Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 4 Nov 2013)
Pemilu 2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul
seiring dengan keinginan banyak pihak untuk melakukan tranformasi dari
transisi ke konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY telah
memosisikan harapan tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi.
Gaung adanya perbaikan signifikan atas persoalan-persoalan kebangsaan,
seolah lenyap ditelan hiruk pikuk konflik elite atas nama zona nyaman
kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan menjadi mekanisme prosedural
untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju perbaikan itu. Belum
mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang menghadang. Karut
marut Daptar Pemilih Tetap (DPT) membuat kita bertanya, mungkinkah
pemilu kita bisa memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi
demokrasi. Tantangan nyata di depan mata adalah kesiapan kita menggelar
pemilu demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.
Trauma Politik
Sangat
penting bagi kita sekarang, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif
konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry
Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) mengungkapkan,
konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi
demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya
legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan
menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian,
legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan.
Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan
dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite
berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemilu 2014 terancam mengalami delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselsaikan. Kita
punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di
level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di
banyak pemilihan kepala daerah. Trauma itu, bermula dari
centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan DPT. Bak
lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data
pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas
bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang
melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi Pemilu demokratis.
Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance)
sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor lainnya adalah legitimasi
pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiahan dan independensi,
serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang jika merujuk
pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political Action: Theoritical Perspective
(1979) masih bisa dibagi menjadi dua bentuk, konvensional dan non
konvensional. Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam
pemilu (voter turnout) yang non konvensional misalnya
demonstrasi, mogok kerja dan lain-lain. Dalam konteks Pemilu 2014,
partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika
urusan DPT tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak
suara, tetapi dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless). Sebagian pemilih lain yang punya hak suara, karena
adanya kisruh DPT seperti sekarang sangat mungkin enggan berpartisipasi
karena melemahnya kepercayaan mereka pada sistem penyelenggaraan
pemilu.
Jika melihat jadwal Pemilu, penetapan DPT ini sudah
diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di tingkat
kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di
tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang, jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT. Ada tiga hal yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.
Pertama, identifikasi masalah hulu kisruh DPT ini sudah lama diketahui banyak pihak yakni sistem
pendataan penduduk yang bermasalah dan koordinasi antar Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) dengan penyelenggara Pemilu. Data
Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kemendagri misalnya, sedari
awal masih kerap bermasalah misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK)
yang ganda, kosong, dan tidak standar. Keraguan itu sudah terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi daftar 190,4 juta penduduk yang seharusnya menjadi basis data daftar pemilih. KPU memang sudah melakukan sinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).
Hasil
penyandingan DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi,
ditemukan 160 juta data yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data
bermasalah. Data terakhir ini, tak dilengkapi elemen kependudukan yang
baik, seperti nama, alamat, dan tanggal lahir. Dalam rapat dengar
pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri pada Kamis
hingga Jum’at (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang lebih 10,4
juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Ini tentu bukan angka
sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak
sipil politik warga negara. Sedari awal koordinasi antar penyelenggara
pemilu dengan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi
dengan pendekatan preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan
kemarin sore.
Ribut saling menyalahkan antar
KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi melemahkan
harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.
Kedua,
soal waktu dan dukungan dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu
2014 harusnya lebih bagus dibanding 2009. pada pemilu lalu waktu
pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum pemungutan suara, sementara untuk
pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu pemungutan suara. Dari segi
anggarannya pun pemilu 2014 lebih besar. Pada pemilu 2009 anggarannya
sebesar Rp. 1,2 triliun, sementara pada Pemilu 2014 menjadi Rp 1,9
triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas
penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.
Ketiga, soal proyek prestisius bernama KTP Elektronik. Uang rakyat
sudah digelontorkan begitu besar untuk proyek yang konon kabarnya
canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital
sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar
pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari
kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik selesai pada 2012!
Ruang Gelap
Meskipun
kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam
kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh
ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari
peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi
ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan!
Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.
Pemilu
memang momentum kontestasi antar kekuatan. Tetapi, seluruh pihak juga
harus menyadari bahwa kontestasi elitis tak lagi memadai, butuh
legitimasi yang bersumber dari partisipasi masyarakat. R.A Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control
(1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua
variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran
bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah
kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau
muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.
Yang
patut kita khawatirkan jika persoalan DPT ini tak terselsaikan adalah
terus turunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu
1955, partisipasi pemilih di angka 87 persen dari total warga yang
punya hal pilih. Pada Pemilu 1999 menjadi 93 persen, ini seiring dengan
harapan yang muncul pasca reformasi. Tapi setelah itu terus menurun,
misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85 persen untuk pemilu legislatif, 80
persen pemilu presiden (pilpres) putaran pertama dan 77 persen pilpres
putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71 persen di
pemilu legislatif dan 72 persen untuk pilpres.
Sangat
mungkin, jika sistem penyelanggaraan pemilu amburadul dan ketiadaan
sosok calon pemimpin yang bisa menggerakan pemilih ke bilik suara, maka
angka mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu meningkat termasuk
di dalamnya kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah tak memiliki
nilai guna bagi mereka. Pemilu, meminjam istilah William Liddle (1996)
bukan semata useful fiction atau partisipasi khayalan melainkan supremasi kedaulatan rakyat. Jika
DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil
politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya.
Penyisiran DPT bermasalah harus dituntaskan, sehingga publik tak lagi
melihat DPT sebagai ruang gelap tempat bertransaksinya para Godfather! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar