko jika PDIP tetap memajukan Mega sebagai capres. Mengingat konteks historis Mega yang telah mengalami dua kali kekalahan beruntun dalam Pemilu langsung, dan stagnannya elektabilitas Mega di bawah figur lain seperti Jokowi dan Prabowo. Kiranya terhormat jika Mega saat ini beralih peran dari “aktor petarung” menjadi kingmaker, dan memfasilitasi harapan yang menyeruak di masyarakat dengan mendorong capres transformatif dan punya rekam jejak membanggakan. ***

Memahami Konvergensi Simbolik di Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5/08/2013)

Prosesi menuju pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden 2014 mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elite. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan loby politik dengan mengembangakan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elite hingga menembus jauh ke simpul-simpul suara akar rumput. Kontestasi tak cukup hanya mengandalkan terpaan media (media exposure) yang dominan di saat kampanye seperti berlangsung intensif saat ini. Butuh ketelatenan dalam menyemai konvergensi simbolik di lingkup basis-basis pemilih sehingga mereka merasakan dan memegang erat semangat kekitaan dengan sang kandidat.

Dalam pandangan Jhon F Cragan dalam Understanding Communication Theories (1998), konvergensi simbolik ini menjelaskan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Biasanya melalui tiga tahapan, yakni bagaimana seseorang datang berbagi realitas simbolik, dilanjutkan dengan penyediaan makna, emosi serta motivasi bertindak di antara mereka, terakhir pembentukan kesadaran bersama. Dengan demikian, penyatuan diri kandidat dengan basis konstituen bukan pekerjaan beberapa bulan jelang pemilu. Butuh kedekatan alamiah yang berjenjang dan berkelanjutan. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka politik akan high cost karena kandidat harus bertransaksi dengan broker suara dan calon pemilih “mata duitan”.

Idealnya, momentum “paguyuban” bukan semata permainan peran yang berorientasi akhir pada pengakuan jati diri sang kandidat untuk menjadi bintang sekaligus pemenang dalam demokrasi elektoral, melainkan secara alamiah harusnya melekat pada keseharian politisi dan partai politik. Dalam prosesi pemilu, kelompok-kelompok politik harus intensif membangun interaksi dan kerja nyata yang dapat mengikat kekitaan di basis-basis konstituen mereka. 

 Saat kondisi masyarakat tak banyak berubah dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, dari satu pemilu ke pemilu yang lain, tentu akan banyak orang yang tak percaya lagi dengan mesin partai. Insting untuk bisa hidup sejahtera dan menikmati kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain secara baik menggerakan manusia untuk merengkuh keinginanannya itu. Jika tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mencoba menghindar dari ketidaberdayaannya itu dan menciptakan berbagai opsi alternatif, misalnya berganti memilih partai lain atau golput.   
    
Konvergensi simbol akan memunculkan visi retoris dan tema fantasi. Visi retoris menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Jika partai atau kandidat mau menang, maka jawabanya tentu pada bagaimana mereka mampu meyakinkan adanya kebersamaan pandangan dengan kelompok-kelompok pemilih dan membangun mimpi bersama. Fantasi-fantasi semacam itulah yang dalam praktikknya dapat memenangkan para politisi dan partai politik dalam rivalitas Pemilu.
  
Kandidat secara substantif memang butuh sebuah mekanisme politik kekitaan. Terlebih dalam pemilu terbuka seperti yang kita jalani sekarang, maka konvergensi simbolik dengan pemilihlah yang jauh lebih berpotensi besar memenangkan kandidat baik partai maupun capres. Bukan sebuah koalisi elitis yang dapat mereduksi harapan-harapan konstituennya. Sebagai contoh nyata adalah keberadaan partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu yang terus merosot. Padahal harusnya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, partai Islam bisa meraup suara signifikan. Faktanya, partai-partai Islam tak pernah memenangi kontestasi sejak pemilu 1955.

Pada pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai Islam 43,7 % sementara gabungan partai nasionalis 51,7 %. Pada pemilu 1999 suara partai Islam 36,8 %, partai nasionalis 62,3 %. Pada pemilu  2004, partai Islam 38,1 %, partai nasionalis 59,5 %. Sementara pada pemilu 2009, partai Islam 29,16 % dan partai nasionalis 70,84 %. Di berbagai survei terkuak salah satu alasan masyarakat tidak memilih partai-partai Islam karena partai-partai tersebut tidak memiliki nilai diferensial yang meyakinkan. Identifikasi kepartaian tidak muncul meskipun partai-partai Islam tersebut “memasarkan” simbol-simbol keislaman. Artinya tidak terjadi konvergensi simbolik antara pemilih muslim dengan partai-partai Islam. Tugas partai politik dan capres yang akan bertarung di pemilu 2014 adalah membenahi pola pendekatan sporadis menjadi lebih sistematis, dari elitis menjadi komunitarian. Satu yang pasti, kekitaan tidak akan pernah muncul dari kepura-puraan dan kepalsuan tetapi dari kerja nyata dan perjuangan.***