Jumat, 21 Oktober 2011

PARTAI KEHILANGAN MAHKOTA

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Telah dipublikasikan di harian KOMPAS, 22 Juli 2011)

Menarik mencermati berita utama Kompas (12/7) “Yudhoyono Menjamin Anas”. Selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), Susilo Bambang Yudhoyono memandang penting mengeluarkan pernyataan yang menggaransi Anas Urbaningrum untuk tetap menjadi nahkoda partai. Konteks pesan Yudhoyono tersebut dapat kita posisikan sebagai peredam konflik internal antar faksi sekaligus berupaya meminimalisir efek turbulensi politik PD pasca “nyanyian ” Nazaruddin.

Menciderai Kekitaan

Dalam jangka pendek, sinyal SBY bahwa tidak akan ada kongres luar biasa (KLB), sepertinya masih akan didengar para elit Demokrat. Kita tentu memahami bahwa hingga sekarang, Yudhoyono masih berada di puncak hirarki kekuasaan partai. Dalam tradisi partai yang menyandarkan diri pada kekuatan figur sentral, dinamika politik yang terbangun biasanya bermuara pada gejala groupthink.

Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) menyebutkan salah satu ciri utama gejala groupthink ialah para kader organisasi akan menghindari pemikiran berlawanan dengan elit utamanya. Geneologi PD memosisikan SBY sebagai figur utama sekaligus pusat pergerakan sistem organisasi. Sekeras apapun upaya faksi non-Anas menggelindingkan isu KLB, tanpa restu SBY, hal tersebut hanya akan membentuk gelembung air sabun.

Namun, dalam jangka panjang pernyataan Yudhoyono pelan tapi pasti akan kehilangan koherensi karakterologis (characterological coherency). Hal ini ditandai dengan kian melemahnya kepercayaan publik di level konstituen dan publik eksternal partai pada karakter-karakter utama Yudhoyono sebagai pemimpin.

Konflik antarfaksi seusai kongres PD tahun lalu, mengalami fase ‘inkubasi’ saat skandal Nazaruddin terkuak. Perang terbuka pun aktual di media massa karena proses pengendalian konflik terhalang oleh kepentingan elit Demokrat yang berbeda-beda. Konsolidasi internal tak mampu menyolidkan lagi gerak ritmis para elit sehingga konflik menjadi eskalatif dan terbuka di mana-mana.

Partai Juara?

Tak dimungkiri, PD saat ini ibarat sang juara yang kehilangan mahkota. Setelah memenangi Pemilu 2009 dengan meraih 20,85 persen suara pemilih, Demokrat ternyata tak mampu mentransformasikan kemenangannya untuk membuat perubahan nyata.

Jajak pendapat Kompas, Senin (4/7/2011) menunjukkan kepercayaan publik terhadap Demokrat menurun drastis. Jika pemilu dilaksanakan sekarang hanya 35,6 persen pemilih Demokrat yang berterus terang akan tetap kembali memilihnya. Bahkan 86,8 persen responden yakin partai ini tidak bebas dari korupsi. Mahkota bagi partai pemenang pemilu adalah kepercayaan, kewibawaan dan kredibilitas. Sebuah partai yang memenangi Pemilu tetapi tak lagi punya ketiga hal tersebut sama saja dengan juara tanpa mahkota.

Komentar Marzuki Ali (Kompas,12/7/2011) yang menyatakan bahwa keberhasilan Demokrat pada Pemilu 2014 ditentukan tiga pihak yakni Yudhoyono selaku pemimpin pemerintahan, dirinya di DPR dan Anas dalam mengonsolidasikan partai, menjadi cermin elit Demokrat yang menyederhanakan masalah. Marzuki mungkin lupa, faktor rakyat atau konstituen dalam membesarkan partai. Tanpa riset ilmiah sekalipun teraba bahwa rakyat kini tak hanya gelisah tetapi kecewa atas perkembangan penyelsaian kasus Nazaruddin.

Tak ada pilihan bagi Demokrat, selain mengoptimalkan perbaikan-perbaikan ke depan. Pertama, Demokrat harus tegas memecat kader-kader yang terlibat korupsi. Agenda pemberesihan para koruptor di tubuh demokrat seharusnya menjadi agenda utama dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang digelar 23-25 Juli ini.

Kedua, PD harus menunjukkan political will untuk menuntaskan kasus yang menjadi sorotan utama publik. Misalnya turut menunjukkan tanggungjawab untuk menghadirkan Nazaruddin di Indonesia. Jika gagal, maka publik akan selalu menghubungkan tindakan korupsi yang dituduhkan terhadap Nazaruddin dengan partai dan para elit PD lainnya. Sikap tegas Demokrat juga harus tergambar dalam penyelsaian kasus pemalsuan surat yang melibatkan Andi Nurpati. Sangat beresiko bagi Demokrat jika menjadi bungker orang-orang bermasalah.

Ketiga, dalam konteks kohesivitas organasasi perlu adanya penataan ulang dalam proses distribusi dan alokasi sumberdaya kader. Selain memiliki operator politik handal yang diperlukan dalam manajemen konflik seperti sekarang, perlu juga memperbanyak kader yang bekerja nyata untuk rakyat di luar masa Pemilu.

Sumber gambar::

www.waspada.co.id

REORIENTASI POLITIK PPP

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, Kamis 7 Juli 2011

Muktamar VII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menentukan perjalanan partai ini ke depan, terutama terkait eksistensinya yang hingga kini terus terseok dan digerus oleh kekuatan parpol lain. Persoalan mendasar bagi PPP adalah menentukan reorientasi diri yang jelas sebagai bagian dari parpol modern. Bukan sebaliknya, terus berkutat dalam kegamangan yang menyebabkan merosotnya pemilih dalam demokrasi electoral yang kian kompetitif.

Kapal Tua

PPP sekarang adalah kapal tua yang butuh perawatan intensif agar tak bobrok dimakan zaman. Lampu kuning tanda bahaya bagi PPP sudah menyala, seiring dengan terus menurunnya suara pemilih dalam pemilu. Pada pemilu 1977, PPP memperoleh suara 29,3 persen, pemilu 1982 turun menjadi 27,8 persen, pemilu 1987 sebesar 15,9 persen, pemilu 1992 sebesar 14,6 persen, pemilu 1997 perolehan suara sempat naik yakni 22,4 persen, kemudian terjun bebas di pemilu 1999 dengan perolehan suara 10,7 persen, pemilu 2004 sebesar 8,1 persen, dan pemilu 2009 hanya dipilih oleh 5,5 juta pemilih atau sekitar 5,3 persen.

Menurunnya suara PPP itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya strategi pengelolaan basis massa tradisional. Dalam konteks kerja partai, PPP kerap abai atau sangat jarang mengusung gagasan, program atau sekadar menjadi trend setter isu yang terkait dengan basis masa tradisionalnya. Partai tak mampu meyakinkan basis massanya untuk tetap loyal, sehingga tak mengherankan banyak pemilihnya lari ke partai lain, baik sesama partai Islam maupun nasionalis.

Kedua, PPP mengalami krisis figur. Tak disangkal bahwa setiap partai selalu butuh simpul ketokohan yang bisa menjadi perekat kohesivitas kelompok. Memang posisi tokoh bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa negatif, jika tokoh sangat dominan dan melembagakan kekuatan referen (referent power) dirinya sehingga partai mengalami feodalisme.

Ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang tradisi dinasti politik. Gejala ini akan menyebabkan menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah tokoh atau figur di puncak hierarki partai. Tetapi kekuatan figur akan positif bagi PPP jika ditempatkan sebagai salah satu sumber transformasi organisasi menuju partai modern. PPP butuh figur kuat, kredibel, yang mau dan mampu bekerja untuk partai sekaligus bisa dibanggakan parpol sebagai politisi ideologis. Tokoh seperti ini penting untuk mengerek kembali seluruh potensi kejayaan PPP.

Ketiga, PPP kerap terjebak ke dalam identifikasi citra simbolis yang eliteis. Sah-sah saja sebuah partai punya citra simbolis, seperti halnya PPP yang mengusung citra dirinya sebagai partai Islam. Tentu, untuk bisa bertahan lama, simbol dengan substansinya harus sejalan, bukan saling menegasikan. Partai butuh kerja-kerja konkret di luar pemilu sebagai bagian optimalisasi fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol.

Bagaimanapun, partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Selain itu, juga dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan eskalatif. Bukan sebaliknya, parpol menjadi alat manipulasi kesadaran khalayak sekaligus menjadi kendaraan utama untuk "bancakan" uang rakyat secara sistemis dan berjamaah.

Refleksivitas Politik

Tantangan nyata bagi PPP ke depan adalah munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan prilaku politik para politisi lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat. Sehingga persentase kelompok apolitis kian membesar. Pasar bebas parpol di Indonesia yang kian kapitalistik juga menjadi tantangan tersendiri.

PPP harus bersaing dengan partai-partai lain yang punya sumber daya otoritatif (authoritative resource), sumber daya alokatif (allocative resources), dan sumber daya finansial (finansial resources) lebih siap dibanding PPP. Tantangan lain, PPP juga akan dihadapkan pada regulasi yang kian ketat seperti UU Parpol maupun dalam UU Pemilu. PPP, misalnya harus kerja ekstrakeras dalam menyikapi peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) dalam Pemilu 2014.

Muktamar bisa menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reorientasi diri menuju partai modern. Pertama, PPP harus mengembangkan refleksivitas organisasi. Ketua umum baru terpilih harus mampu membawa PPP menuju masa depan dengan perubahan-perubahan yang signifikan. Refleksivitas tercermin dari kemampuan untuk menentukan alasan-alasan dari pilihan perilakunya.

PPP jika ingin disebut partai modern harus progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan selalu terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis elite parpol.

PPP butuh memperkuat penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif terjadi jika organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Kedua, jika ingin menjadi partai modern, PPP harus dibangun melalui kaderisasi yang kuat. Tahapan kaderisasi harus berjalan integratif dimulai dari perekrutan, pembinaan kader menjadi loyalis serta pendistribusian dan pengalokasian kader ke dalam posisi-posisi tertentu. Pragmatisme dan politik trasaksional kerap mencederai tahapan kaderisasi ini. Partai menjadi pintu masuk bagi munculnya para politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu. Sehingga, merusak suasana batiniah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan menggerogoti kejayaan tubuh PPP.

Sudah bukan saatnya warga PPP berorientasi pada romantisme masa lalu sebagai satu-satunya rumah besar umat. Butuh kerja nyata untuk membentuk jejaring aktif melalui kaderisasi yang berkelanjutan agar PPP tetap bisa bertahan.

Tulisan bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://nasional.jurnas.com/halaman/10/2011-07-07/175434

Sumber gambar:

www.inilah.com

PANGGUNG MAFIA PEMILU


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, Sabtu 2 Juli 2011)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memiliki panggung pertunjukkan yang menyedot perhatian publik terutama media massa. Label yang disematkan oleh para politisi Senayan terutama yang berada di Komisi II garang dan menyeramkan! Mereka membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009 yang kemudian populer dengan sebutan Panja Mafia Pemilu.

Metode pertunjukkan hampir serupa dengan realitas simbolik yang dikonstruksi saat Panitia Khusus (Pansus) Century. Sama-sama menimbulkan kegaduhan publik, penuh kejutan, menebar bola liar isu, dan sangat impresif bagi media yang selalu memajang bad news is good news. Satu demi satu drama mengemuka dari paparan Mahfud MD (Ketua MK) dan Djanedjri M Gaffar (Sekjen MK) serta kian mengharu-biru saat Arsyad Sanusi (Mantan Hakim MK) dan Neshawati juga diberi panggung serupa. Inilah relasi antagonis yang mau tidak mau, suka tidak suka menjadi tontonan khalayak atas nama demokrasi.

Pemburu Mafia?

Mendengar istilah mafia yang dijadikan label Panja, merangsang kita untuk menerawang ke dunia kelam para kriminal. Di banyak literatur, kata mafia diartikan sebagai a crime syndicate atau semacam perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Konon awalnya, kata mafia merupakan istilah yang digunakan orang Sicilia untuk segala organisasi rahasia yang mengendalikan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Biasanya mereka menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuannya.

Penggambaran sistem kehidupan para mafia, secara menarik bisa kita baca di novel yang melegenda, The Godfather karya Mario Puzo (1969). Cerita mengenai para mafia Sicilia ini pun lantas dijadikan film yang sangat laris dan disutradarai oleh Francis Ford Coppola dengan judul yang sama dengan novelnya. Tokoh-tokoh Don Vito Corleone (Marlon Brando), Michael Corleone (Al Pacino) dan Santino ‘Sonny’ Corleone (James Caan) seolah menjadi icon peran para mafia.

Lalu, mampukah kira-kira tim pemburu para mafia ini memenuhi harapan publik agar sesuai dengan namanya yang sangar tadi? Di sinilah letak skeptisme muncul dan merebak di benak khalayak. Kita tentu ingat, DPR pada tahun 2009 pernah membentuk panitia angket tentang pelanggaran hak konstitusional warganegara untuk memilih yang kemudian lazim dikenal sebagai Panitia Angket Daftar Pemilih tetap (DPT) berdasarkan SK DPR No. 15/DPR RI/IV2008-2009. Panitia Angket ini diketuai oleh Gayus Lumbuun (PDIP).

Ada tiga hal yang dilakukan panitia angket tersebut. Pertama, menyelidiki akar permasalahan dan penyebab kekisruhan DPT yang menyebabkan sebagian warganegara kehilangan haknya untuk memilih. Kedua, mencari pihak yang paling bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut. Ketiga, memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dalam penyusunan daftar pemilih. Pada 29 September 2009 Panitia Angket membuat rekomendasi yang diantaranya menyatakan bahwa KPU diminta agar mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pemutakhiran data pemilih, penyusunan DPS dan DPT. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, direkomendasikan pemberhentian seluruh anggota KPU termasuk komisionernya dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Waktu pun berlalu tanpa kejelasan. Gegap-gempita kerja Panitia Angket DPT ibarat gelembung yang besar, rapuh dan cepat hilang sesuai dengan perubahan peta politik yang berlangsung di Senayan dan di lingkar kekuasaan. Hal serupa, juga terjadi saat Hak Angket Century. Seluruh energi bangsa ini masuk ke dalam pusaran kasus Century. Peristiwa itu, menjadi panggung kolosal bagi para politisi-selebriti dari Senayan, karena hampir setiap saat komentar mereka menjadi konsumsi media. Rekomendasi hanya drama yang berujung pada kesepakatan-kesepakatan politik sesama mereka.

Resiko Politisasi

Kita tentu patut mengapresiasi langkah Ketua MK Mahfud MD yang telah membuka kasus pemalsuan surat MK terkait penetapan kursi DPR untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I ke publik dan melaporkan tindakan pidana umum ini ke Polisi. Laporan Mahfud MD, sudah tepat untuk menjadi pintu masuk bagi pengungkapan ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Kepolisian pun menduga, bahwa pemalsuan surat keputusan MK dilakukan secara berkelompok. Tentu, dengan membuka kasus surat palsu MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang substansinya berbeda dengan surat asli tertanggal 17 Agustus 2009 ini, sesungguhnya sudah menyediakan koridor yang tepat untuk membongkar siapa dan berbuat apa, mereka menggunakan surat palsu untuk apa, serta siapa aktor utama yang menyuruh pemalsuan surat tersebut. Tentu, kasus Dewi Yasin Limpo ini bisa menjadi kotak pandora untuk menyingkap tabir para mafia pemilu yang nyaris tak tersentuh selama ini.

Hanya saja, semua proses itu menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan karena di saat bersamaan muncul resiko politisasi terutama setelah panggung politik bernama Panja Mafia Pemilu digelar di DPR. Menurut para politisi Senayan pembentukan Panja Mafia Pemilu menjadi keharusan. Pertama, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja penyelenggara pemilu. Kedua, dalam rangka penyempurnaan UU No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Mungkinkah fokus tersebut tidak akan melebar kemana-mana ? Di posisi inilah penulis meragukan panja buatan DPR tersebut.

Kekhawatiran itu kian menguat dalam 2 dinamika yang berlangsung di panja DPR. Pertama, muncul konstruksi opini yang melebar pada perang pribadi antara Mahfud MD versus Arsyad Sanusi. Kalimat verbal yang terucap sudah menyasar karakter personal dan melebar pada pembunuhan karakter masing-masing pihak yang bersetru. Layakah konflik personal itu mengemuka secara gamblang di media pada jam tayang yang bisa diakses semua usia. Resikonya, martabat dan kredibilitas MK sebagai institusi tentu juga akan tercederai, selain juga memberi pendidikan hukum dan politik yang keliru bagi masyarakat. Tidakah lebih tepat jika buka-bukaan itu fokus pada fakta hukum dan dipaparkan di pengadilan?

Kedua, dinamika panja juga menimbulkan kegaduhan politik nasional yang berpotensi memengaruhi fokus kepolisian dalam mengungkap kasus ini. Sekali lagi, kegaduhan publik dalam jejak rekamnya DPR lebih banyak menciptakan bubble politic dibanding penyelsaian akhir yang memuaskan rakyat. Prosesi mirip pansus Century berpotensi terulang, dan goreng-menggoreng isu pun sangat mungkin terjadi. Tak berlebihan, jika advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai pembentukan Panja Mafia Pemilu sebagai langkah kegenitan ! Rakyat tak menginginkan lagi panggung sandiwara, tetapi butuh pengungkapan fakta hingga kita tahu siapa saja para mafia pemilu itu. ***

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409835/

KLEPTOKRASI DAN KORUPSI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 8 Juni 2011)

Satu persoalan mendasar negeri ini yang hingga kini belum teratasi adalah praktik korupsi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berklindan dengan kekuasaan di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau meminjam istilah Jurgen Habermas menjadi bentuk kehidupan (lebensform).

Obstruction of Justice

Ironis memang, Indonesia kikinian adalah entitas negara yang tersandra oleh prilaku korup. Indeks persepsi korupsi tahun 2010 yang dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII) stagnan diangka 2,8 atau diposisi 110 dari 178 negara. Kondisi ini tak berubah jika dibandingkan tahun 2009. Indonesia sekelas dengan negara Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands sama-sama di skor 2,8 dan peringkat 110. Kalah kelas dengan negara tetangga sekalipun seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Meski cukup unggul dari Vietnam (2,7), Filipina (2,4), Kamboja (2.1), Laos (2,1) dan Myanmar (1,4).

Ini tentu menyedihkan, mengingat Indonesia telah menyia-nyiakan kesempatan good and clean governance pasca reformasi bergulir 13 tahun lalu. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sukses melahirkan sejumlah perangkat hukum guna meminimalisir tindakan korupsi. Perang melawan korupsi seolah membara saat reformasi sukses memasukan pembrantasan korupsi ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Secara legal formalistik Indonesia turut menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 7 Tahun 2006 dan menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Sebelum itu, karena praktik korupsi yang merajalela, Indonesia juga dengan gagah berani melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu kelahiran KPK bukan karena alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa.

Kini KPK, Mahkamah Agung (MA), kejaksaan maupun kepolisian pun nampak terjebak ke dalam sebuah pola Obstruction of Justice atau pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang yang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para Al Capone yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai God Father atau cukong tindakan korupsi.

Kleptokrasi

Kekhawatiran kita kian menjadi-jadi karena para elit yang menggenggam kuasa atas legislatif, eksekutif maupun yudikatif berjamaah melakukan korupsi. Sebagai contoh, gerombolan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 lintas partai menjadi tersangka kasus cek pelawat yang diduga sebagai suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Korupsi berjamaah juga dilakukan anggota DPRD di berbagai daerah. Yang teraktual, misalnya 11 angota DPRD Kota Madiun divonis penjara (31/05/2011). Mereka terbukti melakukan korupsi anggaran operasional dewan hingga merugikan negara 1,012 miliar.

Modus persekongkolan korupsi juga terjadi antara politisi di DPR dengan pejabat pemerintahan. Contoh aktualnya adalah suap dalam pembangunan wisma atlet yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Aroma kebusukan suap Sesmenporan pun telah menyeret politisi Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Sementara di yudikatif pun kejahatan korupsi tak kalah merajalela. Terbaru, seorang hakim pengawas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berinisial S yang diduga menerima suap atas kasus kapailitan. Hakim nakal ini telah ditangkap tangan KPK 1 Juni 2011. Tentu dia merupakan satu diantara gerombolan penegak hukum yang menjerembabkan diri ke dalam kubangan kejahatan.

Berbagai contoh tadi, menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan kini merajalela. Bahkan ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Secara etimologi, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Kita tentu ingat sebuah nasehat populer dari ekonom dan pemikir Prancis, Frederic Bastiat yang mengatakan bahwa jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor tentu hanya akan berjalan menuju titik nadir.

Pintu Masuk

Kleptokrasi sangat erat hubungannya dengan korupsi politik bahkan tak bisa dipisahkan. Dalam press release KPK (27/05/2011) eksplisit dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan korupsi politik adalah penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi. Lingkup korupsi politik sendiri mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Aktor dari korupsi politik bisa saja badan hukum partai poltik (parpol), pengurus dan kader parpol, anggota legislatif, calon/kandidat legislatif dan eksekutif yang diusung parpol, dan pelaku bisnis/swasta.

Korupsi politik akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik. Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka. Akan lebih parah jika korupsi politik ini dilakukan pemimpin negara atau pemerintahan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia pada 17 September 2007 menyebut sejumlah nama kepala negara dan pemerintahan yang melakukan korupsi politik. Di antara nama-nama tersebut adalah Soeharto, Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko, Sani Abacha, Slobodan Melosevic, Jean Claude Duvalier, Alberto Fujimori, Pavlo Larazenko, Arnoldo Aleman, Joseph Estrada. Penyebutan nama mereka berbarengan dengan peluncuran program Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Ini seolah mempertegas bahwa kejahatan korupsi politik harus menjadi perhatian seluruh warga dunia.

Saat ini, korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuataan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor.

Pertama, sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat. Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia dan sejumlah aset negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh para koruptor.

Kedua, dalam penyusunan, pengalokasian dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran.

Ketiga, korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sejumlah kebijakan publik lainnya. Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak asing maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi.

Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus tersandra oleh tindakan korupsi politik. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, maka seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal. ***

Sumber gambar:

www.inilah.com

DI BALIK SKENARIO MR A


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 6 Juni 2011)

Konflik politik yang melibatkan elit Demokrat kian menjadi-jadi. Bergulirnya isu Mr A yang dihembuskan oleh politisi Demokrat, Ramadhan Pohan pada 1 Juni lalu, sontak menjadi bola panas yang bergulir liar kemana-mana. Sederet nama politisi berawalan A yang mulai masuk ke dalam pusaran isu tersebut adalah Abu Rizal Bakrie dan Akbar Tanjung dari Golkar, Arief Poyouno dari Gerindra.

Dalam pembacaan komunikasi politik, fenomena seperti ini kerap dipahami sebagai gelembung isu (bubble issue). Yang biasanya digunakan oleh aktor untuk menarik perhatian publik pada isu sesaat guna menyembunyikan kenyataan lain yang sedang menjadi sorotan. Pola serupa kerap menghiasi jagat politik kita di masa lalu. Gelembung isu biasanya tak memiliki dasar dan tautan fakta yang kuat dan bisa dibuktikan secara hukum, karena memang sejak awal tidak diskenariokan untuk masuk di pembuktian legal formalistik melainkan bentuk equivocal communication. Menurut Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990) istilah ini memiliki makna pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas.

Konteks berhembusnya isu Mr A tentu tak bisa kita lepaskan dari kisruh kasus suap proyek wisma atlet SEA Games yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Wafid Muharram dan menyeret politisi Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Setelah Nazaruddin pergi ke Singapura beredar serangkaian propaganda melalui sms dan situs jejaring sosial yang menempatkan Demokrat dan sejumlah elit partainya sebagai sasaran tembak. Ada dua teknik propaganda yang menonjol dan digulirkan oleh pengirim yang seolah-olah Nazaruddin lewat SMS bernomor Singapura.

Pertama, teknik name calling yakni memberi label buruk pada gagasan, orang, objek atau tujuan agar menolak sesuatu tanpa menguji kenyataanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Staf Ahli Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), Andi Nurpati dan Anas Urbaningrum seolah-olah menjadi korban propaganda ini. Kedua, propaganda yang beredar itu juga menggunakan teknik card stacking yakni dengan cara memilih pernyataan yang akurat dan tak akurat, logis dan tak logis untuk membangun suatu kasus. SMS yang beredar secara sengaja dan terencana mencampur-adukan pernyataan yang asumsinya bisa diterima tetapi miskin fakta verifikatif. Tujuan utamanya menghadirkan efek domino pada perbincangan publik, sehingga orang ramai menduga-duga adanya sejumlah kasus lain di luar kasus Nazaruddin tersebut.

Dalam membaca gelembung isu semacam ini kita harus lebih teliti karena bisa jadi skenario sesungguhnya tidak seperti garis linear yang nampak di permukaan. Kini, seolah Partai Demokrat sedang dikerjai oleh banyak pihak dan terkesan menjadi sasaran tembak propagandis yang intensif menyasar berbagai kelemahan partai pemenang Pemilu ini. Kemungkinan seperti ini memang tak bisa kita abaikan terlebih jika dikaitkan dengan rivalitas menuju 2014.

Namun, kemungkinan lain juga harus kita baca secara jernih. Serangan intensif yang terjadi belakang mungkin juga diskenariokan oleh orang-orang Demokrat sendiri sebagai bagian dari manajemen konflik. Mereka menempatkan diri seolah-olah sedang disakiti, didzalimi, dijadikan sasaran tembak. Ingat, posisi semacam ini dalam tradisi politik Indonesia kerap melahirkan empati publik sekaligus melahirkan kembali kohesivitas organisasi.**

Sumber Gambar:

www.inilah.com

Jumat, 03 Juni 2011

BEBAN DEMOKRASI ELEKTORAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 27 Mei 2011)

Banyak yang menyimpulkan demokrasi Indonesia tak pernah beranjak dari fase transisi. Setelah 13 tahun peristiwa reformasi,kita melewati tiga kali pemilihan umum (pemilu). Kekuasaan pun banyak diisi orang-orang baru meski banyak juga orang lama yang tetap melanggengkan dinasti politik mereka baik di pusat maupun di daerah.

Muncul beragam sumbatan dalam proses konsolidasi politik hingga kita tak pernah sampai pada demokrasi substansial yang diidealkan. Bahkan muncul kecenderungan kita terjebak dan berputar-putar dalam demokrasi elektoral yang kapitalistik.

Sejarah mencatat katalisator utama perubahan politik 1998 yang kita kenang sebagai peristiwa reformasi karena ada musuh bersama (common enemy) yakni Soeharto. Kekuasaan bercirikan bureaucratic polity yang diusung Soeharto telah menyebabkan pengerdilan kekuatan civil societydi Indonesia.

Dalam tulisan Karl D Jakson, Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia (1978), ciri dominan bureaucratic polity adalah mengisolir keputusan-keputusan penting hanya di lingkaran elite tertentu. Inilah zaman kegelapan demokrasi Indonesia karena semua kekuasaan tersentral pada sosok Soeharto. Setelah fase transisi itu lewat seharusnya kita memasuki babak baru yakni konsolidasi dan pelembagaan politik. Namun, hal ini tak mudah direalisasikan.Terlalu banyak hal pragmatis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam politik rendahan.

Beban Politik

Kini, gaung reformasi telah menepi,bahkan muncul kecenderungan mati suri.Tragisnya lagi, reformasi mulai dianggap gagal! Masyarakat tak merasakan ada perbaikan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan, dan perekonomian. Meminjam data hasil survei nasional Indo Barometer April–Mei 2011 membuat kita semakin miris. Sebanyak 55,4% masyarakat tidak merasakan ada perubahan kondisi bangsa sebelum dan sesudah reformasi. Hanya 31% yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei terhadap 1.200 responden di 33 provinsi ini mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi,dan hanya 29,7% yang menyatakan puas.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah munculnya kecenderungan di masyarakat yang menganggap bahwa kehidupan di era Orde Baru lebih baik dari era pascareformasi. Terlepas dari kritik banyak pihak terhadap metodologi yang tidak mengomparasikan secara apple to apple Era Reformasi dengan Orde Baru, survei Indo Barometer itu bisa menjadi semacam warning bahwa reformasi memang di titik nadir persepsi masyarakat.

Salah satu sumbatan nyata proses konsolidasi dan pelembagaan politik adalah dominannya demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik dalam sistem politik kita. Hal ini ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antarparpol guna memperebutkan pemilih melalui basis transaksional. Pemilu menjadi pasar lelang suara sehingga ongkos untuk penguasaan pemilih menjadi sangat mahal. Dana internal parpol sangat tak memadai untuk membiayai pertarungan sehingga dibutuhkan dukungan dari pihak eksternal antara lain donatur dan para investor politik. Praktik ini melahirkan perselingkuhan abadi penguasapengusaha yang kerap mereduksi kesejatian demokrasi.

Hal tersebut juga sering menjadi pembenar bagi praktik kumulasi ekonomi para politisi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks inilah, kita sering melihat peran parpol sebagai bunker bagi para koruptor. Sudah bukan rahasia bahwa BUMN, proyek-proyek kementerian, pemda-pemda, sirkulasi jabatan, dan sejumlah kerja sama dengan pihak swasta kerapkali menjadi pintu masuk tindakan korupsi para politisi maupun para broker yang berafiliasi ke parpol tertentu. Beban demokrasi elektoral kita saat ini adalah politik tersandera oleh mekanisme transaksional. Para politisi mengidentikkan politik sebagai komoditi yang punya nilai pertukaran (exchange value) dan pasar (market).

Tak heran jika sirkulasi jabatan, pemilihan kepala daerah (pilkada), pembuatan kebijakan publik,hingga anggaran menjadi produk politik yang memiliki nilai transaksional. Konsekuensi dari cara pandang politik sebagai komoditi ini melahirkan korupsi, suap, dan penyalahgunaan jabatan untuk kumulasi ekonomi yang bersifat personal maupun organisasional. Politik tak bisa melepaskan diri dari rumusan money-commodity- more money (MCM) layaknya di produk komersial. Praktik ini tak hanya menerpa parpol penguasa, tapi juga mereka yang di luar kekuasaan.

Energi bangsa ini lebih banyak tersedot ke dalam rivalitas perebutan kekuasaan dan sirkulasi jabatan, tetapi lupa bagaimana mengoptimalkan kekuasaan tersebut bagi kesejahteraan rakyat. Para elite lebih memilih ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair.Anatomi kekuasaan tetap mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.

Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Dalam memaknai demokrasi, kita kerap terjebak dalam logosentrisme. Menurut pemikir beraliran postmodernisme, Jacques Derrida, paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme yang mendewakan kata.Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, makna demokrasi lebih dari sekadar kata-kata.

Tak cukup hanya membangun reformasi melalui kata-kata dan citra, melainkan juga harus hadir dalam realita yang sesungguhnya.

Ke depan, kita tentu tak ingin demokrasi terus-menerus tersandera oleh libido kekuasaan kaum elite. Demokrasi elektoral harus memiliki sumbangsih nyata bagi perbaikan bangsa ini, bukan semata perhelatan demokrasi lima tahunan yang miskin perubahan.●

Tulisan ini bisa diakses di web SINDO

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401771/

Sumber ilustrasi gambar:

www.inilah.com

QUO VADIS REFORMASI?


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 23 Mei 2011)

Bulan Mei diidentikkan dengan reformasi, tonggak perubahan yang meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Gerakan massa waktu itu ibarat air bah yang tak terbendung rezim tiran Soeharto.

Itulah sejarah yang melahirkan euforia kebebasan. Sekarang, justru kita gelagapan menghadapi realitas reformasi yang dianggap gagal. Bangsa ini tentu kaget bukan kepalang saat Indo Barometer memublikasikan hasil survei nasional sepanjang 25 April-4 Mei, yang menyatakan 40,9 persen responden mempersepsikan Orde Baru lebih baik dari Orde Lama dan reformasi. Hanya 22,8 persen yang memilih era Reformasi sebagai yang terbaik.

Kegagalan Reformasi

Kekagetan kita tak cukup berhenti di situ. Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasakan adanya perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4 persen, hanya 31 persen masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah Reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55 persen di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7 persen saja yang menyatakan puas.

Tentu, hasil survei itu menjadi polemik. Mereka yang melihat dari cara pandang skeptis akan memunculkan pertanyaan: benarkah hasil survei itu merefleksikan pandangan umum masyarakat Indonesia?

Memang pada dasarnya studi kuantitatif itu bisa menjadi refleksi, hanya saja tak ada salahnya menggali lebih dalam metodologi yang digunakan pihak Indo Barometer. Apakah mereka sudah mengomparasikan secara apple-to-apple antara Orde Baru dengan era Reformasi. Cara pandang seperti itu sah-sah saja dilontarkan sebagai sebuah kritik metodologis.

Tetapi bagi penulis, persoalannya bukan pada debat metodologis dalam survei, melainkan pada hal yang lebih substansial, yakni menguatnya gejala kekecewaan masyarakat terhadap kaum elite, baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita raba mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi. Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan.

Elite berkuasa tetap konservatif dalam pola-pola lama seperti dipraktikkan Orde Baru. Pola lama tersebut antara lain penguasaan akses dengan cara merestriksi berbagai peluang kuatnya check and balance dalam kekuasaan. Hal ini tergambar jelas dalam pembentukan pemerintahan yang tetap mengacu pada pola korporatisme atau pembonsaian politik.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengantongi suara signifikan dalam Pemilu, tetap melanggengkan praktik koalisi besar. Akibatnya, muncul gejala obesitas kekuasaan yang membuat pemerintah tak leluasa bergerak melakukan banyak hal untuk rakyat.

Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna menyejahterakan rakyat. Pola korporatisme ini juga telah dipraktikkan Orde Baru, hanya posisi Soeharto sangat kuat karena mengendalikan tiga kekuatan utama Orde Baru hasil fusi yang dipaksakan, sementara SBY harus berkompromi dengan multipartai ekstrem. Kesamaannya adalah pada pola pengendalian kekuatan penyeimbang. SBY dan Soeharto sama-sama piawai membuat stabilitas politik dengan mengontrol kekuatan potensial.

Tentu tantangan bagi SBY lebih besar, karena terlalu banyaknya teman yang diangkut ke dalam gerbong Kabinet Indonesia Bersatu II dan kerap kali mitranya tersebut berperan ganda, yakni sebagai kawan seperjalanan sekaligus lawan yang siap menerkam. Hal ini sudah terlihat dalam kasus Hak Angket Century dan rencana Hak Angket Perpajakan. Mitra koalisi bercita rasa oposisi ini bukan tak mungkin melakukan manuver serupa di masa mendatang.

Hal lain yang membuat reformasi kita berjalan di tempat adalah politisasi hukum. Proses penegakan hukum menjadi lamban, bahkan terkadang keluar jalur dan masuk di ranah politik. Misalnya, rakyat mungkin sudah bosan melihat berbagai kasus hukum yang menguap tanpa alasan jelas. Tindakan korupsi yang dilakukan sejumlah politikus dan pejabat sangat kental dengan ciri permainan politik ketimbang penegakan hukum. Beragam kasus hukum didorong ke permukaan untuk menjadi pembuka sejumlah negosiasi dengan kekuatan lain.

Kita sudah bisa memastikan jika sebuah kasus dipetieskan, sudah barang tentu ada “zone of possible agreement” yang telah disepakati di antara sejumlah elite. Misalnya gegap gempita kasus korupsi Century, juga kasus Gayus yang hanya menyeret para “kroco”. Hukum menjadi komoditas politik yang memiliki pertukaran nilai (exchange values) dan pertukaran pasar (exchange market) bak produk komersial di pasar lelang.

Korupsi menjadi momok lain bagi jalannya agenda reformasi. Saat ini ada kecenderungan parpol tergerus habis oleh pusaran korupsi para elite yang ada di dalamnya. Budaya korupsi ini kian melembaga karena parpol harus bertarung di pemilu dan pilkada yang sangat mahal.

Ongkos demokrasi elektoral sangat tinggi akibat politik yang tak berbasis kinerja, melainkan hanya berupa transaksi menjelang pemilu. Konsekuensinya, politikus dan parpol harus bergerilya, bahkan kerap menjadi “drakula” untuk megisap banyak sumber finansial, agar bisa bertahan di medan pertempuran yang panjang dan melelahkan.

Arah ke Depan

Dalam tulisan RA Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) disebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel, yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya sangat penting dalam menentukan proses demokrasi Indonesia ke depan. Kita tak cukup lagi mengklaim sebagai negara demokrasi karena sukses menggelar pemilu secara reguler. Apatisme masyarakat akan semakin membesar jika para elite masih terbiasa melakukan korupsi dan abuse of power.

Mampukah para politikus dan parpol mentradisikan politik sehat? Politik berbasis rasionalitas bernilai yang punya perhatian pada pemberdayaan kapasitas hak-hak sipil politik masyarakat. Selain itu, ke depan kita juga perlu melakukan konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kuat. Hal itu mestinya tercermin dalam regulasi seperti dalam paket UU Politik dan pengelolaan negara, yang merujuk pada kesejahteraan rakyat. Selain juga literasi politik yang lebih baik.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/quo-vadis-reformasi/


UJIAN KREDIBILITAS DEMOKRAT


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 16 Mei 2011)

Isu tak sedap kini berhembus kencang dari tubuh Partai Demokrat. Hal ini, terkait dugaan keterlibatan Bendahara Umum dan salah satu Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat di balik kasus suap proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang. Selain itu, muncul juga isu lanjutannya bahwa kasus tersebut bergulir karena adanya konflik internal dalam kepengurusan Anas Urbaningrum.

Dugaan keterlibatan politisi dalam tindakan korupsi seolah kian memperteguh dominannya hasrat pragmatisme dalam mencari, mengelola dan mendistribusikan basis logistik politik. Sudah tak terhitung, berapa jumlah anggota DPR yang juga politisi parpol terjerembab dalam kubangan kasus korupsi. Misalnya, 25 aggota DPR secara “berjamaah” terlibat dalam kasus suap pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur BI. Selain itu, ada juga kasus suap alih fungsi hutan lindung di Riau Kepulauan dan Sumatra Selatan. Contoh-contoh tersebut, seolah memperteguh jati diri politisi yang erat beririsan dengan tindakan korupsi.

Ada hal menarik yang patut kita catat dari bergulirnya kasus ini. Modus terbanyak tindakan korupsi politisi biasanya tak semata berdiri sebagai tindakan personal melainkan punya keterhubungan dengan orang atau kelompok yang menjadi basis afiliasinya.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan, politisi yang korup terbiasa memiliki mitra “seperjuangan” baik dari sesama partai maupun lintas kekuatan. Perbedaan parpol kerap terjembatani oleh hasrat yang sama yakni kumulasi ekonomi secepat mungkin. Wajar, jika di beberapa kasus korupsi seperti dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, kita bisa melihat politisi berbeda parpol terjerat kasus serupa. Tak ada lawan dan kawan yang abadi yang abadi hanyalah kumulasi ekonomi.

Dalam kasus suap wisma atlet SEA Games ini, tentu harus ada dentifikasi yang sangat memadai terkait jejak rekam serupa. Bagaimana keterhubungan para pelaku yang tertangkap tangan KPK dengan para politisi plus jaringannya. Tak mungkin ada asap jika tak ada api.Meski pada akhirnya, ini akan menjadi ujian berat bagi proses penegakkan hukum di Indonesia.

Jika memang ada indikasi kuat keterlibatan politisi Demokrat dalam kasus ini, akankah Demokrat menjadi bunker bagi para politisinya korup? Inilah ujian kredibilitas bagi eksistensi PD sebagai partai pemenang pemilu, terlebih SBY berada di puncak hirarki organisasinya.

Sudah bukan rahasia bahwa prilaku korup para politisi ini juga terkait kebiasaan dalam demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik guna memperebutkan pemilih. Ruang pertarungan di pasar bebas parpol ini tentunya berbiaya sangat besar. Iuran internal parpol sangat tak memadai, sehingga dibutuhkan dukungan dana dari eksternal antaralain donatur, para pemodal, dan ekspansi basis-basis logistik di BUMN atau pun institusi lain yang bisa dikapitalisasi. Hal ini, telah menstimulasi beragam cara untuk korupsi. Diprediksi pola serupa akan meningkat menjelang Pemilu 2014, karena pertarungan jauh akan lebih keras di banding pemilu 2009.

Demokrat juga harus berupaya mengklarifikasi apakah benar terjadi konflik internal dalam kepengurusan Anas. Jika isu ini memang digulirkan secara sengaja oleh teman sekandang, tentu akan menjadi malapetaka bagi Demokrat ke depan. Soliditas parpol akan sangat menentukan langkah searah dalam penyiapan pertarungan besar di 2014. Publik tentu menunggu, akankah Demokrat lolos dalam ujian kredibilitasnya? ***

Ilustrasi Gambar:

www.mediaindonesia.com

PASAR BEBAS PARTAI POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 07/05/2011)

Sejarah partai politik (parpol) di Indonesia selalu berulang. Setiap menjelang pemilu selalu ada parpol baru yang muncul dan mencoba peruntungan untuk bersaing pada perhelatan demokrasi lima tahunan.

Kini,wajah-wajah parpol baru pun mulai menampakkan diri ke permukaan, antara lain Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Nasional Republik (Nasrep),Partai Persatuan Nasional (PPN), dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI).Tentu,hasrat politis untuk berserikat dalam parpol merupakan hak konstitusional warga negara meskipun upaya mewujudkan hasrat tersebut kerap kali tak dibarengi modal yang kompetitif.

Tipologi Parpol

Tak berlebihan jika kita sebut demokrasi kita saat ini telah menjadi pasar bebas parpol. Siapa pun dapat mendirikan parpol dan berkompetisi dalam pemilu setelah melewati berbagai syarat formal dan lolos menjadi kontestan, baik karena menyiapkan diri maupun karena keahlian para politikus meretas beragam celah aturan main yang tersedia. Pengalaman pada Pemilu 2009, dari 38 parpol yang menjadi kontestan, hanya 9 yang bisa melampaui angka parliamentary threshold (PT) 2,5% dan akhirnya menjadi penghuni rumah rakyat di Senayan. Jika kita amati,paling tidak ada empat tipologi parpol baru yang saat ini mulai beredar.

Pertama, parpol yang diinisiasi oleh elite yang tersisih dari atmosfer kekuasaan parpol besar. Partai Nasdem masuk dalam kategori ini. Sebagaimana kita ketahui, Nasdem tak terpisahkan dari sosok Surya Paloh meskipun secara formal tak diketuai langsung olehnya.Konteks kelahiran Nasdem diawali histori kontestasi Paloh vs Aburizal Bakrie dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Saat Paloh tersisih, dia mulai mengejawantahkan hasrat politisnya lewat Nasdem. Memang, secara organisasional Partai Nasdem dipimpin oleh Patrice Rio sebagai ketua dan Ahmad Rofiq sebagai sekretaris jenderal.Namun,publik juga sangat paham bahwa genealogi politik Nasdem bisa dirunut ke Paloh.

Mirip posisi SBY di awal kelahiran Partai Demokrat, tak duduk sebagai ketua umum parpol, tetapi berada di puncak hierarki kebijakan organisasi sehingga memiliki kuasa menentukan arah perjalanan parpol.Paloh dalam konteks ini sedang menjalankan two step models of leadership. Model ini digunakan untuk manajemen tes situasi dan respons khalayak dalam sebuah pasar bebas parpol yang begitu kompetitif. Jika Nasdem di kemudian hari gagal bersaing dalam pasar bebas parpol, orang diharapkan tak akan langsung menunjuk sebagai kegagalan total Paloh karena secara manajerial, organisasi ditukangi oleh orang lain.

Kedua, parpol baru yang muncul dari konflik organisasional yang menyebabkan dualisme kepengurusan. PKBI merupakan parpol produk konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan putri kedua almarhum Gus Dur,Yenny Wahid.Tertutupnya islah melahirkan keputusan pendirian parpol baru yang sama-sama akan menggarap basis masa kaum nahdliyin. Tentu, modal awal PKBI adalah reference power dari figur Gus Duryang dilekatkan dengan sosok Yenny sehingga diharapkan menjadi katalisator modal sosial, politis, dan finansial bagi ekstensi PKBI ke depan. Jika berbicara ceruk pasar kaum nahdliyin yang sangat potensial, tentu kehadiran PKBI sedikit banyaknya akan merugikan eksistensi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014.

Ketiga, parpol produk agregasi politik dari beberapa kekuatan yang telah ada sebelumnya. Partai Persatuan Nasional (PPN) merupakan hasil fusi dari 10 partai kecil. Dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik muncul sejumlah pengetatan aturan,misalnya verifikasi parpol yang harus selesai paling lambat akhir 2011, keharusan memiliki kepengurusan di 33 provinsi, 75% kabupaten/kota yang ada di provinsi, serta minimal 50% kecamatan di kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Belum lagi polemik soal peningkatan angka PT dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang dirasakan kian mengancam eksistensi parpol-parpol kecil.Maka,setelah mengalkulasi hitung-hitungan politik ke depan,10 parpol kecil itu akhirnya bersepakat melakukan fusi.

Keempat, parpol baru pengusung romantisme sejarah Orde Baru.Pasca-Reformasi selalu ada tipe parpol yang jualan utamanya adalah kedigdayaan politik Soeharto. Misalnya, menjelang Pemilu 2004, tepatnya 9 September 2002, didirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) oleh Jenderal (Purn) Hartono yang menggandeng Siti Hardijanti Rukmana sebagai salah satu deklarator. Napas serupa sepertinya kini juga ada pada parpol Nasrep dengan memosisikan Tommy Soeharto sebagai modal dasar pergerakan Nasrep.

Persaingan

Keberadaan parpol dengan identitas baru, tetapi tipologi lama ini sepertinya berat bersaing di era demokrasi pasar bebas. Pertama, munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan perilaku politik para politikus lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.Sementara parpol baru yang hadir tak memiliki cukup nilai distingtif yang bisa memberi impresi sekaligus referensi baru bagi pemilih. Kedua, parpol baru pun masih terjebak pada identifikasi citra simbolik elite daripada jejaring kader ideologis. Misalnya lebih mengedepankan nama-nama besar Surya Paloh, Yenny Wahid (Gus Dur),Tommy (Soeharto). Ketiga, regulasi yang lebih ketat baik dalam UU Parpol maupun dalam UU Pemilu.Tentu, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi parpol baru.

Peluang parpol baru memang kecil,terutama jika mereka tak mampu mentransformasikan gagasan dan hasrat politis mereka di level kerja praktis, jejaring kader dan massa mengambang, figur,sumber finansial, serta berbagai pendekatan marketing politik berbasis komunitas. Ke depan pasar bebas parpol di Indonesia seharusnya memasuki fase konsolidasi, bukan terus-menerus menjadi ajang pencarian peruntungan para petualang.●

Tulisan ini bisa diakses di web Sindo:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/397160/

Sumber gambar:

www.monitorindonesia.com

POLEMIK CAPRES INDEPENDEN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 30 April 2011)

Akhir-akhir ini pro kontra seputar wacana calon presiden (capres) independen kembali mengemuka. Polemik tentang hal ini sesungguhnya telah mengemuka sejak Pemilu 2009 lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/02/2009) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Fadjroel Rahman, Mariana, dan Bob Ferdian.

Kini, seiring dengan rampungnya naskah amendemen kelima UUD 1945 yang dibuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), isu ini pun kembali menjadi salah satu topik utama yang menarik perhatian. Salah satu bahasan dalam naskah itu adalah usulan agar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari unsur perseorangan diakomodasi.

Konteks gagasan

Menarik untuk membaca konteks mengapa polemik ini menjadi penting dan memberi tawaran menggiurkan bagi reformulasi sistem pemilihan presiden di Indonesia. Pertama, konteks legal formalistik yang tertuang dalam konstitusi kita. Ada upaya untuk pemberian tafsir ulang atas hak-hak politik warga negara terkait dengan capres dan cawapres.

UUD 1945 pada Pasal 6A ayat 2, secara eksplisit menyatakan pasangan capres/cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan partai politik. Dasar inilah yang dijadikan rujukan MK saat memutus permohonan Fadjroel Rahman. Saat itu, Fadjroel dkk memohonkan pengujian pasal-pasal dalam UU Pilpres yang hanya memberikan kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol dan menutup hak konstitusional calon independen dalam pilpres. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9, dan seluruh muatan pasal 13 ayat 1. MK pun berpendapat, ketentuan pasal-pasal yang diuji materi dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi.

Bagi kelompok yang menginginkan diakomodasinya capres independen, termasuk yang dilakukan DPD saat ini, mencoba melihat sisi lain dari konstitusi. Misalnya, yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yakni setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, asalkan memenuhi persyaratan. Dua sisi yang seolah paradoks inilah yang dianggap membutuhkan kejelasan sehingga memerlukan langkah amendemen.

Kedua, konteks politik terkait dengan fenomena disonansi kognitif yang dialami pemilih atas tawaran parpol yang berkutat di elite yang itu-itu saja. Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan dari apa yang dipikirkan dengan realitas yang didapatkan para pemilih. Parpol di Indonesia hingga sekarang tidak memberi impresi yang memadai. Bahkan, ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsionalisasi parpol.

Apatisme publik terhadap eksistensi parpol ini semakin menjadi di saat parpol ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan. Sejak reformasi hingga sekarang, DPR sebagai representasi kiprah partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan, ternyata gagal memberi keyakinan kepada publik. Bahkan, cenderung semakin menguatkan gejala delegitimasi simbol wakil rakyat. Begitu pun kiprah parpol dalam sirkulasi elite.

Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Plato dalam mahakaryanya, Republic, pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elite. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.

Para politikus partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Kejenuhan dalam merespons calon-calon presiden parpol itulah, yang menjadi konteks mengapa gagasan capres independen yang bergulir saat ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan.

Skeptisme parpol

Saat gagasan capres independen ini bergulir, respons para politikus parpol kebanyakan skeptis, bahkan menunjukkan gejala tidak bisa menerima, padahal mereka belum membangun argumentasi yang komprehensif terkait plus minus gagasan ini. Parpol sesungguhnnya tidak perlu khawatir, jika mereka menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan menghidupkan mekanisme kompetisi serta sirkulasi elite yang benar, maka capres independen itu biasanya tak memiliki dukungan yang signifikan saat pemilu. Pengalaman di Amerika, kandidat presiden dari parpolah yang diminati dibanding kandidat independen.

Misalnya di pemilu Amerika pada 2008 lalu, kandidat presiden Partai Demokrat Barack Obama dan kandidat presiden Partai Republik Jhon McCain, jauh lebih diminati dibanding calon-calon independen yang beredar sebelum fase pemilu nasional. Misalnya, nama Ralp Nader yang berpasangan dengan Matt Gonzalez sebagai calon independen, ternyata tak menarik minat warga AS.

Para capres independen tersebut tak laku jual karena warga Amerika cenderung lebih memercayai kandidat yang berasal dari parpol. Satu mekanisme yang membuat kandidat parpol itu menarik minat pemilih adalah mekanisme konvensi.

Jalan terjal akan mengadang realisasi gagasan capres independen ini. Pertama, amendemen UUD 1945 agar bisa mengakomodasi calon nonparpol. Kedua, hal ini juga harus masuk dalam perubahan UU Pilpres. Idealnya para politikus parpol tidak menjegal gagasan ini di tengah jalan, sehingga bisa menjadi pemacu kiprah optimal parpol saat ini dan ke depan.

Tulisan ini bisa diakses di web Republika:

http://koran.republika.co.id/koran/24/134137/Polemik_Capres_Independen

Sumber gambar:

www.matanews.com

METAMORFOSIS TERORISME


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 26 April 2011)

Teroris seolah tak ada matinya. Bak pepatah lama, hilang satu tumbuh seribu. Matinya tokoh-tokoh teroris sekelas Noordin M Top, Dr Azhari, Imam Samudra dan Amrozi tak lantas mematikan jaringan aktif kaum teroris. Hingga kini, mereka tetap leluasa menjadikan Indonesia sebagai zona tindakan teror meski para pelakunya bisa jadi tak berada dalam satu jaringan yang sama. Bom buku, bom bunuh diri Mohammad Syarif, dan paket bom di jalur pipa gas sekitar Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, menjadi bukti teroris masih menjadi ancaman serius.

Jika kita melihat para pelaku teror bom buku yang ditangkap, faktanya mereka rata-rata sarjana. Bahkan yang mengagetkan, kaum teroris pun kini berupaya melibatkan jurnalis dalam desain perilaku terornya. Teroris kini berupaya mentransformasikan diri dengan menyasar lebih banyak lagi kalangan potensial di masyarakat.

Bagaimana pun, terorisme telah menjadi kejahatan utama bagi kemanusiaan. Gerakan ini laten dan bisa kembali aktual kapan pun dalam sosok serta jaringan yang sama atau pun berbeda. Doktrin ajaran tak toleran dan radikal yang meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus tindakan pragmatisnya masih tertanam di banyak kader.

Terorisme telah disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir yang keliru, kemiskinan, kelengahan pengelola dan aparatur negara, serta ketidakpedulian masyarakat. Embrio terorisme siap menetas, menjadi stelsel aktif yang mengimplementasikan semangat dan cara pandang teroris di kemudian hari. Terlebih bangsa ini kerap menjadi bangsa pelupa di tengah bekerjanya gurita para pemilik otoritas modal dan kekuasaan yang kerap dengan sengaja membuat proyek lupa. Satu kasus sengaja didorong ke permukaan untuk menutupi kasus-kasus lain yang mengancam si pemilik otoritas. Sehingga, masyarakat masuk ke dalam dimensi lupa yang sengaja diciptakan dan dilembagakan.

Kita perlu mewaspadai transformasi terorisme baik di level gagasan ideologis, spirit gerakan radikal maupun pola dan sosok pelakunya. Terlebih jika mereka memiliki role model yang keliru tentang konsep diri “pejuang”, “syuhada”, “pembawa kebenaran”, “imam atau amir” dan lain sebagainya. Kini, bisa jadi teroris tak semata faktual melainkan juga simbolis. Artinya, teroris tak hanya ada dalam realitasnya sebagai pribadi, tetapi juga menjadi kesadaran kelompok terbagi yang penetratif ke berbagai kalangan potensial seperti kaum muda. Sungguh berbahaya jika terorisme telah mengalami konvergensi simbolis di berbagai kelompok masyarakat.

Menurut Ernest Bormann dalam John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998) menyatakan, konvergensi simbolis ini merupakan kekuatan komunikasi dibalik penciptaan kesadaran umum (realitas simbolis) yang disebut sebagai visi retoris. Menyediakan sebuah drama dalam bentuk cara pandang, ideologi, dan paradigma berpikir.

Jika cara pandang menghalalkan bom bunuh diri, membunuh atau menebar teror menjadi kesadaran kelompok bersama, maka terorisme akan sangat berbahaya karena satu tahap lagi akan memanen banyak pelaku organik tindakan teror.

Teror dan Media

Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin masif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisasi dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan.

Oleh karenanya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatis. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi kejadian sangat luar biasa (extra ordinary news). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity, yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa.

Mereka sangat sadar bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya diliput media. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional. Bagi para pelaku, bukan hanya sekadar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional, dan situasi yang serba tak menentu.

Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustrasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detail dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan peristiwa extra ordinary seperti pemboman.

Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tak terjebak oleh keinginan para pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tak mengembus-embuskan asumsi- asumsi liar tanpa bukti memadai. Memori publik diingatkan pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005), bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (2009) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya.

Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya, sehingga kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.

Opini publik seputar tindakan kaum teroris dapat berjalan liar, yang kemudian menjadi bola api yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu, perlu kearifan semua pihak terutama para elite politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror.

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=81054

Sumber Karikatur :

Karya Herpri Yanto di www.humorreview.blogspot.com

DILEMA KONSOLIDASI DEMOKRASI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 28 April 2011)


Polemik seputar wacana peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) kian mengerucut ke angka kompromistik. Rapat pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Senin (4/4), akhirnya menyepakati angka 3 persen dalam draf RUU Pemilu Legislatif. Sebagaiman kita ketahui, batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen. Dengan ketentuan ini, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Angka 2,5 persen tersebut kemudian diusulkan oleh beberapa parpol untuk naik. Alasannya, demi konsolidasi dan pemapanan demokrasi di Indonesia.

Sebelumnya, sempat muncul empat polarisasi usulan. Pertama, usulan peningkatan menjadi 5 persen yang didukung Golkar, dan PDIP. Kedua, usulan untuk tetap 2,5 persen yang didukung oleh Hanura, Gerindra, PPP, PKB dan PAN. Ketiga, 3 hinga 4 persen yang diusung PKS. Terakhir, usulan 4 persen yang terlontar dari Demokrat. Memang polemik soal peningkatan PT untuk konsolidasi demokrasi ini, menjadi dilema tersendiri bagi para politisi di DPR, mengingat banyaknya desakan untuk mengakomodir kepentingan parpol dalam konfigurasi kekuasaan legislatif di periode mandatang.

Angka Kompromistik

Merujuk ke pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu ada sembilan parpol yang lolos ke parlemen, antara lain Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen). Jika data tersebut menjadi dasar prediksi perolehan suara di Pemilu 2014, maka angka PT 5 persen akan melahirkan penyusutan jumlah parpol di DPR menjadi hanya 5 atau 6 parpol saja. Tentu, wacana ini akan sangat ditentang oleh parpol-parpol kecil yang sekarang tak terakomodasi di DPR sekaligus juga mendapat resistensi dari parpol papan tengah yang gamang dan belum percaya diri bisa meningkatkan suara melebihi ambang batas 5 persen.

Proses loby dalam penyusunan ambang batas ini memang cukup krusial bagi eksistensi parpol-parpol papan tengah di DPR. Sehingga, wajar jika polarisasi dan perdebatan seputar rencana peningkatan PT ini menjadi satu di antara prioritas pertarungan di DPR. Langkah Baleg DPR yang memutuskan angka 3 persen untuk masuk ke dalam draf RUU Pemilu Legislatif ini bisa dibaca sebagai arah kompromositik di antara parpol-parpol penghuni Senayan. Dengan angka tersebut, kemungkinan 9 parpol yang ada sekarang masih memiliki peluang besar kembali menghuni “rumah rakyat” di Senayan pasca Pemilu 2014.


Tentu, masih ada peluang dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif ini, karena momentum perdebatan masih terbuka lebar di rapat paripurna DPR masa persidangan IV 2010-2011, Mei mendatang . Hanya saja, inisiasi ini juga menjadi penanda nyata bahwa sepertinya usulan dan keinginan sebagian pihak untuk melakukan penyederhanaan parpol kian sulit memperoleh dukungan dari parpol-parpol yang ada parlemen.

Penyederhanaan

Logika peningkatan angka PT bisa diposisikan sebagai konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kian mapan. Bukti paling kongkritnya adalah bagaimana menyederhanakan sistem multipartai ekstrem yang ada sekarang menjadi multipartai sederhana. PT tentu saja bukan alat untuk pemberangusan eksistensi parpol dan kesempatan orang berserikat, berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan sebagaimana diatur oleh Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945. Sejatinya keinginan berserikat itu tetap diakui dan diakomodir. Hanya dalam praktik berdemokrasi, tentu ada pilihan-pilihan desain institusional dan tipe kekuasaan yang disepakati.

Kita telah bersepakat dengan desain presidensialisme. Pilihan ini, bukan persoalan benar atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia. Sudah menjadi fakta politik, bahwa persandingan antara presidensialisme dengan multipartai ekstrem hanya akan melahirkan sejumlah paradoks. Problem utamanya adalah pada penguatan dan pelembagaan politik akibat carut-marutnya multipartaisme.

Formula kompromistik angka PT menjadi 3 persen hanya menaikan setengah persen saja dari ambang batas di Pemilu 2009. Itu artinya, konfigurasi
kekuatan politik yang akan ada di DPR periode mendatang tak akan jauh berbeda dari komposisi sekarang. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa langkah kompromistik ini tidak mengacu pada upaya perbaikan dan cita-cita penyederhanaan, melainkan lebih pada pelanggengan kekuatan parpol pengisi parlemen seperti yang ada sekarang.

Padahal, jika dinaikan menjadi 4 atau 5 persen, maka kemungkinan Pemilu 2014 akan kian menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di DPR. Model PT ini, sekali lagi bukan mengamputasi parpol secara semena-mena, melainkan uji publik melalui kontestasi Pemilu yang terbuka. Sehingga semakin ke depan kita akan semakin menikmati atmosfir demokrasi yang solid dan kuat, dengan polarisasi yang tidak begitu kompleks.

Harapan kita, pembahasan revisi terkait angka PT yang diakomodir dalam revisi UU Pemilu Legislatif ini, akan memberi dorongan bagi kiprah parpol yang lebih berdaya guna dan bernilai guna pada sistem politik kita. Sekaligus, juga memiliki variabel yang ketat untuk menyeleksi parpol berdasarkan suara yang mereka peroleh di Pemilu. Bukan melalui cara-cara kompromistik yang kerap berujung kesia-sian dan kian menjauhkan kita dari keinginan melakukan konsolidasi demokrasi melalui penataan sistem kepartaian dan pemilu.

Tentu, harus ada solusi untuk mengatasi suara rakyat yang akan hangus jika terjadi peningkatan angka PT. Menurut penulis, skema stambush accord atau kesepakatan penggabungan suara bisa dipertimbangkan. Di Pemilu 2009 kemarin, stambush accord baru dipraktikkan di daerah tingkat I dan II. Solusi lain adalah diakomodasinya gagasan penggabungan parpol baik dalam format fusi maupun konfederasi. Masing-masing format penggabungan parpol tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Jalan terjal menghadang, karena tradisi kepartaian di Indonesia yang sangat pekat dengan basis transaksional dibanding basis ideologi dan platform organisasi. Sudah saatnya regulasi soal pemilu, kita dorong menuju penyederhanaan politik bukan terus menerus berada dalam labirin demokrasi yang menyesatkan. Tentu peningkatan angka PT bukan satu-satunya alat konsolidasi demokrasi. Namun demikian, menjadi salah satu penanda nyata bahwa politik kita sedang menuju arah yang benar dan memberi harapan.***

Sumber photo:
www.okezone.com

Kamis, 21 April 2011

FENOMENA POLITISI LOMPAT PAGAR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Kamis 14/04/2011)

Sudah dipastikan Partai Amanat Nasional (PAN) tak akan lagi menjadi rumah politiknya Dede Yusuf. Dinamika lompat pagar politisi yang saat ini menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat telah menjadi perhatian publik tak hanya di tingkat lokal melainkan juga di nasional.

Fenomena lompat pagar dari satu partai ke partai lain yang dilakukan para politisi yang menjabat di pemerintahan daerah, tak hanya dialami Dede Yusuf dan PAN. Pikiran Rakyat (Rabu,13/04) menyebutkan sejumlah nama antaralain Aceng Fikri (Bupati Garut) dari independen ke Golkar. KH. Nashiruddin AM (Bupati Kebumen) dari partai PDIP yang menyebrang ke Demokrat. Mardani H Maming (Bupati Tanah Bambu) dari PKB ke PDIP. Satono (Bupati Lampung Timur), Palino Popang (Wakil Bupati Toraja) dan Vicky Lumenttut (Wali Kota Manado) hijrah dari Golkar ke Demokrat. Deretan nama tersebut tentu masih akan bertambah seiring dengan dinamika internal partai dan hitung-hitungan politik para politisi ke depan.

Jika kita identifikasi, paling tidak ada sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab mengapa para politisi lompat pagar. Pertama, adanya rasionalitas pragmatis berbasis matematika politik yang ditelah dibuat oleh para politisi terkait dengan karir politiknya di masa mendatang. Tentu, sebagai politisi yang masih memiliki peluang untuk berkuasa, hasrat mempertahankan kekuasaan menjadi sesuatu yang lumrah dan seolah apa adanya.

Dalam konteks menyusun basis dukungan dan pemetaan kekuatan inilah, kerapkali politisi tergoda untuk menyebrang dari rumah politiknya, karena dia tak lagi yakin dengan simpul dan jejaring basis suara partainya sekarang. Pemilukada Jabar akan berlangsung 2013. Sangat mungkin Dede Yusuf membaca peta dan memiliki asumsi bahwa Partai Demokrat akan lebih memungkinkan dirinya maju dan memenangi Pemilukada. Rasionalitas pragmatis ini basis dasarnya adalah kepentingan, eksternalisasi diri, penyesuaian diri serta mekanisme pertahanan diri.

Kedua, gagalnya kaderisasi parpol. Hal ini terkait dengan mekanisme internal partai yang kerap tidak berjalan karena lemahnya fungsi-fungsi organisasi dalam membentuk dan menyalurkan kader ideologis. Dalam tahapan kaderisasi yang baik partai seharusnya tak hanya mampu merekrut, tetapi juga membina kader loyalis dan ideologis. Sejak Pemilu 1999 hingga 2009, banyak parpol bertindak pragmatis dengan mengisi jabatan-jabatan publik yang diperolehnya melalui mekanisme transaksional.

Selain itu, banyak juga yang mengusung politisi wakil untuk mengisi kursi DPRD, DPR-RI hingga jabatan kepala-kepala daerah. Politisi wakil biasanya bukan berasal dari kader, melainkan dari figur-figur tertentu yang dianggap memiliki popularitas sehingga diharapkan menjadi vote getter (pendulang suara).

Ketiga, adanya oligarki partai dalam mekanisme pembuatan keputusan. Plato dalam maha karyanya Republic yang pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elit. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.

Jika melihat fenomenanya saat ini, ketiga faktor tadi sangat dominan mewarnai parpol-parpol yang ada sekarang. Jadi, tidak mengherankan jika banyak politisi yang sudah menjabat dan berhitung dengan jabatannya ke depan, akan berpikir pragmatis seperti selama ini disimulasikan oleh parpol di mana dia bernaung. Sebuah pelembagaan karakter politik berbasis traksaksional.***

Sumber Gambar:

www.buletininfo.com

TITIK NADIR CITRA DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, Senin, 11/04/2011)


Citra DPR hingga saat ini masih menjadi “si buruk rupa”.Seolah tak pernah mau belajar dari berbagai kesalahan para anggota DPR periode sebelumnya, wakil rakyat periode 2009-2014 ini pun kerap terjerembab pada berbagai tindakan yang paradoks dengan identitas simboliknya yang terhormat. Belakangan ini, citra DPR tampak terjun bebas seiring dengan sikap keras mereka untuk tetap melanjutkan pembangunan gedung baru.

Di tengah proyek mercusuar pembangunan gedung baru, pada Jumat (8/4) juga mencuat perilaku tidak etis Arifinto, salah satu anggota dewan yang membuka situs porno di tengah rapat paripurna yang sedang membicarakan urusan rakyat. Meski tak ada hubungannya dengan rencana pembangunan gedung baru, publik bertanya, pantaskah mereka mendapatkan kehormatan berlebih di tengah melorotnya kinerja dan fungsionalisasi peran DPR?

Bukan Wakil Rakyat

Tanpa sebuah riset opini publik yang ilmiah sekalipun, tampak sudah sangat kasat mata bahwa rencana pembangunan gedung baru DPR ini mendapatkan penentangan yang sangat luar biasa dari publik. Rapat konsultasi antarpemimpin DPR, pemimpin fraksi, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pada Kamis (7/4) memutuskan dengan sangat gagah berani bahwa proyek tersebut jalan terus, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Hanya ada dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi Amanat Nasional (F-PAN) dan Fraksi Partai Gerindra. Selebihnya, mereka gagah berani menentang suara rakyat yang jelas-jelas tidak rela Rp 1,3 triliun uangnya digelontorkan hanya untuk memuaskan obsesi segelintir kelompok elite. Terlebih, politikus elite Senayan itu banyak yang tak amanah atas fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.

Tampak ada kekeliruan basis logika sangat mendasar dalam proses berlanjutnya pembangunan gedung baru DPR. Pertama, keputusan tersebut mencederai kehakikian tugas mereka sebagai wakil rakyat. Seorang anggota DPR dalam praktik demokrasi perwakilan seharusnya mewakili kepentingan rakyat. Elite harus mau mendengar dan menyalurkan tuntutan, desakan serta alternatif pemikiran rakyat, bukan sebaliknya, memanipulasi dan sombong dengan menyatakan rakyat tak perlu diajak bicara dalam konteks urusan yang sedang menjadi perhatian mereka. Kalau urusannya sekadar prosedur pembangunan yang sudah berjalan, mekanisme rapat konsultasi pemimpin atau forum rapat paripurna DPR bisa saja menganulir rencana tersebut.

Kedua, setumpuk pekerjaan rumah 2011 belum usai. Sejumlah RUU dan revisi atas UU mendesak untuk segera dituntaskan. Akan lebih elegan jika DPR mengawali paruh pertama 2011 ini dengan menunjukkan stimulus kerja optimal ke publik, baik pada fungsi legislasi, kontrol maupun anggaran. Bukan sebaliknya, serta merta menstimulasi rakyat dengan rencana pembangunan gedung baru. Lagi-lagi, ini menunjukkan cara berkomunikasi politik yang lemah. Kita tentu masih ingat bagaimana Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 sangat amburadul karena banyaknya bahasan yang belum tuntas.

Ketiga, tampak ada permainan tak elok di panggung media mengenai sikap para anggota DPR dan elite parpol yang seolah-olah pro opini masyarakat untuk menentang rencana pembangunan gedung baru, tetapi dalam praktiknya fraksi mereka sangat bulat mendukung keberlanjutan rencana. Penolakan bersifat basa-basi sekadar urusan pencitraan di media saja. Bahkan, penulis menangkap ada semacam persekongkolan berjamaah dalam rencana ini. Sepatutnyalah kita mewaspadai kepentingan ekonomi yang dominan di balik ini.

Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip William D Perdue (Sociological Theory: Explanation, Paradigm and Ideology, 1986) kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah tindakan logis yang mengarahkan pada maksimalisasi kepuasan serta kerap menihilkan nilai dalam memahami sistem sosial. Seribu satu cara bisa dilakukan untuk membuat argumentasi logis, seolah-olah semua fasilitas itu memang layak dan seharusnya diberikan kepada anggota dewan untuk mendukung optimalisasi kinerja mereka.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga turut andil dalam penolakan model basa-basi ini. Dalam konteks ini, SBY menginstruksikan perlunya penghematan anggaran, terutama dalam pembangunan gedung kantor serta rumah-rumah dinas, jika tidak memiliki urgensinya. Ironisnya, seolah tidak menghiraukan pernyataan SBY, para elite di DPR melanjutkan misi “petualangan” mereka. Menarik memosisikan SBY dalam konstelasi ini, terutama hubungannya dengan sikap Partai Demokrat sebagai partai besar. SBY di luar jabatannya sebagai presiden adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Arahannya sangat didengar kebijakan Demokrat, karena secara geneologi politik, SBY merupakan figur yang teramat menentukan di dalam tubuh partai berlambang bintang mercy ini. Instruksi presiden SBY soal penghematan anggaran nyatanya tak memperoleh tautan respek publik yang memadai, karena SBY sangat terlambat merespons isu ini, sekaligus terkesan basa-basi. Hasilnya pun bisa ditebak, fraksi Demokrat tetap mendukung rencana pembangunan gedung baru.

Moralitas Politikus

Satu hal lagi faktor yang menyebabkan citra DPR di titik nadir adalah persoalan moralitas dan etika. Kegaduhan opini publik kini bersumber dari sosok politikus PKS, Arifinto. Perbuatannya membuka situs porno di saat rapat paripurna telah menjadi penyempurna wajah buruk DPR kita. Terlepas dari sengaja atau tidak tindakan ini sudah out of context dari fungsi dan peran anggota dewan.

Tentu ini merupakan pukulan telak bagi brand image fraksi PKS di DPR, karena saat ini kampanye mereka banyak mengusung tema bersih dan peduli, selain gencar menyuarakan moralitas dalam berpolitik dengan identitas sebagai partai dakwah. Tentu, PKS bukan hanya Arifinto, karena masih banyak kader lainnya. Oleh karenanya, PKS diimbau lebih terbuka dan tidak menjadi bungker pertahanan orang bermasalah.

Perbuatan melihat situs porno di saat sidang paripurna tidak saja merusak nama partai tempat si politikus berada, melainkan juga kian mendelegitimasi kehormatan DPR. Oleh karenanya, Badan Kehormatan (BK) DPR juga harus transparan menindaklanjuti masalah ini. Jika tidak, DPR benar-benar akan sampai di titik nadir.***

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/titik-nadir-citra-dpr/

Sumber gambar:

www.kebebasaninformasi.org

ZONA PERANG INFORMASI GLOBAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Jum'at 08/04/2011)

Laporan utama harian Seputar Indonesia, Kamis (7/4), mengulas secara khusus opini negatif yang belakangan kembali marak menyerang Indonesia.

Tulisan “Indonesia Diserang Opini Negatif” seolah mengingatkan pembaca akan sebuah konstelasi perang global yang kerap luput dari perhatian khalayak, yakni perang informasi. Relasi kuasa antarnegara serta antarblok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zona of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Media menjadi alat pengendalian isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi”yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.

Strategi Perang

Perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui tiga strategi. Pertama, strategi pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolaholah “kepribadian” masingmasing media.Fenomena inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.

Dalam konteks ini, sangatlah wajar jika muncul pembacaan ulang, bahwa apa yang diberitakan The Age, Sydney Morning Herald (SMH), Times, The Wall Street Journal terkait juga dengan upaya menjadikan Indonesia dalam zona perang informasi. Pada 11 Maret 2011, The Age dan SMH yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media secara berbarengan memublikasikan informasi yang mendiskreditkan SBY.Judul besar The Age misalnya, Yudhoyono ‘Abused Power’, menjadi headline dan didedah dengan bahasa yang provokatif yang bersumber dari bocoran WikiLeaks. Terlepas dari benar tidaknya substansi pemberitaan tersebut, ada garis merah penyetingan agenda terkait dengan momentum ledakan informasi tersebut.

Isu itu dicuatkan bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Berita negatif soal Indonesia juga dipaparkan dalam tulisan Kelley Currie di harian The Wall Street Journal yang berjudul Indonesia’s Seven-Year Itch.Kemasan artikel opini yang dimuat 30 Maret 2011 ini pun langsung menusuk kredibilitas SBY yang dianggap gagal mengelola sistem politik,hukum,dan HAM. Berita terkini yang sama negatifnya soal Indonesia adalah berita Majalah TimeHolidays in Hell: Bali’s Ongoing” yang ditulis oleh Andrew Marshall yang menulis secara provokatif soal Bali.

Marshall sengaja menggunakan istilah neraka untuk menggambarkan Bali yang penuh sampah, limbah industri, dan kemacetan lalu lintas yang akut.Secara faktual laporan Marshall tersebut memang banyak benarnya.Hanya pengemasan kata-kata yang sangat provokatif dan sinis membuat kita seolah sedang membaca media kuning bukan majalah bereputasi baik di dunia Internasional. Menurut Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media (1972) dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.Sangat mungkin media massa dijadikan instrumen dalam perang informasi di era modern seperti sekarang.

Strategi kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negaranegara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. Sebanyak 60–70% berita media di antero dunia bersumber dari AP (Associated Press), UPI (United Press International), Reuters, dan AFP (Agence France Presse). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini.

Strategi ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games.Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan.Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm.

Pola Implementasi

Dalam praktik perang informasi melalui media massa,ada beberapa pola yang biasanya bisa kita baca. Pertama,memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang simetris. Hal ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name calling atau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Contohnya pemberian label “neraka”, abuse of power,pemimpin gagal,pelanggar HAM, gang of nih, Nine Dragon, dan lain-lain.

Kedua, biasanya perang dihembuskan oleh komunikator dalam hal ini penulis dan media yang memiliki reputasi, sehingga diharapkan memberi impresi sekaligus gaung yang kuat pada khalayak yang dituju. The Wall Street Journal yang terbit di New York misalnya, merupakan koran sangat berpengaruh di AS.Koran ini bertiras 1,8 juta eksemplar. Pernah nomor satu di AS dengan tiras 2,6 juta eksemplar, meski sekarang menjadi nomor dua setelah USA Today.Begitu pun Time,The Age dan SMH merupakan media-media yang berpengaruh. Para penulisnya seperti Kelley Currie yang menulis di The Wall Street Journal merupakan peneliti senior Project 2049 Institute,sebuah lembaga think-tank di Washington. Philip Dorling yang menulis di The Age dan SMH, adalah sejarawan alumni program doktor dari Flinders University yang saat ini tercatat sebagai visiting fellow pada Australian Defence Force Academy yang berafiliasi pada University of New South Wales, Australia.

Perpaduan antara reputasi media dan penulisnya ini dalam perang informasi menjadi modal penting terutama untuk peneguhan pengaruh saat informasi didistribusikan ke khalayak internasional. Zona perang informasi global memang nyata ada di hampir seluruh negara di dunia, oleh karenanya Indonesia harus terus mencermati pergerakannya sehingga tak sekadar menjadi korban atau pelengkap penderita.●

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391695/

Sumber gambar:

www.arrahmah.com