Senin, 04 November 2013

Kleptokrasi dan Buruk Muka Mahkamah Konstitusi

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013)

Dampak lanjutan dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adalah terpuruknya kredibilitas MK di masyarakat. Kasus Akil menjadi “tsunami” yang memporak-porandakan kebanggaan, citra, reputasi bahkan legitimasi mahkamah “para wakil Tuhan” di dunia ini. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.


Pada tahun 2013, merujuk data hasil survey Transparency  International Indonesia dengan responden di 147 negara, Indonesia menempati posisi 118, lebih buruk daripada Thailand yang berada di rangking 88 dan juga Filipina di posisi 108.  Kini, “jamaah” koruptor juga mengalir ke mana-mana mulai dari kelas jalanan hingga orang dekat istana. Sepanjang 2013 misalnya sudah ada kurang lebih 290 kepala daerah yang masuk “hotel prodeo”. Para menteri, mantan menteri, politisi parpol, wakil rakyat dan lain-lain, banyak yang sukses menghinakan dirinya serta meninggalkan kemuliaan jabatan yang sebelumnya dipercayakan bangsa dan negara ke pundak mereka. Dahsyatnya lagi, hakim konstitusi yang seharusnya menjadi negarawan justeru asik masyuk bertransaksi haram! Inilah paradoks kebangsaan kita yang membuat rakyat Indonesia tak henti-hentinya mengurut dada.


Indonesia telah menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan eksplisit menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Tapi dalam praktiknya, dari hulu ke hilir negeri kita disesaki para koruptor “kelas kakap” dan “kelas teri”. Para pejabat korup berkongsi untuk mendapatkan “jatah” dari jualan pengaruh jabatan mereka.


Ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan.


Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.


Citra MK saat ini di titik nadir.  Tengok saja pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan gaung berita buruk ini menggema ke seantero  dunia. Media massa sebut saja The New York Times, Reuters, Aljazeera, The Straits Times, The Australian hingga BBC menjadikan berita ini menonjol dalam bingkai berita mereka. Belum lagi hujatan dan makian di media sosial serta bahasan di berbagai forum yang nyinyir dengan koruptor.  

Dalam perspektif komunikasi politik yang harus segera diantisipasi dari buruk muka MK adalah menaikan dan mengelola kembali kepercayaan masyarakat. MK banyak menangani sengketa pilkada baik yang sudah diputuskan, sedang berjalan maupun yang direncanakan. Rusaknya citra MK akan berimbas pada ketidakpercayaan pihak-pihak bersengketa terlebih jika putusan MK bukan yang mereka inginkan. Paket pemulihan awal meliputi lima hal. Pertama, kerja cepat, tegas dan transparan Majlis Kehormatan MK dalam kasus Akil Mochtar. Kedua, adanya moratorium keputusan MK sambil menunggu temuan Majlis Kehormatan. Ketiga, MK wajib mendukung hukuman seberat-beratnya bagi hakim konstitusi mereka yang terbukti menerima suap. Keempat, harus jelasnya mekanisme seleksi para hakim konstitusi. Jauhkan pengisian hakim konstitusi dari politisi,  untuk menghindari conflict of interest di kemudian hari. Keenam, Hakim MK wajib diawasi Komisi Yudisial untuk perimbangan kuasa yang mereka genggam. 


Mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan MK hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Jika para hakim konstitusi yang ada sekarang menjadi bagian dari persoalan, harus dilakukan seleksi ulang untuk mencari sosok “wakil Tuhan” bukan para petualang! (**)

Tidak ada komentar: