Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013)
Dampak lanjutan dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adalah terpuruknya
kredibilitas MK di masyarakat. Kasus Akil menjadi “tsunami” yang
memporak-porandakan kebanggaan, citra, reputasi bahkan legitimasi
mahkamah “para wakil Tuhan” di dunia ini. Kasus ini mengonfirmasi
sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah
menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.
Pada tahun 2013, merujuk data hasil survey Transparency International Indonesia
dengan responden di 147 negara, Indonesia menempati posisi 118, lebih
buruk daripada Thailand yang berada di rangking 88 dan juga Filipina di
posisi 108. Kini, “jamaah” koruptor juga mengalir ke
mana-mana mulai dari kelas jalanan hingga orang dekat istana. Sepanjang
2013 misalnya sudah ada kurang lebih 290 kepala daerah yang masuk “hotel
prodeo”. Para menteri, mantan menteri, politisi parpol, wakil rakyat
dan lain-lain, banyak yang sukses menghinakan dirinya serta meninggalkan
kemuliaan jabatan yang sebelumnya dipercayakan bangsa dan negara ke
pundak mereka. Dahsyatnya lagi, hakim konstitusi yang seharusnya menjadi
negarawan justeru asik masyuk bertransaksi haram! Inilah paradoks
kebangsaan kita yang membuat rakyat Indonesia tak henti-hentinya
mengurut dada.
Indonesia telah menyetujui United Nations Convention Against Corruption
pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan eksplisit
menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa
Indonesia. Tapi dalam praktiknya, dari hulu ke hilir negeri kita
disesaki para koruptor “kelas kakap” dan “kelas teri”. Para pejabat
korup berkongsi untuk mendapatkan “jatah” dari jualan pengaruh jabatan
mereka.
Ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein
yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami
sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal
dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi,
nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang
memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan.
Pemikir
Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan
praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi
kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.
Citra MK saat ini di titik nadir. Tengok saja pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan gaung berita buruk ini menggema ke seantero dunia. Media massa sebut
saja The New York Times, Reuters, Aljazeera, The Straits Times, The
Australian hingga BBC menjadikan berita ini menonjol dalam bingkai
berita mereka. Belum lagi hujatan dan makian di media sosial serta
bahasan di berbagai forum yang nyinyir dengan koruptor.
Dalam
perspektif komunikasi politik yang harus segera diantisipasi dari buruk
muka MK adalah menaikan dan mengelola kembali kepercayaan masyarakat.
MK banyak menangani sengketa pilkada baik yang sudah diputuskan, sedang
berjalan maupun yang direncanakan. Rusaknya citra MK akan berimbas pada
ketidakpercayaan pihak-pihak bersengketa terlebih jika putusan MK bukan
yang mereka inginkan. Paket pemulihan awal meliputi lima hal. Pertama,
kerja cepat, tegas dan transparan Majlis Kehormatan MK dalam kasus Akil
Mochtar. Kedua, adanya moratorium keputusan MK sambil menunggu temuan
Majlis Kehormatan. Ketiga, MK wajib mendukung hukuman seberat-beratnya
bagi hakim konstitusi mereka yang terbukti menerima suap. Keempat, harus
jelasnya mekanisme seleksi para hakim konstitusi. Jauhkan pengisian
hakim konstitusi dari politisi, untuk menghindari conflict of interest di kemudian hari. Keenam, Hakim MK wajib diawasi Komisi Yudisial untuk perimbangan kuasa yang mereka genggam.
Mengerjakan
pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya.
Puing-puing kehormatan MK hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok
berintegritas. Jika para hakim konstitusi yang ada sekarang menjadi
bagian dari persoalan, harus dilakukan seleksi ulang untuk mencari sosok
“wakil Tuhan” bukan para petualang! (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar