Senin, 04 November 2013

Komunikasi Politik dan Peta Jalan Koalisi 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 4 Nov 2013)

Puncak persaingan Pemilu 2014 kian dekat. Salah satu dampaknya, ruang publik kita kian disesaki informasi politik yang berorientasi pada perebutan pasar pemilih termasuk basis-basis kekuatan nyata di level elite maupun akar rumput (grassroot). Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), sekarang hingga 2014 bisa kita sebut era keberlimpahan komunikasi (communicative  abundance) terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak calon pemilih.


Para politisi nyaris tak ada jeda menjual citra di media lini atas dan media kini bawah, tak lelah datang menghampiri tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pendulang suara (vote getter), intensif membangun jejaring guna mempengaruhi lingkungan politik jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Inilah salah satu keniscayaan demokrasi elektoral kita yang mengharuskan siapapun yang akan berkontestasi harus membangun komunikasi politik dengan beragam kekuatan lintas strata. Wajar jika Denton dan Woodward dalam Political Communication in America (1990), mensifati komunikasi politik dengan istilah intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.


Pertarungan tahun politik sesungguhnya mengerucut pada empat tahapan.  Pertama, perebutan kuasa dan otoritas di internal partai. Banyak pihak berebut tiket untuk menjadi calon anggota legislatif, nomor urut pancalegan, posisi penting dalam struktur partai yang bermuara pada eksistensi diri si politisi dalam peta kekuatan yang akan bertarung di pemilu 2014. Kedua, terkait dengan manajemen konflik antar kompetitor. Jangan heran jika kasus-kasus hukum dan politik digelontorkan oleh banyak pihak ke ruang diskursus publik dan media. Strategi gelembung politik (bubble politic) menjadi penanda, proses melegitimasi diri dan mendelegitimasi lawan menjadi paket tak terpisahkan dalam perang antar kekuatan. Ketiga, tahap pemasaran politik melalui berbagai pendekatan. Iklan, publisitas, beragam pendekatan public relations politik dilakukan untuk memoles popularitas, elektabilitas, kesukaan dan penerimaan pemilih pada kandidat partai maupun capres/cawapres. Keempat, adalah agregasi kepentingan antar kekuatan melalui beragam cara penjajagan.


Semua partai saat ini memfokuskan diri pada dua pertaruangan, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan. PKB misalnya sedang menjajaki sejumlah nama untuk jadi capres mereka. Ada nama Jusuf Kalla, Mahfudz MD, dan Rhoma Irama. Siapa diantara mereka yang akan menjadi capres PKB? Akan ditentukan dua faktor. Pertama, perolehan suara PKB di legislatif. Kedua, nilai jual kandidat yang akan didorong untuk menaikan daya tawar PKB di basis pemilih dan potensi penerimaan kekuatan parpol lain saat ada inisiasi koalisi di waktu mendatang. Hanura, Nasdem dan Golkar mengintensifkan jalur perang media, Gerindra mengoptimlkan peran Prabowo sebagai capres 2014 dan jangkar kelompok-kelompok masyarakat. PDIP sibuk mengukuhkan perubahan reputasi organisasi dengan “menjual” cara berbenah dan konsolidasi berbasis kader loyalis. Demokrat pun sibuk menjual konvensi yang akan membentang dalam rentang 8 bulanan.


Jika dikalkulasi berdasarkan angka parliamentary threshold 3,5 persen maka diprediksi partai yang akan mengisi slot DPR di Senayan itu kurang lebih 9 partai. Yang menarik lagi adalah mengkalkulasi capres/cawapres 2014. Dengan angka presidential threshold yang tidak berubah yakni 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR, kemungkinan capres/cawapres yang berlaga di 2014 hanya aka nada 3 pasangan. Kemungkinan, slot itu akan diisi oleh partai Golkar yang sedari awal sudah memplot Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres utama mereka. Slot kedua akan diisi oleh capresnya PDIP. Terlepas dari pro-kontra yang ada, jika PDIP mau mengubah bandul peruntungan di Pemilu 2014 memang magnet elektoralnya ada pada sosok Jokowi. Pendekatan ilmiah melalui survei opini publik di beragam hasil survei menunjukkan tren positif bagi Jokowi di pasar pemilih. Slot ketiga, menurut saya akan diisi oleh partai yang perolehan suaranya tidak terlalu signifikan, misalnya di bawah 10 persen, tetapi punya sosok kuat yang bisa didorong maju ke gelanggang. Untuk 2014, Prabowo memiliki momentum ulang menjadi “petarung”.


Faktor pengubah konstelasi menurut saya ada tiga. Pertama, jika Jokowi enggan maju atau tidak dimajukan PDIP. Kedua, jika Demokrat mau menurunkan gengsi dengan memosisikan diri sebagai partai pendukung koalisi dengan mendukung capres kekuatan lain, misalnya penjajagan koalisi Golkar-PAN-Demokrat yang semakin intensif dijajaki. Ketiga, jika benar-benar nyata solidnya partai-partai papan tengah mengusung sosok lain misalnya JK-Mahfudz. Dengan demikian, area pertarungan dan perebutan kuasa akan terjadi di antara partai-partai papan tengah. Salah satu kunci pembuka untuk menghidupkan peluang-peluang itu tentunya adalah komunikasi politik. Jauh lebih penting dari sekedar komunikasi dengan elite, partai dan capres/cawapres harus mengintensifkan komunikasi politik  dengan masyarakat pemilik mandat kekuasaan sesungguhnya.

Tidak ada komentar: